Sudut pandang Nikita:Tubuhku bergetar menahan marah. Jika tadi Markus tidak segera membelaku, entah apa yang akan kulakukan pada Matthew. Bajingan itu pantas ditampar karena secara tidak langsung menyebutku perempuan mata duitan.Matthew memang selalu merendahkanku sambil memuji kebaikan hati Maria dan Dion. Dia bilang, tanpa mereka, aku bukan siapa-siapa.Aku memang berutang budi pada Maria dan Dion, tetapi aku membalas kebaikan itu dengan bekerja keras di hotel mereka. Anak mereka, Noah, memilih pergi untuk kuliah di luar negeri. Dia memberontak dan menolak mengambil alih bisnis keluarga, sementara aku tetap tinggal untuk belajar seluk beluk usaha ini.Setiap hari setelah selesai kelas, aku bekerja sebagai petugas kebersihan hotel. Aku menerima pekerjaan apa pun demi membayar uang kuliah. Sebenarnya, Dion dan Maria bisa saja menanggung biaya pendidikanku. Namun, aku tidak enak hati karena aku sudah terlalu banyak berutang pada mereka.Saat aku lulus, Dion merasa sudah waktunya aku b
Sudut pandang Nikita:"Kayaknya waktu itu sudah bilang kalau aku nggak mau lihat kamu lagi," desis Noah."Kalau begitu, kenapa tadi sore kamu ikut wawancara? Kamu sudah tahu aku bakal ada di sana, 'kan?" balasku tanpa sanggup menahan kata-kata yang meluncur dari bibirku.Aku ingin Noah tahu bahwa aku sudah berubah. Aku bukan lagi Nikita yang bisa dia injak-injak seenaknya."Aku cuma diberi tahu kalau orang yang akan diwawancarai denganku adalah Nikita Feri. Mana aku tahu itu kamu? Aku juga baru tahu kalau ternyata kamu sudah menikah lagi," ujarnya dengan nada membela diri yang membuatku sedikit puas."Nggak kusangka kamu masih memperhatikan kehidupan pribadiku," balasku sarkastis.Bibir Noah mengencang, tanda bahwa dia marah mendengar ejekanku. "Mau apa kamu ke sini? Kenapa kamu kembali?" tanyanya dengan nada curiga dan tatapan menyipit.Aku mendengus mendengar nada bicaranya yang kasar. Pria ini angkuh sekali!"Yang jelas, aku nggak ke sini demi kamu. Kamu sudah mengusirku," geramku.
Sudut pandang Nikita:Mendengar perkataan sahabatku, aku terdiam. Aku sendiri bingung bagaimana aku dan Noah bisa sampai berciuman.Hilda menatapku seolah-olah menunggu jawaban, tetapi aku tidak berani menatap balik ke arahnya. Aku hanya bisa diam karena, jujur saja, aku masih terguncang oleh kejadian barusan.Ciuman itu begitu tiba-tiba dan sangat tak terduga. Di satu sisi, aku ingin menyalahkan Noah atas tindakan tidak senonohnya barusan. Aku sangat membenci pria itu. Namun, di sisi lain, mengapa aku membalas ciumannya? Lebih parahnya lagi, mengapa aku menikmatinya?Ini gila! Pria itu sudah bertunangan. Dia mencintai perempuan lain dan hubungan mereka sudah berjalan tiga atau empat tahun.Rasanya, aku ingin membenturkan kepalaku ke cermin untuk menyadarkan diriku sendiri. Aku bukan pelakor. Bella tidak pantas mengalami hal ini.Seandainya Noah tidak berhenti, apakah keintiman tadi akan berakhir dengan ciuman itu? Aku menatap wajahku yang memerah di cermin karena membayangkan skenario
Sudut pandang Noah:Ketika Hilda menyeret Nikita pergi, aku hanya bisa memandangnya dengan perasaan kehilangan yang tidak bisa kujelaskan. Aku menggeleng lemah, tidak bisa memahami pikiranku sendiri.Aku sangat membenci perempuan itu. Namun, saat melihat sosoknya yang menjauh, mengapa ada dorongan kuat untuk merengkuhnya?"Aku kira kamu benci dia," komentar Bella yang membuyarkan lamunanku.Saat mendengar nada kecewa dalam suaranya, aku tak urung meringis. "Mau apa kamu ke sini?" tanyaku yang tanpa sadar sudah membentaknya.Bella tersentak melihat sikap agresifku. Diam-diam, aku menyesali tindakanku barusan dan merasa kasihan padanya. Selama kami bersama, aku selalu sabar padanya dan dia juga selalu sabar padaku. Dia bisa memahami masa laluku.Aku menghela napas perlahan. "Maaf," kataku dengan nada lelah.Tanganku bergerak menyisir rambutku. Tadinya, tangan itu terulur untuk menarik Nikita kembali. Aku sangat ingin mengejarnya dan melanjutkan apa yang sudah kami mulai.Bella mungkin me
Sudut pandang Noah:"Jadi, kecelakaan itu cuma kecelakaan biasa?" gumamku pada diri sendiri, sementara penyesalan membuatku merasa bahwa selama ini aku seperti orang bodoh.Aku membiarkan kebencian menguasai diriku, padahal sebenarnya Nikita tidak bersalah. Yang lebih parah lagi ... aku hanya bisa menggeleng menyesali lima tahunku yang terbuang sia-sia."Nggak juga," sahut Bonar di ujung telepon."Apa maksudmu?" tanyaku yang menangkap maksud lain dalam ucapannya.Seandainya bisa membalikkan waktu, aku mungkin tidak perlu merasakan kehilangan yang begitu hebat sekarang. Selain kehilangan orang tuaku, aku juga sudah kehilangan istriku.Bonar berdeham. Aku bisa merasakan keraguannya dalam keheningan di antara kami."Katakan saja, Bonar. Kamu tahu aku siap mendengarnya," desakku tidak sabar."Ada yang merusak mobilmu. Polisi tidak bisa menemukan tersangka selain istrimu karena dia diduga punya motif," ujarnya. "Kamu bilang dia berselingkuh, jadi polisi mengambil kesimpulan seperti itu."Ak
Sudut pandang Noah:Saat aku menunggu mobil, rasa sesal menderaku dengan bermacam pernyataan yang diawali dengan klausa 'seandainya saja dahulu', 'andai saja waktu itu', dan lain sebagainya. Aku baru bisa sedikit merasa lega ketika Chris turun dan membukakan pintu ketika mobil akhirnya berhenti di depanku."Kita mau ke apartemen, Pak?" tanyanya ketika aku masuk."Nggak. Jalan-jalan saja dulu," jawabku.Mesin mobil dinyalakan dan kami pun meninggalkan hotel. Kami hanya berkeliling kota tanpa tujuan yang jelas. Aku menurunkan jendela dan membiarkan angin malam menerpa wajahku."Aku mau beli rokok," kataku kepada Chris.Sopir segera menghentikan mobil di area parkir minimarket yang buka 24 jam. Aku keluar dan meminta Chris serta sopir untuk tetap di mobil."Aku cuma sebentar," kataku.Aku masuk dan langsung ke konter untuk membeli merek rokok yang biasanya aku isap. Minimarket lumayan ramai sehingga aku harus berdiri mengantre dan menunggu giliran.Sambil menunggu, aku merasakan ada sesua
Sudut pandang Noah:Aku merasa seperti penguntit saat mobilku mengikuti SUV hitam itu melaju di jalan tol. Di lampu merah berikutnya, mobil itu berbelok ke kiri dan berhenti di depan sebuah rumah besar.Rumah mewah modern yang tampak baru itu berlantai dua dan terlihat megah dari jauh. Lampu di luar memancarkan cahaya kuning lembut yang tampak hangat. Latar hijau pepohonan dan rumput menonjolkan kesederhanaan, kerapian, dan kemewahan yang tidak berlebihan.Melihat rumah itu seperti melihat Nikita sendiri. Dahulu, dia seorang perempuan sederhana yang kecantikannya memancar dari dalam."Dadah, Ayah," teriak anak-anak serempak sambil berlari keluar mobil, menghindari kejaran ayah mereka. Aku menyaksikan kebersamaan itu sambil menahan rasa iri dan sakit di dada."Itu Pak Markus. Saya baru tahu dia punya anak," ujar sopir mengalihkan perhatianku."Dia selebritas terkenal. Mungkin dia ingin melindungi privasi keluarganya," jawab Chris menjelaskan."Ayo pergi," kataku pada sopir setelah mengh
Sudut pandang Noah:"Bagaimana aku bisa sampai rumah?" gumamku. Itulah pertanyaan pertama yang muncul di benakku ketika aku membuka mata dan melihat langit-langit kamar tidurku yang familier.Ponselku tiba-tiba berdering. Meskipun masih merasa pusing, aku menyipitkan mata untuk mencari ponsel. Setelah meraihnya dari meja di samping tempat tidur, aku menekan tombol jawab."Ya?" gumamku dengan suara serak. Setelah peneleponku berbicara, aku mencoba duduk tegak."Chris, siapa yang antar aku pulang?" tanyaku sambil merapikan rambut yang jatuh ke dahiku.Aku benar-benar tidak ingat apa yang terjadi malam sebelumnya. Aku terlalu mabuk."Sopir dan Pak Bonar, Pak. Mereka yang memapah Anda ke kamar," jawabnya.Aku meringis ketika rasa sakit dari belakang kepala menjalar ke pelipis. "Apa kamu bisa belikan obat sakit kepala? Kepalaku rasanya mau pecah," kataku padanya.Chris menyanggupi dan menutup telepon. Beberapa menit kemudian, aku mendengar ketukan di pintu. Thomas, kepala pelayanku, berjala
Sudut pandang Noah:Aku mengikuti langkah Nikita dengan mataku. Sambil memperhatikannya berjalan tergesa-gesa menaiki tangga, aku memutuskan bahwa kali ini, aku akan berusaha mati-matian hingga kami bisa bersatu lagi.Setelah beberapa menit, Nikita turun lagi. Dia menghindari tatapan mataku saat aku berusaha bertatapan dengannya."Kamu mau berangkat ke kantor?" tanyaku."Iya," jawabnya singkat seperti sengaja menghindar dariku. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya. Nikita pasti merasa canggung setelah kejadian di dapur tadi.Aku bangkit dari sofa, lalu mengambil kunci mobil dari saku depan celanaku."Ayo. Biar aku antar ke sana." Aku memberi isyarat padanya untuk mengikutiku, tetapi Nikita menghentikan langkahnya. Saat aku menoleh ke belakang, Nikita tampak canggung."Ayo. Aku antar ke Hotel Jati sebelum aku berangkat kerja," ujarku.Nikita berdeham. Namun, aku tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti ini darinya."Lukas menungguku di luar," katanya.Langkah kakiku yang beriram
Sudut pandang Nikita:Saat memasuki dapur, aku mendengar salah satu kakakku sedang mendiskusikan sesuatu dengan Roni."Karena Ayah kami ada di sini. Aku takut Om Romi kesepian dan merasa cemburu, jadi aku carikan seorang gadis supaya Om Romi bisa menikah dan punya bayi," kata Roni. Ucapannya membuat mulutku ternganga karena terkejut.Romi tiba-tiba mengalihkan pandangan matanya. Dia tampak tercengang saat tatapan mata kami bertemu."Roni, kamu ngomong apa, sih?" tanyaku pada anakku. Nada suaraku terdengar kaget, sementara para lelaki di sekitarku tertawa, kecuali Romi sendiri."Menurut Ayah, Om Romi nggak butuh bantuanmu, Ron," kata Noah saat melihat Roni tampak kecewa karena ditertawakan yang lainnya."Kenapa kamu mikir begitu?" tanyaku penasaran. Noah tampak sangat bersemangat dan itu membuatku merasa ada yang aneh."Kemarin, kakakmu keluar dari hotel bareng seorang karyawan," ungkap Noah. Ucapannya itu membuat Romi malu. Tidak biasanya kakakku merasa malu saat ketahuan sedang bersam
Sudut pandang Romi:Aku meninggalkan Hilda setelah melihat ekspresi sakit hati di wajahnya. Mungkin orang lain akan berpikir kalau aku ini berengsek, tapi aku merasa puas karena hinaanku membuatnya tersinggung.Aku pun pergi ke kamar mandi dalam untuk mandi. Ketika aku keluar dengan hanya berbalut handuk di pinggangku, kulihat dia memalingkan wajahnya."Kamu sengaja mempermainkanku, ya?!" bentak Hilda.Aku mengernyitkan alis dan menyadari kalau gadis itu tidak mau melihat ke arahku. Aku pun tersenyum sinis saat melihat lehernya merona merah."Kenapa? Kamu nungguin aku telanjang bulat?" tanyaku seraya menarik handukku dan melemparkannya ke arah Hilda. Handuk itu jatuh mengenai dadanya."Romi!" serunya parau. Wajahnya menoleh padaku dengan marah. Aku merentangkan tanganku lebar-lebar agar dia melihat bahwa aku tidak telanjang seperti dugaannya.Aku melihatnya menelan ludah ketika matanya beralih dari wajahku ke dadaku yang terbentuk sempurna, perutku yang berotot, dan kakiku yang kencang
Sudut pandang Romi:"Keluar!" perintahku saat Hilda tidak beranjak dari kursi penumpang.Aku tidak menunggunya dan beranjak dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu untuknya.Hilda bergerak perlahan.Saat dia keluar dari mobil, cahaya menyinari wajahnya. Saat itulah aku melihat wajah pucatnya yang tidak wajar.Dia terhuyung saat melangkah dan hampir terjungkal saat kehilangan keseimbangan.Aku menyusulnya tepat waktu. Tanganku segera mencengkeram bagian atas lengannya."Kamu nggak apa-apa?" tanyaku sambil mengerutkan kening.Dia tidak menjawab dan bergeming di tempatnya."Aku merasa nggak enak badan," ucapnya akhirnya.Keraguan memenuhi hatiku. Kupikir itu taktik untuk mengalihkan perhatianku agar bisa melarikan diri. Aku tidak mengira kepala Hilda akan terkulai ke samping sebelum kemudian jatuh ke dadaku.Saat itulah aku menyadarinya. Kutempelkan punggung tanganku ke dahinya dan merasakan tingginya suhu tubuhnya. Hal ini langsung membuatku khawatir. Tanpa pikir panjang, aku membopo
Sudut pandang Hilda:Area lift itu kosong.Saat berbelok di tikungan, aku merapatkan tubuhku ke dinding dan mengintip ke luar, ke tempat terakhir kali aku melihat Romi Feri. Aku memastikan diriku benar-benar tidak terlihat dari luar.Selama pengintaian ini, jantungku terus berdebar kencang.Rasa bersalah menggerogotiku. Kecurigaan yang kulihat di mata Romi tadi membuatku gelisah.Aku menghela napas lega saat melihat tempat itu sudah kosong. Dia sudah pergi.Napasku mulai teratur dan dadaku kembang kempis dengan cepat saat aku mengisi paru-paruku dengan udara.Lift berdenting, lalu pintunya terbuka untuk mengeluarkan penumpangnya.Saat lift sudah kosong, aku masuk. Setiap kali lift berhenti dan terbuka, jantungku mulai berdetak lebih kencang.Pemikiran gila memenuhi otakku. Romi Feri pasti tidak akan tinggal diam dengan temuannya itu. Dia akan mengikutiku untuk mengorek informasi sebanyak mungkin. Dia adalah saudara Nikita. Kecurigaannya terhadapku mungkin akan membuat Nikita turut menc
Sudut pandang Hilda:Aku baru saja hendak meninggalkan kafe. Tiba-tiba, seseorang menyambar lenganku.Gerakan itu terlalu tiba-tiba.Aku terkejut, tetapi saat aku mengenali pelakunya, mataku membelalak dengan ketakutan dan aku menahan teriakan yang hampir keluar dari mulutku.Ketakutan memenuhi sekujur tubuhku saat aku menatap mata coklatnya, warna yang sama seperti mata Nikita."Romi," ucapku terbata-bata.Mulutku mengucapkan namanya dengan gugup. Dia adalah kakak Nikita.Dalam sekejap, kepalaku bergerak mengarah ke kafe dengan gelisah."Aku senang kamu mengingatku," kata Romi sambil tersenyum seraya mengikuti arah pandang mataku.Aku mulai banjir keringat. Tangan-tanganku juga terasa dingin dan basah."Kita pernah ketemu sekali," jelasku dengan terbata-bata.Aku ingin sekali melarikan diri, tetapi cengkeraman Romi di lenganku menghalangiku untuk pergi.Aku menatap tangannya yang menggenggam lenganku. Mataku beralih ke wajahnya yang penuh amarah, dan aku menelan ludah dengan susah pay
Sudut pandang Bella:"Apa maumu?" Nada tajam Hilda membuatku terkejut."Lama nggak jumpa, adikku sayang. Apa kita nggak bisa setidaknya sopan satu sama lain? Kamu nggak bisa membenciku selamanya cuma karena Ibu lebih menyayangiku daripada kamu."Hilda memutar bola matanya."Kamu pikir aku masih marah soal itu? Dewasalah, Bella!"Aku tidak peduli saat dia memelototiku. Aku langsung ke inti pembicaraan."Aku nggak tahu di mana Matthew Millano, paman Noah. Kamu punya petunjuk soal keberadaannya?"Mata Hilda langsung menyipit."Sudah kubilang, aku nggak akan bekerja sama denganmu lagi. Terakhir kali kulakukan itu, aku membuat Nikita kecewa berat. Aku nggak bisa melakukannya lagi, mengkhianati sahabatku cuma karena kita saudari!"Aku tertawa, meskipun suaranya terasa hampa."Kamu yang bilang kalau kita saudari, ‘kan? Bukankah darah lebih kental daripada air? Kenapa kamu selalu membela dia? Apa kamu nggak lihat yang dia lakukan padaku?"Hilda tampak tidak peduli, malah seolah ingin membuat e
Sudut pandang Bella:"Nomor yang Anda hubungi berada di luar jangkauan. Silakan menghubungi kembali setelah beberapa saat." Aku sudah berkali-kali mendengar rekaman suara ini sejak minggu lalu dan suara itu membuatku gila.Aku mencoba menghubungi nomor itu lagi tetapi hasilnya sama saja."Sial!" Aku menengadah ke langit dengan putus asa."Bella, jangan mondar-mandir. Kamu butuh istirahat. Kamu belum tidur sejak tadi malam," kata manajer sekaligus temanku."Gimana aku bisa tidur kalau Noah ninggalin aku begitu saja? Dia mutusin semua hubungan denganku." Aku menjerit frustrasi dan marah.Manajerku terkejut melihat sikap kasar yang kutunjukkan. Ini pertama kalinya dia melihatku seperti ini. Biasanya aku selalu tenang dan terkendali."Ya ampun. Noah memang putus sama kamu, tapi ini bukan berarti kiamat, 'kan?"Aku mengepalkan tangan dan merapatkan gigiku saat mengingat ancaman Noah, yaitu surat perintah penahanan sementara. Yang lebih buruk lagi, dia mengumumkan putus hubungan denganku di
Sudut pandang Nikita:Awalnya, Noah tampak tidak memahami ucapanku."Heidi. Dia mantan pacarmu. Kamu pernah berpacaran dengannya sebelum aku muncul," kataku, mencoba menyegarkan ingatannya.Kerutan di wajah Noah menghilang dan dia mengangkat bahu seolah-olah masalah itu tidak mengganggunya."Kenapa nggak? Dia punya kemampuan. Lagi pula, kejadian itu sudah lama sekali. Aku yakin Heidi sudah melupakannya, sama sepertiku."Noah jelas tidak tahu apa yang kumaksud. Jadi, siapa yang bodoh sekarang?Aku mengangguk mengejek."Ya, dan kujamin dia belum melupakanmu. Dia adalah gunung berapi yang menunggu untuk meletus. Apa kamu nggak melihat caranya memandangmu? Gadis itu masih merindukanmu!" teriakku frustrasi."Memangnya kenapa? Aku nggak peduli kepadanya.""Noah!" tegasku memperingatkannya.Noah menyisir rambutnya ke belakang."Kamu mau aku bagaimana? Memecatnya?" balasnya.Apakah aku hanya membesar-besarkan masalah kecil?Aku berbalik untuk pergi saat dia mulai menjelaskan."Kayak aku peduli