Hilda memutar-mutar dirinya di cermin, dan dia merasa sangat berbeda dengan pakaian yang melekat di tubuh, seakan cermin di hadapannya menampilkan wanita asing yang tidak dia kenali.
“Ini bukan aku,” gumamnya sembari menggelengkan kepala.
Dia tidak mengira dapat berpenampilan seperti ini, rasanya yang menatap balik di cermin adalah gadis berbeda. Tapi, mau berapa kali pun mengedipkan mata, tetap saja yang melihatnya adalah wajah yang sama. Sehingga dia pun memegangi cermin dengan gerakan pelan. Seolah-olah jemarinya mengagumi wajah yang terpantul di hadapan.
Namun, gerakan tangannya terhenti begitu dia mendengar suara ketukan dari arah depan.
Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, sehingga tanpa sadar, Hilda pun menarik napas dan menghembuskannya perlahan sembari merapalkan kata-kata untuk menenangkan diri.
“Aku bisa, semua akan baik-baik saja,” bisiknya, mengumpulkan ponsel dan clutch yang senada dengan g
Begitu turun dari mobil, Danny pun menuntun Hilda ketika melintasi karpet merah. Seketika rasa gugup membuat tangan gadis itu basah, dan ternyata Danny pun menyadarinya sehingga dia meremas pelan genggaman mereka.Saat Hilda menoleh, pria itu memberikan senyuman tipis.“Aku ada di sampingmu,” bisiknya tepat di telinga Hilda sembari menundukkan kepala. “Jangan khawatirkan kamera di sekitar.”Sadar bahwa hanya pria itu yang dapat menjaganya, dia pun membalas remasan tangan mereka dan melanjutkan langkah ke depan.“Apa kita akan berfoto bersama?” tanya Hilda gugup.“Tidak perlu, kita bisa langsung masuk ke dalam gedung,” jawab Danny meyakinkan.Namun, ketika keduanya melewati beberapa awak media yang masing-masing membawa kamera, semua flash terarah ke mereka yang seketika membuat mata gadis itu berkedip-kedip karena tidak terbiasa.Dengan sigap Danny menuntunnya. Dia mengeratkan genggaman
Setelah acara pemberian penghargaan berakhir, para tamu undangan pun menghadiri kegiatan berikutnya, yaitu after party. Mereka yang memegang kartu undangan VIP dan public figure lainnya berpindah dari tempat perhelatan penghargaan ke sebuah ruangan besar yang dipenuhi meja dengan lantai dansa di tengah-tengah.Begitu melewati pintu, terdengar alunan merdu dari musik yang bermain di sebuah panggung kecil.Tidak terlewatkan pula interior ruangan yang beraksen gold dengan paduan maroon yang mendominasi ruangan. Dan, hal itu membuat Hilda sedikit merona karena ruangan tersebut seolah-olah senada dengan gaun yang melekat di tubuhnya. Yang tentu saja pemberian dari Danny.‘Ah, hanya kebetulan,’ tepisnya dalam hati. Di tempat itu, semua orang merayakan kemenangan mereka dengan saling berkumpul, makan-makan, berdansa, serta kegiatan bersama-sama lainnya.Hilda yang merasa asing di tengah lautan publik figure tampak sangat kesepian,
“Pulang?” kata Hilda kesal, karena mereka belum melakukan apa-apa tapi pria itu dengan seenaknya menyuruh untuk pergi.Bahkan, dia belum sempat membuat perkenalan dengan kaum elit di sana.Dengan perasaan jengkel, Hilda pun membuang wajah dan pura-pura tidak dengar.Menyadari bahwa dirinya diabaikan dengan sengaja, kegusaran Danny semakin bertambah.Kini, tatapan tajamnya diarahkan pada salah satu selebriti yang saat ini berada di puncak karir.Kedua pria itu saling tatap cukup lama, sebelum akhirnya Danny menyentuh bahu Hilda. Menunjukkan bahwa gadis itu bersamanya. Dia tidak peduli bila dimaki oleh wanita itu, karena Danny melakukan hal barusan dengan sendirinya. Tentunya tanpa dia sadari.Seolah, tubuhnya bergerak tanpa bisa dia kontrol, dan dengan wajah datar dia pun berkata; “Masih ada yang harus kulakukan di luar sana, Miss Wallice.”Sekali pun Danny tidak mengalihkan pandangan dari pria di hadapan, hingg
“Turunkan aku!” geram Hilda sembari memukuli bahu Danny ketika mereka melintasi Hall, tepat di bawah pandangan semua orang.“Aku sudah memintamu dengan baik-baik, tetapi kau tidak mau mendengarkan. Dan ini adalah cara paling efektif,” jelas pria itu.Merasa malu luar biasa, Hilda pun menutupi wajah dan tidak mau melihat ke mana-mana. Apa lagi Dawn masih memusatkan perhatian pada kepergian mereka dengan tatapan mata yang tidak biasa.“Ok, Fine! Aku mendengarkanmu sekarang!” geramnya dengan menahan keinginan untuk memukul kepala pria itu.Lihat saja, dia akan membalas nanti.“Sudah terlambat, waktumu habis,” ucap Danny sembari memperbaiki posisi gadis itu di bahunya, yang terang saja membuat sekeliling Hilda berputar. “Aku memberimu kesempatan, namun kau sia-siakan. Bahkan, kau berani menolak ajakanku barusan.”Mendengar itu, Hilda menggeram keras, lalu memutar bola mata.&ldqu
Tidak sekali pun Hilda melepas delikan tajamnya pada Danny selama dalam perjalanan pulang. Dia merasa marah begitu melihat wajah Dawn babak belur di bawah pukulan pria yang tampak duduk rileks di sebelah. Bahkan, caranya yang menghapus sisa darah dari kepalan tangannya dengan handuk basah tampak sangat tidak berdosa.“Kau nyaris membunuhnya!” geram Hilda kesal.Gadis itu ingin keluar dari mobil ketika melihat Dawn tersungkur tadi, namun dia tidak bisa kerena terperangkap di dalam mobil yang ternyata Danny kunci dengan sengaja.Mendengar ocehannya, Danny pun membuang handuk berlumjuran darah ke tong sampah dan menoleh ke arah gadis itu dengan tatapan malas.“Lalu?” tanya pria itu dengan santainya, seolah mereka sedang membicarakan dua kucing jantan yang sedang memperebutkan seekor betina.“Lalu? Hanya itu? Apa kau tidak merasa bersalah? Bagaimana bila dia benar-benar mati? Kau bisa masuk penjara!”Mendengar
Sudah tiga hari berlalu setelah kejadian di Event waktu itu, dan sejak saat itu pula Hilda memilih untuk berdiam diri di rumah. Hal ini membuat Gamal tampak tidak menyukai keseharian yang dia jalani.Karena yang Hilda lakukan hanyalah berbaring di sofa dengan televisi menyala, lalu memesan take away yang membuat tumpukan sampah di atas meja.“Aku tahu kehidupan Sugar Baby sangat menyenangkan, tapi bukan berarti kau harus bermalas-malasan!” geram Gamal sebelum dia berburu ke jalanan pagi tadi, yang Hilda jawab hanya dengan kedikan bahu sembari menguap lebar.Membuat pria itu mendengus kesal dan meninggalkannya dengan bantingan pintu yang keras.Dan beberapa jam setelahnya, Hilda masih di tempat yang sama. Berbaring malas di atas sofa sembari menggonta-ganti channel televisi.Dia sedang menonton salah satu film di layar kaca, saat tiba-tiba teringat akan percakapannya dengan Gamal sekembalinya dari Fashinonista. Ketika itu, Gamal mengatak
Hilda menatap ke segala arah, pada mansion besar yang hendak dia tempati sampai … batas waktu yang tidak ditentukan. Kini, dia memandang tidak percaya pada makanan yang baru saja dihidang di atas meja.Setelah berdehem beberapa saat, gadis itu pun menoleh ke arah pria yang menyeretnya ke sebuah kota yang baru kali ini dia menginjakkan kaki.“Errr … berapa lama aku akan tinggal di sini?” tanyanya sembari menatap lapar pada steak di atas meja.Astaga, dia benar-benar ingin memasukkan semua makanan itu ke dalam mulutnya!Danny mengambil botol wine yang berada di dalam lemari penyimpanan, tepat di belakang mereka berdiri saat ini.“Sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” jawab Danny sekenanya yang langsung mendapat delikan.“Hey! Aku tidak mungkin selamanya tinggal bersamamu,” geram gadis itu sembari berajalan mendekati meja makan.Dia tidak peduli dengan aturan di rumah itu, karena yan
Sengaja Hilda bersembunyi di balik pintu kamar mandi begitu dia mendengar langkah kaki Danny yang menaiki tangga. Tangannya berkeringat tiba-tiba, membuatnya gugup dan ingin lari dari mansion pria itu.Setelah makan malam berakhir, Danny menyuruhnya ke kamar dan bersiap-siap, tetapi bukan Hilda namanya jika mengikuti perkataan pria itu begitu saja. Dan di sinilah dia berakhir; kamar mandi. Bersembunyi layaknya pengecut.“Ini bukan salahku, dia sendiri yang mentransfer uang tiga juta dollar tanpa persetujuan lebih dulu,” umpat Hilda sembari mengetuk-ketukkan kepalanya pada daun pintu.Dia menggigit bibir bawah sembari berdiri gelisah.“Apa aku keluar saja dari sini, lalu memukulnya pakai sepatu sampai dia tidak sadarkan diri?” gumamnya lagi sembari berjalan mondar-mandir di bawah shower yang mati.Sekuat tenaga Hilda mencari-cari ide agar mereka tidak jadi tidur bersama, tetapi sebanyak apa pun ide gilanya bekerja, tetap saja