Via baru saja memenuhi bak mandi dengan air hangat dan memasukan bomb bath ke dalamnya saat tiba-tiba dia mendengar suara pintu kamar mandi yang ditutup. Kepala Via menoleh seketika dan dengan mulut membulat berbentuk huruf O, tatapannya pun bertanya pada Sean yang juga ikut masuk ke dalam.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Via sembari melirik ke celah pintu yang sedikit terbuka.
“Mandi,” jawab Sean yang mulai membuka baju saat itu juga.
“Bagaimana mungkin kau mandi disaat Caro sendirian di sana?” Via menarik handuk dari rak lalu memakainya dan kemudian berjalan melewati sang suami, namun lengan pria itu yang melingkar di pinggang, seketika menghentikan Via di tempat.
“Aku sudah memberikan dia mainan, kau tidak perlu khawatir,” ucap Sean ringan, seolah mereka sedang membicarakan seekor anak kucing di luar sendirian bukannya bayi berusia sepuluh bulan.
“Bagaimana bila dia menangis, Sean, tidak ada ya
Udara dingin menusuk tulang membuat Via semakin merapatkan syal di sekitar leher. Langkahnya tampak terburu-buru saat melintasi jalanan kota New York yang sedikit berangin.Mungkin, hujan akan turun malam ini, membuat Via semakin mempercepat langkah. Dan baru saja dia hendak tiba di depan gedung Luna Star, saat tiba-tiba sebuah mobil melaju lambat di sisi jalan yang mengharuskannya berhenti.Tanpa sadar dia memutar bola mata begitu melihat siapa yang berada di balik kemudi.“Masuk ke dalam mobil, atau aku akan memukul bokongmu yang cantik itu begitu kita tiba di rumah,” ucap pria yang mencondongkan tubuh ke arah jendela dan menatap Via dengan tatapan tidak ingin dibantah.Bukannya mengikuti perkataan Sean yang pasti akan melakukan janjinya barusan, Via malah melanjut
Baru satu jam Via berada di kamar dan berbaring di atas kasur saat tiba-tiba dia mendengar suara bell berbunyi nyaring, membuatnya menghela napas dan bergegas membuka pintu hanya untuk mendapati Sean berdiri di depan dengan Carolus dalam gendongan.“Mama!” panggil balita berwajah rupawan dengan mata bulat birunya yang besar.Melihat itu, hati Via pun mencelos karena untuk sesaat dia nyaris lupa dengan keberadaan puteranya yang ditinggalkan bersama pengasuh di rumah.Mata Via seketika mengarah ke pria yang menggendong putera mereka dengan tatapan seperti tanpa dosa.“Dia bilang ... rindu pada Ibunya,” kata Sean sembari mengayunkan sedikit tubuh ke kanan-kiri yang membuat kepala Carolus rebah di dada sang ayah, dan matanya pun tampak berat hendak menutup.
Hilda melangkah keluar dari mansion milik pria tampan berwajah datar, yaitu Danny Johanson. Gadis itu tidak henti-hentinya mengulas senyum lebar dengan wajah berseri-seri. Dia bahkan menyapa dua pria yang berjaga di depan pintu seolah mereka sudah saling mengenal.Dengan langkah sedikit menari-nari, wanita itu pun mendekati kedua pria tersebut dan berhenti tepat di depan salah satu dari keduanya.“Kuharap kalian bekerja keras dan membuat si pria berwajah batu di sana menjadi senang sehingga dia membagi-bagikan uangnya sebagai bonus,” ucap wanita itu sembari merapikan dasi salah satu penjaga pintu, membuat mata pria tersebut membelalak tidak percaya, karena ada seorang gadis asing yang dengan berani menyentuh tanpa permisi.Si pria berwajah batu yang dimaksud muncul di ambang pintu dengan wajah datar dan bibir tipis membentuk satu garis lurus.“Aku tidak tahu kalau dia sangat baik dalam berbisnis,” kata wanita itu yang tentu saja ti
Baru saja Hilda tiba di kamar penginapan, saat dia merasakan beberapa letak benda di sana ada yang berubah.Dengan sangat hati-hati wanita itu melangkah ke dalam sembari mengedarkan pandangan ke segala arah. Dan seketika matanya tertuju pada beberapa tempat. Termasuk jam dinding yang seingatnya tadi tidak ada, serta televisi yang bentuknya sudah berubah.Padahal tadi, benda itu jauh lebih kecil beberapa inci.Menyadari bahwa Danny bisa saja melakukan semua ini, kedua tangan wanita itu pun mengepal di sisi tubuh. Suara geraman kekesalannya menggema di dalam ruangan.“Aku tidak percaya dia sampai melakukan semua ini!” umpat wanita itu sembari melempar tas ke atas ranjang.Dia segera melintasi ruangan dan memperhatikan sekitar lebih teliti. Mencari-cari benda asing lain yang ditanam pria itu dalam kamar penginapan.Untungnya tidak ada benda berharga atau mencurigakan yang dia simpan di sana, sehingga Hilda sedikit lega.&ldqu
Suara ketukan di depan pintu kamar membuat Hilda mengalihkan tatapan ke sana.“Miss Wallice?” panggil suara feminim dari luar yang seketika membuat Hilda menjadi lega. “Kami mendapat laporan bahwa kau sedang berada dalam masalah,” lanjut suara itu, mengatakan alasan kedatangan mereka.Merasa seolah Tuhan menyelematkannya dari laba-laba yang mencoba mengajak berteman dengan berdiam di atas lantai kamar, Hilda pun merapalkan pujian.“Aku tahu kau memang pencipta yang menyayangi setiap hambanya, Tuhan,” ucap wanita itu sembari berjalan dengan menempelkan diri ke dinding. Berharap Buddy si laba-laba tidak mengejar ke tempat Hilda saat ini.“Hey, Bud,” katanya pada laba-laba yang mengangkat satu kaki ke udara sedang kepala menoleh kanan-kiri seakan-akan mengawasi gerak-geriknya dan juga mengajak High Five, membuat Hilda menelan saliva dan terus berjalan pelan hingga kedua kaki menuruni ranjang. “Aku tidak i
Mata Hilda mengerjap-ngerjap dengan fokus ke arah pria di hadapan.Rasanya dia ingin memukul pria itu atau mencubit pipi bekas cukuran tadi pagi, karena jelas sekali otot wajah maskulinnya berkedut, seolah menahan tawa.Dan begitu satu alis pria itu naik sedikit mendekati dahi, Hilda pun berdehem sembari mengangkat wajah ke udara.“Kalau begitu aku ingin pindah kamar,” ucapnya, tanpa sekali pun mengalihkan tatapan dari pria di hadapan.“Mmm … maaf kan kami, tapi sepertinya anda tidak bisaꟷ”Belum sempat pria pelayan menyelesaikan ucapan, saat tiba-tiba Hilda menggeram di antara kedua telapak tangan yang berada di depan wajah, dan seketika menjeda penjelasan pria di sebelah.Wanita pelayan yang masih ada di sana melihat kesempatan untuk memisahkan diri, dan pada akhirnya dia pun berpamitan karena masih ada tugas menunggu di bagian resepsionis, walau Hilda tau itu bukan alasan sebenarnya.Salahkan sa
“Aku tidak memakai sepatu,” kata Hilda tiba-tiba yang seketika membuat langkah Danny terhenti.Pria itu memutar tubuh ke arahnya, dan dengan tatapan datar dia tampak seakan hendak melobangi wajah wanita di sebelah.Mata pria itu beralih ke kaki telanjang Hilda yang jenjang.“Kau tidak perlu menggunakan itu,” ujarnya dengan nada monoton yang membuat Hilda menjadi gemas.“Aku tidak mau melintasi parkiran tanpa sepatu!” protes wanita itu yang ditanggapi dengan kedikan bahu. “Bagaimana bila aku tidak sengaja menginjak ubin bekas ludah seseorang? Dan tidak menutup kemungkinan ada orang mabuk yang muntah sembarangan di parkiran, lalu—”Seketika Hilda menjerit saat Danny mengangkat
Mobil yang membawa Hilda pun tiba di mansion.Begitu lajunya melambat, wanita itu pun membuka pintu begitu saja yang membuat Danny nyaris berteriak untuk memintanya tidak keluar secara tiba-tiba di saat mobil masih melaju.“Apa kau ingin mati!” hardik pria itu ketika Hilda melompat keluar sebelum mobil benar-benar berhenti.Bukannya merasa bersalah, wanita itu hanya mengangkat jari tengah ke udara yang seketika membuat Danny menggeram menggunakan suara dalam dari diafraghma.“Gadis gila,” umpat pria itu sembari menyusul Hilda yang lagi-lagi mengganggu para pengawal pintu.Gadis itu bahkan dengan sengaja menyentuh dada bidang pria yang ada di beranda. Dari suaranya yang bergumam lembut, Danny dapat mendengar bahwa gadis itu sedang memuji-muji salah satu pengawal pribadinya. Dan entah mengapa, dia sangat tidak suka mendengar hal itu.“Berhenti mengusik orang-orangku,” ucap Danny sedikit kesal sembari menarik