Satu hari sebelumnya…
“Pria brengsek itu! bagaimana bisa dia mencampakan aku begitu saja? aku merasa tidak pernah berbuat salah padanya! dan lagi dia dengan lihainya pergi begitu saja setelah membuat publik gempar dengan berita murahan. Dia serius berselingkuh dengan wanita itu? keparat!” Raellyn bersumpah hari ini adalah hari yang terburuk baginya. Belum genap satu pekan sejak kekasihnya Arsene yang telah membuatnya jatuh hati dalam pandangan pertama, memintanya untuk menikah. Bisa-bisanya hari ini dia malah harus mendapati berita tak sedap muncul di media masa.
Dengan situasi hati yang bercampur baur kontan gadis itu sampai pergi ke kantor agency kekasihnya untuk bertatap muka, tapi naasnya dia bahkan tidak bisa bertemu. Semua orang bilang kekasihnya telah pergi sejak tiga hari yang lalu. Lantas apakah itu bisa membuat Raellyn percaya? Tentu saja tidak.
Akhir ceritanya sudah dapat dipastikan. Raellyn di usir dari kantor bahkan sebelum dia mendapatkan kesempatan untuk memvalidasi informasi yang dia dapatkan.
Tapi bukan Raellyn namanya bila dia tidak punya ide gila. Bermodalkan name tag palsu saja wanita itu bisa masuk kedalam kantor dan berbaur bersama pegawai lainnya. Targetnya berubah dari kekasihnya menjadi ke director di perusahaan tersebut. Mengapa demikian? Sebab Raellyn pernah diberitahu oleh kekasihnya bahwa dia memiliki seorang kakak laki-laki yang bekerja sebagai director di perusahaannya. Jika tidak bisa bertemu Arsene maka Raellyn pikir dia harus bertemu dengan anggota keluarganya.
Tapi sekali lagi, dia tidak bisa bertemu pula. Lelah dengan segala upaya sia-sianya seharian, Raellyn memilih opsi menenangkan diri di atap perusahaan agency tersebut sebagai pilihan akhir. Mengiba pada takdir dan berkeluh kesah pada langit atas permasalahan yang sedang dia hadapi.
Asap yang berasal dari nikotin di udara berhasil mendistraksi. Membuat Raellyn akhirnya melirik ke satu direksi. Mulanya dia pikir hanya dia hanya sendiri. Tapi setelah melihat ada entitas lain ada disana Raellyn agak dibuat malu, sebab sejak tadi dia bersungut-sungut pada udara guna memarahi.
Adalah seorang pria bertubuh jangkung berdiri tak jauh di belakangnya dengan sebatang rokok yang tengah dia hisap ditangan. Raellyn tidak bisa melihat wajahnya karena pria itu berdiri diantara pohon setinggi tubuhnya dengan minim penerangan. Namun bila dilihat sekilas dari penampilannya, dia jelas pria dengan banyak uang. Raellyn sadar bahwa mereka berada di level berbeda.
“Permisi, boleh saya minta rokoknya?”
Tanpa ragu Raellyn berkata, memecah keheningan dan menaikan keberanian. Mungkin sudah lama sekali dia tidak merokok karena dulu dia akan di pukul bila ketahuan memakai benda itu sebagai media untuk penenangan. Tapi setidaknya untuk sekarang dia butuh itu dan tidak ada yang akan memukulnya lagi untuk alasan apapun.
Raellyn sedang menginginkannya. Anggap saja sebagai penebusan dosa karena hari ini dia gagal bertemu dengan dia. Pria bermulut manis yang meninggalkan dia dengan seluruh cerita cinta yang begitu manis dibelakang.
Kesunyian mendera. Pria yang berdiri dibelakangnya tidak bicara, dia juga nampaknya tidak mau merespon perkataan Reallyn sama sekali. Ia masih berada di posisinya seolah tidak peduli bahwa ada manusia lain disekitarnya. Hal yang membuat Raellyn entah mengapa merasa tersinggung karena diabaikan begitu saja.
“Saya tidak meminta anda untuk memberikannya secara gratis. Saya hanya butuh sebatang saja.” Sekali lagi wanita itu berkata, tapi pria di hadapannya tetap tidak menanggapi. Hanya terdengar ada satu langkah maju ke arah sebaliknya. Namun satu detik kemudian Raellyn mendapati lemparan puntung rokoknya ke tanah. Gadis itu menatap kebawah agak lama, seperti menimbang untuk memungutnya atau tidak. Namun karena dorongan kebutuhan Raellyn memilih untuk mengangkatnya dari tanah dengan menyelipkannya diantara jari telunjuk dan tengah.
“Hei tunggu sebentar.” Satu kata terlontar kembali dari mulut feminimnya.
Tanpa di duga pria itu berhenti melangkah mengikuti ujarannya, orang asing itu juga kini bahkan melirik kearah Raellyn seolah memberikan atensi lebih. Melihat reaksi tersebut Raellyn menyesap puntung rokok yang dia pungut tadi sambil merogoh celana jeans kebesaran yang dia kenakan. Lalu terlemparlah koin receh ke udara. Benda itu berdenting dan bergulir saat menyentuh permukaan lantai. Terhenti tepat di kedua tungkai kaki yang dibalut oleh sepatu mahal sang pria yang beberapa saat lalu telah menghinanya.
“Ambil saja kembaliannya,” ujar Raellyn lagi. Dia merasa cukup puas dengan balasannya terhadap pria itu. Merasa sudah tidak punya urusan gadis itu membalik badan. Dia ingin menikmati rokoknya lagi. Setelah ditemani sebatang rokok, anehnya langit malam terlihat dua kali lipat lebih indah. Meskipun udara di sekitarnya tidak jauh berbeda. Dingin yang sama.
“Kau salah memperkirakan harganya.” Nadanya begitu lembut namun rendah. Suara yang terdengar begitu menyenangkan juga memikat telinga. Tapi apa yang pria itu utarakan punya konotasi bertentangan yang kontan membuat Raellyn kembali diingatkan pada kenyataan. Dia berbalik menatap sosoknya yang kini jelas terlihat. Sedikit terkesima lantaran paras si pria yang sungguh rupawan.
“Apa kau tuli atau semacamnya?” Suara pria itu lagi-lagi membuat Raellyn terkesiap. Salah satu alisnya naik, pria bermulut sampah itulah sebutan yang pantas untuknya. Pujian soal paras tidak jadi dia utarakan. Attitude lebih diutamakan.
“Ah, ya kau benar. Itu sebabnya aku mengatakan padamu untuk menyimpan kembaliannya.”
“Ah maksudmu benda ini?” Pria itu melirik ke bawah, tepat dimana Raellyn melempar uang koinnya. Ia lalu menginjak pecahan koin tersebut tanpa merasa bersalah, “Harusnya kau memberikanku dua ratus juta untuk rokok yang telah kau hisap. Maka nilai kembaliannya kurang lebih seharga pecahan koin yang kau lempar.”
“Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan?” Raellyn mengerutkan keningnya. Jujur saja saat ini dia sedang tidak mood melayani seseorang untuk berdebat.
“Harga adalah sesuatu yang ditentukan oleh seorang penjual. Pertama, kalau kau berani meminta rokokku maka kau juga harus sudah siap membayar sesuai harganya.”
“Aku sudah berusaha bersikap baik padamu Sir. Begini sajalah, silahkan angkat kaki dan tinggalkan aku sendiri. Bukankah tadi kau mau pergi?” Anehnya pria itu malah memasang cengiran bodoh mendengar perkataan bernada sebal dari Raellyn.
“Aku yakin kau mencoba melakukan pendekatan yang sama dengan para perempuan itu. Hari ini saja aku sudah muak berhadapan dengan beberapa orang yang se-tipe denganmu.”
“Se-tipe denganku katamu?” Raellyn menaikan suaranya, tapi di saat yang sama dia melirik kearah satu direksi. Saat itulah dia kemudian mengerti dimana akar permasalahan ini terjadi. Saat ini dia sedang berada di kantor agency, jadi bisa dipastikan banyak kesalahpahaman seperti ini terjadi. Gadis itu kemudian menarik napasnya, “Aku rasa kau sudah salah paham Sir. Aku tidak tahu seberapa populernya dirimu atau sepenting apa posisimu ditempat ini. Tapi untukku, uang yang sudah aku berikan padamu itu lebih dari cukup untuk satu potong rokok bekasmu. Aku juga tidak bermaksud untuk membuat diriku terlihat seperti sedang cari perhatian. Aku murni hanya tertarik pada rokokmu.”
“Kau tidak terkait dengan tempat ini?” Dia menanyakan pertanyaan yang aneh.
“Tidak, aku hanya kebetulan kemari.”
“Kebetulan?” Langkah kaki pria itu tiba-tiba saja mendekat, membuat Raellyn kontan mundur hingga punggungnya menyentuh pembatas. Untungnya pria itu tidak lagi mencoba untuk mendekatinya.
“Kau orang yang cukup menarik. Kurasa aku akan berikan diskon untuk harga rokoknya.”
“Jangan mencoba membuatku tertawa Sir. Kenapa kau terus membahas hal itu?”
“Oh? Betapa mengecewakannya. Kalau kau sedang merayuku harusnya perlu sedikit berusaha lagi. Aku sarankan kau gunakan tubuhmu itu maka malam ini aku bisa mempertimbangkanmu untuk merasakan ranjangku.”
Raellyn mendecih dan melemparkan rokok yang baru sebentar dia nikmati. Benda itu terjatuh di lantai begitu saja atas ulahnya yang cepat panas pada apapun yang pria itu katakan. Hari ini dia sudah terlalu banyak mendapatkan masalah. Dia tentu tidak akan mau diam dan menerima dengan lapang dada perkataan kasar pria asing dihadapannya. Maka sebagai gantinya Raellyn dengan angkuhnya meludahi rokok yang sedang dia nikmati lalu menginjaknya sambil tersenyum.
“Nah, aku sudah kembalikan rokokmu. Silahkan pungut itu dan kembalikan uangku. Transaksi kita batal.”
“Kalau kau ingin uangmu kembali maka kemarilah. Baru aku akan mengembalikannya padamu dengan caraku.”
Tangan Raellyn mengepal erat, dia tidak gemetar sama sekali ketika berhadap dengan pria bermata sebiru musim dingin dihadapannya. Meskipun kedua bola mata itu nyatanya lebih dingin dari pada angin yang bertiup melalui jendela yang terbuka di pagi buta. Dia tidak akan takut, bila tak salah. Raellyn menggertakan giginya dan berharap dengan sangat agar pria itu tidak bisa mendengar suara degupan jantungnya yang berdetak kencang, atau merasakan betapa muaknya dia untuk sesaat.
Sialnya pria itu malah semakin mengikis jarak, mendekat hingga Raellyn tidak punya sisa ruang untuk bergerak. Tangan panjang milik pria itu meraba name tag yang dikalungkan dileher Raellyn dengan gerakan sensual.
“Aku berkesimpulan bahwa benda yang kau pakai untuk mengelabui semua orang di kantor ini juga sama palsunya dengan seluruh ucapan yang kau perlihatkan padaku. Benar begitu?”
Wajah Raellyn memerah saat suara parau pria asing itu secara spontan membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Aneh baginya untuk merasakan daya tarik seorang pria dalam situasi seperti ini.
Tapi Raellyn tidak akan kalah hanya karena sedikit godaan. Perempuan itu memicingkan mata, amarah berkobar dan begitu membara didalam dirinya. Dia tidak akan membiarkan sisi gelap dalam dirinya terbuai oleh pria itu. Tidak akan pernah lagi dia dibuai oleh wajah manis. Meskipun kesan manis sama sekali tidak dimiliki oleh pria yang berdiri dihadapannya sekarang. Pria itu lebih cocok dengan kesan kasar dan maskulin. Dia memikat dengan rambut hitam dan kedua matanya yang memiliki pesona. Semakin dilihat pria itu semakin mencerminkan segala hal yang harus diwaspadai kaum wanita. Gelap, sensual, tampan dan juga sedikit berbahaya.
Tubuhnya sedikit gemetar ketika pria itu menyentuh kulitnya. Untung saja Raellyn cepat tersadarkan dan melihat seringai yang terbentuk di wajah pria itu. Dia semakin menyebalkan.
“Namaku sudah pasti tidaklah palsu. Sir,” tukas Raellyn sambil menepis tangan yang menyentuh kulitnya juga melepaskan name tag yang pria itu pegang. Dia mengambil jarak dan kemudian menegakan postur tubuhnya sendiri. “Aku Raellyn. Aku datang kemari untuk sebuah urusan yang sangat pribadi. Ada orang yang aku cari, tapi dia tidak disini. Aku tidak punya urusan dengan orang aneh sepertimu.”
“Siapa yang kau cari?”
“Director.”
“Hm … lumayan juga.” Pria itu anehnya malah kian mendekatkan diri. Kembali menjebak Raellyn dengan pagar pembatas dan juga sebelah tangan yang mencengkram lehernya. Sementara tangan yang lain dia gunakan untuk menekan bibir Raellyn.
“Apa yang—” Merasa bahaya Raellyn memutar wajahnya ke samping. Tapi pria itu justru malah mendapatkannya kembali dan bahkan meremas bibirnya seolah dia gemas. Senyumannya yang menawan tidak bisa membuat Raellyn terbius. Justru pria itu membuatnya semakin jijik. Tatapan tajam dia arahkan pada pria itu.
“Sungguh, aku sangat suka dengan tatapanmu itu. Miss Raellyn. Kurasa cepat atau lambat kita akan bertemu kembali. Aku yakin Director akan sangat suka melihatmu di kesempatan berikutnya.”
Sejak kali pertama melihatnya, Arnav punya firasat bahwa gadis ini bisa dia jadikan sebagai targetnya. Kebetulan pula dia memang sedang dituntut untuk memiliki pasangan pengganti. Arnav tidak mengira bahwa dia akan mendapatkan penawaran menikahinya, meskipun hanya sebagai pengganti adiknya yang nakal. Ya, Arnav tidak begitu keberatan. Bukankah dengan ini mereka sama-sama menjadi pasangan pengganti untuk satu sama lain?Alhasil, pria itu langsung mengambil keputusan demikian begitu wanita asing dengan masker hitam di wajahnya itu tiba-tiba menodongkan pisau lipat dari dalam saku celana yang dia kenakan dan bergerak untuk mengancamnya dari belakang. Atau bahkan mungkin sebelum itu? Seperti saat asistennya mempersilahkan wanita itu masuk kemudian ia dapat mengagumi cara berjalannya yang agresif namun menggoda serta anggun. Semua itu adalah sebuah kombinasi yang komplikatif untuk membangkitkan sesuatu dalam dirinya yang telah padam bertahun lalu, bahkan bisa dibilang telah layu dan dingin
“Kau mengambil keuntungan dariku Tuan Director! Perbuatanmu barusan menunjukan seberapa rendah dirimu!” geram Raellyn, wanita itu lantas melesat kesamping menjauh dari pria itu. Dia tidak ingin membuat kekacauan lebih dari ini.Arnav hanya menelengkan kepala seraya melihat kearah Raellyn. “Tampaknya lidahmu yang tajam itu sangat bertolak belakang dengan kelihaianmu dalam menggunakan senjata, Miss Raellyn.”“Manusia cabul!” Belum ada sekitar tiga puluh menit sejak Raellyn menginjakan kakinya di ruang kerja pria itu. Tapi Arnav telah berhasil mendekatinya, bahkan mengambil satu ciuman darinya meskipun bukan yang pertama.Sesungguhnya Raellyn tidak berpikir pria itu akan cukup berani, dia hanya belajar dari semua orang bahwa pria akan merasa sangat sebal dengan perempuan yang mencoba menggodanya. Raellyn tidak mengira bahwa pria itu justru malah menyerangnya ketika dia berpura-pura melemparkan rayuan.Raellyn cukup kesulitan mengontrol debaran kencang di dalam dadanya. Lebih karena ciuma
“Bukannya itu permintaanmu? Aku tidak bisa memberikan saudaraku yang sudah memiliki istri padamu, ataupun menjanjikan kematiannya untukmu. Aku juga tidak berharap di bunuh di ruang kerjaku oleh seorang wanita antah berantah yang menuntut pertanggung jawaban. Kupikir aku tidak salah mengartikan bahwa kau bilang aku ini sudah mencukupi?”Raellyn masih tetap tidak bisa mempercayai pendengarannya. Apa ada sesuatu yang salah ? apa ada yang sempat dia lewatkan?“Aku sedikit terkejut dengan persetujuanmu yang cepat, Pak, err… Arnav. Sebelumnya kupikir aku harus menorehkan luka di tubuhku dulu supaya kau tidak meragukan maksudku.” Raellyn melirik ke arah pintu yang tertutup. “Kau memanggil penghulu?”“Ya, beliau akan menikahkan kita sesampainya kita dirumah.”Raellyn tertawa, suaranya terdengar begitu ringan dan nyaring. “Kau bergurau.”“Apakah sekarang kau enggan melakukannya? Mungkinkah aku salah mengartikan maumu saat menuntut pertanggung jawaban?”Raellyn kontan melonjak dan langsung berd
Arnav merasa bodoh sekarang, sepanjang malam ia merasa gelisah. Bertanya-tanya apakah perempuan itu akan menampakan dirinya atau menghilang begitu saja. Pagi ini saja, ia tidak berani untuk menelaah akan perasaan penuh kepuasan serta kegembiraan yang terpancar dari setiap sel tubuhnya saat kepala pelayan di kediamannya melaporkan tentang kedatangan seorang wanita bernama Raellyn tepat pada pukul delapan pagi.Senyum simpul menghiasi wajah pria itu ketika melihat wajah cantik Raellyn. Setidaknya hari ini dia lebih rapi dari kemarin. Rambutnya digelung tanpa menyisakan helaian sedikitpun, kecuali bagian yang memang terlalu pendek di bagian samping wajahnya. Bibirnya dilapisi oleh lipstick berwarna coral yang sangat tipis. Mata besarnya yang kemarin nyalang kini dibingkai dengan eyeliner yang semakin mempertajam sudut matanya. Wanita ini lebih cocok dijadikan model majalah ternama dibandingkan bekerja sebagai penulis naskah drama.“Selamat pagi Raellyn,” sapa Arnav saat wanita itu berdir
“Apa yang harus aku tunjukan agar aku bisa memuaskan rasa haus akan penasaranmu Arnav?” Perihal ciuman mereka sudah pernah melakukannya sekali sebelum mereka terikat dalam ikatan pernikahan. Raellyn mengakui bahwa itu adalah sebuah tindakan paling tidak senonoh yang mau tidak mau harus dia terima. Karena toh sekarang dia tidak kerugian satu apapun lantaran pria itu bertanggung jawab penuh dengan menikahinya.“Semuanya, aku pria yang cukup tamak kau tahu?”“Ya, aku sangat tahu itu. Saking tamaknya kau bahkan tidak memerlukan banyak waktu untuk mempertimbangkan calon istrimu,” sahut Raellyn tajam. Pria itu hanya terkikik pelan.“Kita sudah pernah membahas hal itu, tidakkah mestinya kau merasa bosan dengan topik yang sama?”“Kalau begitu tolong lepaskan aku dari pandangan liarmu terhadap tubuhku. Terus terang itu cukup mengganggu.”Sekali lagi Arnav tercengang dengan keberanian yang dimiliki oleh Raellyn. Perempuan itu selalu saja memiliki banyak kejutan yang tidak terduga dan jawaban-ja
Raellyn tidak banyak bicara, sepanjang dia keluar dari kediaman suaminya gadis itu tidak pernah bisa berhenti untuk menganggumi seluruh kekayaan material yang Arnav miliki. Rumah sang paman yang dulu dia tempati Raellyn pikir adalah sebuah istana, tentu saja bukan apa-apa bila dibandingkan dengan kediaman Arnav.Pekarangan rumah ini saja bisa seluas tiga lapangan sepak bola yang ditanami oleh hamparan rumput yang bahkan lebih terawat daripada tempat tinggalnya dikota ini. Sepanjang mata memandang pekarang tersebut sangatlah menakjubkan, ada banyak tumbuhan yang tumbuh subur disekelilingnya bahkan menurut pelayan yang ikut mengantarkan Raellyn beberapa saat yang lalu kediaman suaminya memiliki danau dihalaman belakang yang konon merupakan tempat dimana Arnav sering menghabiskan waktunya disana.Raellyn cukup penasaran dengan keindahan yang diagungkan oleh si pelayan, sebab gadis itu belum menyisir seluruh kediaman suaminya untuk sekarang. Namun dia akan memasikan untuk membuktikan peri
Raellyn tanpa ragu menceritakan segalanya, semua hal yang terjadi pada satu hari penuh. Mulai dari ketika Arsene kedapatan pergi dan menikahi wanita lain, sampai kemudian dia yang berhadapan dengan Arnav. Raellyn bahkan beberapa kali harus berhenti sejenak guna menenangkan dirinya sendiri. Sampai di akhir cerita, dia kemudian menatap sang paman lekat-lekat. Hanya ada satu kata yang menjadi kesimpulan pria itu. Meskipun rasanya dia tidak percaya dan kebingungan untuk menangkap segalanya. “Jadi, maksudmu sekarang kau sudah menikah dan diperistri oleh kakak dari mantan kekasihmu itu?” “Ya, Paman.” Sekali lagi sang Paman hanya dapat membulatkan matanya tidak percaya. “Kamu menikah dengan Arnav? Seorang director dari perusahaan agensi terkenal itu?” “Ya, Paman.” Kini tatapannya berubah menjadi jenis tatapan yang dipenuhi oleh kewaspadaan. Dia terlihat curiga, dan terus terang Raellyn merasa gelisah menatap kedua mata pamannya sekarang. Dia menunggu respon selanjutnya sebelum mengatakan
Raellyn tertawa lembut. Bisa-bisanya sang paman bergurau hanya dalam beberapa detik setelah mereka bersitegang satu sama lain. Meski begitu Raellyn bersyukur lantaran intensi di antara mereka sudah kembali normal seperti sedia kala dan tidak lagi dalam atmosfer yang berat seperti beberapa saat yang lalu. “Harus aku akui bahwa aku sempat bingung juga tentang alasan mengapa dia dengan mudahnya menerima. Tapi setelah mendengar ucapan paman aku merasa kepercayaan diriku meningkat pesat. Walaupun memang sifat otoriternya sangat melekat. Dia hampir memegang kendali dalam setiap situasi sepanjang waktu dan aku sudah seperti lakon yang berkewajiban untuk mengikuti sesuai dengan rencananya. Tapi satu-satunya kesempatanku bertemu dengannya adalah ketika penyerbuan itu dan satu lagi pertemuan dalam ketidaksengajaan,” ujar Raellyn. Sementara sang paman nampak berada dalam pose berpikir. “Mungkin saja Arsene sendiri yang membicarakanmu kepada kakaknya?”“Kurasa tidak. Meski aku sendiri tidak tah