Sembilan bulan usia kehamilan kedua Anin sekarang, sebentar lagi Anin akan melahirkan anak kedua. Dirinya begitu antusias ketika mengetahui jenis kelamin anak keduanya, ia sudah mempersiapkan segala perlengkapan bayinya dengan warna pink yang mendominasi isi lemari bayinya kelak."Sayang, hari ini aku pulang agak malam, ada pertemuan dengan Zahir dan Hasan di Klub." ujar Leon sambil mengikat dasinya didepan cermin."Oke, jangan terlalu malam pulangnya Pah, Noah suka nanyain kamu." "Baik, Sayang. Aku usahakan jam 8 sudah dirumah, Oke!" ucap Leon kemudian menghampiri dan merangkul pinggang istrinya, kemudian mencium bibir Anin yang sudah menjadi candu untuknya. Setelahnya Leon berlutut mensejajrkan tubuhnya dengan perut Anin."Halo girl, Papah pergi kerja dulu, baik-baik sama bunda ya." Leon berbicara didepan perut Anin yang sudah membuncit itu sambil memberikan sentuhan disana."Baik, Pah. Semangat kerjanya ya!" Anin bersuara menirukan anak kecil. Lalu mereka berdua pun tertawa."Jan
Hasan dan Leon saling berpandangan, mereka tahu betul Yuri tidak sembarangan bicara. "Baiklah, kami akan membantumu mencari pria itu." ujar Hasan setelah memikirkannya. "Bagus, aku suka melihat ketakutan dimata kalian. Yaa ... Kalian memang harus takut padaku." ucap Yuri pongah, pria keturunan Rusia tersebut menyeringai. "Karena kalian sudah mau membantuku, aku ingin membeli senjata pada kalian sebanyak 500 buah." ujar pria itu lagi sambil menyalakan cerutu keduanya. "Baik, Tuan Yuri. Kapan waktu pengantarannya?" tanya Hasan kembali."Antar ke markasku lusa dan aku tidak ingin ada keterlambatan, Jangan kecewakan aku Hasan!" Yuri memandang Hasan."Tenang saja Tuan, mereka akan sampai tepat waktu." Hasan meyakinkan pria itu. "Baiklah, kalau begitu senang bisa bekerja sama dengan kalian." Yuri berdiri menjabat tangan Leon dan Hasan.Asisten Yuri yang terlihat lebih sopan, menatap Hasan dan Leon sambil tersenyum ramah. "Terima kasih Tuan-tuan atas waktunya." seru wanita itu ramah. W
Leon hanya menatap iba seraya mengelus pucuk kepala istrinya itu. Anin sudah sadar, setelah operasi tadi dia tertidur cukup lama.Mata Anin mengerjap menyesuaikan dengan cahaya dalam ruang rawat itu. "Pah ...""Iya, Sayang. Mau apa?" ujar Leon sambil mencium tangan sang Istri. "Terima kasih, kamu sudah berjuang melahirkan putri kita yang cantik." Leon mencium kening Anin lama. Anin mengangguk seraya tersenyum lemah. "Dimana putri kita? Apa dia baik-baik saja?" "Masih sama suster dan Mamah di ruangan bayi. Kamu laper? Mau makan sesuatu?" tanya Leon."Mau minum!" sahut Anin lemah. Dia mencoba untuk duduk tapi kesulitan, Anin tidak berani banyak bergerak khawatir luka operasinya akan terbuka."Sshh ... Aduuh." Anin meringis pelan."Lukanya sudah mulai berasa sakit, Pah. Ssshhh ..." "Sebentar aku panggil suster dulu!"Tak lama Leon kembali dengan seorang suster."Sus, lukanya kok perih ya?""Iya bu, itu karena efek dari obat biusnya sudah hilang, nanti diminum obat pereda nyerinya ya
Keesokan harinya, Hasan bersama dengan Zahira menjenguk Anin dirumah sakit. Saat ini Hasan dan Leon duduk berhadapan sambil menyeruput kopi pesanan mereka dikafetaria, mereka sedang membicarakan hal semalam yang mereka bincangkan di ponsel."Jadi, siapa pria itu?" "Saat Taka pergi ke pelelangan senjata itu, dia melihat pangeran Mahmud bersama dengan seseorang, saat itu ia memperkenalkan Taka dengan sosok itu, yang bernama Husain.""Apakah Husain ini orang kerajaan juga?" "Entahlah, aku belum mendapatkan informasi pastinya dari Zahir, dia sedang menyelidiki pria bernama Husain itu." "Sebenarnya senjata jenis apa yang dibawa pria itu, apakah sangat berbahaya?" "Sangat berbahaya, dengan ukuran hanya sebesar bola golf seperti itu dan mudah dibawa kemana-mana tapi bisa menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat, sehingga bisa menghancurkan Burj Khalifa sekalipun." ujar Hasan menatap Leon serius."Dan fatalnya, keenam bola itu berada ditangan yang salah sekarang." Hasan menjelaskan panjang
Anin sejak tadi memandangi pintu kamar mandi, Leon tak kunjung keluar dari sana. Dia khawatir suaminya kenapa-napa. Anin mendegar lenguhan suara Leon dari bilik kamar mandi."Kak Leon!" Anin memanggil Leon sedikit kencang.Suara lenguhan Leon terdengar lebih kencang, sampai Anin malu mendengarnya. Anin jelas tahu sekarang apa yang dilakukan suaminya didalam kamar mandi. Dia jadi merasa bersalah telah meminta tolong pada suaminya itu.Tak berapa lama pintu kamar mandi pun terbuka, memperlihatkan Leon yang hanya menggunakan handuk dari rumah sakit. Wajahnya merah, seperti sedang menahan sakit. "Kak, kamu baik-baik aja?" tanya Anin khawatir.Leon tidak langsung menjawab, dia mencari pakaiannya didalam tas dan berganti pakaian. Leon menghampiri Anin tapi hanya sampai ujung ranjang saja, kemudian dia memaksakan tersenyum ke arah sang istri."Aku gak papa, cuma ngantuk ... Aku tidur dulu ya."sahut Leon lemah kemudian dia berjalan menuju sofa panjang dan akhirnya terlelap.Anin pun akhirnya
Zahir saat ini berada disebuah kedai di Kota San'a. Ia menyeruput kopinya yang masih mengeluarkan asap, menghangatkan dinginnya pagi dikota itu. Sambil memakan khubz miliknya, ia memperhatikan ke sekelilingnya. Tiba-tiba ia melihat seorang wanita keluar dari rumah yang ia intai dari semalam. Apakah itu adiknya Husain? batinnya bertanya. Wanita itu terlihat membawa beberapa kitab ditangannya, sepertinya ia ingin berangkat kuliah. Dia berjalan menuju halte bus. Tanpa pikir panjang Zahir pun menyudahi sarapannya dan mengikuti wanita itu diam-diam. Ia menaikan tudung kepala pada sweaternya, untuk menyamarkan wajahnya.Wanita itu menaiki bus, Zahir pun ikut menaiki bus tersebut dari pintu belakang. Bus berhenti tepat didepan sebuah universitas. Wanita itu turun dan beberapa penumpang yang rata-rata mahasiwa juga ikut turun. Zahir turun dari belakang, tapi matanya tetap melihat ke arah sang wanita. Sang wanita berjalan lebih cepat, tiba-tiba dari arah yang berhadapan seorang mahasiwa mena
Zahir berhenti di ujung lorong itu, lalu ia melihat sebuah pondok kecil dan hutan yang membentang disana. Zahir tidak menyangka dibelakang rumah ini ada hutan, kecil. BRAAAAK ....Zahir terkejut mendengar suara debaman dari arah pondok, ia berjalan cepat menuju kesana. "Dasar Wanita Bodoh! Lepaskan Aku!" "Kak, kumohon jangan lakukan itu! Mereka tidak bersalah! Sudahi dendammu Kak!"PLAAAKK ..."Berani kau memerintahku, Hasna!" teriak seorang pria dengan berang dan matanya melotot taja ke arah wanita itu.Wanita itu pun terjatuh ke lantai, bibirnya mengeluarkan cairan merah berbau besi. Zahir ingin menolong wanita itu, tapi ia pikir ini bukan saatnya yang tepat."Kau lupa, apa yang mereka lakukan kepada Ayah kita, Hasna? Sedetik pun aku tidak bisa melupakannya. Jangan mencegahku, Hasna! Setelah ini pergilah kemana pun kau mau, aku tidak akan perduli lagi." sahut pria itu.Pria itu mengambil sebuah kotak berwarna hitam lalu hendak meninggalkan Hasna, tapi wanita itu malah menggenggam
Pagi harinya Zahir telah sampai dikediamannya bersama dengan membawa Hasna. *Masuklah!" perintah Zahir pada wanita muda itu.Hasna pun melangkah masuk kedalam rumah ia memperhatikan ke sekelilingnya, dan ia berhenti di ruang depan yang cukup luas. "Duduklah!" Zahir memerintahkannya lagi, suaranya terdengar tak bersahabat."Zahir! Syukurlah kau sudah pulang, Nak." Anna menghampiri putranya dan memeluknya. "Ibu mengkhawatirkanmu." ucap wanita berparas cantik itu walaupun umurnya sudah tua.Zahir pun tersenyum, kemudian menatap sang ibu lembut,"Maaf sudah membuatmu Khawatir." Anna lalu melihat seorang gadis yang tengah duduk sambil menunduk."Hai ... Rupanya kau membawa seorang wanita? Siapa dia Nak?" Anna melepaskan pelukannya lalu menghampiri Hasna."Halo ... Siapa namamu?" tanya Anna mendekat sambil mengulurkan tangan kepada sang gadis."Hasna, Nyonya." ucap Hasna sopan sambil tersenyum."Hai, Hasna ... aku Anna ibunya Zahir. Apa kau kekasih anakku?" "Buu ..." tiba-tiba Zahir, m