Resita meletakkan ponselnya. Masih dia pandangi layar HP berwarna hitam itu. Wajah Reggy di sana. Tersenyum dengan senyum tipis. Tampan dan tenang. Itu yang dia kagumi dari Reggy. Ketenangannya menghadapi semua hal. Tidak mudah emosi dan gegabah. Tidak mudah menyerah."Seandainya bukan kamu, Re ... pasti aku akan ditinggalkan sendiri. Seandainya bukan kamu, tidak akan memandangku lagi. Kamu terlalu baik," kata Resita sambil menyentuh layar HP-nya."Aku masih terus bersyukur karena kamu tetap di dekatku. Yang bisa kulakukan aku harus menguatkan diriku. Kamu orang baik, pintar, dan punya cita-cita besar. Aku ga mau jadi penghalang kamu meraih harapanmu." Resita bicara seolah-olah Reggy ada di dekatnya.Resita masih ingat pertama dia melihat Reggy di sekolah. Cowok yang cool, kelihatan cuek, tapi cerdas. Dia kira Reggy cowok yang sedikit sombong karena jarang bicara.Melalui lomba baca puisi, dia mulai kenal Reggy. Ternyata Reggy pemuda yang ramah, pemerhati, dan peduli orang lain. Makin
"Nice. Jadi ini pacar Reggy. Resita. Ya, Maureen kelihatan ada mirip wajahnya dengan Reggy. Resita ... Cantik juga. Kalem banget wajahnya," batin Lola."La, masih mau kejar Reggy? Hatinya sudah diikat sama orang lain," tukas Desi."Jodoh ga akan ke mana kata orang. Mereka baru pacaran. Apa yang akan terjadi besok kita ga tahu," tukas Lola."Asal jangan rusak hubungan orang," sahut Desi."Ga la ... aku ga sejahat itu kali, Des." Lola menyimpan HP-nya, bersiap pulang."Cowok itu banyak. Ga cuma Reggy yang keren dan banyak kelebihan. Buka mata kamu, pasti ada yang tepat untukmu," kata Desi lagi."Pindah hati ga kayak main hom pim pa gambreng, Des. Lihat aja nanti gimana," ucap Lola tegas.Mereka berdua meninggalkan kantin yang masih ramai.Lola sudah cukup lama mengagumi Reggy. Tapi dia belum ada kesempatan untuk mendekati Reggy. Ketika tahu Reggy mengajukan magang ke Jepang dan Bali, dia memilih tempat yang sama. Buatnya, empat bulan bersama akan bisa mendekatkan mereka. Siapa yang meng
"Re ... sudah sampai? Semua baik, kan?" sapa Resita. Senyum itu ah, rasanya hati Reggy sudah rindu. "Iya. Ini di kamar. Sama Dion. Lihat, kamarnya bagus, kan? Jepang abis." Reggy menunjukkan kamar yang dia akan tinggal selama magang. "Wah, keren. Pasti kerasan kamu di situ." Resita tersenyum. "Doakan saja. Belum tahu gimana nanti. Besok pagi mau langsung mulai," tandas Reggy. "Kamu gimana?" "Baik, Re," jawab Resita. "Tenang aja, aman kok." "Oke." Reggy tersenyum. "Bilang aja kalau kangen, ga usah jaim ada aku," celetuk Dion. "Hee ... hee ..." Reggy tertawa. "Kamu dengar, Sita?" "Ya, dengar." Resita tersenyum malu-malu. "Kayak ga percaya kalian udah pacaran empat tahun, tapi masih malu-malu gitu, haa ... haa ..." Dion ngakak. "Oke, Sita. Aku tutup dulu. Kalau sudah kondusif aku telpon lagi. Bye." Reggy menutup telpon. "Kondusif? Emang lagi ada serangan?" tandas Dion. "Ya, ga ngerasa," sahut Reggy. "Haa ... haa ..." Dion ngakak lagi. "Aku pengacaunya? Sialan!" Dion melempar
Usai magang hari itu, Reggy menengok Lola. Desi sudah ada di kamar, jadi Reggy lebih nyaman masuk ke kamar itu, tidak hanya berdua dengan Lola. "Kamu sudah lebih baik?" tanya Reggy. Dia duduk di kursi dekat ranjang. Lola mengangguk. Dia sandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. Lola tidak lagi pucat, hanya terlihat masih agak lemas. "Mendingan, Re. Terima kasih, udah perhatian," kata Lola. "Ini, ada roti buat kamu. Banyak makan, biar cepat pulih." Reggy menyuguhkan roti di plastik yang dia beli sebelum ke kamar Lola. "Untungnya, Lola masih bisa lumayan banyak makan, Re. Makanya cepat baik kondisinya," sahut Desi. Desi duduk di sofa sambil nonton film kartun di TV. "Bagus kalau begitu," ujar Reggy. "Tapi besok jangan masuk dulu. Istirahat sehari lagi, biar fit betul baru aktivitas. Kita kerjaan full, kalau masih belum benar sehat bisa drop lagi nanti." "Beneran ga apa-apa? Aku ga enak banget, Re." Lola melihat Reggy. "Tidak apa-apa, La. Kesehatan itu lebih penting," kata Reggy. Ttu
Ting! Resita melihat HP. Ya, balasan Reggy masuk. - Baru sampai hotel. Kamu lagi ngapain? Resita membalas, - Nunggu kamu. Yuriko siapa? Reggy - Supervisor di sini. Dia ajak jalan pas hari off kami sama. Yang lain masuk. Off kami gantian soalnya. Resita - Akrab sama dia? Reggy agak heran, Resita menanyakan ini. Reggy - Biasa aja. Kenapa, Sita? Resita tidak membalas chat itu. Dia kirim foto upload-an Yuriko. Reggy - Jangan marah, Sita. Aku ga ada apa-apa sama dia. Hanya teman di luar jam kantor. Resita - Lola? Reggy makin heran. Ada apa lagi ini? Reggy - Teman magang. Emang Lola kenapa? Resita mengirim beberapa foto yang dia rasa ungkapan hati Lola ke Reggy. Reggy mendesah dan menarik nafas dalam. Lola ini macam-macam saja. Jelas Lola tahu Reggy punya pacar, masih juga begitu. Reggy langsung vidcall Resita. "Sita, aku ga ada apa-apa. Awal minggu ini Lola sakit. Sebagai ketua tim aku bertanggung jawab memastikan dia dapat perawatan yang baik. Aku akan berlaku sama k
Ayah Rindu mendekat. Dia memandang Wuri lekat-lekat. Wajah gadis muda itu tidak asing buatnya."Sore, Om." Wuri menyapa sambil tersenyum."Ya ... Sore. Rindu masih mau coklatnya? Ayah tambah dua, ya?" Ayah Rindu mengambil dua coklat lagi dari rak dan menaruh di keranjang yang dipegang Rindu."Kak ... eh ... aku lupa nama kakak." Rindu terlihat berpikir sambil memandang Wuri."Wuri. Prawuri. Panggil saja Kak Wuri," jawab Wuri."Kalau ini ..." Rindu menunjuk Felipe. Dia mendongak melihat Felipe yang tinggi lebih tinggi dari ayahnya."Namaku Felipe." Felipe tersenyum."Namanya bagus, cocok sama kakaknya yang ganteng. Pacar Kak Wuri, ya?" Rindu mencondongkan badan ke dekat Wuri setengah berbisik. Wuri tertawa dan mengangguk. Rindu tersenyum lebar."Nama kamu Wuri? Prawuri?" Ayah Rindu memandang Wuri."Iya, Om," jawab Wuri."Aku Rudy. Senang bertemu lagi. Kamu tinggal di mana?" Rudy menelisik setiap bagian wajah Wuri."Ga terlalu jauh dari sini. Rindu boleh kalau mau main ke rumah Kakak, n
“Serius,” jawab Gio.Kendaraan berbelok masuk ke rumah sakit besar di kota itu. Mereka menemui Ranintya yang dijaga putrinya. Dia terlihat lemah dan pucat, tetapi tetap ada senyum dan semangat di wajahnya.“Ah, senang sekali dapat kunjungan couple paling manis ini. The couple of the year,” sambut Ranintya pada Gio dan Veronica.“Ibu …” Veronica mendekat ke sisi ranjang, merendahkan tubuhnya agar bisa memeluk Ranintya.“Pak Gio tambah ganteng saja. Bu Vero memang yang terbaik,” puji Ranintya.Gio dan Veronica tersenyum dengan pujian itu.“Pak, aku harus dengan berat hati pamit. Aku tidak mau sok kuat. Aku minta maaf, tapi harus mengundurkan diri.” Ranintya bicara tanpa basa-basi. Suaranya mulai sedikit bergetar, tampak sekali dia sedih mengucapkan itu.“Aku mengerti, Bu. Aku yang harus berterima kasih untuk semua, semuanya yang Ibu lakukan buat aku. Pekerjaan, pertemanan, semuanya,” kata Gio.“Ah, Pak Gio lebay. Aku justru belum puas bekerja dengan orang hebat seperti Pak Gio. Tapi cer
Wuri mengeluarkan buku dari dalam tas. Dia cek tugas apa yang harus dikumpulkan besok. Ada tugas bahasa Inggris dan matematika. Satu lagi, ulangan PKN.HP Wuri berbunyi. Ada chat masuk. Nomor yang Wuri ga kenal.- Halo, Kak. Ini rindu. kakak lagi apaWuri tersenyum. Rindu ternyata yang mengirim pesan. Jadi ini nomor ayah Rindu.Wuri- Hai Rindu. kakak lagi belajar. Rindu sudah belajar?Wuri menyimpan nomor itu. Rudy Ayah Rindu nama kontaknya.Rudy Ayah Rindu- aku sudah belajar jadi boleh WA kakakWuri- anak pintar. biasa rindu tidur jam berapa?Rudy Ayah Rindu- jam 8 kak, paling malam jam 9Wuri- rindu tidur dengan siapa? masih ditemani ayah?Rudy Ayah Rindu- aku berani tidur sendiri. Ayah bilang aku uda besar harus beraniWuri- wah, rindu hebat dongRudy Ayah Rindu- iya kakak di rumah punya sodara?Wuri- tidak. kakak cuma berdua sama ibuRudy Ayah Rindu- oo Ayah kakak lagi pergi?Wuri- Ayah kakak memang pergiRudy Ayah Rindu- apa sudah ke surga seperti ibuku?Wuri terdiam
Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
Gio mengepalkan tangannya menatap dengan marah pada Veronica. “Oh, kamu mencurigaiku?! Oke! Sekarang, kamu ikut aku. Biar kamu tahu sekalian apa yang aku lakukan tadi malam. Biar kamu puas!” Gio berkata lebih keras dengan wajah juga memerah. “Buat apa? Kamu mau kenalkan aku sama wanita itu? Buat apa!?” sentak Veronica. Geram makin melambung di dadanya yang terasa panas membara. Gio menarik lengan Veronica, tidak memberi kesempatan istrinya menolak. Sekalipun Veronica mencoba melepaskan tangan, Gio tidak melonggarkan pegangan tangannya. “Papa!” Maureen memanggil Gio dengan hati porak poranda. Dia marah, sangat marah papanya bertindak kasar pada Veronica yang tidk lain dan tidak bukan adalah istrinya. Reggy dan Felipe pun bergerak maju dua langkah karena sangat terkejut mendapati orang tuanya sampai ribut di depan mereka. “Kalian juga mau tahu!? Silakan menyusul. Aku akan share lokasinya. Jelas?” Gio melihat pada ketiga anaknya yang melotot dengan pandangan bingung bercampur
“Hmm …” Veronica tersenyum tipis. Ya, kejutan luar biasa! Gio ada main hati dengan wanita lain di belakang Veronica. “Mungkin. Mama belum tahu.”Veronica berusaha tersenyum dengan tatapan tenang, meskipun hatinya terasa pilu.“Tepat banget lagi, Mama ultah di hari Sabtu. Semua ada di rumah,” kata Maureen dengan senyum lebar. “Ah, aku mau masak yang spesial buat Mama, deh, buat sarapan.”“Wah, terima kasih banyak. Tapi Mama mau pergi belanja. Di kulkas tinggal sedikit bahan makanan,” ujar Veronica. Rencananya ingin menenangkan diri harus dia lakukan.“Oke. Pas Mama balik, sarapan sudah siap.” Maureen berucap dengan dua jempol terangkat.Veronica melempar senyum kecil, lalu meninggalkan rumah. Veronica sengaja berjalan saja menuju ke swalayan yang ada di dekat distro. Dia akan ambil waktu di sana menenangkan diri sebelum nanti kembali ke rumah.Lantao 3 di distro memang jadi tempat para karyawan Veronica tinggal sejak Veronica menikah dan tinggal dengan Gio serta anak-anaknya. Ruangan m
Veronica menoleh ke jam dinding di kamar, hampir setengah sepuluh malam. Gio belum juga pulang. Ke mana sebenarnya pria itu? Biasanya, dia akan memberitahu dengan jelas ke mana pergi, ada urusan apa, dan dengan siapa. Tapi kali itu, dia bukan hanya bersikap dingin, tetapi juga tidak mau bicara apapun pada Veronica. Bagi Veronica, sikap Gio itu kembali menjadi CEO tampan sedingin kulkas.Sekali lagi Veronica mengirimkan pesan pada Gio. Tentu saja berharap Gio akan membalasnya.- Kak, belum bisa pulang? Aku tunggu atau aku tidur lebiih dulu?Gio akhirnya membalas pesan itu, setelah hampir sepuluh menit berlalu.- terserahJawaban itu membuat Veronica kesal. Sedang sibuk apa, sih, sampai membalas pesan saja tidak bisa dengan kata-kata yang melegakan? Tidak sabar, Veronica menelpon suaminya. Beberapa kali mencoba, Gio pun menerima panggilan itu.“Kenapa?” tanya Gio datar.“Kakak ada apa? Beritahu aku yang jelas. Aku bingung dengan sikap Kak Gio,” kata Veronica tanpa basa-basi.“Jangan leb
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern
Mobil merah keren itu masuk halaman rumah keluarga Hendrick. Randy memarkir mobil dan turun dari mobil. Maureen juga keluar dari mobil itu. Lalu mengeluarkan beberapa belanjaannya dari bagasi. Randy membantu membawakan juga. Mereka masuk dalam ruang tamu, menaruh tas belanjaan di sana. "Terima kasih buat hari ini," kata Randy. Dia tersenyum, hatinya sangat lega. "Aku minta maaf." Maureen melihat Randy. "Untuk apa? Aku seharusnya yang minta maaf karena kejadian tadi." Randy memandang heran pada Maureen. "Aku sengaja minta yang aneh-aneh sama kamu." Maureen melihat tas-tas belanjaan yang tergelak di sofa. "Aku hanya ingin melihat bagaimana sikapmu kalau menghadapi perempuan bawel dan banyak maunya." "Jadi ..." Randy mengerutkan keningnya. Maureen tersenyum lebih lebar. "Aku bukan tipe perempuan yang suka shopping banget. Apalagi yang ga dibutuhkan. Tapi, aku akan jaga baik-baik barang-barang ini. Janji." "Aku lulus tes?" tanya Randy. Maureen lagi melebarkan bibirnya. Dia menga
Randy memandang Maureen. Rasanya Randy seperti sedang dikuliti. "Ga ada," jawab Randy. "Setelah papa mama cerai, lalu papa menikah dengan wanita itu, aku mulai malas dengan perempuan. Maksudku, aku menilai perempuan lebih negatif. Hanya memanfaatkan pria untuk kesenangannya. Tentu kecuali mamaku. Makanya aku ga dekat sama siapapun, hampir setahun ini." "Kebiasaan yang lain?" Maureen ingin semua dia tahu, tanpa ada yang Randy sembunyikan. "Tinggal merokok. Meski makin jarang. Sejak kecelakaan, mama tegas bilang ga mau aku celaka. Dan balapan sangat beresiko. Aku ga melakukannya lagi. Minum, sudah lama aku ga lakukan. Pernah Sandy tahu dan dia sangat marah. Dia ga suka kakaknya jadi kayak orang gila. Karena aku sampai mabuk waktu itu." Randy menjawab panjang lebar. Mulai nyaman mengatakan semuanya, walaupun Maureen sangat mungkin akan memilih mundur setelah itu. "Apa yang kamu pikirkan ketika ingin mendekati aku? Jalan dengan cara seperti dengan semua mantan kamu itu?" Tajam dan sin
"Omongan Nesti ga usah didengarin, Reen. Cewek tomboy ini rada sableng emang." Randy melotot karena jengkel."Hati-hati, Reen! Dia suka makan cewek, hehe ..." Nesti makin jadi."Sudah sana jauh-jauh, hari sial aku ketemu kamu." Randy mendorong Nesti agar pergi dari situ."Bye, Maureen! Bye, ex babe, hee ... hee ..." Masih sempat juga Nesti berceloteh.Maureen makin masam mukanya. Hatinya tidak karuan melihat pemandangan tak terduga di depannya."Reen ..." panggil Randy. Randy bisa membaca tatapan Maupun yang berubah tidak secerah tadi."Oo ... iya. Kita masuk?" kata Maureen. Dia langsung melangkah duluan ke gedung bioskop mencari tempat duduknya.Randy mengikuti dan duduk di sisi Maureen. Dia menaruh popcorn di antara mereka. Dia beli satu tapi yang jumbo.Maureen tidak lagi konsentrasi dengan situasi. Tidak juga bisa memperhatikan film yang mulai ditayangkan. Dia memikirkan Nesti dan kata-katanya. Yang Maureen tangkap, Randy biasa bebas dengan cewek. Entah kenapa perasaannya jadi kur