Setelah kejadian di La Fontana, Danny tidak pernah lagi membawa Hilda keluar dari mansionnya, membuat gadis itu nyaris gila dikurung terlalu lama di sana.
“Apa kau ingin menghukumku atau sengaja menjadikanku tawanan?” tanya Hilda dengan nada marah begitu dia mendobrak pintu ruang kerja Danny secara tiba-tiba, yang kebetulan saja pria itu sedang melakukan conference call dengan beberapa kolega di layar plasma yang terpasang di depan meja kerja.
Melihat dirinya masuk dalam jangkauan video call, seketika saja Hilda terkesiap dan mundur ke arah titik buta.
Perlahan rona merah menjalar di pipi, dan tanpa sengaja dia menggigit bibir bawah. Pertanda gugup dan merasa bersalah.
Danny yang fokusnya beralih pada Hilda, seakan tidak bisa melepaskan pandangan.
“Aku akan menghubungimu lagi, Drew, Jade,” kata Danny pada dua pria yang merupakan rekan bisnisnya.
“Baiklah, aku akan menunggu setengah jam,” ucap Jade sebelum
Hilda berlari menuju kamar dengan wajah dan leher memerah. Dia bahkan menghindari tatapan semua orang yang bekerja di mansion, termasuk Xavier dan Nakuru yang kebetulan saja sedang berbicara sangat intens di dekat tangga.Namun, dari sudut matanya, Hilda bisa melihat tatapan orang-orang yang seolah-olah tahu apa yang baru saja terjadi di balik pintu ruang kerja pria itu.Dengan kepala tertunduk dan langkah terburu-buru, dia pun memasuki kamar. Dan, setelah di dalam, gadis itu menggeram di antara kedua telapak tangan.“Dasar bodoh,” umpat Hilda pada diri sendiri.Tidak seharusnya dia datang begitu saja dan memancing emosi pria itu.“Sekarang apa yang harus kulakukan?” rengeknya pada diri sendiri.Hilda berjalan menuju jendela, dan dia hanya dapat melihat hamparan halaman luas di luar sana dengan bunga-bunga mengelilingi di sekitar.Dari sudut mana saja, Danny memiliki mansion yang sangat indah.Dan sebuah
Mendengar suara Xavier yang sedikit serak, Danny tahu telah terjadi sesuatu. Ditambah lagi, satu nama yang bawahannya itu sebutkan membuat bahu dan tubuh Danny menegang waspada.Tiba-tiba saja dia berdiri dengan postur siaga. Sejenak menatap ke layar plasma, dan dua orang di hadapannya pun mengangguk sebelum akhirnya layar plasma itu menjadi hitam kembali, pertanda masing-masing dari pria-pria di sana memutus sambungan.Setelah ruangan itu hening, Danny pun bergegas mengambil jas hitam yang tersampir di sandaran kursi.“Xavier, ada apa?” kejarnya sembari mengancing kemeja dengan terburu-buru.Xavier yang berada di seberang sambungan pun berdehem.“Sebaiknya anda datang, Sir, aku … sudah melakukan semampuku,” jelasnya dengan nada ragu.Tidak tahu akar permasalahannya, Danny pun bergegas ke alamat yang Xavier berikan.Keningnya berkerut bingung, karena tempat itu adalah restaurant keluarga bernama De La Cr
Rahang Danny mengeras begitu dia mendengar perkataan Hilda yang barusan.Membatalkan perjanjian katanya?Huh, sampai kapan pun dia tidak akan melakukannya.“Perle,” panggil Danny dengan nada lebih lembut, walau di dalam sana dia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan amarah. “Kau terluka,” tambahnya sembari menyentuh pipi gadis itu dengan gerakan pelan penuh perhatian, yang seketika membuat mata Hilda berubah menjadi berkaca-kaca.Tatapan kemarahannya melunak seiring sentuhan lembut pria itu, hingga tanpa sadar dia pun terisak dengan bulir air mata yang jatuh melewati pipi.“Mereka menyebutku murahan,” tangisnya, dengan napas sedikit tercekat.Melihat kesedihan serta wajah terluka gadis itu, Danny memejamkan mata sesaat, kemudian dia membawa Hilda ke dalam pelukan, dan membuainya pelan.“Kau jauh dari kata murahan,” ucap Danny, mencoba menghibur, namun dia bahkan tidak tahu bagaimana c
Langkah Hilda menyentak lantai begitu dia melewati pintu. Wajahnya yang memerah menarik perhatian banyak orang di sekitar. Gadis itu bahkan tidak menghiraukan panggilan Danny yang menyusul di belakang.“Perle?” panggil pria itu lembut dengan nada penuh kehati-hatian, namun tetap saja gadis di hadapannya seolah tidak mendengar dan terus berjalan cepat menuju tangga.“Perle,” panggil Danny lagi, kali ini dengan nada pelan.Melihat keributan di ruang tengah, Nakuru pun mengintip dari balik dinding penghubung ruang keluarga dan dapur.“Apa yang terjadi?” tanya pria itu pada Xavier yang melewatinya saat menuju meja makan.“Pertengkaran rumah tangga,” balas Xavier, membuat Nakuru tertawa kecil.“Aku sudah bilang ini ide buruk.”Kedua pria itu pun berjalan bersisian menuju meja dapur. Tampak keduanya mencoba menutup telinga begitu mendengar suara bantingan pintu diiringi suara Danny
“Slaine,” gumam Danny sembari menatap wanita itu dan Hilda bergantian.Dia baru saja hendak mengatakan sesuatu, saat tiba-tiba Hilda memukul dadanya keras, mengakibatkan Danny nyaris terjungkal ke belakang.“Aku membencimu,” bisik Hilda dengan mata memerah dan berkaca-kaca pada Danny yang setengah berbaring di atas lantai.Dia hendak mengatakan sesuatu, namun bungkam begitu melihat wajah terluka gadis di hadapannya. Bahkan, air mata yang tadi surut kini kembali menggenang dan mengalir sampai ke dagu. Seketika hati Danny terketuk keras, dan jemarinya yang hangat mengelus permukaan dagu gadis itu lembut.Dia tidak mengira hatinya terasa diremas ketika melihat lelehan bulir air mata itu jatuh dari balik maniknya yang indah.Perlahan-lahan dia pun bang
Hilda berdehem berkali-kali ketika dia mendapati tatapan wanita di hadapannya yang tidak pernah lepas memandang ke arahnya. Hal itu membuatnya gugup, sehingga dia pun mencari-cari tangan Danny yang berada di bawah meja. Dan beberapa kali wanita di depan mereka juga menatap Danny yang duduk di samping Hilda dengan mata menyipit tajam.Tapi, tatapan wanita itu akan berubah menjadi penasaran begitu beralih padanya.Merasa tidak nyaman telah menjadi pusat perhatian seseorang, Hilda meremas keras tangan Danny yang begitu hangat.Dan, alangkah terkejutnya dia begitu menyadari bahwa pria itu tidak henti-hentinya mengulas senyuman ke arahnya, seolah-olah mereka hanya berdua dalam ruangan, dan wanita bernama Slaine yang duduk di seberang adalah patung tanpa nyawa.Pria itu bahkan menatap dirinya secara terang-terangan dengan tatapan yang cukup vulgar.“Danny,” hardik Hilda, yang diam-diam mencubit permukaan lengan pria itu agar berhenti menatap.
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai