Sean melirik jam tangan yang melingkar di lengan, setelah menunggu selama lima belas menit, barulah dia keluar dari mobil dan bergegas menuju tangga apartemen. Sengaja dia melambatkan langkah agar Via memiliki waktu lebih lama mempersiapkan diri.
Baru saja Sean memasuki koridor yang akan membawanya ke kamar gadis itu, saat tiba-tiba langkahnya terhenti dan mendapati seorang wanita mengintip dari apartemen di sebelah kamar Via.
“Apa kau kekasih Viania,” bisik wanita tersebut yang menunjukan sebelah wajah, dan hanya menunjukan satu mata saja, sedang bagian tubuh yang lain terhalangi pintu.
Sean menaruh jari telunjuk di bibir dan membuat wanita itu menutup mulut dengan satu tangan sembari mengangguk, kemudian menutup pintu apartemennya kembali dengan pelan.
Setelah memastikan tidak ada interupsi dari tetangga sekitar, Sean pun mengetuk pintu kamar Via yang rapuh.
Dari posisinya berdiri, Sean tahu bahwa wanita itu biasanya mengintip dari ce
“Merahasiakan … dari semua orang?” tanya Via dengan suara berbisik, tepat di depan bibir Sean yang baru saja menciumnya.Pantulan cahaya dari gedung di sekitar membuat bibir keduanya tampak berkilau karena basah.“Hmm .. mmm …,” gumam pria itu yang diikuti geraman ketika melarikan pucuk hidungnya tepat ke belakang leher Via, sehingga tubuh wanita itu bergetar.Mata Via kembali terpejam saat Sean meninggalkan jejak-jejak kecupan demi kecupan yang dilakukan secara perlahan di sekitar kulit leher yang sensitive.“Sean,” panggil Via yang tidak mengerti apa yang tubuhnya inginkan.“Yes, Baby,” balas Sean sembari menarik pinggang Via hingga badan bagian bawah mereka berdua menempel dekat.Via terlonjak kaget ketika merasakan sesuatu mendesak di sekitar kewanitaan, membuat Sean tertawa pelan dan sengaja mencium bibir wanita itu untuk menghilangkan protes.Awalnya Sean hanya menggo
Via baru saja memenuhi bak mandi dengan air hangat dan memasukan bomb bath ke dalamnya saat tiba-tiba dia mendengar suara pintu kamar mandi yang ditutup. Kepala Via menoleh seketika dan dengan mulut membulat berbentuk huruf O, tatapannya pun bertanya pada Sean yang juga ikut masuk ke dalam.“Apa yang kau lakukan?” tanya Via sembari melirik ke celah pintu yang sedikit terbuka.“Mandi,” jawab Sean yang mulai membuka baju saat itu juga.“Bagaimana mungkin kau mandi disaat Caro sendirian di sana?” Via menarik handuk dari rak lalu memakainya dan kemudian berjalan melewati sang suami, namun lengan pria itu yang melingkar di pinggang, seketika menghentikan Via di tempat.“Aku sudah memberikan dia mainan, kau tidak perlu khawatir,” ucap Sean ringan, seolah mereka sedang membicarakan seekor anak kucing di luar sendirian bukannya bayi berusia sepuluh bulan.“Bagaimana bila dia menangis, Sean, tidak ada ya
Udara dingin menusuk tulang membuat Via semakin merapatkan syal di sekitar leher. Langkahnya tampak terburu-buru saat melintasi jalanan kota New York yang sedikit berangin.Mungkin, hujan akan turun malam ini, membuat Via semakin mempercepat langkah. Dan baru saja dia hendak tiba di depan gedung Luna Star, saat tiba-tiba sebuah mobil melaju lambat di sisi jalan yang mengharuskannya berhenti.Tanpa sadar dia memutar bola mata begitu melihat siapa yang berada di balik kemudi.“Masuk ke dalam mobil, atau aku akan memukul bokongmu yang cantik itu begitu kita tiba di rumah,” ucap pria yang mencondongkan tubuh ke arah jendela dan menatap Via dengan tatapan tidak ingin dibantah.Bukannya mengikuti perkataan Sean yang pasti akan melakukan janjinya barusan, Via malah melanjut
Baru satu jam Via berada di kamar dan berbaring di atas kasur saat tiba-tiba dia mendengar suara bell berbunyi nyaring, membuatnya menghela napas dan bergegas membuka pintu hanya untuk mendapati Sean berdiri di depan dengan Carolus dalam gendongan.“Mama!” panggil balita berwajah rupawan dengan mata bulat birunya yang besar.Melihat itu, hati Via pun mencelos karena untuk sesaat dia nyaris lupa dengan keberadaan puteranya yang ditinggalkan bersama pengasuh di rumah.Mata Via seketika mengarah ke pria yang menggendong putera mereka dengan tatapan seperti tanpa dosa.“Dia bilang ... rindu pada Ibunya,” kata Sean sembari mengayunkan sedikit tubuh ke kanan-kiri yang membuat kepala Carolus rebah di dada sang ayah, dan matanya pun tampak berat hendak menutup.
Hilda melangkah keluar dari mansion milik pria tampan berwajah datar, yaitu Danny Johanson. Gadis itu tidak henti-hentinya mengulas senyum lebar dengan wajah berseri-seri. Dia bahkan menyapa dua pria yang berjaga di depan pintu seolah mereka sudah saling mengenal.Dengan langkah sedikit menari-nari, wanita itu pun mendekati kedua pria tersebut dan berhenti tepat di depan salah satu dari keduanya.“Kuharap kalian bekerja keras dan membuat si pria berwajah batu di sana menjadi senang sehingga dia membagi-bagikan uangnya sebagai bonus,” ucap wanita itu sembari merapikan dasi salah satu penjaga pintu, membuat mata pria tersebut membelalak tidak percaya, karena ada seorang gadis asing yang dengan berani menyentuh tanpa permisi.Si pria berwajah batu yang dimaksud muncul di ambang pintu dengan wajah datar dan bibir tipis membentuk satu garis lurus.“Aku tidak tahu kalau dia sangat baik dalam berbisnis,” kata wanita itu yang tentu saja ti
Baru saja Hilda tiba di kamar penginapan, saat dia merasakan beberapa letak benda di sana ada yang berubah.Dengan sangat hati-hati wanita itu melangkah ke dalam sembari mengedarkan pandangan ke segala arah. Dan seketika matanya tertuju pada beberapa tempat. Termasuk jam dinding yang seingatnya tadi tidak ada, serta televisi yang bentuknya sudah berubah.Padahal tadi, benda itu jauh lebih kecil beberapa inci.Menyadari bahwa Danny bisa saja melakukan semua ini, kedua tangan wanita itu pun mengepal di sisi tubuh. Suara geraman kekesalannya menggema di dalam ruangan.“Aku tidak percaya dia sampai melakukan semua ini!” umpat wanita itu sembari melempar tas ke atas ranjang.Dia segera melintasi ruangan dan memperhatikan sekitar lebih teliti. Mencari-cari benda asing lain yang ditanam pria itu dalam kamar penginapan.Untungnya tidak ada benda berharga atau mencurigakan yang dia simpan di sana, sehingga Hilda sedikit lega.&ldqu
Suara ketukan di depan pintu kamar membuat Hilda mengalihkan tatapan ke sana.“Miss Wallice?” panggil suara feminim dari luar yang seketika membuat Hilda menjadi lega. “Kami mendapat laporan bahwa kau sedang berada dalam masalah,” lanjut suara itu, mengatakan alasan kedatangan mereka.Merasa seolah Tuhan menyelematkannya dari laba-laba yang mencoba mengajak berteman dengan berdiam di atas lantai kamar, Hilda pun merapalkan pujian.“Aku tahu kau memang pencipta yang menyayangi setiap hambanya, Tuhan,” ucap wanita itu sembari berjalan dengan menempelkan diri ke dinding. Berharap Buddy si laba-laba tidak mengejar ke tempat Hilda saat ini.“Hey, Bud,” katanya pada laba-laba yang mengangkat satu kaki ke udara sedang kepala menoleh kanan-kiri seakan-akan mengawasi gerak-geriknya dan juga mengajak High Five, membuat Hilda menelan saliva dan terus berjalan pelan hingga kedua kaki menuruni ranjang. “Aku tidak i
Mata Hilda mengerjap-ngerjap dengan fokus ke arah pria di hadapan.Rasanya dia ingin memukul pria itu atau mencubit pipi bekas cukuran tadi pagi, karena jelas sekali otot wajah maskulinnya berkedut, seolah menahan tawa.Dan begitu satu alis pria itu naik sedikit mendekati dahi, Hilda pun berdehem sembari mengangkat wajah ke udara.“Kalau begitu aku ingin pindah kamar,” ucapnya, tanpa sekali pun mengalihkan tatapan dari pria di hadapan.“Mmm … maaf kan kami, tapi sepertinya anda tidak bisaꡔBelum sempat pria pelayan menyelesaikan ucapan, saat tiba-tiba Hilda menggeram di antara kedua telapak tangan yang berada di depan wajah, dan seketika menjeda penjelasan pria di sebelah.Wanita pelayan yang masih ada di sana melihat kesempatan untuk memisahkan diri, dan pada akhirnya dia pun berpamitan karena masih ada tugas menunggu di bagian resepsionis, walau Hilda tau itu bukan alasan sebenarnya.Salahkan sa