Arnav merasa bodoh sekarang, sepanjang malam ia merasa gelisah. Bertanya-tanya apakah perempuan itu akan menampakan dirinya atau menghilang begitu saja. Pagi ini saja, ia tidak berani untuk menelaah akan perasaan penuh kepuasan serta kegembiraan yang terpancar dari setiap sel tubuhnya saat kepala pelayan di kediamannya melaporkan tentang kedatangan seorang wanita bernama Raellyn tepat pada pukul delapan pagi.
Senyum simpul menghiasi wajah pria itu ketika melihat wajah cantik Raellyn. Setidaknya hari ini dia lebih rapi dari kemarin. Rambutnya digelung tanpa menyisakan helaian sedikitpun, kecuali bagian yang memang terlalu pendek di bagian samping wajahnya. Bibirnya dilapisi oleh lipstick berwarna coral yang sangat tipis. Mata besarnya yang kemarin nyalang kini dibingkai dengan eyeliner yang semakin mempertajam sudut matanya. Wanita ini lebih cocok dijadikan model majalah ternama dibandingkan bekerja sebagai penulis naskah drama.
“Selamat pagi Raellyn,” sapa Arnav saat wanita itu berdiri dihadapannya. Dia bahkan sampai mengulurkan tangan untuk di sambut meskipun perlu sedikit waktu bagi wanita itu meraihnya.
“Kau tidak perlu menyambutku seperti itu, Arnav,” ucap Raellyn akhirnya mau menjamah tangan yang terulur dihadapannya meskipun dengan hela napas berat sebelum kulit mereka bersentuhan.
“Aku hanya mencoba untuk bersikap manis padamu.”
“Terserah. Jadi—”
“Tunggu sampai kita tiba di ruang makan.”
“Kenapa harus di ruang—”
“Raellyn,” panggil Arnav penuh penekanan. Raellyn nampaknya langsung mengerti dia bungkam dan menahan semua hal yang ada dikepalanya. Arnav suka saat wanita itu menurunkan sedikit egonya dan mau menurut. Baginya itu adalah sebuah kepuasan tersendiri. Dia bahkan sudah tidak sabar untuk menantikan apa yang akan terjadi nanti malam.
“Kita sarapan dulu.” Itu adalah sebuah perintah mutlak yang Arnav katakan, sisanya wanita itu hanya mengangguk dan menyetujui ajakan makan itu tanpa banyak berkomentar.
Suasana di meja makan terlalu sunyi, Raellyn tidak buka suara dan terus saja sibuk dengan hidangan yang tersaji di depan matanya. Akibatnya Arnav harus menahan hasratnya yang semakin menggelora saat mengamati Reallyn melahap satu suapan demi suapan. Apalagi di suapan terakhir saat lidah wanita itu sedikit terjulur keluar untuk menjilat remahan di sudut bibirnya. Anehnya hal sekecil itu bisa jadi punya efek luar biasa. Bibir itu punya daya tarik sensual tinggi, tentu saja itu sudah dia buktikan sendiri.
Arnav menahan dirinya untuk tidak mengerang ketika membayangkan lidah itu membelai bukti akan gairahnya. Dia ragu bahwa sebelumnya pernah merasa begitu ingin terbenam jauh kedalam diri seorang wanita, apakah sebenarnya dia memang seperti ini?
Segenap emosi yang bergejolak ketika dia mengamati Raellyn selama satu jam terakhir tidak dapat dia terima. Namun karena setiap keberanian yang wanita itu perlihatkan selalu sukses membuatnya tergugah sedemikian dalam. Arnav tertantang ketika dia menyadari bahwa wanita itu juga mengamati dirinya secara diam-diam dengan hasrat samar yang nampaknya kesulitan untuk dapat dia sembunyikan. Hasrat serupa miliknya. Tapi bukan Arnav namanya bila dia mudah terpengaruh oleh dorongan hati. Dia harus selalu berhati-hati, sebab bila dia tidak menahan dirinya dia bisa saja semakin mengidam-idamkan Raellyn. Suatu keadaan yang dulu tidak akan pernah dia terima.
Wanita ini berbahaya dan penuh dengan kejutan. Dia lugu, mengingat bagaimana dia bisa jatuh dalam jeratan pesona adiknya yang telah beristri. Dari sini Arnav bisa menyematkan bahwa Raellyn adalah tipe wanita yang tidak setia dalam pernikahan. Tidak bisa mendapatkan adiknya, dia malah meminta Arnav menikahinya. Tapi, bukankah itu yang akan dilakukan oleh semua wanita di alam semesta? Mereka penuh tipu daya dan tidak bisa dipercaya. Arnav sudah mengalami pelajaran pahit itu sendiri dari dua orang wanita yang pernah mendapatkan cinta dna juga kepercayaannya di masa lalu. Tidak mungkin dia bersikap seperti seekor keledai dungu yang jatuh di jurang nestapa sekali lagi.
“Sir Arnav, pak penghulu sudah tiba.” Pengumuman yang disampaikan oleh pelayan pria membuat raut muka Raellyn sedikit berubah menjadi sedikit agak gugup.
Arnav menjadi orang pertama yang bangkit dan melenggang ke tempat Raellyn duduk. Menikmati ketidaknyamanan yang terpancar dari kedua bola mata abu-abunya.
“Ayo, Pak penghulu sudah tiba. Dia sudah menunggu di perpustakaan.” Raellyn tidak menjawab. Wanita itu otomatis mendorong kursinya ke belakang dan langsung bangkit berdiri begitu saja tanpa perlu menunggu bantuan dari Arnav sama sekali.
Wanita itu bahkan kini malah berjalan mendahuluinya dengan langkah pendek, santai, anggun, tapi yang pasti Arnav suka pemandangan dari belakang ini. Sebab dia bisa menikmati setiap lekukan tubuh dan juga pergerakan yang wanita itu buat. Sekali lagi sesuatu yang kasual dari wanita itu membuat godaan terberat bagi seorang Arnav.
Pria itu membenamkan kedua tangannya pada saku celananya sendiri sambil diam-diam memikirkan bagaimana caranya menangani wanita dengan tipe seperti Raellyn. Dia bukan orang bodoh yang tidak tahu bahwa wanita ini menikahinya karena seluruh harta yang telah dia usahakan dan dia miliki. Bukannya ia peduli soal hal-hal berbau material. Hanya saja justru karena Arnav tidak pernah tahu bahwa ada sebuah pernikahan yang bisa terlaksana tanpa dasar itu. Rasanya ajaib bila memang ada sebuah pernikahan yang terjadi tanpa memiliki keterikatan dengan uang.
Senyum sensual melengkung begitu saja di wajah sang director muda. Selain dari uang, sebenarnya pernikahan ini juga punya manfaat yang sepadan dengan uang yang dia keluarkan. Arnav akan memastikan Raellyn tidak akan punya waktu luang bahkan untuk sekadar memikirkan memiliki pria lain dihidupnya. Arnav akan membuat Raellyn dan dirinya tentu saja, untuk saling memuaskan satu sama lain. Siang dan malam, atau diwaktu-waktu tak terduga untuk bercinta. Entah itu secara lembut, lama, atau bahkan dalam.
Jika setelah semua upaya itu Raellyn masih punya keinginan untuk mencari kekasih lain. Maka tentu saja Arnav akan dengan senang hati mengusir wanita itu dari kediamannya dan mempermalukan sekaligus menghancurkan reputasinya hingga hidup wanita itu tidak akan jadi berarti lagi. Dia tahu bahwa itu adalah pikiran yang paling kejam yang dia miliki. Tapi apa dayanya? Dia hanyalah mantan seorang pria yang pernah ditipu oleh wanita yang dia suka. Karena itulah Arnav akan memastikan dia tidak mengalami pengalaman pahit yang serupa untuk yang kedua kalinya.
Raellyn sudah berhenti melangkah begitu sang pelayan membuka pintu ruang perpustakaan. Disana ada dua orang pria muda yang telah duduk dan menunggu. Raellyn melirik ke belakang menunggu konfirmasi dari Arnav.
“Mereka berdua adalah pegawaiku yang paling aku percaya. Mereka akan menjadi saksi atas pernikahan kita.”
Kedua pria itu kontan berdiri. Mereka menganggukan kepala sebagai ucapan perkenalan sekaligus salam.
Raellyn balas mengangguk, wanita itu sungguh sangat tenang sejak Arnav mengajaknya sarapan bersama. Tanpa perlu mengulur waktu Arnav memberikan tanda dengan gesture tangannya kepada sang penghulu yang sepertinya agak kebingungan untuk memulai.
Arnav sempat ragu, apakah sebaiknya dia menghentikan ini sebelum terlambat? Mungkin benar apa yang wanita ini sempat bilang bahwa mereka butuh setidaknya waktu untuk menjalani pendekatan sebelum memutuskan memasuki jenjang pernikahan. Dan melakukan sebuah pernikahan yang pantas bagi seorang istri director muda yang kaya raya?
“Ada apa? kau merasa ragu?” Ada selipan mengejek disana. Arnav menyunggingkan senyumannya.
“Kenapa aku merasa harus ragu?”
“Seperti misalnya kau merasa akan menyesal karena menikahi wanita bekas adikmu?”
“Aku biasanya memang pemilih. Tapi untukmu kurasa aku punya sebuah pengecualian dan kondisi khusus.”
Pak penghulu berdeham, lalu meminta mereka berdua menghentikan konversasi dan berdiri saling berhadapan. Rasa kepuasan dengan cepat memenuhi diri Arnav ketika dia melihat Raellyn menegakan tubuhnya, mengangkat dagunya dengan seluruh kesombongan yang wanita itu punya, dan bahkan membalas tatapannya tanpa berkedip.
Ketika pria itu berceloteh soal janji suci sakral, sesungguhnya Arnav tidak begitu mendengarkan. Dia hanya menjawab bila diperlukan, terutama di bagian penegasan dan komitmennya. Senyum menghiasi bibirnya saat dia selalu mendapati adanya denyutan di leher Raellyn yang nampak mengingkari seluruh penampilannya yang diselimuti ketenangan luar biasa. Mau tidak mau ia harus mengagumi seberapa tangguh wanita itu menyikapi situasi tak terduga.
“Sir Arnav, cincinnya.”
Selepas ujaran tersebut Arnav kontan mengeluarkan kotak cincin dari dalam sakunya. Tangan pria itu agak sedikit gemetar saat menyematkan cincin berlian putih dengan potongan emerald. Cincin tersebut dibuat dengan batu permata dari Monako dan diapit dengan dua berlian berpotongan baguette. Setelahnya Arnav bisa merasakan kagetnya wanita itu saat melihat penampakan cincin di jari manisnya. Dia mungkin bertanya-tanya darimana Arnav bisa mendapatkan cincin seindah itu dalam waktu singkat.
“Saya menerimamu Raellyn sebagai istriku.” Tautan jemari yang mengerat serta ucapan tersebut membuat wanita itu kian terperangah saja. Namun cepat ekspresi itu berubah saat sang penghulu menyadarkan ia.
“Saya menerimamu Arnav sebagai suamiku.” Suaranya begitu halus dan yakin tatkala kedua mata abu-abunya menatap Arnav dengan super serius.
Kata-kata terakhir diucapkan oleh sang penghulu yang mengikat mereka dalam sebuah sumpah untuk selamanya bergema di ruang perpustakaan pribadinya. “Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh dipisahkan oleh manusia.” Tutup pak penghulu.
Dengan seluruh rasa syukur, Arnav mendengarkan sang penghulu menetapkan mereka menjadi suami istri. Semuanya berjalan dengan sangat mudah tidak seperti yang dia duga. Ini adalah pernikahan paling simple yang pernah dia lakukan seumur hidupnya, dan ini tidak begitu buruk.
“Nyonya Arnav,” ucap Arnav lambat-lambat sambil menyelipkan tangan kirinya ke pinggang Raellyn untuk membuat wanita itu mendekat. Kemudian menciumnya dengan sangat lembut dan sangat hati-hati, sadar betul bahwa ada orang lain di ruangan itu. Bibir Raellyn terbuka secara sukarela dan kemudian kecupan yang semula hadir untuk sebuah formalitas menjadi lebih panas dan manis. Arnav menikmatinya dengan penuh, semakin tamak untuk memperdalam bahkan lebih bergelora. Hanya suara batuk yang terdengar dari para saksi yang membuat Arnav akhirnya melepaskan pengantinnya dengan tidak rela.
Arnav memandang semua orang yang ada. Menggunakan matanya untuk mengusir mereka semua hingga kini hanya tinggal mereka berdua saja.
“Apa kau selalu setenang ini? jangan-jangan ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku.”
Raellyn mengerjap bingung, memperhatikan Arnav yang mengintrogasinya seperti itu setelah mereka sah dalam sebuah ikatan pernikahan. “Apa maksudmu?”
“Aku penasaran dan ingin mengorekmu hingga ke akar. Apapun itu akan aku lakukan hingga semua terbuka lebar. Semua yang tersembunyi darimu—” Tangan Arnav bergerak ke leher Raellyn, membuka kancing atas kemejanya dengan sekali sentakan. “—tunjukan padaku.”
“Apa yang harus aku tunjukan agar aku bisa memuaskan rasa haus akan penasaranmu Arnav?” Perihal ciuman mereka sudah pernah melakukannya sekali sebelum mereka terikat dalam ikatan pernikahan. Raellyn mengakui bahwa itu adalah sebuah tindakan paling tidak senonoh yang mau tidak mau harus dia terima. Karena toh sekarang dia tidak kerugian satu apapun lantaran pria itu bertanggung jawab penuh dengan menikahinya.“Semuanya, aku pria yang cukup tamak kau tahu?”“Ya, aku sangat tahu itu. Saking tamaknya kau bahkan tidak memerlukan banyak waktu untuk mempertimbangkan calon istrimu,” sahut Raellyn tajam. Pria itu hanya terkikik pelan.“Kita sudah pernah membahas hal itu, tidakkah mestinya kau merasa bosan dengan topik yang sama?”“Kalau begitu tolong lepaskan aku dari pandangan liarmu terhadap tubuhku. Terus terang itu cukup mengganggu.”Sekali lagi Arnav tercengang dengan keberanian yang dimiliki oleh Raellyn. Perempuan itu selalu saja memiliki banyak kejutan yang tidak terduga dan jawaban-ja
Raellyn tidak banyak bicara, sepanjang dia keluar dari kediaman suaminya gadis itu tidak pernah bisa berhenti untuk menganggumi seluruh kekayaan material yang Arnav miliki. Rumah sang paman yang dulu dia tempati Raellyn pikir adalah sebuah istana, tentu saja bukan apa-apa bila dibandingkan dengan kediaman Arnav.Pekarangan rumah ini saja bisa seluas tiga lapangan sepak bola yang ditanami oleh hamparan rumput yang bahkan lebih terawat daripada tempat tinggalnya dikota ini. Sepanjang mata memandang pekarang tersebut sangatlah menakjubkan, ada banyak tumbuhan yang tumbuh subur disekelilingnya bahkan menurut pelayan yang ikut mengantarkan Raellyn beberapa saat yang lalu kediaman suaminya memiliki danau dihalaman belakang yang konon merupakan tempat dimana Arnav sering menghabiskan waktunya disana.Raellyn cukup penasaran dengan keindahan yang diagungkan oleh si pelayan, sebab gadis itu belum menyisir seluruh kediaman suaminya untuk sekarang. Namun dia akan memasikan untuk membuktikan peri
Raellyn tanpa ragu menceritakan segalanya, semua hal yang terjadi pada satu hari penuh. Mulai dari ketika Arsene kedapatan pergi dan menikahi wanita lain, sampai kemudian dia yang berhadapan dengan Arnav. Raellyn bahkan beberapa kali harus berhenti sejenak guna menenangkan dirinya sendiri. Sampai di akhir cerita, dia kemudian menatap sang paman lekat-lekat. Hanya ada satu kata yang menjadi kesimpulan pria itu. Meskipun rasanya dia tidak percaya dan kebingungan untuk menangkap segalanya. “Jadi, maksudmu sekarang kau sudah menikah dan diperistri oleh kakak dari mantan kekasihmu itu?” “Ya, Paman.” Sekali lagi sang Paman hanya dapat membulatkan matanya tidak percaya. “Kamu menikah dengan Arnav? Seorang director dari perusahaan agensi terkenal itu?” “Ya, Paman.” Kini tatapannya berubah menjadi jenis tatapan yang dipenuhi oleh kewaspadaan. Dia terlihat curiga, dan terus terang Raellyn merasa gelisah menatap kedua mata pamannya sekarang. Dia menunggu respon selanjutnya sebelum mengatakan
Raellyn tertawa lembut. Bisa-bisanya sang paman bergurau hanya dalam beberapa detik setelah mereka bersitegang satu sama lain. Meski begitu Raellyn bersyukur lantaran intensi di antara mereka sudah kembali normal seperti sedia kala dan tidak lagi dalam atmosfer yang berat seperti beberapa saat yang lalu. “Harus aku akui bahwa aku sempat bingung juga tentang alasan mengapa dia dengan mudahnya menerima. Tapi setelah mendengar ucapan paman aku merasa kepercayaan diriku meningkat pesat. Walaupun memang sifat otoriternya sangat melekat. Dia hampir memegang kendali dalam setiap situasi sepanjang waktu dan aku sudah seperti lakon yang berkewajiban untuk mengikuti sesuai dengan rencananya. Tapi satu-satunya kesempatanku bertemu dengannya adalah ketika penyerbuan itu dan satu lagi pertemuan dalam ketidaksengajaan,” ujar Raellyn. Sementara sang paman nampak berada dalam pose berpikir. “Mungkin saja Arsene sendiri yang membicarakanmu kepada kakaknya?”“Kurasa tidak. Meski aku sendiri tidak tah
Raellyn rasa para pria memang memiliki kemampuan untuk yang satu itu. Sebab akan sangat bodoh bila seorang pria dari kalangan kelas atas akan memberinya sebuah penghargaan yang cukup besar bila dia memang bukan perempuan yang suci. Mungkin pula alasan mengapa Arnav dapat mengetahui karena pengalamannya yang melanglang buana bersama para perempuan malam yang Raellyn rasa sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Meski ingin bertanya pada sang paman mengenai hal itu, tapi sepertinya untuk sekarang tidak perlu. Raellyn merasa cukup dengan seluruh spekulasi yang dia dapatkan dari dirinya sendiri. Dia juga sudah merasa cukup ketakutan hanya karena pembahasan soal ciuman sederhana dengan seorang pria.“Sejujurnya aku selalu mengkhawatirkanmu, Raellyn. Bahkan meski kau bilang telah menikah dengannya aku masih tidak bisa seratus persen mempercayai bahwa dia pria yang layak untuk berdiri di sisimu. Kalau kau berpikir untuk memperdaya dia, kurasa kau jauh lebih tahu bahwa dia bukan pria sembarangan
Raellyn benar-benar tidak menyadari berapa banyak waktu yang telah dia lewati sejak supir yang Arnav utus untuk memastikannya pulang tidak terlambat memintanya untuk pergi dari kediaman sang paman. Makan malam yang dia santap hanya mengisi perut tanpa adanya kenikmatan. Makan dengan terburu-buru memanglah hal yang buruk. Bahkan satu-satunya yang Raellyn sadari sekarang bahwa kini sepatu yang dia kenakan berbalut sedikit lumpur dengan lampu-lampu yang telah di nyalakan begitu dia tiba di halaman depan rumah sang suami. Dia berjalan dengan payung yang di genggam oleh sang supir begitu dia tiba di pemberhentiannya. Gadis itu nyaris tidak percaya dengan apa yang terjadi di hadapan matanya. Ketika dia melihat para pelayan yang berbaris di luar dalam kondisi basah kuyup seolah menyambutnya. “Sedang apa kalian disini?” ujar Raellyn lantang begitu dia mendekati orang pertama yang berbaris disana. “Kami menunggu Anda Nyonya,” sahut seorang perempuan yang seusia sang paman. Dia juga sama seper
Detak jantung Raellyn mendadak berpacu dengan kencang. Pemikiran bahwa Arnav akan tidur dengannya malam ini memenuhi benak dan juga kepalanya. Berbagai fantasi liar nan nakal mulai bercampur dengan seluruh emoasi yang tidak pasti. Entah itu takut atau karena rasa penasaran dan ingin tahu yang sangat besar.Aku menantikan malam pernikahan kita.Kalimat itu sekali lagi berputar di memorinya, bukankah itu adalah sebuah kalimat penegasan yang Arnav buat sebagai bentuk atas penegasan niat untuk menikmati tubuhnya? Bagaimanapun dia hanyalah seorang gadis perawan yang bersikap so arogan. Meski takut memang ada di dalam dirinya, tapi Raellyn memilih untuk memenuhi dirinya dengan rasa ingin tahu yang sangat besar.Raellyn sebenarnya tidak mau percaya bahwa seorang pria dari kalangan terhormat akan langsung mengajaknya ke dalam kamar, setelah dia baru saja menemui keluarganya dan duduk di dalam mobil pribadi pria itu selama beberapa jam tanpa persiapan apa-apa. Tapi, gadis itu ingat lagi bahwa
Raellyn kontan membalikan badan, sedikit takut ketika pintu kayu besar itu terbuka dan memperlihatkan eksistensi seorang pelayan yang mulai masuk ke dalam ruangan. “Nyonya Raellyn, saya adalah Rona, saya di tugaskan Tuan Arnav menjadi pelayan pribadi Anda mulai malam ini.”“Halo Rona.” Cepat kilat Raellyn bermetamorfosa layaknya seorang nyonya sungguhan, dia mulai kembali berlakon seperti tokoh yang kerap dia buat dalam naskah dramanya. Raellyn bahkan tidak sadar telah mengenyahkan perasaannya yang tidak karuan. Dia merasa hebat karena kemampuannya tapi juga ngeri karena bisa mengatasi emosi dalam diri secepat itu.Pelayan yang memperkenalkan dirinya sebagai Rona tersebut kemudian mulai mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang entah sejak kapan dia bawa bersamanya.“Apa Anda ingin memulainya dengan mandi terlebih dahulu, Nyonya?” tanya perempuan itu pada Raellyn.Merasa tidak perlu beramah tamah dengannya, Raellyn hanya menganggukan kepala sebagai tanda persetujuan.“Kalau begitu s