Koridor rumah sakit tampak penuh oleh beberapa pria-pria yang menunggu, dan juga para wanita berparas anggun yang saling berkumpul di bangku tunggu.
Wajah-wajah mereka terlihat cemas menantikan sesuatu.
Sudah lebih dari lima jam mereka berada di luar sembari merapalkan doa untuk seseorang yang bersalin di dalam sana.
Bahkan, Tya dan Disya yang biasanya berjauhan tampak saling berpegangan tangan. Keduanya melirik ke arah pintu sebuah kamar persalinan dengan was-was, dan merunduk kemudian ketika tidak ada tanda-tanda seseorang akan keluar memberikan kabar yang ditunggu.
Namun, kepala mereka terangkat bersamaan ketika Sean keluar dari ruangan, membuat beberapa mata memandangnya antisipasi.
Kelegaan memenuhi koridor begitu semua orang mendapati mata Sean yang berbinar penuh keharuan.
Sebuah senyum lebar menghiasi wajah, dan dengan kedua tangan terkepal ke udara, dia berkata lantang; “Aku adalah seorang Ayah sekarang!”
Terdenga
Jalanan di sekitar Bar Grand Avenue dipadati oleh para pejalan kaki yang ingin melihat perayaan tahun baru di lapangan terbuka, dimana letaknya tidak jauh dari Times Square. Tidak hanya itu, lampu-lampu berkerlip indah di sepanjang pusat hiburan tersebut. Belum lagi mobil-mobil yang ikut menyesaki di sepanjang jalan dan tidak sedikit yang parkir sembarangan.Sementara itu, Via yang sedang menunggu Disya di luar toilet Grand Avenue menjadi gelisah, karena sejak tadi temannya tidak juga keluar dari sana. Lebih dari dua puluh menit Via menunggu, tetapi sepertinya Disya masih belum selesai.“Apa kau masih lama?” tanya Via sembari mengetuk salah satu stall yang Disya pakai.“Pergilah duluan, perutku masih sakit!” jawab Disya pada akhirnya, membuat Via menghela napas dan berjalan keluar dengan bahu lesu.“Aku akan menunggu di luar gedung!” sahut Via yang hanya dijawab dengan gerutuan. Tampaknya, Disya benar-benar sedang kesak
Kepala Sean terasa nyeri saat dia bangkit dari ranjang perawatan, begitu pula sisi perut sebelah kiri yang terasa sakit dan berdenyut.Suara deheman dari sisi kanan tempat tidur membuat kepala Sean menoleh sedikit. Dia menatap seorang pria tengah duduk di sofa dengan majalah di pangkuan.“Sebaiknya kau berbaring saja sebelum dokter masuk dan melihatmu dalam posisi seperti itu,” nasihat pria tersebut sebelum mengalihkan fokusnya kembali pada bacaan yang sempat terinterupsi.Sean mendengus pelan dan berusaha turun dari ranjang sembari menahan nyeri dengan sesekali meringis.Terdengar helaan napas dari arah pria yang duduk di sofa, membuat wajah Sean semakin tertekuk kesal.“Sudah kukatakan untuk kembali berbaring, tetapi sikap keras kepalamu membuang-buang waktuku saja,” ucap pria itu lagi sembari mendecihkan lidah dan menggelengkan kepala.“Kau bisa pulang setelah urusanmu dengan polisi selesai,” kata Sean
Dua bulan telah berlalu sejak kejadian itu, bahkan Via sudah lupa rasa trauma ketika orang asing mengacungkan senjata api padanya. Bila diingat lagi, Via merasa beruntung karena bantuan cepat tiba, namun sampai saat ini, Via tidak pernah sekali pun tahu atau melihat wajah pria yang dirampok waktu dulu.Untung saja ada Disya yang selalu datang membantu ketika Via baru pulang dari rumah sakit waktu itu. Bayangkan saja bagaimana susahnya beraktivitas saat sendi di bahu bergeser hingga tangan kirinya pun tidak bisa digunakan untuk beberapa minggu.“Kapan jam shift-mu berakhir?” tanya Disya yang bekerja di balik konter.Ini adalah bulan terakhir mereka di universitas, dan bila tidak ada halangan, maka beberapa minggu lagi keduanya akan mendapat gelar sarjana dan bisa melamar kerja segera, tetapi sebelum waktu itu tiba, Via dan Disya masih tetap bekerja part time di coffee shop kampus yang sudah mempekerjakan keduanya sejak menjadi mahasiswa baru.&
Via berdiri di depan gedung Hotel Luna Star dan menatap bangunan itu penuh harap, bahwa wawancaranya kali ini dapat berlangsung lancar. Sebelum masuk ke dalam, dia memperbaiki riasan dan baju formal yang melekat di tubuh berkali-kali dengan gerakan gugup.Setelah menarik napas panjang dan berdoa dalam hati, Via pun berjalan dengan penuh percaya diri melewati pintu lalu berhenti di bagian informasi.“Permisi, aku ada janji wawancara untuk posisi Quality Control di Luna Star sekitar lima belas menit lagi,” ucap Via dengan senyum di wajah.Wanita yang berada di balik meja menatap Via sebentar sebelum memeriksa computer di hadapan.“Tunggu sebentar, aku ingin mengkonfirmasi dahulu,” jawab wanita itu seraya menelepon seseorang.Selagi menunggu, Via mengedarkan pandangan ke segala arah, tanpa sadar dia memilin jemarinya hingga merah.Hotel Luna Star benar-benar megah. Tempat itu lebih seperti kastil dibandingkan penginapan.
Hujan turun sangat lebat, hingga Via pun pulang ke apartemen dalam keadaan basah kuyup.Dia berlari-lari kecil begitu melewati genangan air di jalan sampai ke depan teras bangunan apartemen yang gadis itu sewa. Tampak beberapa penghuni apartemen keluar masuk dengan memegangi payung.Sayang sekali, tadi Via lupa membawa benda tersebut, karena ramalan cuaca akhir-akhir ini suka berubah secara tiba-tiba.“Halo,” sapa salah satu penghuni kamar nomor lima yang menuruni tangga.“Hay,” jawab Via menyapa balik.Kedua wanita itu berpapasan ke arah yang berbeda.Setelah menaiki tangga menuju lantai lima, Via pun merasa kehabisan tenaga sebelum sampai ke depan pintu kamar.“Kau sudah kembali? Bagaimana wawancaranya?” tanya seorang wanita muda yang menyembulkan kepala secara tiba-tiba, bersal dari sebelah kamar yang Via sewa.Dengan wajah basah dan tubuh sedikit gemetar, bibir Via yang mulai membiru pun
Hari Senin tiba lebih cepat, membuat Via berdebar-debar untuk masuk kerja pada hari pertama di Hotel Luna Star. Dia bahkan harus beberapa kali memeriksa penampilan agar tidak ada baju terlipat, dan cukup lama mematut diri di kaca walau polesan lipstick serta bedak sudah terlihat sempurna. Rasanya masih saja ada yang kurang, hingga akhirnya Via menyadari waktu berlalu begitu cepat, membuatnya nyaris terlambat. “Astaga, bagaimana kalau kau sampai di sana lewat dari jam pertemuan? Bisa-bisanya kau lebih mementingkan penampilan,” sungut Via sembari menarik tas dan satu set kunci sebelum keluar dari kamar. Dia terpaksa memakai kereta bawah tanah, karena tidak memiliki mobil pribadi ataupun uang untuk membayar taksi. Setelah sampai di depan Hotel Luna Star, Via merasa penampilannya kusut kembali, karena berdesakan dengan penumpang kereta. Sebelum benar-benar masuk ke dalam bangunan, Via memeriksa riasan lebih dulu, serta memperbaiki baju kemeja puti
Via mempelajari satu per satu dokumen yang diberikan oleh atasan barunya, Hadley Fulton, seorang Manajemen Representatif Hotel Luna Star.“Luna Star memiliki Delapan Divis, aku ingin kau mengetahui setiap divisi dan sub divisi yang ada, namun untuk sementara kau cukup mempelajari data-data pada Divisi Quality Control dan Documen Controller. Semua yang kau butuhkan ada di Bantex,” jelas pria itu sembari menyodorkan sebuah penyimpanan file berwarna biru dengan ukuran besar. “Setelah ini aku akan memberimu training mengenai quality manajemen system di Luna Star.”Kepala Via menjadi berat ketika mendapati tumpukan dokumen yang menggunung di atas meja.“Apa … aku harus mempelajari ini … semua?” tanya Via yang tidak bisa melepas pandangan dari file-file di hadapan.Hadley mengangguk dan menambahkan satu bundle dokumen lagi di atas tumpukan kertas yang membukit.“Jika ada yang tidak dimengerti, tanya
Selama rapat berlangsung, fokus Sean terpecah. Dia bahkan tidak lagi mendengarkan penjelasan manajer operasional, Daren Osbert, tentang laporan bulanan Luna Star yang mendapat peningkatan pengunjung sebanyak delapan puluh persen.Rasanya Sean ingin membenturkan kepala pada permukaan meja ketika dia mengingat kembali percakapan saat bersama Via tadi.Bisa-bisanya dia menjebak wanita itu agar menyetujui rencana absurd yang dia buat. Mungkin, bila Brodi tahu apa yang Sean lakukan saat membujuk Via, pria itu pasti akan mengejeknya dan mengatakan Sean adalah pria paling tidak sabar.“Sean …?”Mendengar namanya dipanggil, Sean pun tersadar dan mengembalikan fokus ke ruangan rapat.Dia berdehem dan menjawab; “Ya?”Sahabatnya itu pun menatap Sean lama, membuat dia menjadi sedikit salah tingkah.“Bagaimana menurutmu?” tanya Daren tiba-tiba yang membuat dahi Sean berkerut semakin dalam.Dia meng