Sudut pandang Nikita:Setelah menyusui dan menyendawakan mereka, Yeni duduk bersamaku untuk beberapa waktu. Kami mengawasi bayi-bayi ketika mereka tertidur."Jadi, apa kamu udah pikirin nama buat si kembar?" tanyanya."Udah. Kakak-kakakku juga membantuku memilih nama. Kami berlima udah setuju dengan namanya," jelasku padanya.Ketika administrator rumah sakit datang, aku memberitahunya bahwa aku akan menamai anak-anak ini Roni, Mori, dan Beni. Mereka memakai Feri sebagai nama belakang mereka dariku. Sekarang, aku adalah Nikita Feri. Nikita Tanzil sudah hilang. Dia adalah sosok masa lalu, seseorang yang sebaiknya aku lupakan.Kami tinggal di rumah sakit untuk beberapa hari ke depan sebelum Yeni memberikan izin untuk pulang.Semua kakakku sangat perhatian kepada anak-anakku. Mereka bergantian merawat mereka, sampai-sampai tiga pengasuh yang kami sewa hampir tidak melakukan apa-apa.Aku ingin menghubungi agensi untuk mengembalikan para pengasuh itu, tetapi Romi bersikeras agar aku tetap me
Sudut pandang Nikita:Amarah yang belum pernah kurasakan sebelumnya meluap dalam diriku dan menyebar ke setiap bagian tubuhku. Ada begitu banyak hal yang harus dijawab oleh Noah Adhitama kepadaku. Kebohongan yang dia karang tidak dapat termaafkan.Ketika ketiga anakku lahir, cinta memenuhi hatiku, mengubah sudut pandangku untuk tidak lagi membalaskan dendamku pada Noah. Anak-anakku adalah segalanya bagiku. Aku tidak ingin mengacaukan hidup kami dengan muncul di wilayah Noah dan sudah bertekad untuk menjaga jarak demi ketenangan batinku.Namun, setelah mendengar fakta dari mulut Anton, kemarahan yang kian memuncak menguasai diriku. Saat mengetahui bahwa Noah sengaja menutup hal tentang warisan itu dariku, lubuk hatiku kini dipenuhi oleh kebencian yang mendalam. Dia sudah sangat keterlaluan."Aku harus apa?" tanyaku dengan tegas sembari menatap Anton tajam.Untuk sesaat, kami saling pandang dalam diam. Dia pasti sedang menilai diriku dan semangatku. Kemudian, dia tersenyum, memperlihatk
Sudut pandang Nikita:"Salon Calvin Anggara?" Aku terkejut saat menginjakkan kaki di luar gedung dua lantai yang akan menjadi tempat pertemuan untuk janji yang Cahya atur untukku.Awalnya, aku pikir aku salah. Aku melihat galeri ponselku dan membuka foto kertas yang Cahya berikan tadi malam untuk melihat apakah aku datang di tempat yang tepat. Di dalam hatiku, aku masih berpikir mungkin aku salah ingat.Ketika sudah mengecek ulang dan membuktikan bahwa alamatnya benar, aku perlahan mengerutkan dahiku. 'Kenapa dia memberikan alamat salon untukku?'Kemudian, ketika aku hendak berbalik dan meninggalkan tempat itu, pintu kaca terbuka dan memperlihatkan wajah sempurna seorang pria berusia sekitar 30 tahun dengan rambut cepak yang menonjolkan janggut dan kumisnya."Bu Nikita, halo. Aku Calvin Anggara. Senang bertemu dengan Anda," sapanya sebelum mengulurkan tangannya padaku.Saat dia mengulurkan tangannya, aku memperhatikan bagaimana dia mengamati tubuhku seolah-olah aku barang yang sedang d
Sudut pandang Noah Adhitama:Empat tahun kemudian."Kenapa nggak ada yang kasih tahu aku tentang kejadian ini?" tanyaku dengan marah kepada kepala tim hukumku.Aku menggenggam salinan koran pagi di mana sebuah laporan berita tentang cabang Hotel Adhitama diterbitkan dengan tangan kosongku.Tidak masalah jika berita yang diterbitkan adalah berita bagus, tetapi ini sebaliknya dan hal itu membuatku sangat kesal."Pak, kami sudah meminta maaf kepada tamu tersebut. Kami juga meningkatkan kamar yang dia tempati dan memberinya fasilitas gratis. Kami tidak tahu kalau dia akan mengadukan hal ini ke media.""Apa kalian sudah mengamankan perjanjian kerahasiaannya?"Seketika, ada keheningan di ujung telepon yang menandakan bahwa dia belum melakukannya."Pak Randy, Anda harus memahami bahwa kita nggak bisa menerima perkataan siapa pun begitu saja. Kita harus selalu memastikan semuanya tertulis.""Ini hanya kesalahan kecil, Pak Noah. Hal seperti ini sudah sering terjadi.""Jadi, maksudmu, selama ini
Sudut pandang Noah:"Noah!" Aku menoleh dan melihat Bella Welas, tunanganku, melambai ke arahku. Dia berjalan diapit oleh dua orang—di sebelah kanan adalah manajer yang sudah cukup kukenal selama bertahun-tahun, sementara di sisi kirinya adalah pengawalnya.Ketika mata kami bertemu, dia menjatuhkan tas besarnya dan berlari ke arahku, mengabaikan hiruk pikuk di sekelilingnya.Orang-orang mulai tersenyum melihatnya melintasi kerumunan dan mengeluarkan ponsel untuk merekam. Sebagai seorang model internasional, Bella cukup terkenal dan telah menyandang status selebritasnya secara independen.Ketika dia berlari ke arahku, semua aura kemewahan di sekitarnya seakan-akan lenyap. Sekarang, dia terlihat seperti gadis biasa yang sedang jatuh cinta. Spontan, aku tersenyum dan mulai berjalan ke arahnya.Ketika kami bertemu di tengah bandara yang luas, dia memelukku, melingkarkan lengannya di leherku, dan mencium bibirku. "Aku kangen," ungkapnya sambil perlahan mendekatkan bibirnya ke bibirku.Untu
Sudut pandang Noah:Aku masuk ke mobil dan duduk di samping Bella yang sudah di dalam. Tanpa sedikit pun meliriknya, aku menyuruh sopir untuk segera melajukan mobil.Jarum arlojiku bergerak lambat. Aku sudah tidak sabar ingin segera menurunkan Bella dan menyelesaikan urusanku yang lain.Bella beringsut mendekatiku dari kursinya. "Maaf, kamu masih marah sama aku, ya?" tanyanya.Hilang sudah citra flamboyan yang dia tunjukkan di bandara tadi. Bella kembali menjadi perempuan pemalu seperti yang kukenal dahulu, salah satu hal yang kusuka darinya."Aku nggak marah," jawabku singkat sambil terus menatap ke depan.Wajah perempuan di bandara tadi kembali muncul benakku. Matanya mirip dengan Nikita, tetapi kemiripan mereka hanya sampai di situ saja.Rambut Nikita lurus dan cokelat, sedangkan perempuan di bandara itu memiliki rambut pirang bergelombang . Tubuh perempuan itu juga sangat memikat, mulai dari pinggangnya yang ramping, pinggulnya yang seksi, hingga betisnya yang menawan. Harus kuakui
Sudut pandang Noah:Mobilku berbelok di tikungan sehingga apartemen Bella pun tak terlihat lagi. Aku segera melakukan hal yang sejak tadi tertunda karena masih ada Bella.Setelah membuka daftar kontak, aku mencari nomor Bonar, seorang detektif swasta yang bekerja untukku. Dia bekerja langsung untukku, bukan untuk perusahaan. Setelah lama saling kenal, kami akhirnya berteman baik. Sekarang, Bonar adalah salah satu orang kepercayaanku dan pemilik agen detektif terbaik di negara ini."Selamat pagi, Pak. Tumben telepon pagi-pagi," sapanya dengan nada santai saat mengangkat telepon."Jangan panggil pak. Memangnya aku bos-bos yang gila hormat?" jawabku singkat yang langsung disambut tawa Bonar."Oke. Kalau begitu, langsung saja. Ada apa kamu telepon aku?" tanyanya dengan nada seperti biasa.Sikap Bonar yang tadinya santai langsung berubah menjadi serius. Menyadari hal itu, aku tiba-tiba bingung sendiri, tidak tahu harus memulai dari mana.Meminta bantuan Bonar berarti membuka kembali luka la
Sudut pandang Noah:Setelah menemui Bonar, aku kembali ke kantor."Selamat pagi, Pak Noah," sapa asistenku yang langsung mengikutiku masuk ke ruangan.Begitu aku duduk di meja kerjaku, dia menunjukkan jadwalku hari ini. Sore ini, aku akan menjadi bintang tamu di acara TV."Kamu sudah tanya ke manajer studio siapa bintang tamu yang akan diwawancarai bareng aku nanti?" tanyaku untuk persiapan rekaman nanti.Sebagai CEO salah satu jaringan hotel terkemuka, aku sering diminta tampil di acara TV untuk keperluan promosi bagian humas. Terus terang, aku tidak terlalu suka tampil di depan kamera. Namun, ini penting untuk memperkenalkan nama hotel. Selain mampu menarik lebih banyak pelanggan, hal ini juga akan memberi keunggulan dalam persaingan bisnis."Saya dengar keluarga Feri mau masuk ke Luminair. Hotel baru mereka sudah selesai dibangun bulan kemarin. Sepertinya mereka ingin melakukan peluncuran besar-besaran, jadi CEO mereka akan ikut diwawancara dengan Bapak sore ini," jawab Chris.Terny
Sudut pandang Noah:Aku mengikuti langkah Nikita dengan mataku. Sambil memperhatikannya berjalan tergesa-gesa menaiki tangga, aku memutuskan bahwa kali ini, aku akan berusaha mati-matian hingga kami bisa bersatu lagi.Setelah beberapa menit, Nikita turun lagi. Dia menghindari tatapan mataku saat aku berusaha bertatapan dengannya."Kamu mau berangkat ke kantor?" tanyaku."Iya," jawabnya singkat seperti sengaja menghindar dariku. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya. Nikita pasti merasa canggung setelah kejadian di dapur tadi.Aku bangkit dari sofa, lalu mengambil kunci mobil dari saku depan celanaku."Ayo. Biar aku antar ke sana." Aku memberi isyarat padanya untuk mengikutiku, tetapi Nikita menghentikan langkahnya. Saat aku menoleh ke belakang, Nikita tampak canggung."Ayo. Aku antar ke Hotel Jati sebelum aku berangkat kerja," ujarku.Nikita berdeham. Namun, aku tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti ini darinya."Lukas menungguku di luar," katanya.Langkah kakiku yang beriram
Sudut pandang Nikita:Saat memasuki dapur, aku mendengar salah satu kakakku sedang mendiskusikan sesuatu dengan Roni."Karena Ayah kami ada di sini. Aku takut Om Romi kesepian dan merasa cemburu, jadi aku carikan seorang gadis supaya Om Romi bisa menikah dan punya bayi," kata Roni. Ucapannya membuat mulutku ternganga karena terkejut.Romi tiba-tiba mengalihkan pandangan matanya. Dia tampak tercengang saat tatapan mata kami bertemu."Roni, kamu ngomong apa, sih?" tanyaku pada anakku. Nada suaraku terdengar kaget, sementara para lelaki di sekitarku tertawa, kecuali Romi sendiri."Menurut Ayah, Om Romi nggak butuh bantuanmu, Ron," kata Noah saat melihat Roni tampak kecewa karena ditertawakan yang lainnya."Kenapa kamu mikir begitu?" tanyaku penasaran. Noah tampak sangat bersemangat dan itu membuatku merasa ada yang aneh."Kemarin, kakakmu keluar dari hotel bareng seorang karyawan," ungkap Noah. Ucapannya itu membuat Romi malu. Tidak biasanya kakakku merasa malu saat ketahuan sedang bersam
Sudut pandang Romi:Aku meninggalkan Hilda setelah melihat ekspresi sakit hati di wajahnya. Mungkin orang lain akan berpikir kalau aku ini berengsek, tapi aku merasa puas karena hinaanku membuatnya tersinggung.Aku pun pergi ke kamar mandi dalam untuk mandi. Ketika aku keluar dengan hanya berbalut handuk di pinggangku, kulihat dia memalingkan wajahnya."Kamu sengaja mempermainkanku, ya?!" bentak Hilda.Aku mengernyitkan alis dan menyadari kalau gadis itu tidak mau melihat ke arahku. Aku pun tersenyum sinis saat melihat lehernya merona merah."Kenapa? Kamu nungguin aku telanjang bulat?" tanyaku seraya menarik handukku dan melemparkannya ke arah Hilda. Handuk itu jatuh mengenai dadanya."Romi!" serunya parau. Wajahnya menoleh padaku dengan marah. Aku merentangkan tanganku lebar-lebar agar dia melihat bahwa aku tidak telanjang seperti dugaannya.Aku melihatnya menelan ludah ketika matanya beralih dari wajahku ke dadaku yang terbentuk sempurna, perutku yang berotot, dan kakiku yang kencang
Sudut pandang Romi:"Keluar!" perintahku saat Hilda tidak beranjak dari kursi penumpang.Aku tidak menunggunya dan beranjak dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu untuknya.Hilda bergerak perlahan.Saat dia keluar dari mobil, cahaya menyinari wajahnya. Saat itulah aku melihat wajah pucatnya yang tidak wajar.Dia terhuyung saat melangkah dan hampir terjungkal saat kehilangan keseimbangan.Aku menyusulnya tepat waktu. Tanganku segera mencengkeram bagian atas lengannya."Kamu nggak apa-apa?" tanyaku sambil mengerutkan kening.Dia tidak menjawab dan bergeming di tempatnya."Aku merasa nggak enak badan," ucapnya akhirnya.Keraguan memenuhi hatiku. Kupikir itu taktik untuk mengalihkan perhatianku agar bisa melarikan diri. Aku tidak mengira kepala Hilda akan terkulai ke samping sebelum kemudian jatuh ke dadaku.Saat itulah aku menyadarinya. Kutempelkan punggung tanganku ke dahinya dan merasakan tingginya suhu tubuhnya. Hal ini langsung membuatku khawatir. Tanpa pikir panjang, aku membopo
Sudut pandang Hilda:Area lift itu kosong.Saat berbelok di tikungan, aku merapatkan tubuhku ke dinding dan mengintip ke luar, ke tempat terakhir kali aku melihat Romi Feri. Aku memastikan diriku benar-benar tidak terlihat dari luar.Selama pengintaian ini, jantungku terus berdebar kencang.Rasa bersalah menggerogotiku. Kecurigaan yang kulihat di mata Romi tadi membuatku gelisah.Aku menghela napas lega saat melihat tempat itu sudah kosong. Dia sudah pergi.Napasku mulai teratur dan dadaku kembang kempis dengan cepat saat aku mengisi paru-paruku dengan udara.Lift berdenting, lalu pintunya terbuka untuk mengeluarkan penumpangnya.Saat lift sudah kosong, aku masuk. Setiap kali lift berhenti dan terbuka, jantungku mulai berdetak lebih kencang.Pemikiran gila memenuhi otakku. Romi Feri pasti tidak akan tinggal diam dengan temuannya itu. Dia akan mengikutiku untuk mengorek informasi sebanyak mungkin. Dia adalah saudara Nikita. Kecurigaannya terhadapku mungkin akan membuat Nikita turut menc
Sudut pandang Hilda:Aku baru saja hendak meninggalkan kafe. Tiba-tiba, seseorang menyambar lenganku.Gerakan itu terlalu tiba-tiba.Aku terkejut, tetapi saat aku mengenali pelakunya, mataku membelalak dengan ketakutan dan aku menahan teriakan yang hampir keluar dari mulutku.Ketakutan memenuhi sekujur tubuhku saat aku menatap mata coklatnya, warna yang sama seperti mata Nikita."Romi," ucapku terbata-bata.Mulutku mengucapkan namanya dengan gugup. Dia adalah kakak Nikita.Dalam sekejap, kepalaku bergerak mengarah ke kafe dengan gelisah."Aku senang kamu mengingatku," kata Romi sambil tersenyum seraya mengikuti arah pandang mataku.Aku mulai banjir keringat. Tangan-tanganku juga terasa dingin dan basah."Kita pernah ketemu sekali," jelasku dengan terbata-bata.Aku ingin sekali melarikan diri, tetapi cengkeraman Romi di lenganku menghalangiku untuk pergi.Aku menatap tangannya yang menggenggam lenganku. Mataku beralih ke wajahnya yang penuh amarah, dan aku menelan ludah dengan susah pay
Sudut pandang Bella:"Apa maumu?" Nada tajam Hilda membuatku terkejut."Lama nggak jumpa, adikku sayang. Apa kita nggak bisa setidaknya sopan satu sama lain? Kamu nggak bisa membenciku selamanya cuma karena Ibu lebih menyayangiku daripada kamu."Hilda memutar bola matanya."Kamu pikir aku masih marah soal itu? Dewasalah, Bella!"Aku tidak peduli saat dia memelototiku. Aku langsung ke inti pembicaraan."Aku nggak tahu di mana Matthew Millano, paman Noah. Kamu punya petunjuk soal keberadaannya?"Mata Hilda langsung menyipit."Sudah kubilang, aku nggak akan bekerja sama denganmu lagi. Terakhir kali kulakukan itu, aku membuat Nikita kecewa berat. Aku nggak bisa melakukannya lagi, mengkhianati sahabatku cuma karena kita saudari!"Aku tertawa, meskipun suaranya terasa hampa."Kamu yang bilang kalau kita saudari, ‘kan? Bukankah darah lebih kental daripada air? Kenapa kamu selalu membela dia? Apa kamu nggak lihat yang dia lakukan padaku?"Hilda tampak tidak peduli, malah seolah ingin membuat e
Sudut pandang Bella:"Nomor yang Anda hubungi berada di luar jangkauan. Silakan menghubungi kembali setelah beberapa saat." Aku sudah berkali-kali mendengar rekaman suara ini sejak minggu lalu dan suara itu membuatku gila.Aku mencoba menghubungi nomor itu lagi tetapi hasilnya sama saja."Sial!" Aku menengadah ke langit dengan putus asa."Bella, jangan mondar-mandir. Kamu butuh istirahat. Kamu belum tidur sejak tadi malam," kata manajer sekaligus temanku."Gimana aku bisa tidur kalau Noah ninggalin aku begitu saja? Dia mutusin semua hubungan denganku." Aku menjerit frustrasi dan marah.Manajerku terkejut melihat sikap kasar yang kutunjukkan. Ini pertama kalinya dia melihatku seperti ini. Biasanya aku selalu tenang dan terkendali."Ya ampun. Noah memang putus sama kamu, tapi ini bukan berarti kiamat, 'kan?"Aku mengepalkan tangan dan merapatkan gigiku saat mengingat ancaman Noah, yaitu surat perintah penahanan sementara. Yang lebih buruk lagi, dia mengumumkan putus hubungan denganku di
Sudut pandang Nikita:Awalnya, Noah tampak tidak memahami ucapanku."Heidi. Dia mantan pacarmu. Kamu pernah berpacaran dengannya sebelum aku muncul," kataku, mencoba menyegarkan ingatannya.Kerutan di wajah Noah menghilang dan dia mengangkat bahu seolah-olah masalah itu tidak mengganggunya."Kenapa nggak? Dia punya kemampuan. Lagi pula, kejadian itu sudah lama sekali. Aku yakin Heidi sudah melupakannya, sama sepertiku."Noah jelas tidak tahu apa yang kumaksud. Jadi, siapa yang bodoh sekarang?Aku mengangguk mengejek."Ya, dan kujamin dia belum melupakanmu. Dia adalah gunung berapi yang menunggu untuk meletus. Apa kamu nggak melihat caranya memandangmu? Gadis itu masih merindukanmu!" teriakku frustrasi."Memangnya kenapa? Aku nggak peduli kepadanya.""Noah!" tegasku memperingatkannya.Noah menyisir rambutnya ke belakang."Kamu mau aku bagaimana? Memecatnya?" balasnya.Apakah aku hanya membesar-besarkan masalah kecil?Aku berbalik untuk pergi saat dia mulai menjelaskan."Kayak aku peduli