Mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di depan sebuah restaurant mewah, dan tampak beberapa mobil terparkir di sekitar. Suasana di dalam mobil membuat Via sedikit gugup dan tanpa sadar dia menggenggam tangan Sean yang duduk di samping, sedang matanya fokus melihat keluar jendela, pada valet yang bersiap menyambut kedatangan mereka.
Sean melirik jemari Via yang meremas tangannya, seolah gadis itu tidak tahu bahwa yang dia pegang adalah tangan Sean. Merasa itu sebuah kesempatan, Sean pun membalas dengan usapan lembut di sepanjang jemari lentik itu.
“Apa … ini benar tempatnya?” tanya Via dengan kepala menatap sekitar.
Dia merasa aneh karena parkiran itu hanya diisi beberapa mobil, seolah tidak ada sesuatu perayaan atau keramaian menandakan sedang berlangsung sebuah Event.
Sean mengikuti arah pandang Via dan menjawab; “Iya, ini benar tempatnya.”
Ketika Via menoleh, barulah dia menyadari bahwa sejak awal tangan m
Sekembalinya dari Hotel Luna Star, Via membereskan barang-barang ke dalam tas yang dia bawa beberapa waktu lalu. Urusannya di sini telah selesai, dan tidak ada alasan baginya untuk tetap di apartemen Sean. Nanti akan dia pikirkan setelah sampai di apartemen pribadi bagaimana cara menghangatkan diri sebelum pemanas ruangan berfungsi kembali.Merasa semuanya telah beres di dalam tas, Via pun meninggalkan ruangan.Sebenarnya, Via ingin mengatakan pada Sean melalui pesan singkat, tetapi dia tidak ingin mengganggu pria itu. Terlebih lagi, Via tidak mau terlanjur menjadi nyaman di apartemen bosnya. Entah mengapa rasanya salah, seolah dia memanfaatkan keadaan.Saat langkahnya sudah mencapai lobby, tiba-tiba saja ponsel Via berbunyi dan melihat nama Sean tertera di layar, namun dia mematikan benda itu karena tidak ingin Sean menanyakan apa yang sedang Via lakukan.Dengan langkah terburu-buru, Via pun berjalan melewati kerumunan untuk menaiki kereta.Sesamp
Tatapan Sean fokus pada CCTV yang menampilkan kegiatan Via di ruang kerja pribadi wanita itu. Tidak sedikit pun matanya mengedip, sedang satu tangan di atas meja bergerak dengan irama seperti bunyi tapak kuda.Ketika Via beranjak dari kursi dan keluar ruangan, Sean segera mengganti layar dengan CCTV di setiap koridor yang dilaluinya. Tampak Via menyapa beberapa karyawan dan berhenti sebentar untuk sekedar berbicara. Melihat rutinitas wanita itu yang sudah hapal di luar kepala, Sean pun mengalihkan perhatian pada pekerjaan di meja dan menyeruput kopi hitamnya sembari sesekali melirik ke layar CCTV.Kali ini Via bergerak menuju ke arah pantry, dan mata Sean tetap mengikuti, namun cangkir dalam genggamannya terhenti di depan bibir ketika melihat seseorang ikut masuk ke pantry tepat dibelakang wanita itu.*Via merasa haus tiba-tiba dan dia lupa membawa botol minum ke ruangan.Setelah menyapa senior-seniornya, Via pun memilih untuk tidak berlama-lama u
Jantung Via masih berdebar, dan dia kembali ke ruangan dengan perasaan masih diselimuti takut. Bahkan sebuah pertanyaan singgah di kepala; bagaimana bila Devan masuk ke dalam?Karena tidak ingin seseorang memasuki ruangan kerjanya secara tiba-tiba, Via pun mengunci pintu, dan berharap bosnya, Hadley, tidak bertanya.Begitu duduk kembali di kursi, Via berusaha untuk fokus menyelesaikan dokumen-dokumen di komputer, tetapi tetap saja dia gelisah dan tidak tenang sehingga mencari remot AC untuk menurunkan suhu ruangan agar lebih segar.Sebuah bunyi ping tanda pesan masuk ke ponsel menyadarkan Via seketika. Firasatnya mengatakan bahwa Seanlah si pengirim.Sean: Apa kau baik-baik saja?Lama Via mematung ketika membaca pesan yang tertera. Dia mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya kembali, bingung hendak mengatakan apa. Jari Via pun terhenti saat dia ingin mengatakan ‘tidak baik-baik saja’ dan seketika Via menaruh kepala di atas meja dengan
Sean melirik jam tangan yang melingkar di lengan, setelah menunggu selama lima belas menit, barulah dia keluar dari mobil dan bergegas menuju tangga apartemen. Sengaja dia melambatkan langkah agar Via memiliki waktu lebih lama mempersiapkan diri.Baru saja Sean memasuki koridor yang akan membawanya ke kamar gadis itu, saat tiba-tiba langkahnya terhenti dan mendapati seorang wanita mengintip dari apartemen di sebelah kamar Via.“Apa kau kekasih Viania,” bisik wanita tersebut yang menunjukan sebelah wajah, dan hanya menunjukan satu mata saja, sedang bagian tubuh yang lain terhalangi pintu.Sean menaruh jari telunjuk di bibir dan membuat wanita itu menutup mulut dengan satu tangan sembari mengangguk, kemudian menutup pintu apartemennya kembali dengan pelan.Setelah memastikan tidak ada interupsi dari tetangga sekitar, Sean pun mengetuk pintu kamar Via yang rapuh.Dari posisinya berdiri, Sean tahu bahwa wanita itu biasanya mengintip dari ce
“Merahasiakan … dari semua orang?” tanya Via dengan suara berbisik, tepat di depan bibir Sean yang baru saja menciumnya.Pantulan cahaya dari gedung di sekitar membuat bibir keduanya tampak berkilau karena basah.“Hmm .. mmm …,” gumam pria itu yang diikuti geraman ketika melarikan pucuk hidungnya tepat ke belakang leher Via, sehingga tubuh wanita itu bergetar.Mata Via kembali terpejam saat Sean meninggalkan jejak-jejak kecupan demi kecupan yang dilakukan secara perlahan di sekitar kulit leher yang sensitive.“Sean,” panggil Via yang tidak mengerti apa yang tubuhnya inginkan.“Yes, Baby,” balas Sean sembari menarik pinggang Via hingga badan bagian bawah mereka berdua menempel dekat.Via terlonjak kaget ketika merasakan sesuatu mendesak di sekitar kewanitaan, membuat Sean tertawa pelan dan sengaja mencium bibir wanita itu untuk menghilangkan protes.Awalnya Sean hanya menggo
Via baru saja memenuhi bak mandi dengan air hangat dan memasukan bomb bath ke dalamnya saat tiba-tiba dia mendengar suara pintu kamar mandi yang ditutup. Kepala Via menoleh seketika dan dengan mulut membulat berbentuk huruf O, tatapannya pun bertanya pada Sean yang juga ikut masuk ke dalam.“Apa yang kau lakukan?” tanya Via sembari melirik ke celah pintu yang sedikit terbuka.“Mandi,” jawab Sean yang mulai membuka baju saat itu juga.“Bagaimana mungkin kau mandi disaat Caro sendirian di sana?” Via menarik handuk dari rak lalu memakainya dan kemudian berjalan melewati sang suami, namun lengan pria itu yang melingkar di pinggang, seketika menghentikan Via di tempat.“Aku sudah memberikan dia mainan, kau tidak perlu khawatir,” ucap Sean ringan, seolah mereka sedang membicarakan seekor anak kucing di luar sendirian bukannya bayi berusia sepuluh bulan.“Bagaimana bila dia menangis, Sean, tidak ada ya
Udara dingin menusuk tulang membuat Via semakin merapatkan syal di sekitar leher. Langkahnya tampak terburu-buru saat melintasi jalanan kota New York yang sedikit berangin.Mungkin, hujan akan turun malam ini, membuat Via semakin mempercepat langkah. Dan baru saja dia hendak tiba di depan gedung Luna Star, saat tiba-tiba sebuah mobil melaju lambat di sisi jalan yang mengharuskannya berhenti.Tanpa sadar dia memutar bola mata begitu melihat siapa yang berada di balik kemudi.“Masuk ke dalam mobil, atau aku akan memukul bokongmu yang cantik itu begitu kita tiba di rumah,” ucap pria yang mencondongkan tubuh ke arah jendela dan menatap Via dengan tatapan tidak ingin dibantah.Bukannya mengikuti perkataan Sean yang pasti akan melakukan janjinya barusan, Via malah melanjut
Baru satu jam Via berada di kamar dan berbaring di atas kasur saat tiba-tiba dia mendengar suara bell berbunyi nyaring, membuatnya menghela napas dan bergegas membuka pintu hanya untuk mendapati Sean berdiri di depan dengan Carolus dalam gendongan.“Mama!” panggil balita berwajah rupawan dengan mata bulat birunya yang besar.Melihat itu, hati Via pun mencelos karena untuk sesaat dia nyaris lupa dengan keberadaan puteranya yang ditinggalkan bersama pengasuh di rumah.Mata Via seketika mengarah ke pria yang menggendong putera mereka dengan tatapan seperti tanpa dosa.“Dia bilang ... rindu pada Ibunya,” kata Sean sembari mengayunkan sedikit tubuh ke kanan-kiri yang membuat kepala Carolus rebah di dada sang ayah, dan matanya pun tampak berat hendak menutup.