Satu hari sebelumnya…
“Pria brengsek itu! bagaimana bisa dia mencampakan aku begitu saja? aku merasa tidak pernah berbuat salah padanya! dan lagi dia dengan lihainya pergi begitu saja setelah membuat publik gempar dengan berita murahan. Dia serius berselingkuh dengan wanita itu? keparat!” Raellyn bersumpah hari ini adalah hari yang terburuk baginya. Belum genap satu pekan sejak kekasihnya Arsene yang telah membuatnya jatuh hati dalam pandangan pertama, memintanya untuk menikah. Bisa-bisanya hari ini dia malah harus mendapati berita tak sedap muncul di media masa.
Dengan situasi hati yang bercampur baur kontan gadis itu sampai pergi ke kantor agency kekasihnya untuk bertatap muka, tapi naasnya dia bahkan tidak bisa bertemu. Semua orang bilang kekasihnya telah pergi sejak tiga hari yang lalu. Lantas apakah itu bisa membuat Raellyn percaya? Tentu saja tidak.
Akhir ceritanya sudah dapat dipastikan. Raellyn di usir dari kantor bahkan sebelum dia mendapatkan kesempatan untuk memvalidasi informasi yang dia dapatkan.
Tapi bukan Raellyn namanya bila dia tidak punya ide gila. Bermodalkan name tag palsu saja wanita itu bisa masuk kedalam kantor dan berbaur bersama pegawai lainnya. Targetnya berubah dari kekasihnya menjadi ke director di perusahaan tersebut. Mengapa demikian? Sebab Raellyn pernah diberitahu oleh kekasihnya bahwa dia memiliki seorang kakak laki-laki yang bekerja sebagai director di perusahaannya. Jika tidak bisa bertemu Arsene maka Raellyn pikir dia harus bertemu dengan anggota keluarganya.
Tapi sekali lagi, dia tidak bisa bertemu pula. Lelah dengan segala upaya sia-sianya seharian, Raellyn memilih opsi menenangkan diri di atap perusahaan agency tersebut sebagai pilihan akhir. Mengiba pada takdir dan berkeluh kesah pada langit atas permasalahan yang sedang dia hadapi.
Asap yang berasal dari nikotin di udara berhasil mendistraksi. Membuat Raellyn akhirnya melirik ke satu direksi. Mulanya dia pikir hanya dia hanya sendiri. Tapi setelah melihat ada entitas lain ada disana Raellyn agak dibuat malu, sebab sejak tadi dia bersungut-sungut pada udara guna memarahi.
Adalah seorang pria bertubuh jangkung berdiri tak jauh di belakangnya dengan sebatang rokok yang tengah dia hisap ditangan. Raellyn tidak bisa melihat wajahnya karena pria itu berdiri diantara pohon setinggi tubuhnya dengan minim penerangan. Namun bila dilihat sekilas dari penampilannya, dia jelas pria dengan banyak uang. Raellyn sadar bahwa mereka berada di level berbeda.
“Permisi, boleh saya minta rokoknya?”
Tanpa ragu Raellyn berkata, memecah keheningan dan menaikan keberanian. Mungkin sudah lama sekali dia tidak merokok karena dulu dia akan di pukul bila ketahuan memakai benda itu sebagai media untuk penenangan. Tapi setidaknya untuk sekarang dia butuh itu dan tidak ada yang akan memukulnya lagi untuk alasan apapun.
Raellyn sedang menginginkannya. Anggap saja sebagai penebusan dosa karena hari ini dia gagal bertemu dengan dia. Pria bermulut manis yang meninggalkan dia dengan seluruh cerita cinta yang begitu manis dibelakang.
Kesunyian mendera. Pria yang berdiri dibelakangnya tidak bicara, dia juga nampaknya tidak mau merespon perkataan Reallyn sama sekali. Ia masih berada di posisinya seolah tidak peduli bahwa ada manusia lain disekitarnya. Hal yang membuat Raellyn entah mengapa merasa tersinggung karena diabaikan begitu saja.
“Saya tidak meminta anda untuk memberikannya secara gratis. Saya hanya butuh sebatang saja.” Sekali lagi wanita itu berkata, tapi pria di hadapannya tetap tidak menanggapi. Hanya terdengar ada satu langkah maju ke arah sebaliknya. Namun satu detik kemudian Raellyn mendapati lemparan puntung rokoknya ke tanah. Gadis itu menatap kebawah agak lama, seperti menimbang untuk memungutnya atau tidak. Namun karena dorongan kebutuhan Raellyn memilih untuk mengangkatnya dari tanah dengan menyelipkannya diantara jari telunjuk dan tengah.
“Hei tunggu sebentar.” Satu kata terlontar kembali dari mulut feminimnya.
Tanpa di duga pria itu berhenti melangkah mengikuti ujarannya, orang asing itu juga kini bahkan melirik kearah Raellyn seolah memberikan atensi lebih. Melihat reaksi tersebut Raellyn menyesap puntung rokok yang dia pungut tadi sambil merogoh celana jeans kebesaran yang dia kenakan. Lalu terlemparlah koin receh ke udara. Benda itu berdenting dan bergulir saat menyentuh permukaan lantai. Terhenti tepat di kedua tungkai kaki yang dibalut oleh sepatu mahal sang pria yang beberapa saat lalu telah menghinanya.
“Ambil saja kembaliannya,” ujar Raellyn lagi. Dia merasa cukup puas dengan balasannya terhadap pria itu. Merasa sudah tidak punya urusan gadis itu membalik badan. Dia ingin menikmati rokoknya lagi. Setelah ditemani sebatang rokok, anehnya langit malam terlihat dua kali lipat lebih indah. Meskipun udara di sekitarnya tidak jauh berbeda. Dingin yang sama.
“Kau salah memperkirakan harganya.” Nadanya begitu lembut namun rendah. Suara yang terdengar begitu menyenangkan juga memikat telinga. Tapi apa yang pria itu utarakan punya konotasi bertentangan yang kontan membuat Raellyn kembali diingatkan pada kenyataan. Dia berbalik menatap sosoknya yang kini jelas terlihat. Sedikit terkesima lantaran paras si pria yang sungguh rupawan.
“Apa kau tuli atau semacamnya?” Suara pria itu lagi-lagi membuat Raellyn terkesiap. Salah satu alisnya naik, pria bermulut sampah itulah sebutan yang pantas untuknya. Pujian soal paras tidak jadi dia utarakan. Attitude lebih diutamakan.
“Ah, ya kau benar. Itu sebabnya aku mengatakan padamu untuk menyimpan kembaliannya.”
“Ah maksudmu benda ini?” Pria itu melirik ke bawah, tepat dimana Raellyn melempar uang koinnya. Ia lalu menginjak pecahan koin tersebut tanpa merasa bersalah, “Harusnya kau memberikanku dua ratus juta untuk rokok yang telah kau hisap. Maka nilai kembaliannya kurang lebih seharga pecahan koin yang kau lempar.”
“Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan?” Raellyn mengerutkan keningnya. Jujur saja saat ini dia sedang tidak mood melayani seseorang untuk berdebat.
“Harga adalah sesuatu yang ditentukan oleh seorang penjual. Pertama, kalau kau berani meminta rokokku maka kau juga harus sudah siap membayar sesuai harganya.”
“Aku sudah berusaha bersikap baik padamu Sir. Begini sajalah, silahkan angkat kaki dan tinggalkan aku sendiri. Bukankah tadi kau mau pergi?” Anehnya pria itu malah memasang cengiran bodoh mendengar perkataan bernada sebal dari Raellyn.
“Aku yakin kau mencoba melakukan pendekatan yang sama dengan para perempuan itu. Hari ini saja aku sudah muak berhadapan dengan beberapa orang yang se-tipe denganmu.”
“Se-tipe denganku katamu?” Raellyn menaikan suaranya, tapi di saat yang sama dia melirik kearah satu direksi. Saat itulah dia kemudian mengerti dimana akar permasalahan ini terjadi. Saat ini dia sedang berada di kantor agency, jadi bisa dipastikan banyak kesalahpahaman seperti ini terjadi. Gadis itu kemudian menarik napasnya, “Aku rasa kau sudah salah paham Sir. Aku tidak tahu seberapa populernya dirimu atau sepenting apa posisimu ditempat ini. Tapi untukku, uang yang sudah aku berikan padamu itu lebih dari cukup untuk satu potong rokok bekasmu. Aku juga tidak bermaksud untuk membuat diriku terlihat seperti sedang cari perhatian. Aku murni hanya tertarik pada rokokmu.”
“Kau tidak terkait dengan tempat ini?” Dia menanyakan pertanyaan yang aneh.
“Tidak, aku hanya kebetulan kemari.”
“Kebetulan?” Langkah kaki pria itu tiba-tiba saja mendekat, membuat Raellyn kontan mundur hingga punggungnya menyentuh pembatas. Untungnya pria itu tidak lagi mencoba untuk mendekatinya.
“Kau orang yang cukup menarik. Kurasa aku akan berikan diskon untuk harga rokoknya.”
“Jangan mencoba membuatku tertawa Sir. Kenapa kau terus membahas hal itu?”
“Oh? Betapa mengecewakannya. Kalau kau sedang merayuku harusnya perlu sedikit berusaha lagi. Aku sarankan kau gunakan tubuhmu itu maka malam ini aku bisa mempertimbangkanmu untuk merasakan ranjangku.”
Raellyn mendecih dan melemparkan rokok yang baru sebentar dia nikmati. Benda itu terjatuh di lantai begitu saja atas ulahnya yang cepat panas pada apapun yang pria itu katakan. Hari ini dia sudah terlalu banyak mendapatkan masalah. Dia tentu tidak akan mau diam dan menerima dengan lapang dada perkataan kasar pria asing dihadapannya. Maka sebagai gantinya Raellyn dengan angkuhnya meludahi rokok yang sedang dia nikmati lalu menginjaknya sambil tersenyum.
“Nah, aku sudah kembalikan rokokmu. Silahkan pungut itu dan kembalikan uangku. Transaksi kita batal.”
“Kalau kau ingin uangmu kembali maka kemarilah. Baru aku akan mengembalikannya padamu dengan caraku.”
Tangan Raellyn mengepal erat, dia tidak gemetar sama sekali ketika berhadap dengan pria bermata sebiru musim dingin dihadapannya. Meskipun kedua bola mata itu nyatanya lebih dingin dari pada angin yang bertiup melalui jendela yang terbuka di pagi buta. Dia tidak akan takut, bila tak salah. Raellyn menggertakan giginya dan berharap dengan sangat agar pria itu tidak bisa mendengar suara degupan jantungnya yang berdetak kencang, atau merasakan betapa muaknya dia untuk sesaat.
Sialnya pria itu malah semakin mengikis jarak, mendekat hingga Raellyn tidak punya sisa ruang untuk bergerak. Tangan panjang milik pria itu meraba name tag yang dikalungkan dileher Raellyn dengan gerakan sensual.
“Aku berkesimpulan bahwa benda yang kau pakai untuk mengelabui semua orang di kantor ini juga sama palsunya dengan seluruh ucapan yang kau perlihatkan padaku. Benar begitu?”
Wajah Raellyn memerah saat suara parau pria asing itu secara spontan membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Aneh baginya untuk merasakan daya tarik seorang pria dalam situasi seperti ini.
Tapi Raellyn tidak akan kalah hanya karena sedikit godaan. Perempuan itu memicingkan mata, amarah berkobar dan begitu membara didalam dirinya. Dia tidak akan membiarkan sisi gelap dalam dirinya terbuai oleh pria itu. Tidak akan pernah lagi dia dibuai oleh wajah manis. Meskipun kesan manis sama sekali tidak dimiliki oleh pria yang berdiri dihadapannya sekarang. Pria itu lebih cocok dengan kesan kasar dan maskulin. Dia memikat dengan rambut hitam dan kedua matanya yang memiliki pesona. Semakin dilihat pria itu semakin mencerminkan segala hal yang harus diwaspadai kaum wanita. Gelap, sensual, tampan dan juga sedikit berbahaya.
Tubuhnya sedikit gemetar ketika pria itu menyentuh kulitnya. Untung saja Raellyn cepat tersadarkan dan melihat seringai yang terbentuk di wajah pria itu. Dia semakin menyebalkan.
“Namaku sudah pasti tidaklah palsu. Sir,” tukas Raellyn sambil menepis tangan yang menyentuh kulitnya juga melepaskan name tag yang pria itu pegang. Dia mengambil jarak dan kemudian menegakan postur tubuhnya sendiri. “Aku Raellyn. Aku datang kemari untuk sebuah urusan yang sangat pribadi. Ada orang yang aku cari, tapi dia tidak disini. Aku tidak punya urusan dengan orang aneh sepertimu.”
“Siapa yang kau cari?”
“Director.”
“Hm … lumayan juga.” Pria itu anehnya malah kian mendekatkan diri. Kembali menjebak Raellyn dengan pagar pembatas dan juga sebelah tangan yang mencengkram lehernya. Sementara tangan yang lain dia gunakan untuk menekan bibir Raellyn.
“Apa yang—” Merasa bahaya Raellyn memutar wajahnya ke samping. Tapi pria itu justru malah mendapatkannya kembali dan bahkan meremas bibirnya seolah dia gemas. Senyumannya yang menawan tidak bisa membuat Raellyn terbius. Justru pria itu membuatnya semakin jijik. Tatapan tajam dia arahkan pada pria itu.
“Sungguh, aku sangat suka dengan tatapanmu itu. Miss Raellyn. Kurasa cepat atau lambat kita akan bertemu kembali. Aku yakin Director akan sangat suka melihatmu di kesempatan berikutnya.”
Sejak kali pertama melihatnya, Arnav punya firasat bahwa gadis ini bisa dia jadikan sebagai targetnya. Kebetulan pula dia memang sedang dituntut untuk memiliki pasangan pengganti. Arnav tidak mengira bahwa dia akan mendapatkan penawaran menikahinya, meskipun hanya sebagai pengganti adiknya yang nakal. Ya, Arnav tidak begitu keberatan. Bukankah dengan ini mereka sama-sama menjadi pasangan pengganti untuk satu sama lain?Alhasil, pria itu langsung mengambil keputusan demikian begitu wanita asing dengan masker hitam di wajahnya itu tiba-tiba menodongkan pisau lipat dari dalam saku celana yang dia kenakan dan bergerak untuk mengancamnya dari belakang. Atau bahkan mungkin sebelum itu? Seperti saat asistennya mempersilahkan wanita itu masuk kemudian ia dapat mengagumi cara berjalannya yang agresif namun menggoda serta anggun. Semua itu adalah sebuah kombinasi yang komplikatif untuk membangkitkan sesuatu dalam dirinya yang telah padam bertahun lalu, bahkan bisa dibilang telah layu dan dingin
“Kau mengambil keuntungan dariku Tuan Director! Perbuatanmu barusan menunjukan seberapa rendah dirimu!” geram Raellyn, wanita itu lantas melesat kesamping menjauh dari pria itu. Dia tidak ingin membuat kekacauan lebih dari ini.Arnav hanya menelengkan kepala seraya melihat kearah Raellyn. “Tampaknya lidahmu yang tajam itu sangat bertolak belakang dengan kelihaianmu dalam menggunakan senjata, Miss Raellyn.”“Manusia cabul!” Belum ada sekitar tiga puluh menit sejak Raellyn menginjakan kakinya di ruang kerja pria itu. Tapi Arnav telah berhasil mendekatinya, bahkan mengambil satu ciuman darinya meskipun bukan yang pertama.Sesungguhnya Raellyn tidak berpikir pria itu akan cukup berani, dia hanya belajar dari semua orang bahwa pria akan merasa sangat sebal dengan perempuan yang mencoba menggodanya. Raellyn tidak mengira bahwa pria itu justru malah menyerangnya ketika dia berpura-pura melemparkan rayuan.Raellyn cukup kesulitan mengontrol debaran kencang di dalam dadanya. Lebih karena ciuma
“Bukannya itu permintaanmu? Aku tidak bisa memberikan saudaraku yang sudah memiliki istri padamu, ataupun menjanjikan kematiannya untukmu. Aku juga tidak berharap di bunuh di ruang kerjaku oleh seorang wanita antah berantah yang menuntut pertanggung jawaban. Kupikir aku tidak salah mengartikan bahwa kau bilang aku ini sudah mencukupi?”Raellyn masih tetap tidak bisa mempercayai pendengarannya. Apa ada sesuatu yang salah ? apa ada yang sempat dia lewatkan?“Aku sedikit terkejut dengan persetujuanmu yang cepat, Pak, err… Arnav. Sebelumnya kupikir aku harus menorehkan luka di tubuhku dulu supaya kau tidak meragukan maksudku.” Raellyn melirik ke arah pintu yang tertutup. “Kau memanggil penghulu?”“Ya, beliau akan menikahkan kita sesampainya kita dirumah.”Raellyn tertawa, suaranya terdengar begitu ringan dan nyaring. “Kau bergurau.”“Apakah sekarang kau enggan melakukannya? Mungkinkah aku salah mengartikan maumu saat menuntut pertanggung jawaban?”Raellyn kontan melonjak dan langsung berd
Arnav merasa bodoh sekarang, sepanjang malam ia merasa gelisah. Bertanya-tanya apakah perempuan itu akan menampakan dirinya atau menghilang begitu saja. Pagi ini saja, ia tidak berani untuk menelaah akan perasaan penuh kepuasan serta kegembiraan yang terpancar dari setiap sel tubuhnya saat kepala pelayan di kediamannya melaporkan tentang kedatangan seorang wanita bernama Raellyn tepat pada pukul delapan pagi.Senyum simpul menghiasi wajah pria itu ketika melihat wajah cantik Raellyn. Setidaknya hari ini dia lebih rapi dari kemarin. Rambutnya digelung tanpa menyisakan helaian sedikitpun, kecuali bagian yang memang terlalu pendek di bagian samping wajahnya. Bibirnya dilapisi oleh lipstick berwarna coral yang sangat tipis. Mata besarnya yang kemarin nyalang kini dibingkai dengan eyeliner yang semakin mempertajam sudut matanya. Wanita ini lebih cocok dijadikan model majalah ternama dibandingkan bekerja sebagai penulis naskah drama.“Selamat pagi Raellyn,” sapa Arnav saat wanita itu berdir
“Apa yang harus aku tunjukan agar aku bisa memuaskan rasa haus akan penasaranmu Arnav?” Perihal ciuman mereka sudah pernah melakukannya sekali sebelum mereka terikat dalam ikatan pernikahan. Raellyn mengakui bahwa itu adalah sebuah tindakan paling tidak senonoh yang mau tidak mau harus dia terima. Karena toh sekarang dia tidak kerugian satu apapun lantaran pria itu bertanggung jawab penuh dengan menikahinya.“Semuanya, aku pria yang cukup tamak kau tahu?”“Ya, aku sangat tahu itu. Saking tamaknya kau bahkan tidak memerlukan banyak waktu untuk mempertimbangkan calon istrimu,” sahut Raellyn tajam. Pria itu hanya terkikik pelan.“Kita sudah pernah membahas hal itu, tidakkah mestinya kau merasa bosan dengan topik yang sama?”“Kalau begitu tolong lepaskan aku dari pandangan liarmu terhadap tubuhku. Terus terang itu cukup mengganggu.”Sekali lagi Arnav tercengang dengan keberanian yang dimiliki oleh Raellyn. Perempuan itu selalu saja memiliki banyak kejutan yang tidak terduga dan jawaban-ja
Raellyn tidak banyak bicara, sepanjang dia keluar dari kediaman suaminya gadis itu tidak pernah bisa berhenti untuk menganggumi seluruh kekayaan material yang Arnav miliki. Rumah sang paman yang dulu dia tempati Raellyn pikir adalah sebuah istana, tentu saja bukan apa-apa bila dibandingkan dengan kediaman Arnav.Pekarangan rumah ini saja bisa seluas tiga lapangan sepak bola yang ditanami oleh hamparan rumput yang bahkan lebih terawat daripada tempat tinggalnya dikota ini. Sepanjang mata memandang pekarang tersebut sangatlah menakjubkan, ada banyak tumbuhan yang tumbuh subur disekelilingnya bahkan menurut pelayan yang ikut mengantarkan Raellyn beberapa saat yang lalu kediaman suaminya memiliki danau dihalaman belakang yang konon merupakan tempat dimana Arnav sering menghabiskan waktunya disana.Raellyn cukup penasaran dengan keindahan yang diagungkan oleh si pelayan, sebab gadis itu belum menyisir seluruh kediaman suaminya untuk sekarang. Namun dia akan memasikan untuk membuktikan peri
Raellyn tanpa ragu menceritakan segalanya, semua hal yang terjadi pada satu hari penuh. Mulai dari ketika Arsene kedapatan pergi dan menikahi wanita lain, sampai kemudian dia yang berhadapan dengan Arnav. Raellyn bahkan beberapa kali harus berhenti sejenak guna menenangkan dirinya sendiri. Sampai di akhir cerita, dia kemudian menatap sang paman lekat-lekat. Hanya ada satu kata yang menjadi kesimpulan pria itu. Meskipun rasanya dia tidak percaya dan kebingungan untuk menangkap segalanya. “Jadi, maksudmu sekarang kau sudah menikah dan diperistri oleh kakak dari mantan kekasihmu itu?” “Ya, Paman.” Sekali lagi sang Paman hanya dapat membulatkan matanya tidak percaya. “Kamu menikah dengan Arnav? Seorang director dari perusahaan agensi terkenal itu?” “Ya, Paman.” Kini tatapannya berubah menjadi jenis tatapan yang dipenuhi oleh kewaspadaan. Dia terlihat curiga, dan terus terang Raellyn merasa gelisah menatap kedua mata pamannya sekarang. Dia menunggu respon selanjutnya sebelum mengatakan
Raellyn tertawa lembut. Bisa-bisanya sang paman bergurau hanya dalam beberapa detik setelah mereka bersitegang satu sama lain. Meski begitu Raellyn bersyukur lantaran intensi di antara mereka sudah kembali normal seperti sedia kala dan tidak lagi dalam atmosfer yang berat seperti beberapa saat yang lalu. “Harus aku akui bahwa aku sempat bingung juga tentang alasan mengapa dia dengan mudahnya menerima. Tapi setelah mendengar ucapan paman aku merasa kepercayaan diriku meningkat pesat. Walaupun memang sifat otoriternya sangat melekat. Dia hampir memegang kendali dalam setiap situasi sepanjang waktu dan aku sudah seperti lakon yang berkewajiban untuk mengikuti sesuai dengan rencananya. Tapi satu-satunya kesempatanku bertemu dengannya adalah ketika penyerbuan itu dan satu lagi pertemuan dalam ketidaksengajaan,” ujar Raellyn. Sementara sang paman nampak berada dalam pose berpikir. “Mungkin saja Arsene sendiri yang membicarakanmu kepada kakaknya?”“Kurasa tidak. Meski aku sendiri tidak tah
Satu pekan kemudian, resepsi pernikahan digelar. Tidak banyak persiapan yang dilakukan, karena Arnav telah menyerahkan seluruh urusan tersebut kepada wedding orgaziner terkemuka dan professional dibidangnya. Sehingga, meskipun serba dadakan tapi hasilnya terkesan seperti sebuah pesta yang telah direncanakan jauh-jauh hari dan ini lebih seperti pertama kalinya Raellyn dinikahi. Belum lagi keramaian ini juga karena ada beberapa wartawan yang meliput acara pesta dan bahkan disiarkan secara langsung. Memang benar pengaruh seorang Arnav bisa mengguncangkan layar kaca dan semua orang. Padahal ini hanyalah acara resepsi tapi makna yang terkandung di dalamnya terasa seperti sebuah pernikahan yang memang selalu Raellyn impikan. Seolah Arnav memang memahami betul dirinya dan Raellyn terkejut karena detail-detailnya sesuai sekali dengan pernikahan impiannya. Padahal obrolan mengenai acara resepsi hanya berlangsung sekali dan itu pun tidak terlalu mendalam karena mereka berdua langsung sibuk deng
“Tolong jangan merusak itikad baikku malam ini. Aku tidak memanggil kalian kemari untuk berdebat dan menuding istriku dengan sesuatu yang tidak masuk akal,” ujar Arnav yang seketika menghentikan perdebatan hanya dalam sekejap mata.Pandangan mata Sylvia berubah, wanita itu langsung menunduk begitu pula dengan adik Arnav yang baru Raellyn ingat bernama Louisa. Keduanya tidak mampu mengatakan sepatah kata pun dan kondisi meja kembali tertib.Raellyn memang sangat menyangkan situasi yang berjalan tidak seharusnya. Sebagai satu keluarga dan di dominasi oleh orang dewasa semestinya mereka memiliki pemikiran yang matang dan bisa menentukan mata yang pantas dan tidak pantas di lakukan. Toh, untuk apa pula berdebat dan mempermasalhkan hal yang tidak benar adanya? Menunjukan siapa yang paling benar dan pantas mendapatkan dukungan dan simpati? Cerita lama.“Nyonya Chyntia alasan aku memanggilmu kemari karena aku ingin minta maaf.”Semua orang di meja langsung menatap Arnav dengan pandangan tida
Seminggu berlalu sejak moment dimana Arnav bilang ingin meminta maaf pada Nyonya Chyntia dan ingin melepaskan beban masa lalu. Raellyn memang senang mendengarnya, tapi ketika hari dimana suaminya mengajaknya untuk melakukan sebuah pertemuan dengan sang ibu mertua saat itu pula pikiran Raellyn malah tidak tenang.Restaurant mewah yang mereka datangi malah membuat Raellyn dejavu. Suasana ini nyaris serupa dengan saat pertama kali dia bertemu dengan sang ibu mertua. Yang berbeda adalah dia tidak begitu mengenal ibu mertuanya saat itu dan punya tujuan untuk ikut campur bak super hero bijaksana. Tapi sekarang Raellyn hanya menjadi seorang pengamat dan dia tidak di perkenankan ikut campur sebelum Arnav menyelesaikan urusannya. Raellyn sekarang memang sudah berubah, dia sudah bisa memahami posisinya dan tidak lagi keras kepala seperti dulu. Maka beginilah yang terjadi dia menanti dengan sabar sebelum keluarga baru suaminya tiba.Kemarin, Arnav kembali menyinggung soal niatannya dan saat itu
Suara pintu dibuka dan sedikit mengejutkan bagi kedua insan di dalam ruangan ketika seorang pria paruh baya masuk kesana.“Paman,” panggil Raellyn begitu menyadari orang yang datang berkunjung adalah sang paman. Dia melirik kearah Arnav yang tersenyum kearahnya. Raellyn benar-benar terharu, dia pikir pria itu tidak akan membagi kabar ini kepada kerabat ataupun keluarga. Raellyn juga tidak memaksanya karena dia tahu pria itu sudah cukup sibuk dan lelah selama seharian kemarin. Makanya ketika dia melihat pamannya datang Raellyn senang bukan main. Keluarganya menjadi yang pertama mengetahui soal kelahiran putranya.“Dimana cucuku, Raellyn? Aku ingin melihatnya,” ujar sang paman dengan penuh pancaran kebahagiaan. Dia benar-benar menampakan sebuah ekspresi tak sabar untuk melihat cucunya. Perasaan bahagia itu tidak bisa dia sembunyikan setelah mendengar bahwa keponakannya baru saja melahirkan. Tentu saja pria itu langsung melesat ke rumah sakit tanpa perlu memikirkan apapun.“Ini cucumu, p
Operasi caesar telah usai dan berjalan dengan sangat lancar. Kini Raellyn dibawa menuju ke ruang pemulihan khusus dan dia berada di bawah pantauan tim dokter dengan sangat teratur. Tentu saja hal ini tidak lepas dari kuasa sang suami yang memberikan seluruh akses istimewa sehingga Raellyn mendapatkan perawatan secara paripurna. Infus masih terpasang di lengan kiri Raellyn selama istrinya itu masih belum bisa makan dan juga minum dengan sempurna.Arnav, dengan seluruh kuasa yang dia miliki juga meminta agar anaknya berada di dalam satu ruangan yang sama dengan Raellyn. Hal itu tidak terlalu banyak menyita waktu karena memang bayinya sehat dan tidak membutuhkan tindakan medis lebih lanjut.“Berapa lama masa penyembuhan istri saya, dok?” tanya Arnav, saat ini dia berada di ruangan sang dokter muda yang menangani persalinan istrinya.“Kurang lebih sekitar empat sampai dengan enam minggu untuk sembuh total dan bisa beraktifitas seperti biasa. Saya sangat menyarankan istri anda jangan sampa
Memasuki jadwal kontrol bulanan, di fase bulan ke sembilan. Raellyn seperti biasa di dampingi oleh Arnav kembali mengunjungi sebuah klinik yang telah di percayai untuk berkonsultasi mengenai kelahiran buah hati mereka pada dokter yang menanganinya. Bahkan Arnav sendiri juga sudah sampai pada titik melakukan reservasi sebuah kamar VVIP di sebuah rumah sakit untuk berjaga-jaga, karena dari yang dia ketahui melalui pengalaman asisten pria-nya terkadang kelahiran dapat terjadi secara tiba-tiba dan melenceng dari hari yang sudah di jadwalkan. Dalam hati terutama untuk Raellyn sendiri, tentu saja dia terkadang kerap kali di hantui oleh rasa cemas dan juga takut yang berlebih selama menantikan hari persalinan.“Arnav, aku tiba-tiba jadi merasa takut.”Arnav sendiri biar pun tampangnya terlihat tenang, tapi jauh di lubuk hati dia juga cemas bukan kepalang. Dia sangat khawatir kepada istri dan juga calon buah hati mereka. “Tenanglah, sayangku. Apapun yang terjadi nanti aku ada disampingmu.”Ra
Sayangnya sejak hari itu Arnav tidak pernah buka suara tentang apa yang terjadi. Arsene juga sudah tidak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Raellyn memang penasaran dengan apa yang terjadi, tapi untuk sekarang dia merasa tidak perlu mengulik atau pun mencari tahu. Dia sudah mempercayai Arnav dan tidak lagi meragukan dirinya yang dulu. Kedua pria itu pasti punya alasan, dan Raellyn tidak akan mengusik hal tersebut.Waktu sudah berlalu, menginjak bulan ke sembilan dari kehamilannya. Raellyn makin hari makin di manjakan saja. Sesungguhnya Raellyn hanya bisa berdoa agar dia tidak meleleh setiap paginya karena pria itu selalu saja punya cara untuk memanjakannya dengan penuh cinta. Apalagi saat perutnya dibelai sambil dibisiki kata-kata mesra. Ah… sungguh, apakah Arnav memang seperti ini? rasanya dia benar-benar seperti tokoh pria fiksi idamannya jika begini terus.“Raellyn sayang, bangun.”“Tidak mau.” Raellyn masih merasa sangat berat, semalam mereka bermain cukup lama. Ini karena Arn
Lita dan Raellyn kini asyik berceloteh ria di ruang tamu kediaman sang paman. Sepupunya itu langsung melonjak gembira begitu membuka pintu dan mendapati Raellyn ada disana dengan perut buncitnya. Padahal sedari tadi dia kata Sharon, Lita hanya menatap ponselnya tanpa memiliki niatan beranjak sedikit pun. Raellyn hanya terkikik mendengarkan celotehan adik sepupunya itu sambil sesekali Lita akan angkat bicara untuk menyanggah apa yang adiknya katakan. Reuni kecil setelah sekian lama memang membawa sedikit rasa nostalgia.Kini setelah ditinggal oleh Sharon, kedua wanita itu mulai bercerita banyak hal. Terutama topik mengenai kehamilan Raellyn yang sejak tadi selalu diungkit oleh Lita.“Kau sudah siapkan nama untuk calon anakmu belum?”Raellyn hanya menggeleng. “Aku belum punya nama untuk bayiku, tapi aku rasa Arnav sudah punya beberapa. Dia sangat antusias sejak dokter bilang bahwa calon bayi kami akan lahir sebagai bayi laki-laki.” Raellyn mengujar seraya mengusap perut besarnya dengan
Mendengar suara Mrs. Maddy dari balik pintu Raellyn tersedak saliva-nya sendiri dan terbatuk-batuk. Muka wanita itu langsung merah padam tak tertahankan ketika melihat ke arah pintu kamar yang sudah terbuka dan menampakan si kepala pelayan. Sementara Arnav susah payah untuk menggeram menahan hasratnya yang harus dia tenangkan. Kehadiran Mrs. Maddy benar-benar sangat tidak tepat.“A-ah ya Mrs. Maddy ada apa?” Raellyn menghampiri wanita itu untuk mengurangi kecanggungan meskipun tentu saja kesalah tingkahannya tidak benar-benar bisa dia sembunyikan.“Maaf bila saya mengganggu aktivitas pagi Anda. Tapi ada tamu.”Mati aku! Raellyn sempat merutuk sebelum akhirnya dia terhenti dan menatap Mrs. Maddy dengan tatapan tidak percaya.“Tamu? Pagi-pagi begini?” tanya Raellyn yang sekarang benar-benar murni telah melepaskan seluruh kecanggungannya beberapa saat lalu menjadi sebuah tanda tanya besar di kepala.Mrs. Maddy diam sejenak, wanita itu bergantian memandangi wajah Raellyn yang ada di hadap