Malam yang mencekam dengan jalanan lenggang nan sepi. Ditemani hujan deras yang mengguyur sejak sore tadi. Ditengah kebisuan malam, sebuah mobil mewah berwarna hitam melaju kencang. Tak peduli pada minimnya cahaya di jalan ataupun hujan yang seolah menyelimuti dalam gelapnya malam.
Mobil mewah tersebut berdecit kencang saat pengemudi tak mampu menguasai lagi jalan, hingga akhirnya menabrak pembatas jalan dan terpelanting jauh beberapa meter dari lokasi awal.
Jalanan tak bertamukan mobil lain hanya melukiskan asap putih yang mengepul dari bagian mobil yang rusak parah. Pecahan kaca mobil yang berserakan di aspal jalan terlihat begitu mengerikan, bahkan jejak mobil yang membekas di aspal menjadi saksi seberapa kerasnya sang pengemudi berusaha menyelamatkan haluannya.
Di tengah heningnya malam, sebuah rintihan penuh kesakitan terdengar dari arah mobil nahas itu.
Tak menunggu lama, ketukan demi ketukan dari dalam mobil mengikuti rintihan tersebut.
Dengan susah payah, seseorang berusaha memecahkan kaca mobil yang tersisa. Tak perduli pada lengannya yang terlihat terluka parah, ataupun darah yang membasahi pipinya.
Semua usahanya membuahkan hasil, gadis dengan gaun putih berlumuran darah berhasil mengeluarkan salah satu kakinya dari mobil nahas itu, kaki lainnya berusaha bergerak dengan sisa tenaga yang ia punya.
Belum sepenuhnya ia mengeluarkan seluruh tubuhnya, ia berbalik dan menatap pergelangan tangannya yang nampak ditahan oleh sesuatu.
“Jangan pergi, kumohon.”
Gadis itu hanya menatap dingin tanpa merasa iba pada sosok pria yang terlihat terluka parah di kursi kemudi.
“Kumohon,” pinta pria itu terbata menahan sakit.
Sayang, tanpa perduli sedikit pun, wanita itu menghempas kasar tangan pria yang memegangnya dan berjalan tertatih meninggalkannya.
Pria itu hanya bisa pasrah saat tangannya terasa dingin tak lagi menggenggam tangan yang ia inginkan. Ia memejamkan matanya menahan rasa sakit di tubuh dan juga hatinya.
__*__
Seorang dokter dan beberapa perawat nampak berlari menuju pintu gawat darurat saat sebuah ambulans baru saja terparkir di sana.
Beberapa perawat dibantu petugas ambulans dengan sigap menurunkan brankar keluar dari mobil dan segera mendorong masuk kedalam gedung rumah sakit.
Puluhan pasang mata nampak memperhatikan pasien yang terbaring di atas brankar dengan kondisi yang begitu mengenaskan.
Bahkan di antara pengunjung rumah sakit berbisik memperbincangkan kondisi pasien tersebut.
Tak jauh dari sana, wanita berusia senja dan pria paruh baya mengenakan setelan hitam beserta beberapa pengawalnya turut masuk kedalam rumah sakit dengan wajah pucat penuh kepanikan.
“Dimana Tuan Muda?” tanya wanita tersebut sambil menggenggam sapu tangannya erat.
“Tuan Muda baru saja masuk kedalam ruang operasi, Nyonya,” balas salah satu pria sambil membungkuk hormat pada wanita tersebut.
Wanita itu begitu terkejut dan terpukul mendengar kondisi cucunya. Matanya yang renta menahan tangis dan memeluk putranya yang ada di sampingnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya sambil menangis.
“Sabarlah, Bu. Semuanya akan baik-baik saja,” ucap pria di sampinya sambil memegang kedua pundak Ibunya dan menuntunnya duduk disalah satu kursi tunggu.
Pria paruh baya itu terdiam menatap pintu di depannya dan berharap hal buruk tak terjadi pada putra bungsunya.
__*__
“Kau harus segera kerumah sakit.”
Teresa memandang sedih kondisi sahabatnya yang terbaring lemah diatas ranjangnya sejak dua hari yang lalu. Kondisinya sangat memprihatinkan. Luka di beberapa bagian tubuh dan kepalanya terlihat jelas. Bahkan bahunya terlihat memar membiru bekas jahitan yang ia dapatkan kemarin.
“Aku tak bisa,” balasnya dengan suara pelan menahan sakit.
“Kau sudah gila! Lihatlah kondisimu. Aku tak akan membiarkan kau seperti ini.”
“Kumohon,” pinta gadis itu saat sahabatnya tetap memaksa dirinya untuk segera kerumah sakit.
“Viola,” ucapnya frustasi dengan watak keras sahabatnya itu.
Viola yang sejak tadi berbaring, berusaha bangkit dan mendudukkan dirinya dengan salah satu tangan menopong badan nya.
“Bukankah kekasihmu sudah memberikanku obat. Dia calon dokter yang hebat. Lihatlah jahitan di bahuku sangaaaaat sempurna.” Sebuah candaan keluar dari bibir pucat Viola yang tak sedikitpun terlihat menahan sakit.
“Di saat seperti ini kau masih bisa bercanda? Apa kau tak memiliki kewarasan karena kepalamu ikut terbentur?” umpatnya marah.
Viola hanya menyunggingkan senyum tipis yang membuat sahabatnya menggelangkan kepala tak percaya.
“Istirahatlah. Aku harus segera bekerja. Telepon aku jika kau membutuhkan sesuatu.”
Viola mengangguk pelan kemudian memejamkan matanya mencoba mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang seminggu ini harus mengalami hal yang begitu menguras semua energi.
Di khianati oleh orang yang ia cintai, melewati malam yang membuatnya trauma, dan nasib buruk masih menemaninya saat ia nyaris kehilangan nyawanya.
Bahkan luka di tubunya tak sebanding dengan luka di hatinya. Ia telah bertekad untuk membenci pria yang dulu ia cintai.
Kenangan demi kenangan indah yang pernah ia dapatkan, ia hancurkan tanpa ampun oleh rasa amarahnya. Gadis itu mengutuk dirinya yang pernah menaruh hati pada pria yang mengahncurkannya.
“Aku akan membunuhmu,” ujarnya pelan bersamaan dengan air mata yang jatuh di ujung matanya.
Ia meremas ujung bantalnya kuat menahan semua kebencian di dalam dirinya yang menuntut keadilan.
__*__
Rintik hujan kembali bermain melukis hiasan garis-garis kecil di atas kaca jendela sebuah gedung bertingkat tinggi.
Sesosok pria tengah berdiri menatap keluar jendela, dengan segelas wine yang ia mainkan di tangan kanannya. Bola matanya yang berwarna hitam kecoklatan terfokus pada jajaran gedung-gedung tinggi yang menyamai bangunannya.
“Tuan.”
Pria yang memiliki tatapan tajam, dan garis rahang tegas serta rambut hitam yang tertata rapi penuh pesona menengok kearah suara yang memanggilnya.
Tanpa menjawab ia melangkah menghampiri meja kerjanya, meletakkan wine di sisi meja kemudian duduk di kursi kekuasaanya.
“Tuan Besar, meminta anda segera kembali kerumah.”
William Dexter menatap sekretaris ayahnya, “Apa yang terjadi?” tanyanya tanpa basa basi.
Pria yang berdiri di depannya hanya mampu menunduk dan menelan salivanya.
“Apa terjadi sesuatu pada adikku?” tebaknya dengan mata tajam membaca pikiran pria di depannya.
“Tuan ... itu,” jawabnya terbata karena aura menakutkan yang ia rasakan.
“Katakan!” ujarnya dingin penuh perintah.
“Tuan Muda Felix mengalami kecelakaan seminggu lalu.”
William yang tadi sibuk membaca berkas-berkas di mejanya seketika menghentikan kegiatannya.
Pria itu menatap terkejut beserta marah kearah asisten ayahnya.
“Bagaimana kondisinya?”
“Tuan Muda masih dalam keadaan kritis. Luka yg diderita cukup parah terutama di bagian kepala dan kakinya,” jelasnya.
William bangkit dari kursinya dan meraih jasnya.
“Siapkan keberangkatanku sekarang!” perintahnya dan berjalan lebih dulu di ikuti pria yang tadi bersamanya dan juga asistennya.
__*__
William kembali menginjakkan kakinya du tanah kelahirannya setelah lima tahun lalu memutuskan untuk meraih mimpinya membangun perusahaan di negara lain.
Merintis usahanya dari nol dan tanpa bantuan dari keluarganya, ia mampu menunjukkan kualitas dirinya dengan berkembangnya perusahaan yang ia bangun.
Pengusaha muda dengan paras tampan, wawasan luas juga kemampuan yang tak diragukan lagi membuat siapa pun yang melihatnya berdecak kagum dengan semua yang ia miliki.
“Selamat datang Tuan.”
Beberapa pengawal yang berjaga di depan sebuah kamar rumah sakit membungkuk hormat saat melihat sosok William.
Pria dengan paras dingin dan tatapan tajam itu tak berniat membalas sapaan pengawal di depannya dan memilih melangkah masuk kedalam ruangan .
“William,” sapa sang nenek ketika pria itu masuk kedalam ruang rawat adiknya.
Pria itu tertegun menatap seseorang yang terbaring lemah dengan luka di beberapa tubuh dan juga wajahnya. Ia tak bergeming dan memperhatikan alat bantu pernapasan dan medis yang terpasang di tubuh Felix.
Dengan tenang, ia melangkah lebih dekat, mengulurkan tangannya dan menyentuh wajah pasien itu.
“Aku sudah kembali, Felix,” ucapnya pelan dan mengusap lembut kepala sang adik yang ditutupi perban.
Tangannya turun merapikan selimut sang adik dan menyunggingkan senyum tipis di wajahnya.
“Bangunlah, aku sudah menepati janjiku untuk kembali bersamamu.”
Tatapannya berubah sendu. Ia menatap lekat pada wajah adiknya yang tak berdaya.
“Aku akan membalas mereka, yang melakukan ini padamu.”
William menggenggam tangan sang adik , mengikat janjinya di sana sebelum akhirmya melangkah pergi dengan amarah yang membangkitkan kebenciam dan dendam di dirinya.
__*__
Awan gelap kembali menunjukkan bayangannya. Udara malam yang mulai mendingin terlihat masuk dari sela-sela pintu kamar seorang gadis yang masih tertidur pulas di atas ranjangnya. Keningnya mengeluarkan peluh, matanya terpejam rapat dan tangannya nampak meremas seprainya erat. Rintihan demi rintihan keluar dari bibir pucatnya. Mimpi demi mimpi seolah berputar membayangi pikiran gadis itu. Jeritan dirinya yang meminta tolong pada sosok pria yang menatapnya kembali terdengar jelas di telinganya. Bayangan dirinya yang menangis frustasi dengan tubuh yang hanya terbalut selimut putih di ruangan yang tak ia kenal kembali menghantuinya. Memar di wajah serta beberapa tubuhnya yang seolah terasa nyata masih bisa ia rasakan. Rasa sakit di hatinya yang jauh lebih menyesakan membuatnya nyaris tak bisa bernafas. Bayangan wajah pria yang menatapnya tanpa iba, malah melukiskan senyum hinaan dan juga amarah membuat dirinya mengutuk tanpa henti bahkan ingin mel
William melempar semua berkas laporan yang diberikan pengawalnya. “Sudah lebih dari 2 tahun, kalian bahkan tak bisa menemukannya!” bentak William kepada para pengawalnya yang tertunduk takut. “Maafkan kami Tuan.” “Aku tak butuh permintaan maaf kalian! Aku hanya ingin kalian menemukan wanita itu!” ucapnya penuh amarah. “Tuan, sepertinya wanita yang anda cari sudah ...” “Jika kau mengira dia sudah mati, maka tunjukkan makamnya padaku. Aku akan membongkarnya untuk memastikan wanita itu benar-benar terbaring di sana,” ucapnya dingin dan tatapan tajam yang begitu mengintimidasi. William menggerakkan jarinya menyuruh para pengawalnya pergi meninggalkannya. Matanya memerah menunjukkan amarah. Pikirannya benar-benar kalut. Wajahnya yang tampan pun tak bisa menutupi rasa frustasinya. Menemukan sosok Viola, seperti mencari bayangan di dalam kegelapan. Ia sudah mengerahkan semua pengawalnya untuk mencari kekasih adiknya itu.
“Selamat datang Tuan.” Nyonya Anne dengan gaun hitam mewahnya terlihat tersenyum ramah pada para pengunjung di bar nya. Bar mewah yang hanya menerima tamu VVIP para pengusaha yang ingin melakukan kegiatan dan rapat bisnis secara rahasia. Ia sengaja membagi tempat hiburannya untuk para pengunjungnya. Dimana, lantai bawah untuk para pengunjung biasa yang ingin menikmati musik dan berkumpul bersama rekan-rekannya. Dan lantai atas ia khususkan untuk pengunjung VVIP yang telah memiliki kartu anggota bar, yang dapat menikmati semua fasilitas barnya. Dari kunjungan pembahasan bisnis atau hanya sekedar bermain dengan para wanita spesialnya. “Nyona Anne, kau semakin cantik” sapa salah satu pengunjung. Wanita berusia 45 tahun itu tersnyum cerah. Wajahnya yang selalu menawan selalu mendapatkan pujian dari para pengunjungnya. Nyonya Anne memberi kode pada pegawai wanitanya untuk mengantarkan tamu-tamu tersebut keruangan yang sudah ia siapkan.
“Felix Xavier. Bukankah kau merindukannya?” Sebuah tamparan yang begitu keras dengan telak mengenai hati Viola. Luka yang ia simpan begitu rapat kembali mengeluar. Ekpresi dingin di wajah cantiknya berpadu dengan amarah yang ia tuangkan di dalam genggaman tangannya. William yang sedari tadi menatap lekat, menyunggingkan senyum tipis penuh kepuasan. Ia berjalan lebih dekat, memajukan wajahnya menghampiri sisi kiri telinga Viola. Dengan senyum penuh kemenangan ia membisikkan sesuatu disana. “Kau tak akan bisa lari lagi kali ini.” Viola sekuat mungkin menahan dirinya untuk tak menarik wajah itu dan menamparnya dengan kuat. Ia sebisa mungkin menetralkan semua perasaan yang bergumul dan mentertawakan dirinya. Dengan tenang, gadis itu mengembangkan senyumnya. “Maafkan saya, Tuan. Saya tak pernah mendengar nama itu.” “Benarkah?” jawabnya sambil menarik wajahnya dan menatap tajam kearah gadis di depannya yang tak menampakkan sedikit pun ketaku
Viola kini tengah mendengarkan permintaan para kliennya yang akan menandatangani kontrak kerjasama dengan klub malam Nyonya Anne. Para pengusaha yang ia hadapi saat ini nampak mengagumi keterampilan gadis itu yang mampu menjelaskan semua hal yang akan mereka dapatkan. Para tamu tersebut selalu memuji kharisma yang gadis itu tunjukkan di balik sikap profesionalnya. Viola terlihat begitu elegan dengan aura tenang dan senyum yang menawan. Penampilan nya yang begitu mengesankan, dengan setelan kemeja biru muda serta heels hitam yang melekat di kakinya. Rambutnya yang sebahu ia uraikan dengan cantik dan menyelipkan salah satu rambut di belakang telinga kirinya. “Terima kasih atas kerjasamanya Nona Violet. Kami akan menantikan semua hal baik kedepannya.” Viola tersenyum ramah dan menjabat tangan para klien yang terulur padanya. “Semoga hari Anda menyenangkan, Tuan,” ucap Viola dan membungkuk sopan sebelum para klien nya melangkah meninggalkannya.
“Gunakanlah uang Anda, dan ungkaplah kebenaran yang ingin Anda dapatkan.” William memandang tajam. Sindiran yang dilontarkan gadis itu menamparnya tanpa ampun. Tidak, ia bahkan lebih merasa sakit hati karena gadis itu mentertawakannya. Ia seolah dipermainkan oleh sosok gadis di depannya. William sekali lagi menarik tangan gadis itu, hingga Viola menabrak dada bidangnya. “Aku akan bertanya sekali lagi padamu,” ucapnya menekan setiap katanya seolah memberi ancaman kepada Viola. “Kau, ada di mobil itu, kan?” Viola tanpa rasa takut balas menatap tatapan William. Ia bisa melihat jelas wajah tampan penuh kemarahan yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. “Apa Anda tertarik pada saya, Tuan?” “Apa?” “Kau ... tertarik padaku?” tanyanya tajam. Kalimat sopan yang biasa ia gunakan berubah seketika. “Kau tak waras sepertinya?” Viola menyunggingkan senyum sinis. “Jika kau tak tertarik p
“Tuan.” Edwan terlihat membungkuk hormat meski sang Tuan tak juga berpaling menatapnya. Sekilas ia melihat William yang termenung seolah memikirkan sesuatu. Jarinya memutar cincin perak di kelingking kirinya. Edwan sangat hafal dengan tiap gerak gerik Tuan nya. Seperti yang terlihat saat ini, William akan memainkan cincin di jarinya tiap kali ia merasa gelisah atau memecahkan sesuatu yang mengganjal dipikirannya. “Aku selalu merasa ada yang salah dengan gadis itu.” Tak berniat membalas ucapan William, Edwan lebih memilih diam mendengarkan semua kegelisahan pria di depannya. “Dia selalu bersikap dingin kepadaku. Tidak ... bahkan dia terlihat semakin tak terbaca tiap kali aku mengungkit Felix di depannya.” William menarik nafasnya dalam, memutar kursinya menatap jendela kaca di depannya. “Hari ini, ia tersenyum pada seorang pria. Bukan ekspresi seseorang yang jatuh cinta. Lebih tepatnya ia menatap penuh kekaguman pada pria itu.” “Saya sedang menyelidikinya, Tuan” ucap Edwan beru
Seorang dokter didampingi perawat nampak memasukkan jarum infus kedalam tangan Viola yang masih tak terbaring lemah tak sadarkan diri.“Nona Viola sepertinya mengalami masalah lambung akibat stres. Dan juga tekanan darahnya menurun. Ia berada dalam kondisi buruk. Anda, harus lebih memperhatikannya. Saya harap Anda bisa mengurangi waktu kerjanya agar bisa beristirahat total hingga keadaanya benar-benar pulih,” ucap Dokter di depan William sebelum pamit meninggalkan pria itu. Beberapa pelayan yang berada dikamar tidurnya, ikut pergi meninggalkan William yang menatap Viola dalam keheningan.Beberapa saat yang lalu, ia tanpa fikir panjang, segera membawa Viola ke rumahnya saat gadis itu sempat tersadar dan memohon untuk tak membawanya ke rumah sakit. Ia masih merasakan remasan tangan Viola di jari-jarinya, saat gadis itu bersikeras keluar dari mobilnya jika William nekat membawanya ke rumah sakit. “Apa yang kau takutkan hingga menyembunyikan semua rahasia mu begitu rapat?” tanya William
Teressa menatap tajam pada seorang wanita yang setengah jam lalu masuk kedalam kedai nya dan memilih duduk di sudut ruangan dengan wajah yang terlihat gusar bahkan gerak gerik tangannya yang sesekali melihat kearah jam membuat Teressa yakin jika ia tengah dilanda masalah.Sekilas gadis itu merasa bersyukur, karena Agatha, gadis angkuh yang selalu membuat masalah untuk sahabatnya terlihat kacau begitu berbeda dengan tampilannya beberapa tahun yang lalu yg selalu terlihat anggun dan dingin.Pintu kedai terbuka perlahan bersamaan dengan bunyi lonceng kecil yang tergantung diatasnya.Teressa dengan cepat berjalan menghampiri Viola yang mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.“Apa yang kau lakukkan disini?”tanyanya khawatir karena tak ingin sahabatnya itu bertemu dengan Agatha.Viola tersenyum lembut sambil menepuk pelan lengan sahabatnya dan berjalan meninggalkannya.Teressa menatap tak percaya, saat Viola menhampi
Gemerisik dedaunan yang saling bersahutan karena sapaan angin yang berhembus lembut, membuat seorang gadis yang tengah duduk disebuah taman begitu menikmati momen itu. Matanya terpejam , wajahnya terlihat tenang. Tak ada sedikitpun beban di wajah cantiknya, ia benar-benar terhanyut pada ketenangan alam yang menyambutnya hangat dalam pelukan.“Mommy..”Seorang gadis kecil berusia kurang dari 4 tahun berjalan tertatih dengan salah satu tangan menarik tangan wanita lain yang menuntunnya.Viola tersenyum menatap gadis kecil itu. Ia terlihat menghampiri dan berjongkok di hadapan gadis kecil itu.Dengan lembut dan penuh kasih sayang, ia membelai rambutnya dan membawanya dalam gendongan.“Kau merindukan Mommy?”Gadis kecil itu tertawa dan mengangguk penuh semangat ,Viola menanggapinya dengan senyuman.“Kau ingin bermain dengan Mommy?”Senyum gadis kecil itu melebar, menandakan kegembiraan yang tak m
Viola masih berdiri ditempatnya. Gadis itu tak bergeming , bahkan ketika William menghampirinya ia tak menggerakkan sedikit pun tubuhnya. Ia tengah sibuk mengatur emosinya atas hinaan dan permainan William padanya.“Jadi..kau ingin malanjutkan pembicaraan kita disini? Atau kau ingin membahasnya di kamarku?” William menyusuri tubuh Viola dengan pandangannya membuat gadis itu semakin terhina.“Sayangnya, Saya tak tertarik melanjutkan bisnis ini dengan Anda Tuan.”tegas gadis itu. Tatapannya tajam siap menyerang William.William tertawa kecil tak merasakan intimidasi sedikitpun dari gadis itu.“Kau tak akan bisa memulihkan bar itu, kecuali mendapatkan bantuan dariku”“Anda begitu percaya diri Tuan. Maafkan saya, jika ini akan mengecewakan Anda. Tapi ,saya memiliki orang lain yang bisa membantu saya” Viola berusaha sekuat tenaga mempertahankan harga dirinya dan tak akan pernah kalah oleh pria itu.
Rumor, ibarat rumput liar di tanah lapang, meski tanpa kau beri pupuk, ia akan tetap berkembang dengan cepatnya. Kau hanya bisa memangkasnya, tapi tak bisa menghilangkan sepenuhnya.Seperti saat ini, Viola hanya mampu menahan amarahnya saat rumor tentang pernikahannya beredar dikalangan para pegawainya bahkan beberapa klien nya.Belum juga ia menghilangkan rumor tentang dirinya sebagai wanita milik tuan muda, kini ia harus menghadapi rumor pernikahan antara dirinya dan Edwan yang jelas-jelas hanyalah sebuah bualan yang entah dari mana rumor itu berkembang.“Aku tak berniat menikah, apalagi menikah dengan Tuan Edwan” lagi, Viola harus menjelaskannya pada Samantha dan Nyonya Anne.Ia bagaikan tersangka utama yang sedang disidang dan menunggu vonis dari dua wanita di depannya.“Tapi, rumor kali ini seperti nyata Viola. Ditambah Tuan Edwan yang selalu mengirimi hadiah untukmu” selidik Samantha.“Aku me
Viola menatap dingin wanita yang bersimpuh di depannya. Tangannya yang basah karena air mata nampak menggenggam tangan Viola. Sedikit pun, gadis itu tak bergerak dari tempatnya. Hatinya telah ia tekadkan untuk tak goyah. Ia bukan gadis lemah yang bisa mereka permainkan seperti dulu.“Kumohon Viola”pinta Nyonya Hudson mengiba.“Mengapa Anda melakukan ini Nyonya?”tanya gadis itu.Amarah yang ia tahan selama ini memuncak ketika Nyonya Anne menceritakan alasan dibalik gagalnya proyek resort yang sedang dikerjakan. Membuat Nyonya Anne harus menanggung kerugian yang tak sedikit.Selama ini Viola selalu bertahan untuk tak menunjukkan dirinya kehadapan wanita itu meski berbagai cara telah dilakukan untuk memancing dirinya. Namun kali ini Viola tak bisa tinggal diam ketika keluarganya mendapatkan ancaman dari wanita di depannya.“Aku hanya ingin kau berada disamping Felix, hingga anak itu terbangun dari komanya”Vi
“Terima kasih Teresa” Viola tertunduk pelan sebelum akhirnya menutup telpon dari sahabatnya.Tatapannya kosong menatap lantai kayu dibawah kakinya. Gadis itu tak bergeming dan larut dalam lamunannya, hingga ketukan kecil dibalik pintunya menarik kesadarannya.“Apa aku mengganggumu?”Nyonya Anne dengan pakaian hitamnya terlihat anggun masuk kedalam ruangan Viola.“Anda sudah kembali Nyonya?”tanya gadis itu berjalan menghampiri Nyonya Anne dan duduk disampingnya.“Hmm..”balasnya singkat.Viola menatap raut wajah Nyonya Anne yang nampak tertunduk. Ada kecemasan sekaligus ketakutan diwajah wanita itu. Sesekali terdengar tarikan nafas berat dari nya, membuat Viola yakin jika sesuatu telah terjadi.“Apa terjadi sesuatu Nyonya?”Nyonya Anne kembali menarik nafasnya dalam. Ia menatap wajah cantik Viola, seolah ingin menumpahkan semua keluh kesahnya. Namun lebih dulu mani
“Viola.. “Viola berbalik dan tersenyum menatap sosok pria yang berdiri tak jauh darinya. Tangan pria itu terentang lebar mengharapkan gadis itu segera menghampirinya.Tatapan pria itu begitu memabukkan, penuh cinta dan ketulusan. Viola berlari kecil dan menjatuhkan tubuhnya kedalam prlukan pria itu. Senyumnya yang terlihat tenang membuat Viola semakin nyaman. Usapan halus di punggungnya membuat Viola terbuai oleh kelembutan pria itu.“Aku tak akan pernah memaafkanmu”Mata Viola yang terpejam, seketika terbuka. Menatap kearah pria yang memeluknya. Tatapan lembut yang sesaat lalu menghangatkan hatinya, seketika berubah penuh kebencian.“Mengapa kau mengkhianatiku?”Viola menggeleng pelan seolah membantah semua tuduhan pria itu.“Mengapa kau meninggalkanku? Kau lebih memilih pria lain kan !! Kau menghancurkan sem
William berjalan masuk kedalam kamarnya dan membanting kuat pintu kamar di belakngnya. Tangannya meraih gelas yang berisi wiski dan menegaknya habis.Dada pria itu naik turun bersamaan dengan nafas berat penuh amarah. Tangannya mengepal kuat dan tak menunggu lama ia pukulkan kearah atas meja di depannya.“Sial” makinya penuh amarah.“Apa yang sebenarnya terjadi?”pikirnya yang semakin kacau tak menemukan jawaban.William berbalik dan keluar dari kamarnya. Para pelayan yang berpapasan dengannya membungkuk penuh hormat, namun pria itu tak sedikit pun membalasnya dan tetap melangkahkan kakinya menuju lantai 3 rumahnya.William menarik nafasnya pelan saat dirinya telah berdiri di sebuah pintu kamar bernuansa putih. Tangannya terlihat ragu untuk membuka pintu di depannya.Hembusan nafasnya yang terdengar berat mengantarkan gerakan tangannya untuk menggerakkan gagang pintu di genggamannya.Pria itu melangkah masuk dan
Seorang dokter didampingi perawat nampak memasukkan jarum infus kedalam tangan Viola yang masih tak terbaring lemah tak sadarkan diri.“Nona Viola sepertinya mengalami masalah lambung akibat stres. Dan juga tekanan darahnya menurun. Ia berada dalam kondisi buruk. Anda, harus lebih memperhatikannya. Saya harap Anda bisa mengurangi waktu kerjanya agar bisa beristirahat total hingga keadaanya benar-benar pulih,” ucap Dokter di depan William sebelum pamit meninggalkan pria itu. Beberapa pelayan yang berada dikamar tidurnya, ikut pergi meninggalkan William yang menatap Viola dalam keheningan.Beberapa saat yang lalu, ia tanpa fikir panjang, segera membawa Viola ke rumahnya saat gadis itu sempat tersadar dan memohon untuk tak membawanya ke rumah sakit. Ia masih merasakan remasan tangan Viola di jari-jarinya, saat gadis itu bersikeras keluar dari mobilnya jika William nekat membawanya ke rumah sakit. “Apa yang kau takutkan hingga menyembunyikan semua rahasia mu begitu rapat?” tanya William