Leon dan Anin sudah berada didalam kamar mereka saat ini. Wanita itu sedang menunggu mba Marni yang sedang membuatkannya asinan buah. Air liurnya hampir menetes, ketika dia melihat tampilan asinan buah yang terlihat segar dan enak di beranda sosmednya, pada saat perjalanan pulang dari rumah sakit tadi, lalu Anin menelpon pelayannya itu untuk dibuatkan asinan buah."Aku turun nemuin Hasan dulu, ya," ucap Leon sambil mencium kening istrinya kemudian meninggalkan wanita itu seorang diri. Anin pun beristirahat, merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil mendengarkan murrotal lewat ponselnya.Sesampainya dibawah, Hasan sedang menerima panggilan dari seseorang."Aku kesana sore, mau barengan fitting bajunya?" Seru Hasan terlihat semringah bahagia. Kemudian ia melanjutkan," Oke, nanti aku jemput, setelah dari rumah Leon," sambung pria berhidung bangir dan berambut ikal itu.Setelah Hasan menutup panggilannya, Leon mengajaknya menuju ruang kerja. Ada beberapa urusan kantor yang harus mereka b
Leon terkejut ketika nama adiknya disebut oleh Anin, ia langsung terduduk kemudian terdiam beberapa saat."Darimana kamu tahu Helen?" tanya Leon seraya membalikkan tubuh sang istri agar berhadapan dengannya.Anin terdiam, ia memperhatikan wajah suaminya yang sedikit tegang, Apakah kecurigaannya benar? batinnya."Tadi dia telpon kamu, tapi gak aku angkat," balas Anin masih menatap Leon dengan lekat untuk mencari kebenaran dalam manik biru suaminya.Leon menghela napas panjang, kemudian tersenyum tipis sambil membelai rambut sang istri."Dia ... adik tiriku ... Setelah kejadian penculikan yang menimpa Zahira, aku jadi memikirkan tentang adik perempuanku ... Apakah dia hidup dengan baik selama ini ataukah dia sedang dalam kesulitan," ujar Leon."Aku tidak bisa membencinya walau bagaimanapun dia adalah adikku, darah papah mengalir juga didalam tubuhnya, apalagi dia satu-satunya adik yang kupunya, walaupun mungkin ia lahir dari kesalahan, tapi tetap saja gadis itu tidak bersalah apa-apa ..
Leon kembali lagi menuju dapur, ia langsung menghubungi Helen. Leon menunggu cukup lama, dan beberapa kali karena gadis itu tak menjawab panggilannya. Ia semakin khawatir, takut terjadi sesuatu yang buruk lagi pada adiknya itu.Kemudian Leon menghubungi Bryan, untuk menanyakan tentang adiknya."Tuan Leon ... ada apa?" tanya suara disebrang sana."Apa Helen baik-baik saja?" tanya Leon balik menanyai Brian."Dia baik-baik saja, hanya tadi kami ... Umm ... semua dalam keadaan baik, Tuan. Apa ... Tuan ingin berbicara dengan Helen?" tanya Brian kembali." Saat ini ... Umm ... Saya ... sedang bersama Helen," ujar pria itu dengan ragu.Mengapa suara Bryan terdengar aneh, apa ada yang ia sembunyikan dariku, batin Leon curiga."Ha-hallo, Kak," Helen menyapa Leon."Apa sesuatu telah terjadi, maaf ketika kamu menghubungi aku sedang berada dikamar mandi, Helen," ujar Leon menjelaskan."Tidak terjadi apa-apa, Kak. Maaf tadi aku hanya ingin mengabarkan sesuatu padamu, tapi sepertinya nanti saja aku
Leon terperangah mendengar ucapan mamahnya, ia bahagia sang mamah semudah itu mau memaafkan. Dipeluknya tubuh wanita itu dengan erat."Baiklah, nanti Leon akan antarkan mamah menemui Helen, Leon akan atur jadwal kantor dulu," ujar Leon pada Rena dengan wajah semringah."Helen pasti akan senang, bisa bertemu dengan mamah. Kakek dan neneknya, mereka orang yang ramah dan baik." "Mamah jadi tak sabar, ingin bertemu dengan mereka," seru Rena tersenyum TLeon sangat bersyukur, karena masalah didalam keluarganya sudah membaik. Perasaanya lega ketika mengungkapkan tentang Helen kepada ibunya. Semoga ini akan menjadi awal yang baik untuk keluarga mereka kedepannya."Ini masih malam, lebih baik mamah segera tidur lagi," ucap Leon sambil membantu memakaikan selimut kepada Rena yang sudah terbaring lagi diranjangnya."Kamu juga segera tidur Leon," ujar sang mamah.Leon hanya mengangguk kemudian meninggalkan ibunya, lalu menuju kamar tidurnya. Anin masih terlelap dengan damainya, saat Leon sudah
Wanita itu menunjukkan foto-foto dirinya dan Leon didalam suatu kamar diatas ranjang. Ia melemparnya ke atas meja dan membuat mata pria itu terbelalak. Leon benar-benar tak habis pikir, bagaimana ada poto dirinya bersama wanita itu sedangkan dirinya belum pernah bertemu. Sialan ... Ini jebakan, dia dijebak lagi, tapi siapa yang mencoba menjebaknya."Mengapa kau sangat terkejut, Leon? Aku kecewa kau telah melupakanku," Catherin berucap dengan nada pura-pura sedih."Siapa yang menyuruhmu?" ucap Leon dengan nada mengintimidasi dan tatapan membunuh.Ingin sekali rasanya dia mencekik wanita ini sekarang juga, tapi dia harus bisa menahan diri untuk bisa menggali informasi wanita itu. Dia harus tahu siapa dalangnya, batin Leon."Apa maksudmu, Sayang? Aku tidak mengerti," wanita itu mengelak. Leon sudah tidak tahan lagi, ia pun dengan emosi menggebrak meja dihadapannya.Braaak !"Jangan main-main denganku, Nona! Lebih baik kau jujur sekarang sebelum aku ...." Leon belom selesai bicara tapi p
Leon terkejut ketika pria itu membuka topengnya."Apa kau masih mengingatku?" Pria itu tersenyum dengan wajah mengejek."Apa kabar sepupu? Kulihat kau sangat bahagia tinggal di negara ini, mengapa kau jarang mengunjugi kami di New York," ucap Teo dengan nada sedih yang dibuat-buat."Ternyata kalian memata-mataiku sampai sejauh ini!" Leon menggeram menahan amarah.Leon tidak menduga bahwa sepupunya yang sudah merebut perusahaan papahnya di New York sekarang berada disini. Apalagi yang di inginkan Teodhor kali ini, jelas dia harus sangat waspads dengan ular satu ini."Aku mengkhawatirkanmu, Bro. Aku takut hidupmu tak baik di negara yang gersang ini!" "Tapi sepertinya aku salah, kau terlihat baik ... bahkan sangat baik, hahaha ....""Maaf mengecewakanmu, Teo," ucap Leon dengan senyum sinis."Well, sorry kalau pertemuan pertama kita ditempat yang seperti ini, kau tahu ... Catherin tidak suka keramaian," "Oh yeah ... Perempuan sialan itu sangat serasi sekali denganmu, kalian sama-sama ul
"Turunkan senjatamu, Leon. Kalau kau tidak mau kehilangan sesuatu yang berharga lagi,"Teo memutarkan sebuah video dan terlihat saat ini Anin sedang bersama Catherin dalam sebuah ruangan. Anin sedang tertidur dengan tangan terikat disebuah bangku kayu, wanita itu tidak memakai cadarnya. Tapi Leon bersyukur ia masih mengenakan hijab dan abayanya. "Brengsek .... Bajingan, kamu Teo!" Leon memaki seraya menendang bangku yang ada disebelahnya."Jangan kau libatkan istriku dalam permasalah kita, Brengsek! Dia tidak mengerti apa-apa !" Leon berteriak lagi."Hahaha ... ternyata istrimu sangat cantik, harusnya aku sudah curiga, tidak mungkin kau memilih selera wanita yang payah kan," "Lepaskan dia, urusanmu hanya denganku, Pengecut!" Leon menggeram marah.Bagaimana Anin bisa bersama dengan Catherin, padahal tadi ia sedang tertidur dikamarnya saat Leon pergi meninggalkannya. Lalu bagaimana dengan mamah, batin pria itu bertanya. Bagaimana keadaan mamahnya saat ini? Leon benar-benar tak tenang
Semua yang berada didalam kamar itu terkejut dengan suara pintu yang didobrak dari luar. Munculah seorang pria menodongkan senjata ke arah Teo, laki-laki itu terkejut melihat keadaan Leon dan seorang wanita yang berada didekatnya. "Brengsek, apa-apaan ini Leon?" pria itu menatap Leon dengan ekspresi marah. Kemudian dia melihat Teo dengan pandangan bertanya, tapi pria itu tak perduli ia melepaskan peluru ke tangan Teo, karena pria itu mencoba untuk mengambil senjata yang berada dibalik celenanya."Aaah ...!" Teo berteriak kesakitan.Catherin yang takut pun menjauh dari Leon, ia mendekati kekasihnya yang tertembak. Pria itu mengambil senjata milik Teo dan menaruh dibalik bajunya. Kemudian ia membuka borgol yang mengikat Anin, wanita itu menunduk malu karena tidak mengenakan cadarnya.Kemudian Anin berlari menuju Leon yang masih terikat dan mencoba melepaskan ikatan pada suaminya itu."Anin, maaf ... ," ucap Leon terhenti ketika mata wanita itu menatapnya galak. Setelah Anin berhasil