Bab 3 Diusir dari Rumah

Sudut pandang Nikita:

Setelah menandatangani surat cerai itu, aku bergegas keluar dari ruangan Noah. Entah mengapa, aku merasakan hawa tidak enak di dalam ruang rawat Noah yang membuatku merasa sesak.

"Bu Nikita, Anda baik-baik saja?" tanya salah satu suster ketika dia melihatku menyandarkan telapak tangan ke dinding untuk bertumpu dan bernapas dengan berat.

Dia menghampiriku dan menggenggam lenganku. "Anda terlihat pucat. Apa saya perlu memanggil dokter untuk Anda?" tanyanya dengan ekspresi khawatir.

Aku menggelengkan kepala. Saat itulah aku tersadar aku sedang menangis. "Aku nggak apa-apa. Terima kasih," jawabku kepada suster baik hati itu dan segera menghapus air mata di pipiku.

Aku mengernyit. Tiba-tiba, aku merasa sangat mual. "Aku harus pergi," ujarku.

"Kotakmu," katanya, mengingatkanku.

Aku menatap kotak itu dengan jijik dan menggelengkan kepala, dadaku terasa sakit. Kotak itu mewakili kenangan yang menyakitkan hari ini dan aku tidak mau mengambilnya.

"Bisakah aku meninggalkannya di sini? Dibuang juga nggak masalah," kataku.

Suster senior itu menatapku sambil mengerutkan dahi. Dia seolah-olah memahami keadaanku saat ini.

"Anda adalah wanita yang kuat. Apa pun masalah yang Anda hadapi, ketahuilah bahwa itu hanya sementara."

Aku mengangguk dan berlalu. Perkataannya itu terus terngiang di kepalaku.

"Semua ini akan berlalu," gumamku.

Sesampainya di luar rumah sakit, aku memanggil taksi dan meminta untuk diantarkan ke rumahku dan Noah.

Dari luar, rumah itu terlihat sama. Namun, begitu aku tahu bahwa rumah ini tidak lagi menjadi rumahku hari ini, rasanya rumah itu menjadi asing, bahkan saat dilihat dari jauh. Rumah itu seolah-olah merepresentasikan seseorang yang kamu cintai, dan di depan matamu, orang itu berubah menjadi asing, seperti Noah.

Dada ini serasa sakit, sakit yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

"Nona, kamu nggak turun?" tanya sang sopir baik hati.

Taksi yang kutumpangi sudah terparkir di depan gerbang rumah itu selama beberapa saat, tetapi aku masih belum siap untuk turun.

Aku mengamati bagian luar rumah itu, menghafalkannya dalam ingatan. Selama tiga tahun, rumah ini telah menjadi rumahku. Ini adalah sarang kami.

Kami melewati banyak kenangan di tempat ini. Namun, sayangnya semua itu hanyalah bagian dari kepura-puraan. Suamiku hanya berpura-pura, dia tidak pernah mencintaiku. Itu adalah kenyataan terpahit yang aku harus terima.

"Maaf, Nona, tapi saya harus pergi. Ada penumpang lain yang sedang menunggu," katanya dengan ragu, membangunkanku dari lamunan.

Dengan enggan, aku membuka pintu taksi dan keluar.

Setibanya di depan pintu gerbang, aku membunyikan bel. Seorang pelayan membukakan pintu dan menatap dingin ke arahku, ekspresi ini tidak kulihat saat aku meninggalkan rumah tadi pagi.

"Cynthia," sapaku.

"Maaf, Bu Nikita," sela Cynthia sebelum aku bisa berkata lebih lanjut. Lalu, dia setengah berlari ke dalam rumah itu, ketakutan seperti tikus.

Aku memandang sosok berseragamnya yang perlahan menghilang ke dalam rumah dan menyipitkan mataku saat aku melihat semua barangku berserakan di luar pintu utama.

Pada saat yang sama, Diah, kepala pelayan kami, berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Dia menutup jalan masukku sambil menatapku dengan sinis. "Ini adalah perintah Pak Noah," jelasnya tanpa menunggu aku menanyakan pertanyaanku.

Seingatku, Diah telah bekerja sangat lama untuk Keluarga Adhitama dan dia akan selalu setia kepada Noah.

Aku teringat kembali bagaimana Matthew tersenyum sinis saat dia membuang semua barangku di Perusahaan Adhitama.

Noah mungkin telah menceraikanku, tetapi apa aku pantas diperlakukan tidak hormat seperti ini? Aku merasa seperti sampah yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Ini sungguh keterlaluan.

Kemarahan yang kutahan akibat perlakuan dari suamiku dan orang-orangnya mulai membuat darahku mendidih.

Aku mengambil ponsel dari tasku dan menghubungi Noah.

"Kamu sudah mengambil semua barangmu dari rumah itu, 'kan?" Suaranya yang dingin menyambutku begitu panggilan itu tersambung.

"Apa kamu harus memperlakukanku kayak gini hanya buat pastiin aku cepat-cepat tinggalin rumah dan perusahaanmu?" Aku tidak bisa menahan kepahitan yang keluar dari mulutku saat aku bertanya dengan nada serius.

Aku tidak percaya bahwa Noah, pria yang begitu kucintai dengan segenap hatiku, dapat berbuat sekeji ini!

Air mata yang menggenang perlahan mengaburkan penglihatanku saat suara Noah yang tegas dan dingin terdengar dari ujung telepon.

"Kamu seharusnya bersyukur aku perlakukan kayak gini. Aku bisa saja jerumusin kamu ke penjara, tapi kalau dipikir lagi, kayaknya mempermalukanmu udah cukup bagiku."

"Maksudmu apa? Memangnya aku udah buat apa sampai kamu punya pikiran untuk jerumusin aku?"

Noah mendengus. "Jangan berlagak polos di depanku, Nikita. Kamu bisa saja nipu orang tuaku dengan berlagak lugu, tapi aku nggak. Kenapa? Menyesal sekarang karena udah gagal bunuh aku?" cibirnya.

Dari nada bicaranya, aku bisa merasakan seberapa keras dia berusaha menahan amarahnya yang besar.

Aku pun marah dan berkata, "Apa?" Otakku tidak dapat memproses apa yang dia katakan.

"Maksudmu, aku yang nyebabin orang tuamu mati, juga alasan kenapa kamu koma dan dirawat di rumah sakit? Memangnya aku ada motif apa untuk lakuin itu semua?"

Noah mendengus.

"Kamu mau kita pergi ke pengadilan supaya kamu diinterogasi dan kita bisa dapat jawabannya? Kalau mau, sekalian saja kita publikasiin supaya semua orang tahu."

Dia mengancamku dan ada sesuatu dalam diriku yang memberontak. Aku juga ingin membuktikan bahwa aku tidak bersalah. 'Kenapa Noah bisa berpikiran kayak gini tentangku?'

Namun, aku menyadari bahwa dengan semua kekayaannya, Noah bisa dengan mudah membuat hidupku seperti neraka. Aku seharusnya mengikhlaskan apa yang dia lakukan padaku karena melawannya dalam hal ini akan melelahkan dan merugikan bayiku.

Kalau hanya aku yang menghadapi semua ini, aku masih mampu. Namun, berhubung aku sedang mengandung, aku juga harus memikirkan bayiku.