Sudut pandang Noah:"Bagaimana aku bisa sampai rumah?" gumamku. Itulah pertanyaan pertama yang muncul di benakku ketika aku membuka mata dan melihat langit-langit kamar tidurku yang familier.Ponselku tiba-tiba berdering. Meskipun masih merasa pusing, aku menyipitkan mata untuk mencari ponsel. Setelah meraihnya dari meja di samping tempat tidur, aku menekan tombol jawab."Ya?" gumamku dengan suara serak. Setelah peneleponku berbicara, aku mencoba duduk tegak."Chris, siapa yang antar aku pulang?" tanyaku sambil merapikan rambut yang jatuh ke dahiku.Aku benar-benar tidak ingat apa yang terjadi malam sebelumnya. Aku terlalu mabuk."Sopir dan Pak Bonar, Pak. Mereka yang memapah Anda ke kamar," jawabnya.Aku meringis ketika rasa sakit dari belakang kepala menjalar ke pelipis. "Apa kamu bisa belikan obat sakit kepala? Kepalaku rasanya mau pecah," kataku padanya.Chris menyanggupi dan menutup telepon. Beberapa menit kemudian, aku mendengar ketukan di pintu. Thomas, kepala pelayanku, berjala
Sudut Pandang Nikita:"Kamu nggak apa-apa?" tanya Anton Gamma setelah konferensi. Kami keluar menyusul yang lain karena aku merasa sekujur tubuhku terbakar. Duduk bersama mantanmu itu menyebalkan."Aku nggak apa-apa, Anton. Kamu sama Marina bisa tunggu aku di mobil nggak? Aku cuma mau cari angin saja," jawabku. Anton tampak ragu untuk pergi. Dia melihat wajahku sebentar sebelum mengangguk setuju.Saat dia dan Marina pergi, aku pergi ke toilet mengikuti petunjuk salah satu staf. Aku melihat wajah merahku di cermin dan mengerang. Aku kesulitan mengendalikan diri, berusaha cuek saat duduk di samping mantan suamiku. Rasanya tidak nyaman.Aku gelisah selama konferensi itu. Aku berharap waktu berjalan lebih cepat agar bisa segera pergi. Noah adalah satu-satunya laki-laki dalam hidupku. Meskipun aku membencinya selama lima tahun terakhir, jiwaku tetap terguncang saat melihatnya dan duduk di sampingnya.Aku benci mengakuinya, tetapi aku sadar kalau Noah masih memberikan pengaruh yang sama terh
Sudut pandang Nikita:Aku menyingkir secepatnya. Noah berteriak memanggilku. Aku bisa mendengar suara gesekan sepatunya dengan lantai, lalu memperkuat dorongan kakiku untuk berjalan lebih cepat. Orang-orang yang keheranan menoleh ke arahku, tetapi itu tidak menghentikan langkahku. Aku cuma mau pergi sejauh mungkin darinya, menjauhkan jarak di antara kami untuk menenangkan diri.Saat berjalan, pintu darurat terus menghantui pikiranku dan penyesalan membanjiri benakku. Kok bisa aku membiarkan mantan suamiku menjamah bibirku semudah itu?Kejadian semacam ini bukan terjadi untuk pertama kalinya. Aku menggeleng karena jijik dengan perbuatan sendiri. Aku tidak boleh membiarkan ini jadi kebiasaan."Kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Berhenti menciumku, Noah!" bentakku saat dia menyusulku, lalu dia memutar tubuhku ke arahnya."Kamu pikir aku suka melakukannya?" ucapnya dengan suara serak. Mataku terbelalak."Jadi, sekarang ini salahku?" tanyaku. Pertanyaanku membuat Noah terkejut. Dia tampak t
Sudut Pandang Nikita:Aku meninggalkan Noah yang ternganga di lobi dan sangat puas dengan aksiku. Jarang-jarang aku berhasil membuatnya tertegun saat berdebat, jadi aku begitu puas saat berhasil melakukannya hari ini. Aku membuat Noah kehabisan kata-kata! Sepertinya, aku pantas mendapatkan tepukan di pundak.Langkahku terasa ringan saat meninggalkan gedung dan berjalan ke arah SUV hitam kakakku. Saat membuka pintu mobil, si kembar tiga keluar dari mobil dan berjalan melewatiku. Mereka begitu lincah, sehingga usahaku untuk menarik mereka masuk kembali ke mobil sia-sia. Aku hanya bisa menyaksikan dengan bingung saat mereka berlari masuk ke gedung dan berteriak lantang!"Tamatlah riwayatmu!" teriak Beni memperingatkan, membuatku semakin khawatir. Suara langkah kaki kecil mereka bergema di lobi, menarik perhatian orang sekitar. Si kembar tiga mengabaikan tatapan orang-orang dan langsung maju ke arah sasaran mereka - Noah Adhitama! Mereka lari ke arah Noah. Begitu sudah dekat, mereka menen
Sudut Pandang Nikita:"Otakku masih jalan, Nikita. Kamu tahu ‘kan kalau aku selalu bisa bayar orang buat cek akta kelahiran seseorang?" ujar Noah memperingatkan. Dia terdengar serius. Jantungku mulai berdebar saat ketakutan mulai merasuki tubuhku. Aku pun menenangkan diri dan mulai meremehkan kecurigaan Noah."Kamu nggak bakal menemukan apa-apa. Anak-anakku itu anaknya Feri," jawabku yang berpura-pura berani. Tatapan Noah tampak menyelidik, tetapi cengkeramannya pada tanganku mengendur. Aku pun mengambil kesempatan itu untuk pergi. Aku berbalik dan berjalan ke luar gedung menuju mobil kakakku yang sudah menunggu.Aku berjalan senormal mungkin. Meskipun begitu, lututku terasa lemas. Aku kesulitan membuang ancaman Noah dari pikiranku. Aku khawatir dengan hal yang akan dia lakukan seandainya dia tahu kalau si kembar tiga adalah anaknya. Begitu masuk ke mobil, tubuhku mulai gemetar."Mama, maafkan kami. Kami nggak bakal gitu lagi," ucap anak-anakku. Mereka sudah memakai sabuk pengaman saat
Sudut Pandang Noah:Aku menyaksikan Nikita pergi dengan perasaan curiga dan tidak bisa melupakan ekspresi wajahnya yang tampak waswas. Aku sangat yakin kalau Nikita tidak memberi tahu yang sebenarnya. Saat mobil SUV hitam itu pergi, aku mengeluarkan ponsel dari saku untuk menghubungi Bonar."Aku punya tugas baru buat kamu," ucapku ke Bonar begitu dia mengangkat telepon."Langsung katakan saja," jawab Bonar."Periksa data anak-anak Nikita. Mereka kembar tiga. Nikita bilang kalau mereka anak Feri, tapi aku sangat yakin kalau mereka anak-anakku," perintahku. Bonar terdiam beberapa saat."Apa yang membuatmu berpikir kalau mereka anak-anakmu?" tanya Bonar. Aku pun ragu untuk menjawab, lalu Bonar salah menangkap sikapku yang bungkam."Sebagai temanmu, aku akan memberimu peringatan. Jangan mencari sesuatu yang nggak ada supaya kamu nggak kecewa dan sakit hati di kemudian hari," ujar Bonar."Aku nggak melakukan itu," jawabku yang mengelak dengan kesal."Kalau begitu, kamu ngapain?" Bonar berta
Sudut Pandang Noah:Saat Randy pergi, aku memijat pelipisku perlahan. Kemudian, aku memejamkan mata sambil mengetukkan jari ke permukaan meja yang halus. Kepalaku sakit saat memikirkan bahwa orang yang kupercaya tidak pantas menerima kepercayaanku.Suara notifikasi email baru yang masuk berbunyi pada laptopku. Saat memeriksa pengirimnya, ternyata Randy. Aku membuka berkas itu dengan tangan gemetar, lalu mulai membaca isinya. Begitu selesai, dadaku terasa sesak. Ini adalah bukti dari tipu daya pamanku.Aku ingat lima tahun lalu, dia membujukku untuk cuti dari perusahaan agar berfokus pada diri sendiri. "Kamu perlu memulihkan diri setelah kehilangan orang tua, dari hal yang menimpa pernikahanmu, dan mengumpulkan kekuatan untuk bangkit kembali. Tidak usah khawatir soal perusahaan, aku akan mengurusnya untukmu," ucapnya saat itu.Aku tertawa getir dalam benakku karena sudah menerima sarannya dan memercayainya. Aku percaya kepada orang yang salah. Kemudian, aku menelepon Bonar."Kita punya
Sudut Pandang Noah:Dengan pandangan kabur, aku mengamati rumah di seberang jalan sambil menunggu. Fajar menyingsing ketika mobil-mobil berhenti di jalan masuk rumah itu, membuatku menegakkan badan untuk mengamati kembali dengan tatapan tajam seperti elang.Pintu-pintu mobil itu terbuka secara bersamaan untuk memberikan jalan kepada penumpangnya. Mataku melebar saat mengenal kesamaan di wajah mereka. Keluarga Feri ada di sana. Tangan mereka penuh dengan parsel dan tas belanja. Aku pun tersenyum. Tebakanku, mereka membawa semua itu untuk si kembar tiga.Aku merasa bahagia begitu tahu para pria itu menyayangi anak-anakku meskipun tidak punya hubungan darah."Seharusnya kamu bawa keranjang. Biar aku bantu," ujar wanita berambut keriting kepada salah satu pria dari keluarga Feri. Tas belanja itu berpindah tangan, lalu mereka masuk ke rumah itu. Begitu mereka hilang dari pandangan, aku mendengar suara lantang, seperti teriakan seseorang."Roni, Mori, Beni! Ayah datang!" Yang lain pun menyur
Sudut pandang Noah:Aku mengikuti langkah Nikita dengan mataku. Sambil memperhatikannya berjalan tergesa-gesa menaiki tangga, aku memutuskan bahwa kali ini, aku akan berusaha mati-matian hingga kami bisa bersatu lagi.Setelah beberapa menit, Nikita turun lagi. Dia menghindari tatapan mataku saat aku berusaha bertatapan dengannya."Kamu mau berangkat ke kantor?" tanyaku."Iya," jawabnya singkat seperti sengaja menghindar dariku. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya. Nikita pasti merasa canggung setelah kejadian di dapur tadi.Aku bangkit dari sofa, lalu mengambil kunci mobil dari saku depan celanaku."Ayo. Biar aku antar ke sana." Aku memberi isyarat padanya untuk mengikutiku, tetapi Nikita menghentikan langkahnya. Saat aku menoleh ke belakang, Nikita tampak canggung."Ayo. Aku antar ke Hotel Jati sebelum aku berangkat kerja," ujarku.Nikita berdeham. Namun, aku tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti ini darinya."Lukas menungguku di luar," katanya.Langkah kakiku yang beriram
Sudut pandang Nikita:Saat memasuki dapur, aku mendengar salah satu kakakku sedang mendiskusikan sesuatu dengan Roni."Karena Ayah kami ada di sini. Aku takut Om Romi kesepian dan merasa cemburu, jadi aku carikan seorang gadis supaya Om Romi bisa menikah dan punya bayi," kata Roni. Ucapannya membuat mulutku ternganga karena terkejut.Romi tiba-tiba mengalihkan pandangan matanya. Dia tampak tercengang saat tatapan mata kami bertemu."Roni, kamu ngomong apa, sih?" tanyaku pada anakku. Nada suaraku terdengar kaget, sementara para lelaki di sekitarku tertawa, kecuali Romi sendiri."Menurut Ayah, Om Romi nggak butuh bantuanmu, Ron," kata Noah saat melihat Roni tampak kecewa karena ditertawakan yang lainnya."Kenapa kamu mikir begitu?" tanyaku penasaran. Noah tampak sangat bersemangat dan itu membuatku merasa ada yang aneh."Kemarin, kakakmu keluar dari hotel bareng seorang karyawan," ungkap Noah. Ucapannya itu membuat Romi malu. Tidak biasanya kakakku merasa malu saat ketahuan sedang bersam
Sudut pandang Romi:Aku meninggalkan Hilda setelah melihat ekspresi sakit hati di wajahnya. Mungkin orang lain akan berpikir kalau aku ini berengsek, tapi aku merasa puas karena hinaanku membuatnya tersinggung.Aku pun pergi ke kamar mandi dalam untuk mandi. Ketika aku keluar dengan hanya berbalut handuk di pinggangku, kulihat dia memalingkan wajahnya."Kamu sengaja mempermainkanku, ya?!" bentak Hilda.Aku mengernyitkan alis dan menyadari kalau gadis itu tidak mau melihat ke arahku. Aku pun tersenyum sinis saat melihat lehernya merona merah."Kenapa? Kamu nungguin aku telanjang bulat?" tanyaku seraya menarik handukku dan melemparkannya ke arah Hilda. Handuk itu jatuh mengenai dadanya."Romi!" serunya parau. Wajahnya menoleh padaku dengan marah. Aku merentangkan tanganku lebar-lebar agar dia melihat bahwa aku tidak telanjang seperti dugaannya.Aku melihatnya menelan ludah ketika matanya beralih dari wajahku ke dadaku yang terbentuk sempurna, perutku yang berotot, dan kakiku yang kencang
Sudut pandang Romi:"Keluar!" perintahku saat Hilda tidak beranjak dari kursi penumpang.Aku tidak menunggunya dan beranjak dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu untuknya.Hilda bergerak perlahan.Saat dia keluar dari mobil, cahaya menyinari wajahnya. Saat itulah aku melihat wajah pucatnya yang tidak wajar.Dia terhuyung saat melangkah dan hampir terjungkal saat kehilangan keseimbangan.Aku menyusulnya tepat waktu. Tanganku segera mencengkeram bagian atas lengannya."Kamu nggak apa-apa?" tanyaku sambil mengerutkan kening.Dia tidak menjawab dan bergeming di tempatnya."Aku merasa nggak enak badan," ucapnya akhirnya.Keraguan memenuhi hatiku. Kupikir itu taktik untuk mengalihkan perhatianku agar bisa melarikan diri. Aku tidak mengira kepala Hilda akan terkulai ke samping sebelum kemudian jatuh ke dadaku.Saat itulah aku menyadarinya. Kutempelkan punggung tanganku ke dahinya dan merasakan tingginya suhu tubuhnya. Hal ini langsung membuatku khawatir. Tanpa pikir panjang, aku membopo
Sudut pandang Hilda:Area lift itu kosong.Saat berbelok di tikungan, aku merapatkan tubuhku ke dinding dan mengintip ke luar, ke tempat terakhir kali aku melihat Romi Feri. Aku memastikan diriku benar-benar tidak terlihat dari luar.Selama pengintaian ini, jantungku terus berdebar kencang.Rasa bersalah menggerogotiku. Kecurigaan yang kulihat di mata Romi tadi membuatku gelisah.Aku menghela napas lega saat melihat tempat itu sudah kosong. Dia sudah pergi.Napasku mulai teratur dan dadaku kembang kempis dengan cepat saat aku mengisi paru-paruku dengan udara.Lift berdenting, lalu pintunya terbuka untuk mengeluarkan penumpangnya.Saat lift sudah kosong, aku masuk. Setiap kali lift berhenti dan terbuka, jantungku mulai berdetak lebih kencang.Pemikiran gila memenuhi otakku. Romi Feri pasti tidak akan tinggal diam dengan temuannya itu. Dia akan mengikutiku untuk mengorek informasi sebanyak mungkin. Dia adalah saudara Nikita. Kecurigaannya terhadapku mungkin akan membuat Nikita turut menc
Sudut pandang Hilda:Aku baru saja hendak meninggalkan kafe. Tiba-tiba, seseorang menyambar lenganku.Gerakan itu terlalu tiba-tiba.Aku terkejut, tetapi saat aku mengenali pelakunya, mataku membelalak dengan ketakutan dan aku menahan teriakan yang hampir keluar dari mulutku.Ketakutan memenuhi sekujur tubuhku saat aku menatap mata coklatnya, warna yang sama seperti mata Nikita."Romi," ucapku terbata-bata.Mulutku mengucapkan namanya dengan gugup. Dia adalah kakak Nikita.Dalam sekejap, kepalaku bergerak mengarah ke kafe dengan gelisah."Aku senang kamu mengingatku," kata Romi sambil tersenyum seraya mengikuti arah pandang mataku.Aku mulai banjir keringat. Tangan-tanganku juga terasa dingin dan basah."Kita pernah ketemu sekali," jelasku dengan terbata-bata.Aku ingin sekali melarikan diri, tetapi cengkeraman Romi di lenganku menghalangiku untuk pergi.Aku menatap tangannya yang menggenggam lenganku. Mataku beralih ke wajahnya yang penuh amarah, dan aku menelan ludah dengan susah pay
Sudut pandang Bella:"Apa maumu?" Nada tajam Hilda membuatku terkejut."Lama nggak jumpa, adikku sayang. Apa kita nggak bisa setidaknya sopan satu sama lain? Kamu nggak bisa membenciku selamanya cuma karena Ibu lebih menyayangiku daripada kamu."Hilda memutar bola matanya."Kamu pikir aku masih marah soal itu? Dewasalah, Bella!"Aku tidak peduli saat dia memelototiku. Aku langsung ke inti pembicaraan."Aku nggak tahu di mana Matthew Millano, paman Noah. Kamu punya petunjuk soal keberadaannya?"Mata Hilda langsung menyipit."Sudah kubilang, aku nggak akan bekerja sama denganmu lagi. Terakhir kali kulakukan itu, aku membuat Nikita kecewa berat. Aku nggak bisa melakukannya lagi, mengkhianati sahabatku cuma karena kita saudari!"Aku tertawa, meskipun suaranya terasa hampa."Kamu yang bilang kalau kita saudari, ‘kan? Bukankah darah lebih kental daripada air? Kenapa kamu selalu membela dia? Apa kamu nggak lihat yang dia lakukan padaku?"Hilda tampak tidak peduli, malah seolah ingin membuat e
Sudut pandang Bella:"Nomor yang Anda hubungi berada di luar jangkauan. Silakan menghubungi kembali setelah beberapa saat." Aku sudah berkali-kali mendengar rekaman suara ini sejak minggu lalu dan suara itu membuatku gila.Aku mencoba menghubungi nomor itu lagi tetapi hasilnya sama saja."Sial!" Aku menengadah ke langit dengan putus asa."Bella, jangan mondar-mandir. Kamu butuh istirahat. Kamu belum tidur sejak tadi malam," kata manajer sekaligus temanku."Gimana aku bisa tidur kalau Noah ninggalin aku begitu saja? Dia mutusin semua hubungan denganku." Aku menjerit frustrasi dan marah.Manajerku terkejut melihat sikap kasar yang kutunjukkan. Ini pertama kalinya dia melihatku seperti ini. Biasanya aku selalu tenang dan terkendali."Ya ampun. Noah memang putus sama kamu, tapi ini bukan berarti kiamat, 'kan?"Aku mengepalkan tangan dan merapatkan gigiku saat mengingat ancaman Noah, yaitu surat perintah penahanan sementara. Yang lebih buruk lagi, dia mengumumkan putus hubungan denganku di
Sudut pandang Nikita:Awalnya, Noah tampak tidak memahami ucapanku."Heidi. Dia mantan pacarmu. Kamu pernah berpacaran dengannya sebelum aku muncul," kataku, mencoba menyegarkan ingatannya.Kerutan di wajah Noah menghilang dan dia mengangkat bahu seolah-olah masalah itu tidak mengganggunya."Kenapa nggak? Dia punya kemampuan. Lagi pula, kejadian itu sudah lama sekali. Aku yakin Heidi sudah melupakannya, sama sepertiku."Noah jelas tidak tahu apa yang kumaksud. Jadi, siapa yang bodoh sekarang?Aku mengangguk mengejek."Ya, dan kujamin dia belum melupakanmu. Dia adalah gunung berapi yang menunggu untuk meletus. Apa kamu nggak melihat caranya memandangmu? Gadis itu masih merindukanmu!" teriakku frustrasi."Memangnya kenapa? Aku nggak peduli kepadanya.""Noah!" tegasku memperingatkannya.Noah menyisir rambutnya ke belakang."Kamu mau aku bagaimana? Memecatnya?" balasnya.Apakah aku hanya membesar-besarkan masalah kecil?Aku berbalik untuk pergi saat dia mulai menjelaskan."Kayak aku peduli