Sudut pandang Noah:Mobilku berbelok di tikungan sehingga apartemen Bella pun tak terlihat lagi. Aku segera melakukan hal yang sejak tadi tertunda karena masih ada Bella.Setelah membuka daftar kontak, aku mencari nomor Bonar, seorang detektif swasta yang bekerja untukku. Dia bekerja langsung untukku, bukan untuk perusahaan. Setelah lama saling kenal, kami akhirnya berteman baik. Sekarang, Bonar adalah salah satu orang kepercayaanku dan pemilik agen detektif terbaik di negara ini."Selamat pagi, Pak. Tumben telepon pagi-pagi," sapanya dengan nada santai saat mengangkat telepon."Jangan panggil pak. Memangnya aku bos-bos yang gila hormat?" jawabku singkat yang langsung disambut tawa Bonar."Oke. Kalau begitu, langsung saja. Ada apa kamu telepon aku?" tanyanya dengan nada seperti biasa.Sikap Bonar yang tadinya santai langsung berubah menjadi serius. Menyadari hal itu, aku tiba-tiba bingung sendiri, tidak tahu harus memulai dari mana.Meminta bantuan Bonar berarti membuka kembali luka la
Sudut pandang Noah:Setelah menemui Bonar, aku kembali ke kantor."Selamat pagi, Pak Noah," sapa asistenku yang langsung mengikutiku masuk ke ruangan.Begitu aku duduk di meja kerjaku, dia menunjukkan jadwalku hari ini. Sore ini, aku akan menjadi bintang tamu di acara TV."Kamu sudah tanya ke manajer studio siapa bintang tamu yang akan diwawancarai bareng aku nanti?" tanyaku untuk persiapan rekaman nanti.Sebagai CEO salah satu jaringan hotel terkemuka, aku sering diminta tampil di acara TV untuk keperluan promosi bagian humas. Terus terang, aku tidak terlalu suka tampil di depan kamera. Namun, ini penting untuk memperkenalkan nama hotel. Selain mampu menarik lebih banyak pelanggan, hal ini juga akan memberi keunggulan dalam persaingan bisnis."Saya dengar keluarga Feri mau masuk ke Luminair. Hotel baru mereka sudah selesai dibangun bulan kemarin. Sepertinya mereka ingin melakukan peluncuran besar-besaran, jadi CEO mereka akan ikut diwawancara dengan Bapak sore ini," jawab Chris.Terny
Sudut pandang Noah:Wajahku serasa terbakar karena marah dengan sikap perempuan itu. Aku tidak bisa mendiamkan hal ini begitu saja. Tidak ada yang boleh menyepelekanku!"Pak Noah, terima kasih sudah hadir di acara kami. Seperti biasa, Anda luar biasa," puji Ami yang mengalihkan perhatianku dari Nikita tanpa menyadari gejolak di hatiku."Maaf, bisa diulangi?" tanyaku karena tidak menangkap jelas kata-katanya. Otakku seperti macet, tidak bisa memikirkan apa pun selain gadis penuh teka-teki bernama Nikita Feri itu.Ami mendekat dan berbisik di telingaku. Namun, aku bisa merasakan penolakan kuat dalam diriku. Kekesalanku pun makin bertambah."Bagaimana kalau setelah ini kita makan malam bersama? Restoran di seberang jalan baru saja menambah menu baru. Temanku bilang, menu barunya enak sekali," ujar Ami meskipun perhatianku tak lagi tertuju padanya."Maaf, Ami. Saya sudah ada acara lain," potongku tidak sabar.Aku bisa melihat ekspresi terkejutnya karena sikap kasarku yang tidak biasanya in
Sudut pandang Nikita:Ketika mobil berhenti di depan rumah, Markus keluar terlebih dahulu dan membukakan pintu untuk anak-anak. Namun, para pengasuh lebih tanggap karena mereka sudah melepaskan sabuk pengaman anak-anak.Alhasil, ketika Markus membuka pintu, si kembar tiga langsung melompat ke arahnya sambil tertawa. Mereka memeluk Markus sebentar sebelum satu per satu turun dan berlari menuju rumah. Para pengasuh bergegas mengejar si kembar tiga, meninggalkan Markus dan aku di luar."Hati-hati, anak-anak!" seru Markus mengingatkan ketika anak-anakku berlari menuju rumah besar yang baru saja kami tempati.Aku memandangi si kembar tiga yang berlarian dan untuk sesaat, hatiku terasa perih. Inilah pertama kalinya aku melihat Noah lagi setelah lima tahun berlalu. Aku benar-benar terkejut. Dia tidak banyak berubah, tetapi ada sesuatu yang berbeda.Mungkin selama ini aku tidak pernah benar-benar mengenalnya. Segala hal yang aku tahu tentangnya ternyata salah."Ayo ke ruang bermain!" seru Roni
Sudut pandang Nikita:Malam pesta perayaan ulang tahun ke-60 Matthew pun tiba. Saat ini, aku sedang memeriksa penampilanku di depan cermin."Wah, kamu cantik banget, Nikita," puji Marina, asistenku.Dia adalah satu-satunya anggota tim yang aku ajak ke Kota Luminair. Siang tadi, dia datang ke rumah untuk membantuku bersiap-siap menghadiri pesta malam ini.Aku tersenyum dan mengangguk sebagai tanda terima kasih. Setelah Marina pergi, aku kembali memandangi wajahku di cermin. Aku harus memastikan riasanku rapi dan tidak ada rambut bandel yang terlepas dari gelunganku. Malam ini, aku ingin semua orang terkesima melihatku.Sebagian besar tamu di pesta Matthew pastilah orang-orang yang aku kenal saat masih menikah dengan Noah. Beberapa dari mereka mungkin juga menyaksikan penghinaan yang kualami saat aku diusir dari Perusahaan Adhitama lima tahun lalu. Aku harus tampil sebaik mungkin. Aku tidak ingin orang-orang melihat sosok Nikita yang dahulu."Aku bukan Nikita Adhitama. Aku Nikita Feri. A
Sudut pandang Nikita:Begitu merasakan tatapan Noah, aku menggenggam lengan kakakku lebih erat. "Dia di sini," bisikku ke telinga Markus."Kamu tenang saja. Aku nggak ke mana-mana," balasnya dengan suara yang teduh.Saat aku melihat ke arah Noah tadinya berada, dia sudah tidak ada. Aku pun menghela napas lega.Kami mulai berjalan lagi. Aku tetap berpegangan pada lengan Markus, sementara dia menepuk-nepuk tanganku dengan lembut untuk menenangkanku."Jangan jalan sambil menunduk," ujar Markus mengingatkanku pada latihan yang kujalani selama bertahun-tahun agar layak menjadi seorang CEO Hotel Jati.Ketika kami mendekati pintu masuk, aku tak urung merasa terharu. Dahulu, hotel ini sudah seperti rumah kedua bagiku. Hotel ini adalah saksi bisu kerja kerasku bersama Noah selama tiga tahun pernikahan kami. Semua itu kami lakukan demi menjadikan Hotel Adhitama sebagai salah satu waralaba hotel terbaik di dunia.Saat kami masuk, semua mata tertuju pada kami. Ini bukan hal yang mengejutkan. Semua
Sudut pandang Nikita:Tubuhku bergetar menahan marah. Jika tadi Markus tidak segera membelaku, entah apa yang akan kulakukan pada Matthew. Bajingan itu pantas ditampar karena secara tidak langsung menyebutku perempuan mata duitan.Matthew memang selalu merendahkanku sambil memuji kebaikan hati Maria dan Dion. Dia bilang, tanpa mereka, aku bukan siapa-siapa.Aku memang berutang budi pada Maria dan Dion, tetapi aku membalas kebaikan itu dengan bekerja keras di hotel mereka. Anak mereka, Noah, memilih pergi untuk kuliah di luar negeri. Dia memberontak dan menolak mengambil alih bisnis keluarga, sementara aku tetap tinggal untuk belajar seluk beluk usaha ini.Setiap hari setelah selesai kelas, aku bekerja sebagai petugas kebersihan hotel. Aku menerima pekerjaan apa pun demi membayar uang kuliah. Sebenarnya, Dion dan Maria bisa saja menanggung biaya pendidikanku. Namun, aku tidak enak hati karena aku sudah terlalu banyak berutang pada mereka.Saat aku lulus, Dion merasa sudah waktunya aku b
Sudut pandang Nikita:"Kayaknya waktu itu sudah bilang kalau aku nggak mau lihat kamu lagi," desis Noah."Kalau begitu, kenapa tadi sore kamu ikut wawancara? Kamu sudah tahu aku bakal ada di sana, 'kan?" balasku tanpa sanggup menahan kata-kata yang meluncur dari bibirku.Aku ingin Noah tahu bahwa aku sudah berubah. Aku bukan lagi Nikita yang bisa dia injak-injak seenaknya."Aku cuma diberi tahu kalau orang yang akan diwawancarai denganku adalah Nikita Feri. Mana aku tahu itu kamu? Aku juga baru tahu kalau ternyata kamu sudah menikah lagi," ujarnya dengan nada membela diri yang membuatku sedikit puas."Nggak kusangka kamu masih memperhatikan kehidupan pribadiku," balasku sarkastis.Bibir Noah mengencang, tanda bahwa dia marah mendengar ejekanku. "Mau apa kamu ke sini? Kenapa kamu kembali?" tanyanya dengan nada curiga dan tatapan menyipit.Aku mendengus mendengar nada bicaranya yang kasar. Pria ini angkuh sekali!"Yang jelas, aku nggak ke sini demi kamu. Kamu sudah mengusirku," geramku.
Sudut pandang Noah:Aku mengikuti langkah Nikita dengan mataku. Sambil memperhatikannya berjalan tergesa-gesa menaiki tangga, aku memutuskan bahwa kali ini, aku akan berusaha mati-matian hingga kami bisa bersatu lagi.Setelah beberapa menit, Nikita turun lagi. Dia menghindari tatapan mataku saat aku berusaha bertatapan dengannya."Kamu mau berangkat ke kantor?" tanyaku."Iya," jawabnya singkat seperti sengaja menghindar dariku. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya. Nikita pasti merasa canggung setelah kejadian di dapur tadi.Aku bangkit dari sofa, lalu mengambil kunci mobil dari saku depan celanaku."Ayo. Biar aku antar ke sana." Aku memberi isyarat padanya untuk mengikutiku, tetapi Nikita menghentikan langkahnya. Saat aku menoleh ke belakang, Nikita tampak canggung."Ayo. Aku antar ke Hotel Jati sebelum aku berangkat kerja," ujarku.Nikita berdeham. Namun, aku tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti ini darinya."Lukas menungguku di luar," katanya.Langkah kakiku yang beriram
Sudut pandang Nikita:Saat memasuki dapur, aku mendengar salah satu kakakku sedang mendiskusikan sesuatu dengan Roni."Karena Ayah kami ada di sini. Aku takut Om Romi kesepian dan merasa cemburu, jadi aku carikan seorang gadis supaya Om Romi bisa menikah dan punya bayi," kata Roni. Ucapannya membuat mulutku ternganga karena terkejut.Romi tiba-tiba mengalihkan pandangan matanya. Dia tampak tercengang saat tatapan mata kami bertemu."Roni, kamu ngomong apa, sih?" tanyaku pada anakku. Nada suaraku terdengar kaget, sementara para lelaki di sekitarku tertawa, kecuali Romi sendiri."Menurut Ayah, Om Romi nggak butuh bantuanmu, Ron," kata Noah saat melihat Roni tampak kecewa karena ditertawakan yang lainnya."Kenapa kamu mikir begitu?" tanyaku penasaran. Noah tampak sangat bersemangat dan itu membuatku merasa ada yang aneh."Kemarin, kakakmu keluar dari hotel bareng seorang karyawan," ungkap Noah. Ucapannya itu membuat Romi malu. Tidak biasanya kakakku merasa malu saat ketahuan sedang bersam
Sudut pandang Romi:Aku meninggalkan Hilda setelah melihat ekspresi sakit hati di wajahnya. Mungkin orang lain akan berpikir kalau aku ini berengsek, tapi aku merasa puas karena hinaanku membuatnya tersinggung.Aku pun pergi ke kamar mandi dalam untuk mandi. Ketika aku keluar dengan hanya berbalut handuk di pinggangku, kulihat dia memalingkan wajahnya."Kamu sengaja mempermainkanku, ya?!" bentak Hilda.Aku mengernyitkan alis dan menyadari kalau gadis itu tidak mau melihat ke arahku. Aku pun tersenyum sinis saat melihat lehernya merona merah."Kenapa? Kamu nungguin aku telanjang bulat?" tanyaku seraya menarik handukku dan melemparkannya ke arah Hilda. Handuk itu jatuh mengenai dadanya."Romi!" serunya parau. Wajahnya menoleh padaku dengan marah. Aku merentangkan tanganku lebar-lebar agar dia melihat bahwa aku tidak telanjang seperti dugaannya.Aku melihatnya menelan ludah ketika matanya beralih dari wajahku ke dadaku yang terbentuk sempurna, perutku yang berotot, dan kakiku yang kencang
Sudut pandang Romi:"Keluar!" perintahku saat Hilda tidak beranjak dari kursi penumpang.Aku tidak menunggunya dan beranjak dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu untuknya.Hilda bergerak perlahan.Saat dia keluar dari mobil, cahaya menyinari wajahnya. Saat itulah aku melihat wajah pucatnya yang tidak wajar.Dia terhuyung saat melangkah dan hampir terjungkal saat kehilangan keseimbangan.Aku menyusulnya tepat waktu. Tanganku segera mencengkeram bagian atas lengannya."Kamu nggak apa-apa?" tanyaku sambil mengerutkan kening.Dia tidak menjawab dan bergeming di tempatnya."Aku merasa nggak enak badan," ucapnya akhirnya.Keraguan memenuhi hatiku. Kupikir itu taktik untuk mengalihkan perhatianku agar bisa melarikan diri. Aku tidak mengira kepala Hilda akan terkulai ke samping sebelum kemudian jatuh ke dadaku.Saat itulah aku menyadarinya. Kutempelkan punggung tanganku ke dahinya dan merasakan tingginya suhu tubuhnya. Hal ini langsung membuatku khawatir. Tanpa pikir panjang, aku membopo
Sudut pandang Hilda:Area lift itu kosong.Saat berbelok di tikungan, aku merapatkan tubuhku ke dinding dan mengintip ke luar, ke tempat terakhir kali aku melihat Romi Feri. Aku memastikan diriku benar-benar tidak terlihat dari luar.Selama pengintaian ini, jantungku terus berdebar kencang.Rasa bersalah menggerogotiku. Kecurigaan yang kulihat di mata Romi tadi membuatku gelisah.Aku menghela napas lega saat melihat tempat itu sudah kosong. Dia sudah pergi.Napasku mulai teratur dan dadaku kembang kempis dengan cepat saat aku mengisi paru-paruku dengan udara.Lift berdenting, lalu pintunya terbuka untuk mengeluarkan penumpangnya.Saat lift sudah kosong, aku masuk. Setiap kali lift berhenti dan terbuka, jantungku mulai berdetak lebih kencang.Pemikiran gila memenuhi otakku. Romi Feri pasti tidak akan tinggal diam dengan temuannya itu. Dia akan mengikutiku untuk mengorek informasi sebanyak mungkin. Dia adalah saudara Nikita. Kecurigaannya terhadapku mungkin akan membuat Nikita turut menc
Sudut pandang Hilda:Aku baru saja hendak meninggalkan kafe. Tiba-tiba, seseorang menyambar lenganku.Gerakan itu terlalu tiba-tiba.Aku terkejut, tetapi saat aku mengenali pelakunya, mataku membelalak dengan ketakutan dan aku menahan teriakan yang hampir keluar dari mulutku.Ketakutan memenuhi sekujur tubuhku saat aku menatap mata coklatnya, warna yang sama seperti mata Nikita."Romi," ucapku terbata-bata.Mulutku mengucapkan namanya dengan gugup. Dia adalah kakak Nikita.Dalam sekejap, kepalaku bergerak mengarah ke kafe dengan gelisah."Aku senang kamu mengingatku," kata Romi sambil tersenyum seraya mengikuti arah pandang mataku.Aku mulai banjir keringat. Tangan-tanganku juga terasa dingin dan basah."Kita pernah ketemu sekali," jelasku dengan terbata-bata.Aku ingin sekali melarikan diri, tetapi cengkeraman Romi di lenganku menghalangiku untuk pergi.Aku menatap tangannya yang menggenggam lenganku. Mataku beralih ke wajahnya yang penuh amarah, dan aku menelan ludah dengan susah pay
Sudut pandang Bella:"Apa maumu?" Nada tajam Hilda membuatku terkejut."Lama nggak jumpa, adikku sayang. Apa kita nggak bisa setidaknya sopan satu sama lain? Kamu nggak bisa membenciku selamanya cuma karena Ibu lebih menyayangiku daripada kamu."Hilda memutar bola matanya."Kamu pikir aku masih marah soal itu? Dewasalah, Bella!"Aku tidak peduli saat dia memelototiku. Aku langsung ke inti pembicaraan."Aku nggak tahu di mana Matthew Millano, paman Noah. Kamu punya petunjuk soal keberadaannya?"Mata Hilda langsung menyipit."Sudah kubilang, aku nggak akan bekerja sama denganmu lagi. Terakhir kali kulakukan itu, aku membuat Nikita kecewa berat. Aku nggak bisa melakukannya lagi, mengkhianati sahabatku cuma karena kita saudari!"Aku tertawa, meskipun suaranya terasa hampa."Kamu yang bilang kalau kita saudari, ‘kan? Bukankah darah lebih kental daripada air? Kenapa kamu selalu membela dia? Apa kamu nggak lihat yang dia lakukan padaku?"Hilda tampak tidak peduli, malah seolah ingin membuat e
Sudut pandang Bella:"Nomor yang Anda hubungi berada di luar jangkauan. Silakan menghubungi kembali setelah beberapa saat." Aku sudah berkali-kali mendengar rekaman suara ini sejak minggu lalu dan suara itu membuatku gila.Aku mencoba menghubungi nomor itu lagi tetapi hasilnya sama saja."Sial!" Aku menengadah ke langit dengan putus asa."Bella, jangan mondar-mandir. Kamu butuh istirahat. Kamu belum tidur sejak tadi malam," kata manajer sekaligus temanku."Gimana aku bisa tidur kalau Noah ninggalin aku begitu saja? Dia mutusin semua hubungan denganku." Aku menjerit frustrasi dan marah.Manajerku terkejut melihat sikap kasar yang kutunjukkan. Ini pertama kalinya dia melihatku seperti ini. Biasanya aku selalu tenang dan terkendali."Ya ampun. Noah memang putus sama kamu, tapi ini bukan berarti kiamat, 'kan?"Aku mengepalkan tangan dan merapatkan gigiku saat mengingat ancaman Noah, yaitu surat perintah penahanan sementara. Yang lebih buruk lagi, dia mengumumkan putus hubungan denganku di
Sudut pandang Nikita:Awalnya, Noah tampak tidak memahami ucapanku."Heidi. Dia mantan pacarmu. Kamu pernah berpacaran dengannya sebelum aku muncul," kataku, mencoba menyegarkan ingatannya.Kerutan di wajah Noah menghilang dan dia mengangkat bahu seolah-olah masalah itu tidak mengganggunya."Kenapa nggak? Dia punya kemampuan. Lagi pula, kejadian itu sudah lama sekali. Aku yakin Heidi sudah melupakannya, sama sepertiku."Noah jelas tidak tahu apa yang kumaksud. Jadi, siapa yang bodoh sekarang?Aku mengangguk mengejek."Ya, dan kujamin dia belum melupakanmu. Dia adalah gunung berapi yang menunggu untuk meletus. Apa kamu nggak melihat caranya memandangmu? Gadis itu masih merindukanmu!" teriakku frustrasi."Memangnya kenapa? Aku nggak peduli kepadanya.""Noah!" tegasku memperingatkannya.Noah menyisir rambutnya ke belakang."Kamu mau aku bagaimana? Memecatnya?" balasnya.Apakah aku hanya membesar-besarkan masalah kecil?Aku berbalik untuk pergi saat dia mulai menjelaskan."Kayak aku peduli