Hilda turun ke lantai bawah dengan langkah terburu-buru. Untungnya Gamal tidak bertanya ke mana dia akan pergi, dikarenakan pria itu sangat sibuk menonton pertunjukan di televisi. Bahkan,Hilda ragu Gamal mendengar kepergiannya tadi.
Dan saat dia tiba di parkiran, Xavier yang awalnya menyandar pada badan mobil akhirnya berdiri dan menunggu kedatangannya. Kepala pria itu menoleh ke balik bahu Hilda, seolah mencari-cari sosok lain yang mungkin mengikuti dari belakang.
“Aku hanya sendirian,” kata gadis itu yang menarik perhatian Xavier kembali. “Dia sedang menonton pertandingan.”
Pria itu tersenyum dan membukakan pintu mobil yang membuat Hilda terpaku.
Jelas sekali, wanita itu tampak ragu-ragu untuk mengikuti instruksi tersirat barusan, sehingga Xavier mencoba menjelaskan.
“Aku hanya tidak ingin seseorang mendengar pembicaraan ini,” katanya yang membuat Hilda pada akhirnya mengikuti.
Dan setelah mereka duduk d
“Apa dia sudah gila?” sungut Hilda sembari berjalan menaiki tangga menuju lantai apartemennya.Dan baru saja dia membuka pintu, saat tiba-tiba matanya menangkap keberadaan Gamal yang tampak menunggu kedatangannya. Alis pria itu bertaut saat mendapati Hilda masuk ke dalam bersama amplop kuning di tangan.“Apa itu?” tanyanya dengan ekspresi penasaran.“Bukan apa-apa,” jawab Hilda sembari melewati pria itu.“Kupikir kau pergi ke toko di seberang jalan,” ucap Gamal yang hanya mendapat kedikan bahu. “Apa kau tidak mau kembali lagi ke luar dan membelikanku sesuatu?”Seketika langkah Hilda terhenti dan dia tergoda untuk memecahkan kepala pria itu dengan menggunakan vas di meja.Mendapati kemarahan gadis itu yang terarah padanya, Gamal pun menelan saliva sembari mengangkat dua tangan ke udara sembari berjalan mundur menuju pintu.“Aku paham, dan aku akan membelinya sendir
Hilda baru saja turun ke lantai bawah, saat tiba-tiba dia mendengar suara ketukan yang datang dari pintu depan. Dengan langkah malas, dia pun membukakan pintu, hanya untuk mendapati Xavier berdiri di sana dengan sebuket bunga dalam genggaman.Kedua alis gadis itu bertaut bingung, karena seingatnya dia tidak sedang merayakan sesuatu.“Ulang tahunku tujuh bulan lagi,” ucap Hilda dengan tangan terlipat di depan dada, sedang matanya sesekali melirik ke arah kumpulan kembang di hadapan.Sebuah senyum terulas di wajah pria itu, dan dengan sangat kasual dia berkata; “Aku tahu, Miss Wallice. Tetapi, Mr. Johanson ingin memberikan ini untuk membuat pagimu menjadi lebih menyenangkan.”Bukannya menerima bunga-bunga itu, Hilda malah menyuruh Xavier untuk menaruhnya di sebuah meja yang terletak di sudut ruangan.“Apa kau tidak ingin menyentuhnya?” tanya pria itu dengan tatapan bingung.Namun, gadis itu hanya membe
Kepala Danny terasa berat saat melihat pesan yang Xavier kirimkan.Dengan tangan memijit pelipis, dia menggeram pelan, membuat beberapa kepala menoleh ke arahnya.“Apa lagi kali ini?” tanya Rey yang duduk di sofa sebelah kiri.Setelah menarik napas panjang, Danny pun mengangkat kepala dan menggeleng lemah.“Tidak ada,” jawabnya sembari melihat layar ponsel yang lagi-lagi membuatnya ingin membenturkan kepala ke meja.Merasa penasaran, Nicko yang sejak tadi duduk di sofa sebelah kanan akhirnya mencondongkan tubuh dan melihat apa yang sebenarnya Danny baca. Dan tidak lama setelahnya, dia pun terkekeh pelan yang mengakibatkan teman-temannya menatap penasaran.Kini, ada tiga pasang mata yang menatap Nicko dan Danny bergantian.Setelah puas menghabiskan kuota tertawa, Nicko pun menjawab wajah-wajah bertanya yang duduk di hadapannya.“Dia mendapat sebuah daftar jawaban yang seluruh isinya adalah ‘Ti
Selama seharian Hilda berkeliling di sekitar Rodeo Drive, namun lagi-lagi dia tidak menemukan apa yang dicari, sehingga gadis itu memilih untuk secepatnya kembali ke apartemen tanpa mengambil gambar satu pun selebriti yang berbelanja di sana. Kali ini, dia hanya membidik kamera untuk menangkap pesona jalanan di Baverly Hills yang dipenuhi pejalan kaki.Rasanya, sudah lama sekali dia tidak menggunakan kamera untuk menciptakan sebuah seni. Dan bila diingat-ingat lagi, Hilda memilih untuk menjadi paparazzi dikarenakan itu adalah cara tercepat untuk menjual setiap hasil jepretan kamera yang dia punya.Dan kini, keinginan untuk menikmati pekerjaan sebagai photographer hanya sejengkal tangan. Bila saja Danny Johanson mengabulkan keinginannya, maka tidak lama lagi dia akan lepas dari Gamal.Semakin hari, teman serumahnya itu jadi semakin menuntut, sehingga mereka butuh jarak untuk kembali ke tujuan semula; bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Dan sepertinya, ini adal
“Aku mengirimi pesan, seharusnya kau membalas chatku bukan langsung menghubungi,” sungut Hilda begitu dia menekan tombol hijau di layar. “Dan aku tidak suka berbicara denganmu saat ini! Seharusnya kau dapat membaca situasinya dari nada pesan yang kukirim,” tambahnya lagi sembari diselipi kekesalan, dan ketika dia mendengar pria itu hendak mengatakan sesuatu, Hilda pun menyela. “Hari ini aku memaafkan, tapi tidak ada lain kali.”Terdengar suara berdehem dari seberang diikuti hembusan napas yang berat. Tidak lama kemudian, Danny Johanson yang dilabeli sebagai Tuan Mesum menjawab; “Halo juga Sunshine. Malam yang indah untuk mendapat nasihat menusuk kalbu.”Seketika Hilda menjauhi ponsel dari telinga, dan dia mendelik tajam pada benda itu, seolah saat ini dia berhadapan langsung dengan pria tersebut.“Jangan bersikap sarkas,” geramnya gusar yang dijawab Danny dengen batuk kecil.“Hmm … t
Hilda memutar-mutar dirinya di cermin, dan dia merasa sangat berbeda dengan pakaian yang melekat di tubuh, seakan cermin di hadapannya menampilkan wanita asing yang tidak dia kenali.“Ini bukan aku,” gumamnya sembari menggelengkan kepala.Dia tidak mengira dapat berpenampilan seperti ini, rasanya yang menatap balik di cermin adalah gadis berbeda. Tapi, mau berapa kali pun mengedipkan mata, tetap saja yang melihatnya adalah wajah yang sama. Sehingga dia pun memegangi cermin dengan gerakan pelan. Seolah-olah jemarinya mengagumi wajah yang terpantul di hadapan.Namun, gerakan tangannya terhenti begitu dia mendengar suara ketukan dari arah depan.Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, sehingga tanpa sadar, Hilda pun menarik napas dan menghembuskannya perlahan sembari merapalkan kata-kata untuk menenangkan diri.“Aku bisa, semua akan baik-baik saja,” bisiknya, mengumpulkan ponsel dan clutch yang senada dengan g
Begitu turun dari mobil, Danny pun menuntun Hilda ketika melintasi karpet merah. Seketika rasa gugup membuat tangan gadis itu basah, dan ternyata Danny pun menyadarinya sehingga dia meremas pelan genggaman mereka.Saat Hilda menoleh, pria itu memberikan senyuman tipis.“Aku ada di sampingmu,” bisiknya tepat di telinga Hilda sembari menundukkan kepala. “Jangan khawatirkan kamera di sekitar.”Sadar bahwa hanya pria itu yang dapat menjaganya, dia pun membalas remasan tangan mereka dan melanjutkan langkah ke depan.“Apa kita akan berfoto bersama?” tanya Hilda gugup.“Tidak perlu, kita bisa langsung masuk ke dalam gedung,” jawab Danny meyakinkan.Namun, ketika keduanya melewati beberapa awak media yang masing-masing membawa kamera, semua flash terarah ke mereka yang seketika membuat mata gadis itu berkedip-kedip karena tidak terbiasa.Dengan sigap Danny menuntunnya. Dia mengeratkan genggaman
Setelah acara pemberian penghargaan berakhir, para tamu undangan pun menghadiri kegiatan berikutnya, yaitu after party. Mereka yang memegang kartu undangan VIP dan public figure lainnya berpindah dari tempat perhelatan penghargaan ke sebuah ruangan besar yang dipenuhi meja dengan lantai dansa di tengah-tengah.Begitu melewati pintu, terdengar alunan merdu dari musik yang bermain di sebuah panggung kecil.Tidak terlewatkan pula interior ruangan yang beraksen gold dengan paduan maroon yang mendominasi ruangan. Dan, hal itu membuat Hilda sedikit merona karena ruangan tersebut seolah-olah senada dengan gaun yang melekat di tubuhnya. Yang tentu saja pemberian dari Danny.‘Ah, hanya kebetulan,’ tepisnya dalam hati. Di tempat itu, semua orang merayakan kemenangan mereka dengan saling berkumpul, makan-makan, berdansa, serta kegiatan bersama-sama lainnya.Hilda yang merasa asing di tengah lautan publik figure tampak sangat kesepian,