Kepala Danny terasa berat saat melihat pesan yang Xavier kirimkan.
Dengan tangan memijit pelipis, dia menggeram pelan, membuat beberapa kepala menoleh ke arahnya.
“Apa lagi kali ini?” tanya Rey yang duduk di sofa sebelah kiri.
Setelah menarik napas panjang, Danny pun mengangkat kepala dan menggeleng lemah.
“Tidak ada,” jawabnya sembari melihat layar ponsel yang lagi-lagi membuatnya ingin membenturkan kepala ke meja.
Merasa penasaran, Nicko yang sejak tadi duduk di sofa sebelah kanan akhirnya mencondongkan tubuh dan melihat apa yang sebenarnya Danny baca. Dan tidak lama setelahnya, dia pun terkekeh pelan yang mengakibatkan teman-temannya menatap penasaran.
Kini, ada tiga pasang mata yang menatap Nicko dan Danny bergantian.
Setelah puas menghabiskan kuota tertawa, Nicko pun menjawab wajah-wajah bertanya yang duduk di hadapannya.
“Dia mendapat sebuah daftar jawaban yang seluruh isinya adalah ‘Ti
Selama seharian Hilda berkeliling di sekitar Rodeo Drive, namun lagi-lagi dia tidak menemukan apa yang dicari, sehingga gadis itu memilih untuk secepatnya kembali ke apartemen tanpa mengambil gambar satu pun selebriti yang berbelanja di sana. Kali ini, dia hanya membidik kamera untuk menangkap pesona jalanan di Baverly Hills yang dipenuhi pejalan kaki.Rasanya, sudah lama sekali dia tidak menggunakan kamera untuk menciptakan sebuah seni. Dan bila diingat-ingat lagi, Hilda memilih untuk menjadi paparazzi dikarenakan itu adalah cara tercepat untuk menjual setiap hasil jepretan kamera yang dia punya.Dan kini, keinginan untuk menikmati pekerjaan sebagai photographer hanya sejengkal tangan. Bila saja Danny Johanson mengabulkan keinginannya, maka tidak lama lagi dia akan lepas dari Gamal.Semakin hari, teman serumahnya itu jadi semakin menuntut, sehingga mereka butuh jarak untuk kembali ke tujuan semula; bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Dan sepertinya, ini adal
“Aku mengirimi pesan, seharusnya kau membalas chatku bukan langsung menghubungi,” sungut Hilda begitu dia menekan tombol hijau di layar. “Dan aku tidak suka berbicara denganmu saat ini! Seharusnya kau dapat membaca situasinya dari nada pesan yang kukirim,” tambahnya lagi sembari diselipi kekesalan, dan ketika dia mendengar pria itu hendak mengatakan sesuatu, Hilda pun menyela. “Hari ini aku memaafkan, tapi tidak ada lain kali.”Terdengar suara berdehem dari seberang diikuti hembusan napas yang berat. Tidak lama kemudian, Danny Johanson yang dilabeli sebagai Tuan Mesum menjawab; “Halo juga Sunshine. Malam yang indah untuk mendapat nasihat menusuk kalbu.”Seketika Hilda menjauhi ponsel dari telinga, dan dia mendelik tajam pada benda itu, seolah saat ini dia berhadapan langsung dengan pria tersebut.“Jangan bersikap sarkas,” geramnya gusar yang dijawab Danny dengen batuk kecil.“Hmm … t
Hilda memutar-mutar dirinya di cermin, dan dia merasa sangat berbeda dengan pakaian yang melekat di tubuh, seakan cermin di hadapannya menampilkan wanita asing yang tidak dia kenali.“Ini bukan aku,” gumamnya sembari menggelengkan kepala.Dia tidak mengira dapat berpenampilan seperti ini, rasanya yang menatap balik di cermin adalah gadis berbeda. Tapi, mau berapa kali pun mengedipkan mata, tetap saja yang melihatnya adalah wajah yang sama. Sehingga dia pun memegangi cermin dengan gerakan pelan. Seolah-olah jemarinya mengagumi wajah yang terpantul di hadapan.Namun, gerakan tangannya terhenti begitu dia mendengar suara ketukan dari arah depan.Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, sehingga tanpa sadar, Hilda pun menarik napas dan menghembuskannya perlahan sembari merapalkan kata-kata untuk menenangkan diri.“Aku bisa, semua akan baik-baik saja,” bisiknya, mengumpulkan ponsel dan clutch yang senada dengan g
Begitu turun dari mobil, Danny pun menuntun Hilda ketika melintasi karpet merah. Seketika rasa gugup membuat tangan gadis itu basah, dan ternyata Danny pun menyadarinya sehingga dia meremas pelan genggaman mereka.Saat Hilda menoleh, pria itu memberikan senyuman tipis.“Aku ada di sampingmu,” bisiknya tepat di telinga Hilda sembari menundukkan kepala. “Jangan khawatirkan kamera di sekitar.”Sadar bahwa hanya pria itu yang dapat menjaganya, dia pun membalas remasan tangan mereka dan melanjutkan langkah ke depan.“Apa kita akan berfoto bersama?” tanya Hilda gugup.“Tidak perlu, kita bisa langsung masuk ke dalam gedung,” jawab Danny meyakinkan.Namun, ketika keduanya melewati beberapa awak media yang masing-masing membawa kamera, semua flash terarah ke mereka yang seketika membuat mata gadis itu berkedip-kedip karena tidak terbiasa.Dengan sigap Danny menuntunnya. Dia mengeratkan genggaman
Setelah acara pemberian penghargaan berakhir, para tamu undangan pun menghadiri kegiatan berikutnya, yaitu after party. Mereka yang memegang kartu undangan VIP dan public figure lainnya berpindah dari tempat perhelatan penghargaan ke sebuah ruangan besar yang dipenuhi meja dengan lantai dansa di tengah-tengah.Begitu melewati pintu, terdengar alunan merdu dari musik yang bermain di sebuah panggung kecil.Tidak terlewatkan pula interior ruangan yang beraksen gold dengan paduan maroon yang mendominasi ruangan. Dan, hal itu membuat Hilda sedikit merona karena ruangan tersebut seolah-olah senada dengan gaun yang melekat di tubuhnya. Yang tentu saja pemberian dari Danny.‘Ah, hanya kebetulan,’ tepisnya dalam hati. Di tempat itu, semua orang merayakan kemenangan mereka dengan saling berkumpul, makan-makan, berdansa, serta kegiatan bersama-sama lainnya.Hilda yang merasa asing di tengah lautan publik figure tampak sangat kesepian,
“Pulang?” kata Hilda kesal, karena mereka belum melakukan apa-apa tapi pria itu dengan seenaknya menyuruh untuk pergi.Bahkan, dia belum sempat membuat perkenalan dengan kaum elit di sana.Dengan perasaan jengkel, Hilda pun membuang wajah dan pura-pura tidak dengar.Menyadari bahwa dirinya diabaikan dengan sengaja, kegusaran Danny semakin bertambah.Kini, tatapan tajamnya diarahkan pada salah satu selebriti yang saat ini berada di puncak karir.Kedua pria itu saling tatap cukup lama, sebelum akhirnya Danny menyentuh bahu Hilda. Menunjukkan bahwa gadis itu bersamanya. Dia tidak peduli bila dimaki oleh wanita itu, karena Danny melakukan hal barusan dengan sendirinya. Tentunya tanpa dia sadari.Seolah, tubuhnya bergerak tanpa bisa dia kontrol, dan dengan wajah datar dia pun berkata; “Masih ada yang harus kulakukan di luar sana, Miss Wallice.”Sekali pun Danny tidak mengalihkan pandangan dari pria di hadapan, hingg
“Turunkan aku!” geram Hilda sembari memukuli bahu Danny ketika mereka melintasi Hall, tepat di bawah pandangan semua orang.“Aku sudah memintamu dengan baik-baik, tetapi kau tidak mau mendengarkan. Dan ini adalah cara paling efektif,” jelas pria itu.Merasa malu luar biasa, Hilda pun menutupi wajah dan tidak mau melihat ke mana-mana. Apa lagi Dawn masih memusatkan perhatian pada kepergian mereka dengan tatapan mata yang tidak biasa.“Ok, Fine! Aku mendengarkanmu sekarang!” geramnya dengan menahan keinginan untuk memukul kepala pria itu.Lihat saja, dia akan membalas nanti.“Sudah terlambat, waktumu habis,” ucap Danny sembari memperbaiki posisi gadis itu di bahunya, yang terang saja membuat sekeliling Hilda berputar. “Aku memberimu kesempatan, namun kau sia-siakan. Bahkan, kau berani menolak ajakanku barusan.”Mendengar itu, Hilda menggeram keras, lalu memutar bola mata.&ldqu
Tidak sekali pun Hilda melepas delikan tajamnya pada Danny selama dalam perjalanan pulang. Dia merasa marah begitu melihat wajah Dawn babak belur di bawah pukulan pria yang tampak duduk rileks di sebelah. Bahkan, caranya yang menghapus sisa darah dari kepalan tangannya dengan handuk basah tampak sangat tidak berdosa.“Kau nyaris membunuhnya!” geram Hilda kesal.Gadis itu ingin keluar dari mobil ketika melihat Dawn tersungkur tadi, namun dia tidak bisa kerena terperangkap di dalam mobil yang ternyata Danny kunci dengan sengaja.Mendengar ocehannya, Danny pun membuang handuk berlumjuran darah ke tong sampah dan menoleh ke arah gadis itu dengan tatapan malas.“Lalu?” tanya pria itu dengan santainya, seolah mereka sedang membicarakan dua kucing jantan yang sedang memperebutkan seekor betina.“Lalu? Hanya itu? Apa kau tidak merasa bersalah? Bagaimana bila dia benar-benar mati? Kau bisa masuk penjara!”Mendengar
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap