Hellena mengajak Via dan Sean untuk menghadiri salah satu acara event penggalangan dana perbaikan sekolah yang terkena badai di kota kecil Blueberry.
Sebagai salah satu keluarga berpengaruh di sana, Hellena yang menjabat sebagai ketua komite sekolah ikut membantu jalannya acara yang diadakan di Hall Kota.
“Apa kau yakin bisa menghadiri acara ini?” tanya Sean cemas setelah Via mengepas dress merah muda yang dia kenakan.
Melihat raut kecemasan di wajah sang suami, Via pun menyentuh lengannya pelan.
“Aku tidak sakit, tetapi hamil, Sean,” ucap Via dengan senyum bermain di wajah.
“Aku tahu, tapi bukan itu maksudku,” kata Sean sembari terus menatap perut Via yang tampak berat hingga dia khawatir kemungkinan istrinya itu bisa tertelungkup ke tanah menahan beban dari perut besarnya.
“Apa kau mau kubawakan kursi roda?” tanya Sean dengan kekhawatiran yang jelas di wajah.
Mendengar itu, Via mencubi
Koridor rumah sakit tampak penuh oleh beberapa pria-pria yang menunggu, dan juga para wanita berparas anggun yang saling berkumpul di bangku tunggu.Wajah-wajah mereka terlihat cemas menantikan sesuatu.Sudah lebih dari lima jam mereka berada di luar sembari merapalkan doa untuk seseorang yang bersalin di dalam sana.Bahkan, Tya dan Disya yang biasanya berjauhan tampak saling berpegangan tangan. Keduanya melirik ke arah pintu sebuah kamar persalinan dengan was-was, dan merunduk kemudian ketika tidak ada tanda-tanda seseorang akan keluar memberikan kabar yang ditunggu.Namun, kepala mereka terangkat bersamaan ketika Sean keluar dari ruangan, membuat beberapa mata memandangnya antisipasi.Kelegaan memenuhi koridor begitu semua orang mendapati mata Sean yang berbinar penuh keharuan.Sebuah senyum lebar menghiasi wajah, dan dengan kedua tangan terkepal ke udara, dia berkata lantang; “Aku adalah seorang Ayah sekarang!”Terdenga
Jalanan di sekitar Bar Grand Avenue dipadati oleh para pejalan kaki yang ingin melihat perayaan tahun baru di lapangan terbuka, dimana letaknya tidak jauh dari Times Square. Tidak hanya itu, lampu-lampu berkerlip indah di sepanjang pusat hiburan tersebut. Belum lagi mobil-mobil yang ikut menyesaki di sepanjang jalan dan tidak sedikit yang parkir sembarangan.Sementara itu, Via yang sedang menunggu Disya di luar toilet Grand Avenue menjadi gelisah, karena sejak tadi temannya tidak juga keluar dari sana. Lebih dari dua puluh menit Via menunggu, tetapi sepertinya Disya masih belum selesai.“Apa kau masih lama?” tanya Via sembari mengetuk salah satu stall yang Disya pakai.“Pergilah duluan, perutku masih sakit!” jawab Disya pada akhirnya, membuat Via menghela napas dan berjalan keluar dengan bahu lesu.“Aku akan menunggu di luar gedung!” sahut Via yang hanya dijawab dengan gerutuan. Tampaknya, Disya benar-benar sedang kesak
Kepala Sean terasa nyeri saat dia bangkit dari ranjang perawatan, begitu pula sisi perut sebelah kiri yang terasa sakit dan berdenyut.Suara deheman dari sisi kanan tempat tidur membuat kepala Sean menoleh sedikit. Dia menatap seorang pria tengah duduk di sofa dengan majalah di pangkuan.“Sebaiknya kau berbaring saja sebelum dokter masuk dan melihatmu dalam posisi seperti itu,” nasihat pria tersebut sebelum mengalihkan fokusnya kembali pada bacaan yang sempat terinterupsi.Sean mendengus pelan dan berusaha turun dari ranjang sembari menahan nyeri dengan sesekali meringis.Terdengar helaan napas dari arah pria yang duduk di sofa, membuat wajah Sean semakin tertekuk kesal.“Sudah kukatakan untuk kembali berbaring, tetapi sikap keras kepalamu membuang-buang waktuku saja,” ucap pria itu lagi sembari mendecihkan lidah dan menggelengkan kepala.“Kau bisa pulang setelah urusanmu dengan polisi selesai,” kata Sean
Dua bulan telah berlalu sejak kejadian itu, bahkan Via sudah lupa rasa trauma ketika orang asing mengacungkan senjata api padanya. Bila diingat lagi, Via merasa beruntung karena bantuan cepat tiba, namun sampai saat ini, Via tidak pernah sekali pun tahu atau melihat wajah pria yang dirampok waktu dulu.Untung saja ada Disya yang selalu datang membantu ketika Via baru pulang dari rumah sakit waktu itu. Bayangkan saja bagaimana susahnya beraktivitas saat sendi di bahu bergeser hingga tangan kirinya pun tidak bisa digunakan untuk beberapa minggu.“Kapan jam shift-mu berakhir?” tanya Disya yang bekerja di balik konter.Ini adalah bulan terakhir mereka di universitas, dan bila tidak ada halangan, maka beberapa minggu lagi keduanya akan mendapat gelar sarjana dan bisa melamar kerja segera, tetapi sebelum waktu itu tiba, Via dan Disya masih tetap bekerja part time di coffee shop kampus yang sudah mempekerjakan keduanya sejak menjadi mahasiswa baru.&
Via berdiri di depan gedung Hotel Luna Star dan menatap bangunan itu penuh harap, bahwa wawancaranya kali ini dapat berlangsung lancar. Sebelum masuk ke dalam, dia memperbaiki riasan dan baju formal yang melekat di tubuh berkali-kali dengan gerakan gugup.Setelah menarik napas panjang dan berdoa dalam hati, Via pun berjalan dengan penuh percaya diri melewati pintu lalu berhenti di bagian informasi.“Permisi, aku ada janji wawancara untuk posisi Quality Control di Luna Star sekitar lima belas menit lagi,” ucap Via dengan senyum di wajah.Wanita yang berada di balik meja menatap Via sebentar sebelum memeriksa computer di hadapan.“Tunggu sebentar, aku ingin mengkonfirmasi dahulu,” jawab wanita itu seraya menelepon seseorang.Selagi menunggu, Via mengedarkan pandangan ke segala arah, tanpa sadar dia memilin jemarinya hingga merah.Hotel Luna Star benar-benar megah. Tempat itu lebih seperti kastil dibandingkan penginapan.
Hujan turun sangat lebat, hingga Via pun pulang ke apartemen dalam keadaan basah kuyup.Dia berlari-lari kecil begitu melewati genangan air di jalan sampai ke depan teras bangunan apartemen yang gadis itu sewa. Tampak beberapa penghuni apartemen keluar masuk dengan memegangi payung.Sayang sekali, tadi Via lupa membawa benda tersebut, karena ramalan cuaca akhir-akhir ini suka berubah secara tiba-tiba.“Halo,” sapa salah satu penghuni kamar nomor lima yang menuruni tangga.“Hay,” jawab Via menyapa balik.Kedua wanita itu berpapasan ke arah yang berbeda.Setelah menaiki tangga menuju lantai lima, Via pun merasa kehabisan tenaga sebelum sampai ke depan pintu kamar.“Kau sudah kembali? Bagaimana wawancaranya?” tanya seorang wanita muda yang menyembulkan kepala secara tiba-tiba, bersal dari sebelah kamar yang Via sewa.Dengan wajah basah dan tubuh sedikit gemetar, bibir Via yang mulai membiru pun
Hari Senin tiba lebih cepat, membuat Via berdebar-debar untuk masuk kerja pada hari pertama di Hotel Luna Star. Dia bahkan harus beberapa kali memeriksa penampilan agar tidak ada baju terlipat, dan cukup lama mematut diri di kaca walau polesan lipstick serta bedak sudah terlihat sempurna. Rasanya masih saja ada yang kurang, hingga akhirnya Via menyadari waktu berlalu begitu cepat, membuatnya nyaris terlambat. “Astaga, bagaimana kalau kau sampai di sana lewat dari jam pertemuan? Bisa-bisanya kau lebih mementingkan penampilan,” sungut Via sembari menarik tas dan satu set kunci sebelum keluar dari kamar. Dia terpaksa memakai kereta bawah tanah, karena tidak memiliki mobil pribadi ataupun uang untuk membayar taksi. Setelah sampai di depan Hotel Luna Star, Via merasa penampilannya kusut kembali, karena berdesakan dengan penumpang kereta. Sebelum benar-benar masuk ke dalam bangunan, Via memeriksa riasan lebih dulu, serta memperbaiki baju kemeja puti
Via mempelajari satu per satu dokumen yang diberikan oleh atasan barunya, Hadley Fulton, seorang Manajemen Representatif Hotel Luna Star.“Luna Star memiliki Delapan Divis, aku ingin kau mengetahui setiap divisi dan sub divisi yang ada, namun untuk sementara kau cukup mempelajari data-data pada Divisi Quality Control dan Documen Controller. Semua yang kau butuhkan ada di Bantex,” jelas pria itu sembari menyodorkan sebuah penyimpanan file berwarna biru dengan ukuran besar. “Setelah ini aku akan memberimu training mengenai quality manajemen system di Luna Star.”Kepala Via menjadi berat ketika mendapati tumpukan dokumen yang menggunung di atas meja.“Apa … aku harus mempelajari ini … semua?” tanya Via yang tidak bisa melepas pandangan dari file-file di hadapan.Hadley mengangguk dan menambahkan satu bundle dokumen lagi di atas tumpukan kertas yang membukit.“Jika ada yang tidak dimengerti, tanya
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap