Sean membantu Via sampai ke mobil dan membantu membukakan pintu untuknya, membuat Via merasa canggung karena mendapat perhatian begitu besar dari bosnya sendiri. Bahkan, dalam perjalanan menuju ke apartemen Sean, keduanya lebih banyak diam sembari mendengarkan radio yang memutar lagu berjudul From The Ground Up, yang tanpa Via sadari ungkapan tersirat dari pria di sebelah.
Sengaja Sean melambatkan laju kendaraan, agar mereka memiliki lebih banyak waktu berdua dan tidak perlu mencari-cari alasan untuk berdekatan.
Dari ekor mata, Sean memperhatikan Via yang sedang menyelipkan anak rambut ke telinga dengan jari-jemarinya yang lentik. Tidak luput pula dari perhatian Sean ketika Via tanpa sadar menggigit bibir bawah dikarenakan kegugupan. Nyaris saja dia menggeram saat tanpa sengaja Via menyibak rambut ke balik bahu dan memamerkan leher yang jenjang.
Entah mengapa Sean merasa AC di mobil tidak berfungsi, sehingga dia membuka sedikit kaca jendela untuk mendapatkan uda
Gedung apartemen Sean terletak di tengah-tengah kota, tidak jauh dari Hotel Luna Star.Via yang baru saja keluar dari mobil memperhatikan gedung pencakar langit di depan dengan tatapan gugup. Dia melirik ke arah Sean yang mengeluarkan barang-barang bawaan mereka dari bagasi.“Ayo masuk,” ajak Sean sembari berjalan lebih dulu yang akhirnya Via ikuti dengan langkah ragu-ragu.Sesampainya di lobby, seorang pria mendatangi mereka. Dari gesture tubuhnya yang sedikit menunduk, menunjukan bahwa pria itu sangat menghormati Sean.“Mr. Reviano,” sapa pria berpostur pelatih gym tersebut dengan senyum professional.Seketika Sean menyerahkan tas-tas yang sejak tadi dia jinjing. Hanya dengan satu sapaan saja, Sean mengerti apa yang pria itu ingin lakukan, namun ternyata Via yang tidak terbiasa dengan perlakuan tersebut merasa canggung seketika.Dia hendak menegur, tetapi memilih untuk diam karena posisi Sean sebagai atasan. Lagi pu
Via duduk di meja kerja dengan tatapan kosong yang terfokus pada tumpukan dokumen. Bayangan pagi ini di apartemen Sean sedikit mengganggu konsentrasi.Setelah menghabiskan makan malam, dia permisi ke kamar lebih dulu karena merasa canggung berada dalam satu ruangan bersama Sean. Dan paginya mereka jalan terpisah ketika menuju Luna Star.Sean menaiki kendaraan pribadi sedangkan Via diantar oleh seorang suruhan pria itu. Katanya dia hendak singgah ke penthouse lebih dulu.“Apa pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Hadley yang memasuki ruangan tiba-tiba hingga mengejutkan Via seketika.“Sebentar lagi,” jawabnya sembari melirik ke tumpukan dokumen yang belum selesai disusun.“Istirahatlah dahulu, dan tolong fotocopy ini begitu kau selesai.”Via menerima beberapa lembar kertas pemberian atasannya tersebut.Setelah pria itu pergi, dia pun ke ruang fotocopy lebih dulu dan memilih istirahat nanti saja.B
Setelah jam kantor berakhir, Via mendapat pesan dari Sean yang menyuruhnya pulang ke apartemen pria itu dan melarang Via kembali ke apartemen neraka di perbatasan kota. Sean memperlihatkan ketidaksukaannya pada apartemen tersebut dengan sangat jelas dan sepertinya mereka memiliki perasaan yang sama.“Apa kau akan pulang?” tanya Amber yang kebetulan jalan bersisian dengan Via.Wanita itu sangat ramah dan mengajak Via berkenalan lebih dulu di hari pertama.“Ya, aku akan berjalan kaki dari sini,” katanya sembari melewati penjaga pintu.Pria berbadan tegap itu tersenyum pada kedua wanita cantik yang jalan bersama.“Selamat sore Miss Harper,” sapa pria itu yang membuat Via tertegun karena pria tersebut mengenal namanya.Saat mereka sampai di luar, Via tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran di depan Amber.“Apa aku tidak salah dengar jika tadi pria itu mengetahui namaku?”Amber meliri
Via mematut diri di cermin dan bersiap-siap untuk menghadiri Event yang Sean katakan. Dia memakai semua pemberian pria itu, mulai dari perhiasan hingga sepatu.Gaun malam bermodel cocktail yang menempel di tubuh sangatlah serasi dengan figurnya yang memamerkan aset-aset tubuh. Namun, entah mengapa dia merasa malu karena itu kali pertama baginya memakai baju yang cukup elegan dengan sedikit belahan terbuka di beberapa bagian.Baru saja Via hendak memasang lipstick saat dia mendengar suara bell berdering ke seluruh ruangan.Dengan alis bertaut bingung, Via pun menyelesaikan dandanan dan bergegas membukakan pintu.Dia tidak tahu siapa yang berdiri di luar, tetapi mengingat hanya dia sendiri di apartemen, maka tidak akan ada orang lain yang akan membukakan pintu.Mata Via membulat begitu mengetahui siapa tamu yang berdiri di depan melalui lubang kunci. Tanpa sadar dia merapikan rambut dan baju yang sebenarnya tidak perlu, dan setelah menarik napas dala
Mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di depan sebuah restaurant mewah, dan tampak beberapa mobil terparkir di sekitar. Suasana di dalam mobil membuat Via sedikit gugup dan tanpa sadar dia menggenggam tangan Sean yang duduk di samping, sedang matanya fokus melihat keluar jendela, pada valet yang bersiap menyambut kedatangan mereka.Sean melirik jemari Via yang meremas tangannya, seolah gadis itu tidak tahu bahwa yang dia pegang adalah tangan Sean. Merasa itu sebuah kesempatan, Sean pun membalas dengan usapan lembut di sepanjang jemari lentik itu.“Apa … ini benar tempatnya?” tanya Via dengan kepala menatap sekitar.Dia merasa aneh karena parkiran itu hanya diisi beberapa mobil, seolah tidak ada sesuatu perayaan atau keramaian menandakan sedang berlangsung sebuah Event.Sean mengikuti arah pandang Via dan menjawab; “Iya, ini benar tempatnya.”Ketika Via menoleh, barulah dia menyadari bahwa sejak awal tangan m
Sekembalinya dari Hotel Luna Star, Via membereskan barang-barang ke dalam tas yang dia bawa beberapa waktu lalu. Urusannya di sini telah selesai, dan tidak ada alasan baginya untuk tetap di apartemen Sean. Nanti akan dia pikirkan setelah sampai di apartemen pribadi bagaimana cara menghangatkan diri sebelum pemanas ruangan berfungsi kembali.Merasa semuanya telah beres di dalam tas, Via pun meninggalkan ruangan.Sebenarnya, Via ingin mengatakan pada Sean melalui pesan singkat, tetapi dia tidak ingin mengganggu pria itu. Terlebih lagi, Via tidak mau terlanjur menjadi nyaman di apartemen bosnya. Entah mengapa rasanya salah, seolah dia memanfaatkan keadaan.Saat langkahnya sudah mencapai lobby, tiba-tiba saja ponsel Via berbunyi dan melihat nama Sean tertera di layar, namun dia mematikan benda itu karena tidak ingin Sean menanyakan apa yang sedang Via lakukan.Dengan langkah terburu-buru, Via pun berjalan melewati kerumunan untuk menaiki kereta.Sesamp
Tatapan Sean fokus pada CCTV yang menampilkan kegiatan Via di ruang kerja pribadi wanita itu. Tidak sedikit pun matanya mengedip, sedang satu tangan di atas meja bergerak dengan irama seperti bunyi tapak kuda.Ketika Via beranjak dari kursi dan keluar ruangan, Sean segera mengganti layar dengan CCTV di setiap koridor yang dilaluinya. Tampak Via menyapa beberapa karyawan dan berhenti sebentar untuk sekedar berbicara. Melihat rutinitas wanita itu yang sudah hapal di luar kepala, Sean pun mengalihkan perhatian pada pekerjaan di meja dan menyeruput kopi hitamnya sembari sesekali melirik ke layar CCTV.Kali ini Via bergerak menuju ke arah pantry, dan mata Sean tetap mengikuti, namun cangkir dalam genggamannya terhenti di depan bibir ketika melihat seseorang ikut masuk ke pantry tepat dibelakang wanita itu.*Via merasa haus tiba-tiba dan dia lupa membawa botol minum ke ruangan.Setelah menyapa senior-seniornya, Via pun memilih untuk tidak berlama-lama u
Jantung Via masih berdebar, dan dia kembali ke ruangan dengan perasaan masih diselimuti takut. Bahkan sebuah pertanyaan singgah di kepala; bagaimana bila Devan masuk ke dalam?Karena tidak ingin seseorang memasuki ruangan kerjanya secara tiba-tiba, Via pun mengunci pintu, dan berharap bosnya, Hadley, tidak bertanya.Begitu duduk kembali di kursi, Via berusaha untuk fokus menyelesaikan dokumen-dokumen di komputer, tetapi tetap saja dia gelisah dan tidak tenang sehingga mencari remot AC untuk menurunkan suhu ruangan agar lebih segar.Sebuah bunyi ping tanda pesan masuk ke ponsel menyadarkan Via seketika. Firasatnya mengatakan bahwa Seanlah si pengirim.Sean: Apa kau baik-baik saja?Lama Via mematung ketika membaca pesan yang tertera. Dia mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya kembali, bingung hendak mengatakan apa. Jari Via pun terhenti saat dia ingin mengatakan ‘tidak baik-baik saja’ dan seketika Via menaruh kepala di atas meja dengan
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap