“Turunkan aku!” geram Hilda sembari memukuli bahu Danny ketika mereka melintasi Hall, tepat di bawah pandangan semua orang.
“Aku sudah memintamu dengan baik-baik, tetapi kau tidak mau mendengarkan. Dan ini adalah cara paling efektif,” jelas pria itu.
Merasa malu luar biasa, Hilda pun menutupi wajah dan tidak mau melihat ke mana-mana. Apa lagi Dawn masih memusatkan perhatian pada kepergian mereka dengan tatapan mata yang tidak biasa.
“Ok, Fine! Aku mendengarkanmu sekarang!” geramnya dengan menahan keinginan untuk memukul kepala pria itu.
Lihat saja, dia akan membalas nanti.
“Sudah terlambat, waktumu habis,” ucap Danny sembari memperbaiki posisi gadis itu di bahunya, yang terang saja membuat sekeliling Hilda berputar. “Aku memberimu kesempatan, namun kau sia-siakan. Bahkan, kau berani menolak ajakanku barusan.”
Mendengar itu, Hilda menggeram keras, lalu memutar bola mata.
&ldqu
Tidak sekali pun Hilda melepas delikan tajamnya pada Danny selama dalam perjalanan pulang. Dia merasa marah begitu melihat wajah Dawn babak belur di bawah pukulan pria yang tampak duduk rileks di sebelah. Bahkan, caranya yang menghapus sisa darah dari kepalan tangannya dengan handuk basah tampak sangat tidak berdosa.“Kau nyaris membunuhnya!” geram Hilda kesal.Gadis itu ingin keluar dari mobil ketika melihat Dawn tersungkur tadi, namun dia tidak bisa kerena terperangkap di dalam mobil yang ternyata Danny kunci dengan sengaja.Mendengar ocehannya, Danny pun membuang handuk berlumjuran darah ke tong sampah dan menoleh ke arah gadis itu dengan tatapan malas.“Lalu?” tanya pria itu dengan santainya, seolah mereka sedang membicarakan dua kucing jantan yang sedang memperebutkan seekor betina.“Lalu? Hanya itu? Apa kau tidak merasa bersalah? Bagaimana bila dia benar-benar mati? Kau bisa masuk penjara!”Mendengar
Sudah tiga hari berlalu setelah kejadian di Event waktu itu, dan sejak saat itu pula Hilda memilih untuk berdiam diri di rumah. Hal ini membuat Gamal tampak tidak menyukai keseharian yang dia jalani.Karena yang Hilda lakukan hanyalah berbaring di sofa dengan televisi menyala, lalu memesan take away yang membuat tumpukan sampah di atas meja.“Aku tahu kehidupan Sugar Baby sangat menyenangkan, tapi bukan berarti kau harus bermalas-malasan!” geram Gamal sebelum dia berburu ke jalanan pagi tadi, yang Hilda jawab hanya dengan kedikan bahu sembari menguap lebar.Membuat pria itu mendengus kesal dan meninggalkannya dengan bantingan pintu yang keras.Dan beberapa jam setelahnya, Hilda masih di tempat yang sama. Berbaring malas di atas sofa sembari menggonta-ganti channel televisi.Dia sedang menonton salah satu film di layar kaca, saat tiba-tiba teringat akan percakapannya dengan Gamal sekembalinya dari Fashinonista. Ketika itu, Gamal mengatak
Hilda menatap ke segala arah, pada mansion besar yang hendak dia tempati sampai … batas waktu yang tidak ditentukan. Kini, dia memandang tidak percaya pada makanan yang baru saja dihidang di atas meja.Setelah berdehem beberapa saat, gadis itu pun menoleh ke arah pria yang menyeretnya ke sebuah kota yang baru kali ini dia menginjakkan kaki.“Errr … berapa lama aku akan tinggal di sini?” tanyanya sembari menatap lapar pada steak di atas meja.Astaga, dia benar-benar ingin memasukkan semua makanan itu ke dalam mulutnya!Danny mengambil botol wine yang berada di dalam lemari penyimpanan, tepat di belakang mereka berdiri saat ini.“Sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” jawab Danny sekenanya yang langsung mendapat delikan.“Hey! Aku tidak mungkin selamanya tinggal bersamamu,” geram gadis itu sembari berajalan mendekati meja makan.Dia tidak peduli dengan aturan di rumah itu, karena yan
Sengaja Hilda bersembunyi di balik pintu kamar mandi begitu dia mendengar langkah kaki Danny yang menaiki tangga. Tangannya berkeringat tiba-tiba, membuatnya gugup dan ingin lari dari mansion pria itu.Setelah makan malam berakhir, Danny menyuruhnya ke kamar dan bersiap-siap, tetapi bukan Hilda namanya jika mengikuti perkataan pria itu begitu saja. Dan di sinilah dia berakhir; kamar mandi. Bersembunyi layaknya pengecut.“Ini bukan salahku, dia sendiri yang mentransfer uang tiga juta dollar tanpa persetujuan lebih dulu,” umpat Hilda sembari mengetuk-ketukkan kepalanya pada daun pintu.Dia menggigit bibir bawah sembari berdiri gelisah.“Apa aku keluar saja dari sini, lalu memukulnya pakai sepatu sampai dia tidak sadarkan diri?” gumamnya lagi sembari berjalan mondar-mandir di bawah shower yang mati.Sekuat tenaga Hilda mencari-cari ide agar mereka tidak jadi tidur bersama, tetapi sebanyak apa pun ide gilanya bekerja, tetap saja
Danny terjaga pagi itu. Lama dia memandangi wajah terlelap Hilda yang kini tertidu pulas di sebelah. Dengan satu tangan menopang kepala, pria itu pun setengah rebah di atas kasur dan menatap Hilda lekat dengan pandangan yang teduh.Senyum di bibirnya mengulas samar ketika terdengar dengkuran halus dari gadis yang berada di bawah tubuhnya. Jari-jemari Danny mengelus pipi Hilda penuh kelembutan.Melihat anak rambut yang sedikit mengganggu wajah gadis itu, hati-hati dia menyibaknya ke balik telinga.Ketika tubuh Hilda menggeliat, sentuhan Danny membeku di udara.“Jangan makan cokelatku, Gamal,” gumam Hilda dalam tidur yang membuat senyum Danny semakin lebar.Dia tidak mengira, hanya dengan menonton gadis itu saja sudah cukup menghiburnya, sehingga Danny melanjutkan.Ujung jemarinya menyentuh sisi bibir ranum gadis itu, yang membuat kelopak mata Hilda bergetar, namun tidak ada tanda-tanda dia akan bangun.Saat terdengar suara
Hilda memilih untuk turun ke lantai bawah begitu dia selesai bersiap-siap. Gadis itu mengenakan pakaian casual berupa jeans serta kaus oblong berwarna putih yang dipadukan cardigan merah muda. Disebabkan cuaca Denver akhir-akhir ini sering diguyur hujan, sehingga mengakibatkan udara turun beberapa derajat, membawa hawa dingin yang tidak Hilda sukai.Sesampainya di dekat tangga terbawah, dia terkejut begitu melihat Danny yang sudah siap sejak tadi.Pria itu tampak bersahaja dengan baju kebesarannya yang berupa jas hitam slim fit berpadu dasi biru dengan garis-garis merah.“Oh, aku melihat ada sedikit perubahan pada stylemu,” ucap Hilda dengan nada sindiran yang membuat dahi pria itu berkerut dan alis bertaut.“Style ... ku?” tanya Danny dengan raut kebingungan.Kepala Hilda mengangguk cepat, jemarinya seketika menunjuk pada dasi yang melingkar di leher.“Ya, biasanya kau hanya memakai hitam putih kemudian hitam d
Kedua tangan kekarnya memerangkap kepala Hilda pada masing-masing sisi. Hal itu Danny lakukan untuk melindungi gadis itu dengan menggunakan tubuh besarnya dari tatapan sekitar.Dia pun merebahkan dahi pada sudut leher gadis itu, lalu setelahnya Danny berkata; “Jangan hiraukan tatapan mereka, kau bebas memakai baju apa saja untuk makan di sini.”Terdengar napas Hilda yang tercekat, tampak terkejut dengan sikap Danny yang tiba-tiba.“Meski hanya dibalut sehelai selimut, kau masih jauh lebih elegan dibanding wanita-wanita di sana,” puji pria itu melebih-lebihkan yang seketika membuat sekujur tubuh Hilda memerah.Mendapati rona merah menjalar di sepanjang leher, Danny pun tersenyum samar. Dia bahkan tanpa tahu malu terus menggoda gadis itu.“Apa perlu aku minta mereka semua keluar dari sini agar kita bisa menikmati makan siang berdua?”Mendengar pertanyaan tersebut, Hilda pun menggeleng cepat.“Ja
Setelah kejadian di La Fontana, Danny tidak pernah lagi membawa Hilda keluar dari mansionnya, membuat gadis itu nyaris gila dikurung terlalu lama di sana.“Apa kau ingin menghukumku atau sengaja menjadikanku tawanan?” tanya Hilda dengan nada marah begitu dia mendobrak pintu ruang kerja Danny secara tiba-tiba, yang kebetulan saja pria itu sedang melakukan conference call dengan beberapa kolega di layar plasma yang terpasang di depan meja kerja.Melihat dirinya masuk dalam jangkauan video call, seketika saja Hilda terkesiap dan mundur ke arah titik buta.Perlahan rona merah menjalar di pipi, dan tanpa sengaja dia menggigit bibir bawah. Pertanda gugup dan merasa bersalah.Danny yang fokusnya beralih pada Hilda, seakan tidak bisa melepaskan pandangan.“Aku akan menghubungimu lagi, Drew, Jade,” kata Danny pada dua pria yang merupakan rekan bisnisnya.“Baiklah, aku akan menunggu setengah jam,” ucap Jade sebelum
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap