Selama rapat berlangsung, fokus Sean terpecah. Dia bahkan tidak lagi mendengarkan penjelasan manajer operasional, Daren Osbert, tentang laporan bulanan Luna Star yang mendapat peningkatan pengunjung sebanyak delapan puluh persen.
Rasanya Sean ingin membenturkan kepala pada permukaan meja ketika dia mengingat kembali percakapan saat bersama Via tadi.
Bisa-bisanya dia menjebak wanita itu agar menyetujui rencana absurd yang dia buat. Mungkin, bila Brodi tahu apa yang Sean lakukan saat membujuk Via, pria itu pasti akan mengejeknya dan mengatakan Sean adalah pria paling tidak sabar.
“Sean …?”
Mendengar namanya dipanggil, Sean pun tersadar dan mengembalikan fokus ke ruangan rapat.
Dia berdehem dan menjawab; “Ya?”
Sahabatnya itu pun menatap Sean lama, membuat dia menjadi sedikit salah tingkah.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Daren tiba-tiba yang membuat dahi Sean berkerut semakin dalam.
Dia meng
Sekembalinya dari Luna Star, Via pun berjalan memasuki gedung apartemen dengan lelah. Lagi-lagi hujan turun lebat di luar, membuat baju kemejanya basah hingga meninggalkan jejak rintik air di sepanjang koridor yang Via lewati ketika menuju kamar apartemen.“Ya ampun, lihat dirimu. Apa di luar hujan lagi?” tanya wanita yang berada di sebelah kamar Via.Dengan kedinginan Via menjawab.“Yups, kurasa hujan akan terus turun sampai minggu depan,” kata Via sebelum masuk ke dalam.Wanita itu pun tersenyum dan menutup pintu apartemen ketika Via berhasil membuka kunci.Sebenarnya dia tidak begitu dekat dengan satu pun penghuni apartemen, tetapi wanita yang berada di sebelah kamar pasti menyapa setiap kali Via pulang dari mana saja.“Penghangat ruangan masih mati, kuharap kau tidak kedinginan malam ini!” kata wanita yang tadi mengajak Via bicara dari dalam kamarnya sendiri.Dinding bangunan itu sangat tipis, m
Tangan Sean mengepal keras ketika dia memperhatikan dinding yang catnya telah mengelupas. Dia tidak habis pikir bahwa Via tinggal di tempat seperti ini. Andai Sean tahu sedari awal, mungkin saja dia akan memiliki rencana berbeda sebelum menawarkan wanita itu kerja.Pantas saja dia merasa aneh ketika melewati jalanan yang berada di pinggir kota New York. Setahunya itu adalah wilayah paling tertinggal di kota, tempat orang-orang terburuk menghabiskan hidup menjadi sampah masyarakat.Apa yang wanita itu pikirkan saat memilih untuk tinggal di sana? Bagaimana bila ada seseorang berniat untuk berbuat jahat ketika Via pulang kerja? Bahkan bayangan seorang lelaki menjamah Via membuat Sean naik darah.Melihat pintu rapuh di hadapannya, Sean pun mengetuk benda itu dengan tiga buku jari kiri untuk memastikan kekuatan kayu yang menyangga. Namun tatapannya berubah tajam saat mendapati serbuk rayap yang bertebaran dari kusen dan sisi bawah.Dia menjadi marah begi
Sean membantu Via sampai ke mobil dan membantu membukakan pintu untuknya, membuat Via merasa canggung karena mendapat perhatian begitu besar dari bosnya sendiri. Bahkan, dalam perjalanan menuju ke apartemen Sean, keduanya lebih banyak diam sembari mendengarkan radio yang memutar lagu berjudul From The Ground Up, yang tanpa Via sadari ungkapan tersirat dari pria di sebelah.Sengaja Sean melambatkan laju kendaraan, agar mereka memiliki lebih banyak waktu berdua dan tidak perlu mencari-cari alasan untuk berdekatan.Dari ekor mata, Sean memperhatikan Via yang sedang menyelipkan anak rambut ke telinga dengan jari-jemarinya yang lentik. Tidak luput pula dari perhatian Sean ketika Via tanpa sadar menggigit bibir bawah dikarenakan kegugupan. Nyaris saja dia menggeram saat tanpa sengaja Via menyibak rambut ke balik bahu dan memamerkan leher yang jenjang.Entah mengapa Sean merasa AC di mobil tidak berfungsi, sehingga dia membuka sedikit kaca jendela untuk mendapatkan uda
Gedung apartemen Sean terletak di tengah-tengah kota, tidak jauh dari Hotel Luna Star.Via yang baru saja keluar dari mobil memperhatikan gedung pencakar langit di depan dengan tatapan gugup. Dia melirik ke arah Sean yang mengeluarkan barang-barang bawaan mereka dari bagasi.“Ayo masuk,” ajak Sean sembari berjalan lebih dulu yang akhirnya Via ikuti dengan langkah ragu-ragu.Sesampainya di lobby, seorang pria mendatangi mereka. Dari gesture tubuhnya yang sedikit menunduk, menunjukan bahwa pria itu sangat menghormati Sean.“Mr. Reviano,” sapa pria berpostur pelatih gym tersebut dengan senyum professional.Seketika Sean menyerahkan tas-tas yang sejak tadi dia jinjing. Hanya dengan satu sapaan saja, Sean mengerti apa yang pria itu ingin lakukan, namun ternyata Via yang tidak terbiasa dengan perlakuan tersebut merasa canggung seketika.Dia hendak menegur, tetapi memilih untuk diam karena posisi Sean sebagai atasan. Lagi pu
Via duduk di meja kerja dengan tatapan kosong yang terfokus pada tumpukan dokumen. Bayangan pagi ini di apartemen Sean sedikit mengganggu konsentrasi.Setelah menghabiskan makan malam, dia permisi ke kamar lebih dulu karena merasa canggung berada dalam satu ruangan bersama Sean. Dan paginya mereka jalan terpisah ketika menuju Luna Star.Sean menaiki kendaraan pribadi sedangkan Via diantar oleh seorang suruhan pria itu. Katanya dia hendak singgah ke penthouse lebih dulu.“Apa pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Hadley yang memasuki ruangan tiba-tiba hingga mengejutkan Via seketika.“Sebentar lagi,” jawabnya sembari melirik ke tumpukan dokumen yang belum selesai disusun.“Istirahatlah dahulu, dan tolong fotocopy ini begitu kau selesai.”Via menerima beberapa lembar kertas pemberian atasannya tersebut.Setelah pria itu pergi, dia pun ke ruang fotocopy lebih dulu dan memilih istirahat nanti saja.B
Setelah jam kantor berakhir, Via mendapat pesan dari Sean yang menyuruhnya pulang ke apartemen pria itu dan melarang Via kembali ke apartemen neraka di perbatasan kota. Sean memperlihatkan ketidaksukaannya pada apartemen tersebut dengan sangat jelas dan sepertinya mereka memiliki perasaan yang sama.“Apa kau akan pulang?” tanya Amber yang kebetulan jalan bersisian dengan Via.Wanita itu sangat ramah dan mengajak Via berkenalan lebih dulu di hari pertama.“Ya, aku akan berjalan kaki dari sini,” katanya sembari melewati penjaga pintu.Pria berbadan tegap itu tersenyum pada kedua wanita cantik yang jalan bersama.“Selamat sore Miss Harper,” sapa pria itu yang membuat Via tertegun karena pria tersebut mengenal namanya.Saat mereka sampai di luar, Via tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran di depan Amber.“Apa aku tidak salah dengar jika tadi pria itu mengetahui namaku?”Amber meliri
Via mematut diri di cermin dan bersiap-siap untuk menghadiri Event yang Sean katakan. Dia memakai semua pemberian pria itu, mulai dari perhiasan hingga sepatu.Gaun malam bermodel cocktail yang menempel di tubuh sangatlah serasi dengan figurnya yang memamerkan aset-aset tubuh. Namun, entah mengapa dia merasa malu karena itu kali pertama baginya memakai baju yang cukup elegan dengan sedikit belahan terbuka di beberapa bagian.Baru saja Via hendak memasang lipstick saat dia mendengar suara bell berdering ke seluruh ruangan.Dengan alis bertaut bingung, Via pun menyelesaikan dandanan dan bergegas membukakan pintu.Dia tidak tahu siapa yang berdiri di luar, tetapi mengingat hanya dia sendiri di apartemen, maka tidak akan ada orang lain yang akan membukakan pintu.Mata Via membulat begitu mengetahui siapa tamu yang berdiri di depan melalui lubang kunci. Tanpa sadar dia merapikan rambut dan baju yang sebenarnya tidak perlu, dan setelah menarik napas dala
Mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di depan sebuah restaurant mewah, dan tampak beberapa mobil terparkir di sekitar. Suasana di dalam mobil membuat Via sedikit gugup dan tanpa sadar dia menggenggam tangan Sean yang duduk di samping, sedang matanya fokus melihat keluar jendela, pada valet yang bersiap menyambut kedatangan mereka.Sean melirik jemari Via yang meremas tangannya, seolah gadis itu tidak tahu bahwa yang dia pegang adalah tangan Sean. Merasa itu sebuah kesempatan, Sean pun membalas dengan usapan lembut di sepanjang jemari lentik itu.“Apa … ini benar tempatnya?” tanya Via dengan kepala menatap sekitar.Dia merasa aneh karena parkiran itu hanya diisi beberapa mobil, seolah tidak ada sesuatu perayaan atau keramaian menandakan sedang berlangsung sebuah Event.Sean mengikuti arah pandang Via dan menjawab; “Iya, ini benar tempatnya.”Ketika Via menoleh, barulah dia menyadari bahwa sejak awal tangan m