Sudut pandang Nikita:Saat memasuki dapur, aku mendengar salah satu kakakku sedang mendiskusikan sesuatu dengan Roni."Karena Ayah kami ada di sini. Aku takut Om Romi kesepian dan merasa cemburu, jadi aku carikan seorang gadis supaya Om Romi bisa menikah dan punya bayi," kata Roni. Ucapannya membuat mulutku ternganga karena terkejut.Romi tiba-tiba mengalihkan pandangan matanya. Dia tampak tercengang saat tatapan mata kami bertemu."Roni, kamu ngomong apa, sih?" tanyaku pada anakku. Nada suaraku terdengar kaget, sementara para lelaki di sekitarku tertawa, kecuali Romi sendiri."Menurut Ayah, Om Romi nggak butuh bantuanmu, Ron," kata Noah saat melihat Roni tampak kecewa karena ditertawakan yang lainnya."Kenapa kamu mikir begitu?" tanyaku penasaran. Noah tampak sangat bersemangat dan itu membuatku merasa ada yang aneh."Kemarin, kakakmu keluar dari hotel bareng seorang karyawan," ungkap Noah. Ucapannya itu membuat Romi malu. Tidak biasanya kakakku merasa malu saat ketahuan sedang bersam
Sudut pandang Noah:Aku mengikuti langkah Nikita dengan mataku. Sambil memperhatikannya berjalan tergesa-gesa menaiki tangga, aku memutuskan bahwa kali ini, aku akan berusaha mati-matian hingga kami bisa bersatu lagi.Setelah beberapa menit, Nikita turun lagi. Dia menghindari tatapan mataku saat aku berusaha bertatapan dengannya."Kamu mau berangkat ke kantor?" tanyaku."Iya," jawabnya singkat seperti sengaja menghindar dariku. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya. Nikita pasti merasa canggung setelah kejadian di dapur tadi.Aku bangkit dari sofa, lalu mengambil kunci mobil dari saku depan celanaku."Ayo. Biar aku antar ke sana." Aku memberi isyarat padanya untuk mengikutiku, tetapi Nikita menghentikan langkahnya. Saat aku menoleh ke belakang, Nikita tampak canggung."Ayo. Aku antar ke Hotel Jati sebelum aku berangkat kerja," ujarku.Nikita berdeham. Namun, aku tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti ini darinya."Lukas menungguku di luar," katanya.Langkah kakiku yang beriram
Sudut pandang Nikita:"Bu Nikita, selamat, ya, kehamilan Anda sudah masuk minggu ke-10."Aku keluar dari ruang pemeriksaan dalam keadaan linglung. Ucapan dokter barusan terus terngiang di kepalaku hingga membuat jantungku berdebar kencang.'Setidaknya masih ada kabar baik di tengah pedih dan pilu ini,' ujarku dalam hati.Aku merasa sangat bahagia, saking bahagianya sampai senyum lebar di wajahku tidak mau lepas. Aku merasa sedikit lega.Dengan semangat yang baru, aku mempercepat langkahku dan masuk ke lift. Begitu pintu lift terbuka, aku keluar dan berjalan melewati pos perawat ke arah ruang ICU."Bu Nikita," sapa seorang suster."Hai. Bagaimana keadaan Noah?" tanyaku pada suster dengan nada lemas."Pak Noah masih belum sadar dari komanya." Ucapan suster itu membuatku kecewa. Aku pun menghampiri tempat tidur suamiku, menarik kursi, dan duduk. Lalu, suster itu keluar dan meninggalkan kami berdua di ruangan itu.Aku menatap wajah pria yang kucintai dan rasa kerinduan yang mendalam mengge
Sudut pandang Nikita:Ada dua hal yang muncul di pikiranku: suamiku sudah siuman dan dia ingin menceraikanku."Ini nggak masuk akal," ujarku kepada Randy yang terlihat seperti ingin ditelan oleh bumi. Bahasa tubuhnya jelas menunjukkan rasa bersalah dan iba.Aku tidak tahan lagi. Pasti ada kesalahapahaman dalam hal ini dan satu-satunya orang yang bisa menjelaskan semua pertanyaan di kepalaku adalah suamiku, yang aku yakini, masih terbaring di ruang ICU. .Saat itu juga, aku meminta salah satu sopir perusahaan untuk menyiapkan sebuah mobil untukku. Namun, setelah aku mengeluarkan perintah, tidak ada satu pun yang mulai bertindak seolah-olah semua orang, kecuali aku, sudah tahu tentang keputusan yang diambil Noah untuk menceraikanku.Aku tidak bisa menahan rasa pahit saat melihat bagaimana orang-orang yang dulunya tunduk di hadapanku tiba-tiba bersikap dingin dan acuh tak acuh. Bagaimana bisa keadaan berbalik dengan begitu cepat?Aku berbalik dan mulai berjalan kembali ke rumah sakit, tet
Sudut pandang Nikita:Setelah menandatangani surat cerai itu, aku bergegas keluar dari ruangan Noah. Entah mengapa, aku merasakan hawa tidak enak di dalam ruang rawat Noah yang membuatku merasa sesak."Bu Nikita, Anda baik-baik saja?" tanya salah satu suster ketika dia melihatku menyandarkan telapak tangan ke dinding untuk bertumpu dan bernapas dengan berat.Dia menghampiriku dan menggenggam lenganku. "Anda terlihat pucat. Apa saya perlu memanggil dokter untuk Anda?" tanyanya dengan ekspresi khawatir.Aku menggelengkan kepala. Saat itulah aku tersadar aku sedang menangis. "Aku nggak apa-apa. Terima kasih," jawabku kepada suster baik hati itu dan segera menghapus air mata di pipiku.Aku mengernyit. Tiba-tiba, aku merasa sangat mual. "Aku harus pergi," ujarku."Kotakmu," katanya, mengingatkanku.Aku menatap kotak itu dengan jijik dan menggelengkan kepala, dadaku terasa sakit. Kotak itu mewakili kenangan yang menyakitkan hari ini dan aku tidak mau mengambilnya."Bisakah aku meninggalkanny
Sudut pandang Nikita:Noah pasti menganggap bungkamnya aku sebagai tanda bahwa aku mengakui tuduhannya. Merasa sudah berhasil menyudutkanku, dia pun berbicara dengan nada penuh kebencian."Fakta nggak pernah bohong, Nikita. Lagi pula, laporan itu jelas mengatakan bahwa seseorang dengan sengaja menyebabkan kecelakaan itu, seseorang merusak mobil itu.""Bukan aku orangnya!" sangkalku membela diri. Suaraku terdengar kasar karena aku tidak pernah menyangka—bahkan dalam mimpi terliarku, bahwa aku akan menjadi tersangka dalam kecelakaan itu."Kamu punya motif.""Motif apa?""Jangan bilang kamu udah lupa tentang kekasihmu? Bukannya kamu udah rencanain semua ini sama dia supaya kalian bisa warisin harta keluarga kami begitu kami tiada?" ujarnya dengan penuh kebencian. Aku mengerutkan dahiku, mencoba mengingat kapan aku punya kekasih lain."Kamu tahu aku nggak mungkin bisa ngebunuh mereka. Aku sangat sayang sama Maria dan Dion!" Aku berusaha mencari kata yang pas untuk mengekspresikan kedekata
Sudut pandang Nikita:Saat aku tersadar, aku langsung dapat mencium bau antiseptik yang kuat. Aku membuka mata dan melihat langit-langit putih sebelum perhatianku beralih ke dinding putih, pintu, dan selimut yang menutupi sebagian tubuhku.Kini aku tahu di mana aku berada. Saat mencoba mengangkat tubuhku untuk duduk, aku tersadar tanganku dipasangi selang kanula yang terhubung ke infus.Detik berikutnya, pintu ruang rawatku didobrak dari luar. Empat pria asing yang tampan dan tinggi melangkah masuk. Entah mengapa, alih-alih takut, kehadiran mereka justru membuatku merasa aman, nyaman, dan tidak kesepian."Kamu nggak apa-apa?" tanya salah satu dari mereka. Dia memiliki sepasang mata berwarna hitam dan rambut cokelat, sama sepertiku, tetapi warna cokelat rambutku lebih sedikit pucat.Aku merasa canggung saat ditatap oleh keempat pria itu dan yang bisa kulakukan untuk meresponsnya hanyalah mengangguk.Wajah mereka sangat mirip."Aku Cahya Feri," ujar pria yang menanyakan keadaanku tadi."
Sudut pandang Nikita:Dua hari kemudian, aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit.Sebenarnya, aku sudah bisa pulang di hari saat aku pertama kali bertemu keempat saudaraku, tetapi mereka bersikeras aku harus menginap satu hari lagi.Ketika sudah saatnya aku keluar, aku terkejut karena di luar ruanganku, ada banyak pria berpakaian hitam berdiri tegak."Apa ada pasien VIP yang dirawat di lantai ini?" tanyaku kepada Yeni. Dia tertawa dan berkomentar, "Kakak-kakakmu udah gila."Kemudian, dia memegang pegangan kursi roda untuk mendorongku keluar dari ruang rawatku.Saat tiba di pintu masuk rumah sakit, aku terkesima melihat deretan mobil yang tampak serupa terparkir di luar. Ketika kakak-kakakku melihat kami, mobil pertama melaju sampai berhenti di hadapanku, lalu diikuti oleh mobil-mobil lain setelahnya.Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. "Astaga! Jangan bilang mobil ini untukku?" tanyaku pada keempat pria itu. Aku paham sekarang. Semua mobil ini adalah milik mereka dan par
Sudut pandang Noah:Aku mengikuti langkah Nikita dengan mataku. Sambil memperhatikannya berjalan tergesa-gesa menaiki tangga, aku memutuskan bahwa kali ini, aku akan berusaha mati-matian hingga kami bisa bersatu lagi.Setelah beberapa menit, Nikita turun lagi. Dia menghindari tatapan mataku saat aku berusaha bertatapan dengannya."Kamu mau berangkat ke kantor?" tanyaku."Iya," jawabnya singkat seperti sengaja menghindar dariku. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya. Nikita pasti merasa canggung setelah kejadian di dapur tadi.Aku bangkit dari sofa, lalu mengambil kunci mobil dari saku depan celanaku."Ayo. Biar aku antar ke sana." Aku memberi isyarat padanya untuk mengikutiku, tetapi Nikita menghentikan langkahnya. Saat aku menoleh ke belakang, Nikita tampak canggung."Ayo. Aku antar ke Hotel Jati sebelum aku berangkat kerja," ujarku.Nikita berdeham. Namun, aku tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti ini darinya."Lukas menungguku di luar," katanya.Langkah kakiku yang beriram
Sudut pandang Nikita:Saat memasuki dapur, aku mendengar salah satu kakakku sedang mendiskusikan sesuatu dengan Roni."Karena Ayah kami ada di sini. Aku takut Om Romi kesepian dan merasa cemburu, jadi aku carikan seorang gadis supaya Om Romi bisa menikah dan punya bayi," kata Roni. Ucapannya membuat mulutku ternganga karena terkejut.Romi tiba-tiba mengalihkan pandangan matanya. Dia tampak tercengang saat tatapan mata kami bertemu."Roni, kamu ngomong apa, sih?" tanyaku pada anakku. Nada suaraku terdengar kaget, sementara para lelaki di sekitarku tertawa, kecuali Romi sendiri."Menurut Ayah, Om Romi nggak butuh bantuanmu, Ron," kata Noah saat melihat Roni tampak kecewa karena ditertawakan yang lainnya."Kenapa kamu mikir begitu?" tanyaku penasaran. Noah tampak sangat bersemangat dan itu membuatku merasa ada yang aneh."Kemarin, kakakmu keluar dari hotel bareng seorang karyawan," ungkap Noah. Ucapannya itu membuat Romi malu. Tidak biasanya kakakku merasa malu saat ketahuan sedang bersam
Sudut pandang Romi:Aku meninggalkan Hilda setelah melihat ekspresi sakit hati di wajahnya. Mungkin orang lain akan berpikir kalau aku ini berengsek, tapi aku merasa puas karena hinaanku membuatnya tersinggung.Aku pun pergi ke kamar mandi dalam untuk mandi. Ketika aku keluar dengan hanya berbalut handuk di pinggangku, kulihat dia memalingkan wajahnya."Kamu sengaja mempermainkanku, ya?!" bentak Hilda.Aku mengernyitkan alis dan menyadari kalau gadis itu tidak mau melihat ke arahku. Aku pun tersenyum sinis saat melihat lehernya merona merah."Kenapa? Kamu nungguin aku telanjang bulat?" tanyaku seraya menarik handukku dan melemparkannya ke arah Hilda. Handuk itu jatuh mengenai dadanya."Romi!" serunya parau. Wajahnya menoleh padaku dengan marah. Aku merentangkan tanganku lebar-lebar agar dia melihat bahwa aku tidak telanjang seperti dugaannya.Aku melihatnya menelan ludah ketika matanya beralih dari wajahku ke dadaku yang terbentuk sempurna, perutku yang berotot, dan kakiku yang kencang
Sudut pandang Romi:"Keluar!" perintahku saat Hilda tidak beranjak dari kursi penumpang.Aku tidak menunggunya dan beranjak dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu untuknya.Hilda bergerak perlahan.Saat dia keluar dari mobil, cahaya menyinari wajahnya. Saat itulah aku melihat wajah pucatnya yang tidak wajar.Dia terhuyung saat melangkah dan hampir terjungkal saat kehilangan keseimbangan.Aku menyusulnya tepat waktu. Tanganku segera mencengkeram bagian atas lengannya."Kamu nggak apa-apa?" tanyaku sambil mengerutkan kening.Dia tidak menjawab dan bergeming di tempatnya."Aku merasa nggak enak badan," ucapnya akhirnya.Keraguan memenuhi hatiku. Kupikir itu taktik untuk mengalihkan perhatianku agar bisa melarikan diri. Aku tidak mengira kepala Hilda akan terkulai ke samping sebelum kemudian jatuh ke dadaku.Saat itulah aku menyadarinya. Kutempelkan punggung tanganku ke dahinya dan merasakan tingginya suhu tubuhnya. Hal ini langsung membuatku khawatir. Tanpa pikir panjang, aku membopo
Sudut pandang Hilda:Area lift itu kosong.Saat berbelok di tikungan, aku merapatkan tubuhku ke dinding dan mengintip ke luar, ke tempat terakhir kali aku melihat Romi Feri. Aku memastikan diriku benar-benar tidak terlihat dari luar.Selama pengintaian ini, jantungku terus berdebar kencang.Rasa bersalah menggerogotiku. Kecurigaan yang kulihat di mata Romi tadi membuatku gelisah.Aku menghela napas lega saat melihat tempat itu sudah kosong. Dia sudah pergi.Napasku mulai teratur dan dadaku kembang kempis dengan cepat saat aku mengisi paru-paruku dengan udara.Lift berdenting, lalu pintunya terbuka untuk mengeluarkan penumpangnya.Saat lift sudah kosong, aku masuk. Setiap kali lift berhenti dan terbuka, jantungku mulai berdetak lebih kencang.Pemikiran gila memenuhi otakku. Romi Feri pasti tidak akan tinggal diam dengan temuannya itu. Dia akan mengikutiku untuk mengorek informasi sebanyak mungkin. Dia adalah saudara Nikita. Kecurigaannya terhadapku mungkin akan membuat Nikita turut menc
Sudut pandang Hilda:Aku baru saja hendak meninggalkan kafe. Tiba-tiba, seseorang menyambar lenganku.Gerakan itu terlalu tiba-tiba.Aku terkejut, tetapi saat aku mengenali pelakunya, mataku membelalak dengan ketakutan dan aku menahan teriakan yang hampir keluar dari mulutku.Ketakutan memenuhi sekujur tubuhku saat aku menatap mata coklatnya, warna yang sama seperti mata Nikita."Romi," ucapku terbata-bata.Mulutku mengucapkan namanya dengan gugup. Dia adalah kakak Nikita.Dalam sekejap, kepalaku bergerak mengarah ke kafe dengan gelisah."Aku senang kamu mengingatku," kata Romi sambil tersenyum seraya mengikuti arah pandang mataku.Aku mulai banjir keringat. Tangan-tanganku juga terasa dingin dan basah."Kita pernah ketemu sekali," jelasku dengan terbata-bata.Aku ingin sekali melarikan diri, tetapi cengkeraman Romi di lenganku menghalangiku untuk pergi.Aku menatap tangannya yang menggenggam lenganku. Mataku beralih ke wajahnya yang penuh amarah, dan aku menelan ludah dengan susah pay
Sudut pandang Bella:"Apa maumu?" Nada tajam Hilda membuatku terkejut."Lama nggak jumpa, adikku sayang. Apa kita nggak bisa setidaknya sopan satu sama lain? Kamu nggak bisa membenciku selamanya cuma karena Ibu lebih menyayangiku daripada kamu."Hilda memutar bola matanya."Kamu pikir aku masih marah soal itu? Dewasalah, Bella!"Aku tidak peduli saat dia memelototiku. Aku langsung ke inti pembicaraan."Aku nggak tahu di mana Matthew Millano, paman Noah. Kamu punya petunjuk soal keberadaannya?"Mata Hilda langsung menyipit."Sudah kubilang, aku nggak akan bekerja sama denganmu lagi. Terakhir kali kulakukan itu, aku membuat Nikita kecewa berat. Aku nggak bisa melakukannya lagi, mengkhianati sahabatku cuma karena kita saudari!"Aku tertawa, meskipun suaranya terasa hampa."Kamu yang bilang kalau kita saudari, ‘kan? Bukankah darah lebih kental daripada air? Kenapa kamu selalu membela dia? Apa kamu nggak lihat yang dia lakukan padaku?"Hilda tampak tidak peduli, malah seolah ingin membuat e
Sudut pandang Bella:"Nomor yang Anda hubungi berada di luar jangkauan. Silakan menghubungi kembali setelah beberapa saat." Aku sudah berkali-kali mendengar rekaman suara ini sejak minggu lalu dan suara itu membuatku gila.Aku mencoba menghubungi nomor itu lagi tetapi hasilnya sama saja."Sial!" Aku menengadah ke langit dengan putus asa."Bella, jangan mondar-mandir. Kamu butuh istirahat. Kamu belum tidur sejak tadi malam," kata manajer sekaligus temanku."Gimana aku bisa tidur kalau Noah ninggalin aku begitu saja? Dia mutusin semua hubungan denganku." Aku menjerit frustrasi dan marah.Manajerku terkejut melihat sikap kasar yang kutunjukkan. Ini pertama kalinya dia melihatku seperti ini. Biasanya aku selalu tenang dan terkendali."Ya ampun. Noah memang putus sama kamu, tapi ini bukan berarti kiamat, 'kan?"Aku mengepalkan tangan dan merapatkan gigiku saat mengingat ancaman Noah, yaitu surat perintah penahanan sementara. Yang lebih buruk lagi, dia mengumumkan putus hubungan denganku di
Sudut pandang Nikita:Awalnya, Noah tampak tidak memahami ucapanku."Heidi. Dia mantan pacarmu. Kamu pernah berpacaran dengannya sebelum aku muncul," kataku, mencoba menyegarkan ingatannya.Kerutan di wajah Noah menghilang dan dia mengangkat bahu seolah-olah masalah itu tidak mengganggunya."Kenapa nggak? Dia punya kemampuan. Lagi pula, kejadian itu sudah lama sekali. Aku yakin Heidi sudah melupakannya, sama sepertiku."Noah jelas tidak tahu apa yang kumaksud. Jadi, siapa yang bodoh sekarang?Aku mengangguk mengejek."Ya, dan kujamin dia belum melupakanmu. Dia adalah gunung berapi yang menunggu untuk meletus. Apa kamu nggak melihat caranya memandangmu? Gadis itu masih merindukanmu!" teriakku frustrasi."Memangnya kenapa? Aku nggak peduli kepadanya.""Noah!" tegasku memperingatkannya.Noah menyisir rambutnya ke belakang."Kamu mau aku bagaimana? Memecatnya?" balasnya.Apakah aku hanya membesar-besarkan masalah kecil?Aku berbalik untuk pergi saat dia mulai menjelaskan."Kayak aku peduli