Ayah Rindu mendekat. Dia memandang Wuri lekat-lekat. Wajah gadis muda itu tidak asing buatnya."Sore, Om." Wuri menyapa sambil tersenyum."Ya ... Sore. Rindu masih mau coklatnya? Ayah tambah dua, ya?" Ayah Rindu mengambil dua coklat lagi dari rak dan menaruh di keranjang yang dipegang Rindu."Kak ... eh ... aku lupa nama kakak." Rindu terlihat berpikir sambil memandang Wuri."Wuri. Prawuri. Panggil saja Kak Wuri," jawab Wuri."Kalau ini ..." Rindu menunjuk Felipe. Dia mendongak melihat Felipe yang tinggi lebih tinggi dari ayahnya."Namaku Felipe." Felipe tersenyum."Namanya bagus, cocok sama kakaknya yang ganteng. Pacar Kak Wuri, ya?" Rindu mencondongkan badan ke dekat Wuri setengah berbisik. Wuri tertawa dan mengangguk. Rindu tersenyum lebar."Nama kamu Wuri? Prawuri?" Ayah Rindu memandang Wuri."Iya, Om," jawab Wuri."Aku Rudy. Senang bertemu lagi. Kamu tinggal di mana?" Rudy menelisik setiap bagian wajah Wuri."Ga terlalu jauh dari sini. Rindu boleh kalau mau main ke rumah Kakak, n
“Serius,” jawab Gio.Kendaraan berbelok masuk ke rumah sakit besar di kota itu. Mereka menemui Ranintya yang dijaga putrinya. Dia terlihat lemah dan pucat, tetapi tetap ada senyum dan semangat di wajahnya.“Ah, senang sekali dapat kunjungan couple paling manis ini. The couple of the year,” sambut Ranintya pada Gio dan Veronica.“Ibu …” Veronica mendekat ke sisi ranjang, merendahkan tubuhnya agar bisa memeluk Ranintya.“Pak Gio tambah ganteng saja. Bu Vero memang yang terbaik,” puji Ranintya.Gio dan Veronica tersenyum dengan pujian itu.“Pak, aku harus dengan berat hati pamit. Aku tidak mau sok kuat. Aku minta maaf, tapi harus mengundurkan diri.” Ranintya bicara tanpa basa-basi. Suaranya mulai sedikit bergetar, tampak sekali dia sedih mengucapkan itu.“Aku mengerti, Bu. Aku yang harus berterima kasih untuk semua, semuanya yang Ibu lakukan buat aku. Pekerjaan, pertemanan, semuanya,” kata Gio.“Ah, Pak Gio lebay. Aku justru belum puas bekerja dengan orang hebat seperti Pak Gio. Tapi cer
Wuri mengeluarkan buku dari dalam tas. Dia cek tugas apa yang harus dikumpulkan besok. Ada tugas bahasa Inggris dan matematika. Satu lagi, ulangan PKN.HP Wuri berbunyi. Ada chat masuk. Nomor yang Wuri ga kenal.- Halo, Kak. Ini rindu. kakak lagi apaWuri tersenyum. Rindu ternyata yang mengirim pesan. Jadi ini nomor ayah Rindu.Wuri- Hai Rindu. kakak lagi belajar. Rindu sudah belajar?Wuri menyimpan nomor itu. Rudy Ayah Rindu nama kontaknya.Rudy Ayah Rindu- aku sudah belajar jadi boleh WA kakakWuri- anak pintar. biasa rindu tidur jam berapa?Rudy Ayah Rindu- jam 8 kak, paling malam jam 9Wuri- rindu tidur dengan siapa? masih ditemani ayah?Rudy Ayah Rindu- aku berani tidur sendiri. Ayah bilang aku uda besar harus beraniWuri- wah, rindu hebat dongRudy Ayah Rindu- iya kakak di rumah punya sodara?Wuri- tidak. kakak cuma berdua sama ibuRudy Ayah Rindu- oo Ayah kakak lagi pergi?Wuri- Ayah kakak memang pergiRudy Ayah Rindu- apa sudah ke surga seperti ibuku?Wuri terdiam
"Oke, sampai tujuan." Felipe memarkir motor di halaman rumah Wuri.Keduanya turun dari motor dan masuk dalam rumah. Ibu belum pulang. Tapi tidak akan lama lagi akan tiba di rumah."Aku rapikan rumah dulu. Lalu siapin makanan ringan dan minuman buat tamu," kata Wuri."Ayo, kita kerjain sama-sama." Felipe melepas jaketnya."Bener mau bantu?" Wuri memandang Felipe."Iya. Aku di rumah juga biasa bantu-bantu. Ayo," ajak Felipe.Wuri tersenyum.Mereka berbagi tugas. Felipe membersihkan di teras, Wuri di dalam rumah. Karena rumah itu terbilang kecil, tidak perlu waktu lama pekerjaan selesai. Wuri hampir melanjutkan pekerjaan ke dapur, Ratu datang."Hai ..." Ratu masuk ke dalam rumah."Sore, Bu ..." Felipe menoleh dan tersenyum."Wah, kalian sudah bersiap-siap. Ibu ganti baju dulu, nanti nyusul." Ratu masuk ke kamarnya.Wuri dan Felipe ke dapur. Wuri membuat pancake. Dan juga hot chocolate. Lalu menggoreng kentang. Felipe membantu apa yang Wuri suruh. Ratu akhirnya bergabung dan membuat menu
Wuri berdiri dan menuntun Rindu kembali duduk. Dia memandang gadis kecil yang cantik dan pintar itu. Asda rasa campur aduk Wuri melihat Rindu, karena dia tahu Rindu adalah adiknya. Mereka punya ayah yang sama.Tetapi Wuri tidak mungkin langsung mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Rindu mungkin tidak siap."Ayah kamu dan ibu kakak saling kenal. Mereka lama tidak bertemu, jadi mungkin kaget saja," kata Wuri."Sungguh?" ujar Rindu. Dia seperti tidak yakin dengan jawaban Wuri.Wuri mengelus rambut Rindu yang panjang dan halus. "Iya. Kadang kita tidak bisa mengerti bagaimana orang dewasa menunjukkan perasaannya."" Apa mereka akan lama, Kak?" tanya Rindu. Dia menoleh ke pintu yang menuju ke dapur."Hmm ... Kakak tidak tahu. Kita nonton film saja, mau?" Wuri mencoba mencair cara membuat Rindu teralihkan pikirannya."Iya, aku mau." Rindu tersenyum."Kakak ambil laptop dulu." Wuri ke kamarnya, mengambil laptopnya.Felipe tidak tahu perlu bicara apa. Dia perhatikan saja bagaimana Wuri mena
"Sekarang, sedikit saja aku tak mau dia bersedih. Tak mau dia menangis apalagi menderita. Sudah cukup kepedihan yang aku buat di hidupnya. Aku akan lakukan apa saja agar Wuri selalu tersenyum." "Aning ..." Rudy merasa ada yang mencekat lehernya. Sulit sekali dia berbicara. "Kumohon, maafkan aku ... Aku sungguh jahat pada kalian berdua. Aku memang laki-laki pengecut." "Aku tak pernah berpikir akan melihatmu lagi. Bagiku dan Wuri, kamu sudah mati. Tiba-tiba kamu muncul. Aku sangat tidak siap. Kurasa Wuri juga sama. Tanpa kamu, dia baik-baik saja." Tatapan tajam menghujam dari Ratu pada mata berair Rudy. "Aku ... aku meninggalkan kalian karena tidak siap harus menjadi suami dan ayah. Aku baru … selesai kuliah dan masih mencari pekerjaan. Rasanya duniaku runtuh ketika kamu katakan kamu hamil. Orang tuaku … akan mencampakkan aku jika tahu apa yang terjadi. Aku sangat takut membayangkan semuanya." Rudy mulai bicara. Mungkin tidak pantas dia memberikan pembelaan, tetapi Rudy akan mengataka
"Ayahku ini memang ganteng. Pantas ibu jatuh cinta padanya. Cinta mati, sampai ga bisa move on," bisik hati Wuri. "Nanti siang aku jemput lagi. Aku mau tahu kamu sekolah di mana. Jadi nanti aku langsung bisa temui kamu di sekolah.” Rudy mengutarakan rencananya. "Baiklah. Saya keluar jam 2 siang," kata Wuri. Wuri tidak mungkin menolak bertemu ayahnya. Sekalipun dia tahu, ibunya pasti tidak akan suka. "Ya, oke." Rudy tersenyum. Wajahnya terlihat gembira mengetahui Wuri tidak menolaknya. "Terima kasih sudah mengantar, Om." Wuri melepas seatbelt, membuka pintu mobil, keluar dan menutup kembali pintu mobil. Rudy masih memperhatikan Wuri sampai dia masuk ke gerbang sekolah. Lalu dia jalankan mobil menuju ke kantor. "Hei, Wuri! Siapa yang antar kamu?" Dela teman Wuri bertanya. "Eh ... itu, ayahku," jawab Wuri. Dia tersenyum sendiri. Ayahku ... Akhirnya dia bisa mengatakan itu pada temannya. Yang tak pernah kepikir seumur hidupnya satu kali dia akan tahu siapa ayahnya. "Ga pernah lih
"Iya. Aku mau ayah dan ibu bisa berteman," jawab Wuri.Rudy mengelus kepala Wuri. "Kamu mau belikan ibu apa?""Kira-kira apa yang paling ibu sukai? Ayah mungkin masih ingat?" tanya Wuri."Ibumu wanita yang sederhana. Dia tak pernah minta macam-macam sama ayah. Tapi dia pernah pingin beli gaun warna salem, dan ayah belum sempat membelikannya." cerita Rudy."Hm, apa mungkin masih ada gaun seperti yang ibu ingin?" ujar Wuri."Yang mirip saja kali. Persis sekali pasti ga ada. Beda zaman." Rudy tersenyum."Baiklah. Abis belanja langsung cari hadiah buat ibu, boleh?" pintta Wuri."Tentu, Nak." Rudy lagi tersenyum memandang Wuri.Betapa banyak waktu yang hilang dengan anaknya itu. Anak yang manis, baik, penurut, dan penuh pengertian. Ah, seandainya semua bisa diputar lagi.Sementara Felipe dan Wuri berdua menyusuri supermarket dan mencari barang sesuai daftar belanja. Selesai itu, mereka pergi ke bagian pakaian. Wuri dan Rudy sibuk mencari gaun untuk Ratu, Rindu dan Felipe asyik melihat-liha
Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
Gio mengepalkan tangannya menatap dengan marah pada Veronica. “Oh, kamu mencurigaiku?! Oke! Sekarang, kamu ikut aku. Biar kamu tahu sekalian apa yang aku lakukan tadi malam. Biar kamu puas!” Gio berkata lebih keras dengan wajah juga memerah. “Buat apa? Kamu mau kenalkan aku sama wanita itu? Buat apa!?” sentak Veronica. Geram makin melambung di dadanya yang terasa panas membara. Gio menarik lengan Veronica, tidak memberi kesempatan istrinya menolak. Sekalipun Veronica mencoba melepaskan tangan, Gio tidak melonggarkan pegangan tangannya. “Papa!” Maureen memanggil Gio dengan hati porak poranda. Dia marah, sangat marah papanya bertindak kasar pada Veronica yang tidk lain dan tidak bukan adalah istrinya. Reggy dan Felipe pun bergerak maju dua langkah karena sangat terkejut mendapati orang tuanya sampai ribut di depan mereka. “Kalian juga mau tahu!? Silakan menyusul. Aku akan share lokasinya. Jelas?” Gio melihat pada ketiga anaknya yang melotot dengan pandangan bingung bercampur
“Hmm …” Veronica tersenyum tipis. Ya, kejutan luar biasa! Gio ada main hati dengan wanita lain di belakang Veronica. “Mungkin. Mama belum tahu.”Veronica berusaha tersenyum dengan tatapan tenang, meskipun hatinya terasa pilu.“Tepat banget lagi, Mama ultah di hari Sabtu. Semua ada di rumah,” kata Maureen dengan senyum lebar. “Ah, aku mau masak yang spesial buat Mama, deh, buat sarapan.”“Wah, terima kasih banyak. Tapi Mama mau pergi belanja. Di kulkas tinggal sedikit bahan makanan,” ujar Veronica. Rencananya ingin menenangkan diri harus dia lakukan.“Oke. Pas Mama balik, sarapan sudah siap.” Maureen berucap dengan dua jempol terangkat.Veronica melempar senyum kecil, lalu meninggalkan rumah. Veronica sengaja berjalan saja menuju ke swalayan yang ada di dekat distro. Dia akan ambil waktu di sana menenangkan diri sebelum nanti kembali ke rumah.Lantao 3 di distro memang jadi tempat para karyawan Veronica tinggal sejak Veronica menikah dan tinggal dengan Gio serta anak-anaknya. Ruangan m
Veronica menoleh ke jam dinding di kamar, hampir setengah sepuluh malam. Gio belum juga pulang. Ke mana sebenarnya pria itu? Biasanya, dia akan memberitahu dengan jelas ke mana pergi, ada urusan apa, dan dengan siapa. Tapi kali itu, dia bukan hanya bersikap dingin, tetapi juga tidak mau bicara apapun pada Veronica. Bagi Veronica, sikap Gio itu kembali menjadi CEO tampan sedingin kulkas.Sekali lagi Veronica mengirimkan pesan pada Gio. Tentu saja berharap Gio akan membalasnya.- Kak, belum bisa pulang? Aku tunggu atau aku tidur lebiih dulu?Gio akhirnya membalas pesan itu, setelah hampir sepuluh menit berlalu.- terserahJawaban itu membuat Veronica kesal. Sedang sibuk apa, sih, sampai membalas pesan saja tidak bisa dengan kata-kata yang melegakan? Tidak sabar, Veronica menelpon suaminya. Beberapa kali mencoba, Gio pun menerima panggilan itu.“Kenapa?” tanya Gio datar.“Kakak ada apa? Beritahu aku yang jelas. Aku bingung dengan sikap Kak Gio,” kata Veronica tanpa basa-basi.“Jangan leb
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern
Mobil merah keren itu masuk halaman rumah keluarga Hendrick. Randy memarkir mobil dan turun dari mobil. Maureen juga keluar dari mobil itu. Lalu mengeluarkan beberapa belanjaannya dari bagasi. Randy membantu membawakan juga. Mereka masuk dalam ruang tamu, menaruh tas belanjaan di sana. "Terima kasih buat hari ini," kata Randy. Dia tersenyum, hatinya sangat lega. "Aku minta maaf." Maureen melihat Randy. "Untuk apa? Aku seharusnya yang minta maaf karena kejadian tadi." Randy memandang heran pada Maureen. "Aku sengaja minta yang aneh-aneh sama kamu." Maureen melihat tas-tas belanjaan yang tergelak di sofa. "Aku hanya ingin melihat bagaimana sikapmu kalau menghadapi perempuan bawel dan banyak maunya." "Jadi ..." Randy mengerutkan keningnya. Maureen tersenyum lebih lebar. "Aku bukan tipe perempuan yang suka shopping banget. Apalagi yang ga dibutuhkan. Tapi, aku akan jaga baik-baik barang-barang ini. Janji." "Aku lulus tes?" tanya Randy. Maureen lagi melebarkan bibirnya. Dia menga
Randy memandang Maureen. Rasanya Randy seperti sedang dikuliti. "Ga ada," jawab Randy. "Setelah papa mama cerai, lalu papa menikah dengan wanita itu, aku mulai malas dengan perempuan. Maksudku, aku menilai perempuan lebih negatif. Hanya memanfaatkan pria untuk kesenangannya. Tentu kecuali mamaku. Makanya aku ga dekat sama siapapun, hampir setahun ini." "Kebiasaan yang lain?" Maureen ingin semua dia tahu, tanpa ada yang Randy sembunyikan. "Tinggal merokok. Meski makin jarang. Sejak kecelakaan, mama tegas bilang ga mau aku celaka. Dan balapan sangat beresiko. Aku ga melakukannya lagi. Minum, sudah lama aku ga lakukan. Pernah Sandy tahu dan dia sangat marah. Dia ga suka kakaknya jadi kayak orang gila. Karena aku sampai mabuk waktu itu." Randy menjawab panjang lebar. Mulai nyaman mengatakan semuanya, walaupun Maureen sangat mungkin akan memilih mundur setelah itu. "Apa yang kamu pikirkan ketika ingin mendekati aku? Jalan dengan cara seperti dengan semua mantan kamu itu?" Tajam dan sin
"Omongan Nesti ga usah didengarin, Reen. Cewek tomboy ini rada sableng emang." Randy melotot karena jengkel."Hati-hati, Reen! Dia suka makan cewek, hehe ..." Nesti makin jadi."Sudah sana jauh-jauh, hari sial aku ketemu kamu." Randy mendorong Nesti agar pergi dari situ."Bye, Maureen! Bye, ex babe, hee ... hee ..." Masih sempat juga Nesti berceloteh.Maureen makin masam mukanya. Hatinya tidak karuan melihat pemandangan tak terduga di depannya."Reen ..." panggil Randy. Randy bisa membaca tatapan Maupun yang berubah tidak secerah tadi."Oo ... iya. Kita masuk?" kata Maureen. Dia langsung melangkah duluan ke gedung bioskop mencari tempat duduknya.Randy mengikuti dan duduk di sisi Maureen. Dia menaruh popcorn di antara mereka. Dia beli satu tapi yang jumbo.Maureen tidak lagi konsentrasi dengan situasi. Tidak juga bisa memperhatikan film yang mulai ditayangkan. Dia memikirkan Nesti dan kata-katanya. Yang Maureen tangkap, Randy biasa bebas dengan cewek. Entah kenapa perasaannya jadi kur