Bab 38Dua tahun setelah insiden dengan sepupunya, hidup Leon menjadi lebih tenang. Status barunya sebagai ayah beranak satu sekarang, hari-harinya dipenuhi kebahagiaan dengan lahirnya Noah ditengah keluarga kecilnya bersama Anin. Perusahaan semakin berkembang pesat, dan saat ini Leon sedang bersiap menuju New York.Dua hari yang lalu, bibi Anne ibu dari Teo menghubunginya. Mengabarkan bahwa Teo meninggal karena depresi, ia menembak dirinya sendiri dikamarnya. Ada sedikit perasaan bersalah dihatinya pada sang bibi. Biar bagaimanapun mereka adalah keluarga yang Leon miliki satu-satunya."Sayang, besok naik pesawat jam berapa?" Anin menghampiri Leon yang sedang mengajak Noah bermain dihalaman."Aku berangkat malam ini, Sayang. Mereka memajukan jadwal penerbangannya." Leon merangkul pinggang istrinya."Berapa lama disana?" " Mungkin tiga hari. Tidak akan lama Sayang." Leon mengusap kepala Anin."Baiklah, aku bantu mengemasi pakaianmu nanti."Rena menghampiri ketiganya, lalu mengangkat N
Rena sudah berdamai dengan hatinya dan masa lalu suaminya. Dia tidak mau mengotori lagi hatinya dengan perasaan dendam. Dia sudah mengikhlaskannya, karena apapun yang terjadi didalam hidupnya merupakan rangkaian takdir yang sudah Tuhan tetapkan."Tentu saja, aku telah memaafkan mereka berdua." ucap Rena sambil tersenyum."Terima kasih, Mom telah menerimaku dalam keluarga kalian." Helen memeluknya lagi."Beristirahatlah, Mom!" kemudian Helen pergi meninggalkan Rena.Ke esokan harinya, Helen dan Bryan pun menikah sesuai dengan keinginan Leon. Mereka merayakan pesta kecil dan sederhana dihalaman rumah itu. Yang datang hanya sebagian tetangga dan beberapa teman kerja Helen saja, mengingat suasana duka yang masih menyelimuti setelah meninggalnya kakek Helen.Sebelum mereka ke New York besok, Leon mengajak Anin ketempat dimana Leon pernah menginap saat pertama kali bertemu Helen. Bryan sudah tidak tinggal dirumah penginapan itu setelah kemarin ia menikahi Helen."Mau apa kesini, Kak?" tanya
Leon terkejut dan langsung menghampiri istrinya yang tidak sadarkan diri. Ia langsung membawa Anin kerumah sakit saat itu juga. Ketika dokter sudah selesai memeriksa Anin, kemudian Leon pun menghampiri istrinya. "Bagaimana dok istri saya?" Dokter perempuan itu hanya tersenyum pada Leon. "Selamat Tuan, istri anda sedang mengandung." ucap sang dokter masih dengan senyumannya."Dia pingsan karena kelelahan dan tekanan darahnya rendah ... jangan lupa untuk makan-makanan yang sehat dan bergizi."Leon terperangah seperti orang bodoh, kemudian setelah beberapa detik ia baru tersadar. "A-apa ... Anin hamil." ujar Leon tak percaya, kemudian ia tertawa lalu mendekati sang istri yang perlahan sadar dari pingsannya."Sayang, kamu masih pening?" "Aku kenapa!" Lirih Anin sambil memegangi kepalanya yang masih berdenyut."Kamu tiduran aja kalau masih pusing. Tadi kamu pingsan, Sayang.""Aku ... bagaimana dengan perjalanan kita ke New York hari ini?" Anin membulatkan matanya seakan baru tersadar a
Sembilan bulan usia kehamilan kedua Anin sekarang, sebentar lagi Anin akan melahirkan anak kedua. Dirinya begitu antusias ketika mengetahui jenis kelamin anak keduanya, ia sudah mempersiapkan segala perlengkapan bayinya dengan warna pink yang mendominasi isi lemari bayinya kelak."Sayang, hari ini aku pulang agak malam, ada pertemuan dengan Zahir dan Hasan di Klub." ujar Leon sambil mengikat dasinya didepan cermin."Oke, jangan terlalu malam pulangnya Pah, Noah suka nanyain kamu." "Baik, Sayang. Aku usahakan jam 8 sudah dirumah, Oke!" ucap Leon kemudian menghampiri dan merangkul pinggang istrinya, kemudian mencium bibir Anin yang sudah menjadi candu untuknya. Setelahnya Leon berlutut mensejajrkan tubuhnya dengan perut Anin."Halo girl, Papah pergi kerja dulu, baik-baik sama bunda ya." Leon berbicara didepan perut Anin yang sudah membuncit itu sambil memberikan sentuhan disana."Baik, Pah. Semangat kerjanya ya!" Anin bersuara menirukan anak kecil. Lalu mereka berdua pun tertawa."Jan
Hasan dan Leon saling berpandangan, mereka tahu betul Yuri tidak sembarangan bicara. "Baiklah, kami akan membantumu mencari pria itu." ujar Hasan setelah memikirkannya. "Bagus, aku suka melihat ketakutan dimata kalian. Yaa ... Kalian memang harus takut padaku." ucap Yuri pongah, pria keturunan Rusia tersebut menyeringai. "Karena kalian sudah mau membantuku, aku ingin membeli senjata pada kalian sebanyak 500 buah." ujar pria itu lagi sambil menyalakan cerutu keduanya. "Baik, Tuan Yuri. Kapan waktu pengantarannya?" tanya Hasan kembali."Antar ke markasku lusa dan aku tidak ingin ada keterlambatan, Jangan kecewakan aku Hasan!" Yuri memandang Hasan."Tenang saja Tuan, mereka akan sampai tepat waktu." Hasan meyakinkan pria itu. "Baiklah, kalau begitu senang bisa bekerja sama dengan kalian." Yuri berdiri menjabat tangan Leon dan Hasan.Asisten Yuri yang terlihat lebih sopan, menatap Hasan dan Leon sambil tersenyum ramah. "Terima kasih Tuan-tuan atas waktunya." seru wanita itu ramah. W
Leon hanya menatap iba seraya mengelus pucuk kepala istrinya itu. Anin sudah sadar, setelah operasi tadi dia tertidur cukup lama.Mata Anin mengerjap menyesuaikan dengan cahaya dalam ruang rawat itu. "Pah ...""Iya, Sayang. Mau apa?" ujar Leon sambil mencium tangan sang Istri. "Terima kasih, kamu sudah berjuang melahirkan putri kita yang cantik." Leon mencium kening Anin lama. Anin mengangguk seraya tersenyum lemah. "Dimana putri kita? Apa dia baik-baik saja?" "Masih sama suster dan Mamah di ruangan bayi. Kamu laper? Mau makan sesuatu?" tanya Leon."Mau minum!" sahut Anin lemah. Dia mencoba untuk duduk tapi kesulitan, Anin tidak berani banyak bergerak khawatir luka operasinya akan terbuka."Sshh ... Aduuh." Anin meringis pelan."Lukanya sudah mulai berasa sakit, Pah. Ssshhh ..." "Sebentar aku panggil suster dulu!"Tak lama Leon kembali dengan seorang suster."Sus, lukanya kok perih ya?""Iya bu, itu karena efek dari obat biusnya sudah hilang, nanti diminum obat pereda nyerinya ya
Keesokan harinya, Hasan bersama dengan Zahira menjenguk Anin dirumah sakit. Saat ini Hasan dan Leon duduk berhadapan sambil menyeruput kopi pesanan mereka dikafetaria, mereka sedang membicarakan hal semalam yang mereka bincangkan di ponsel."Jadi, siapa pria itu?" "Saat Taka pergi ke pelelangan senjata itu, dia melihat pangeran Mahmud bersama dengan seseorang, saat itu ia memperkenalkan Taka dengan sosok itu, yang bernama Husain.""Apakah Husain ini orang kerajaan juga?" "Entahlah, aku belum mendapatkan informasi pastinya dari Zahir, dia sedang menyelidiki pria bernama Husain itu." "Sebenarnya senjata jenis apa yang dibawa pria itu, apakah sangat berbahaya?" "Sangat berbahaya, dengan ukuran hanya sebesar bola golf seperti itu dan mudah dibawa kemana-mana tapi bisa menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat, sehingga bisa menghancurkan Burj Khalifa sekalipun." ujar Hasan menatap Leon serius."Dan fatalnya, keenam bola itu berada ditangan yang salah sekarang." Hasan menjelaskan panjang
Anin sejak tadi memandangi pintu kamar mandi, Leon tak kunjung keluar dari sana. Dia khawatir suaminya kenapa-napa. Anin mendegar lenguhan suara Leon dari bilik kamar mandi."Kak Leon!" Anin memanggil Leon sedikit kencang.Suara lenguhan Leon terdengar lebih kencang, sampai Anin malu mendengarnya. Anin jelas tahu sekarang apa yang dilakukan suaminya didalam kamar mandi. Dia jadi merasa bersalah telah meminta tolong pada suaminya itu.Tak berapa lama pintu kamar mandi pun terbuka, memperlihatkan Leon yang hanya menggunakan handuk dari rumah sakit. Wajahnya merah, seperti sedang menahan sakit. "Kak, kamu baik-baik aja?" tanya Anin khawatir.Leon tidak langsung menjawab, dia mencari pakaiannya didalam tas dan berganti pakaian. Leon menghampiri Anin tapi hanya sampai ujung ranjang saja, kemudian dia memaksakan tersenyum ke arah sang istri."Aku gak papa, cuma ngantuk ... Aku tidur dulu ya."sahut Leon lemah kemudian dia berjalan menuju sofa panjang dan akhirnya terlelap.Anin pun akhirnya