Saat ini Leon sudah berada dirumah, ia pulang ketika Hasan dan ibunya Zahir datang. Ia sangat lelah setelah seharian menemani Zahir dirumah sakit. "Assalammu'alaikum." Leon mengucap salam memasuki kamarnya dilihatnya Anin sedang menyusui Shafiyya. Bayi mungil itu sudah mulai terlelap karena kekenayangan setelah menyusu."Wa'alaikumussalam." jawab Anin dengan suara pelan khawatir putrinya terbangun lagi. Leon membuka jas dan kemejanya, lalu menuju ke kamar mandi. Setelah selesai Leon berbaring disamping Anin dan memeluk istrinya itu dengan penuh sayang."Kamu mau makan, Pah?" "Aku mau tidur saja, ngantuk banget mata aku, seharian menemanin Zahir di Rumah sakit."Leon pun menceritakan tentang peristiwa yang dialami Zahir kepada istrinya."Aku gak bisa ngebayangin kalau itu terjadi sama kamu atau Helen," ujar Leon sambil menciumi kepala Anin. Walaupun Anin pernah diculik oleh Teo sepupunya, tapi Anin masih lebih beruntung karena Teo tidak sempat menyentuh Anin."Semoga Hasna segera pu
Leon sudah sampai dikantornya setelah mengantarkan Anin kembali kerumah. Hari ini ia ada janji bertemu dengan MrRiki saat jam makan siang. "Van, kamu sudah reservasi tempat makan siang untuk bertemu Mr. Riki?" tanya Leon kepada sang sekertaris."Sudah Pak, di Pacific Seafood, jam 1 siang.""Baiklah, saya ada waktu 1,5 jam lagi kalau begitu." Leon melihat ke arah jam tangannya. Baru saja dia ingin membuka dokumen yang harus dia tandatangani, ponselnya berbunyi.Leon menjawab panhg dari sahabatnya, Hasan dan mulai berbincang."Le, pelaku penganiayaan Hasna bukanlah kelompok Houthi, tapi mereka salah satu orang kerajaan." jelas Hasan."Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" "Setelah sekian lama mereka tidak mengintai kediaman Zahir, merek datang lagi bertepatan dengan keluarnya Hasna dari rumah Zahir. Ada saksi yang melihat Hasna dibawa masuk ke mobil orang itu."Leon menghela napas panjang, dia pun menceritakan kejadian pagi tadi saat Anin diikuti dua orang pria tak dikenal didalam super
Seharian Leon hanya berada diruangannya untuk menyelesaikan dokumen-dokumen yang harus ia tandatangani. Saat makan siang pun dia hanya meminta tolong pada Devano untuk memesankannya. Ponsel Leon pun berdering, tertera nama istri tercinta di ponselnya."Pah, jam belapa pulangnya?" tanya Noah dari sebrang telepon sana."Sebentar lagi papah pulang Noah, Bunda mana?""Halo, Pah ... kamu masih dikantor?" tanya Anin "Nih lagi siap-siap mau pulang, Tunggu ya jangan dimatiin!" titah Leon seraya ia merapihkan laptop dan dokumen kemudian menmasukannya kedalam tas. Kemudian Leon pun melangkah keluar dari ruangannya, ia berjalan lebih dulu diikuti Devano dibelakangnya."Van, kalau aku nanti jadi pindah ke Indonesia, aku titip perusahaan ini padamu." ucap Leon saat mereka berdua didalam lift."Apa Bang Leon gak balik kesini lagi?" "Sesekali aku akan kesini untuk meminta laporan padamu. Kau harus bertanggung jawab, aku percaya padamu." ujarnya lagi."Saya juga sebenarnya mau pulang ke Indonesia
Rena dan Anin tergesa menyusuri koridor rumah sakit. Kedua wanita itu terlihat cemas, Anin menitipkan anak-anaknya kepada kedua orang tuanya.Hasan melihat keduanya yang berjalan menghampirinya. Setelah itu Hasan mengajak mereka untuk masuk kedalam ruangan, Mereka pun masuk kedalam ruang rawat ini Leon masih terbaring tak sadarkan diri, perban menempel di kepala pria itu dan dimata sebelah kirinya. Anin dan Rena tak kuasa menahan tangis mereka melihat keadaan Leon yang mengenaskan."Kek Leon!" lirih Anin sambil berurai air mata, mengusap wajah sang suami pelan. "Ini mamah, Leon! Kamu .... Kamu ..." Rena pun tak bisa melanjutkan perkataannya, wanita itu jatuh tak sadarkan diri. Anin pun berteriak, dia sungguh sangat panik dia khawatir pada ibu mertuanya. Hasan pun membantu membawa wanita itu berbaring di sofa, lalu memanggil suster penjaga."Tidak apa-apa, ibu anda hanya shock," seru sang suster kemudian. Anin pun kembali menghampiri suaminya yang masih terbaring tak sadarkan diri,
Anin mendekati Leon lagi, ia menatap suaminya dengan tatapan heran."Kamu kenapa?" tukas Anin kesal."Pergi kamu! Keluar!" balas Leon kasar."Pah ... Istighfar, kamu kenapa sih?" ujar Anin lagi seraya memegang tangan Leon."Pergi Anin, tinggalkan saja aku sendiri disini.""Aku gak mau, aku gak akan tinggalin kamu, apalagi dalam keadaan kamu seperti ini.""Pergi Anin, aku suami yang tak berguna, aku sudah cacat." teriak Leon lagi.Anin memeluk suaminya erat, seraya menangis tersedu."Jangan usir aku Kak, aku tidak akan beranjak sedikitpun dari sisimu, aku sayang kamu apapun yang terjadi.""Aku sudah lumpuh Anin, apa yang bisa kau harapkan lagi dari suami seperti aku." isaknya sambil membalas pelukan Anin."Aku tak bisa melindungimu dan anak-anak lagi." ujar Leon putus asa.Anin menggelengkan kepala, "Tidak, kamu akan sembuh. Kamu pasti bisa sembuh!" "Kita akan melewati ini semua bersama, tolong jangan usir aku." ucap Anin seraya tergugu dalam pelukan Leon."Aku, Noah, Shafiyya dan Mam
Pulang dari Rumah sakit, Zahir menuju ke kediamnnya. Sudah tiga hari ini dia tidak menginap di Klub lagi. Berawal saat pertemuannya dengan Hasna kembali beberapa hari lalu, ia senang Hasna sudah tidak histeris ketika melihatnya, tapi dia tetap menjaga jarak dengan Zahir. Tetap tidak mau berkontak mata langsung dengannya. Tapi Zahir bersyukur, setidaknya dia tidak takut denga Zahir. Kata ibunya, Hasna seperti itu karena dia merasa malu, bukannya takut.Zahir masuk kedalam rumah, dia tidak menemukan seseorang pun, dia mencari ibunya didapur tapi tidak ada. Zahir mendengar suara tawa dari halaman belakang rumahnya. Rupanya ibu sedang menceritakan sesuatu yang membuat gadis itu tertawa, tawa yang indah bagi Zahir. "Benarkah, Bu? Lalu apa ayah memarahi Zahir?" tanya gadis itu dengan senyum tak lepas dari bibirnya. Zahir yang merasa jika dirinya lah yang sedang menjadi bahan perbincangan kedua wanita itu pun ikut tersenyum. Tapi, apa-apaan ibunya ini, menceritakan hal memalukan tentangnya
Pagi ini Hasan sudah berada dirumah Anin hendak menemui kedua orang tua Anin dan mengantarkannya sampai ke Madinah kerumah orang tuanya. Ia bertemu ayah Anin diruang tamu dan berbincang dengannya terlebih dahulu."Paman dan bibimu memang niat mau umroh dulu sepulang dari sini biar sekalian." Ayah Anin mulia bercerita."Tadinya Raga juga mau ikut, tapi dikantor lagi banyak urusan belum bisa ditinggal, jadinya nanti dia mau menyusul langsung ke Madinah saja," sambung pria setengah baya itu."Aku juga sudah ngabarin ibu kalau paman dan bibi akan berangkat sekarang."Hasan menimpali ucapan pamannya.Kemudian Leon dan Anin muncul, bersama bundanya Anin yang sudah siap. "Sudah siap? Ayo kita berangakat sekarang!" seru Ayan Anin.Anin pun memeluk kedua orang tuanya, dan mencium tangan mereka takzim."Bunda-Ayah hati-hati dijalan, kalau ada apa-apa kabari Anin ya, Salam buat bibi Maryam!" ucap Anin sendu. Sebenarnya Anin ingin ikut ke Madinah, dia belum diwisuda setelah dinyatakan lulus dar
Leon sedang menggendong Shafiyya diruang tamu ketika Taka datang bersama istrinya.Laki-laki keturunan Jepang-Indonesia itu mengenakan pakaian santai, bukan pakaian formal yang biasa ia kenakan saat bertemu Leon maupun Hasan."Selamat datang, Apa kabarmu Taka?" tanya Leon sambil tersenyum ramah menjabat tangan Taka.Leon menundukkan kepala tanda menghormati kala Taka memperkenalkan istrinya yang cantik."Ini istriku, Hana!" ujar Taka memperkenalkan.Leon memegang dada nya kemudian menunduk sopan pada Hana.Lalu ia mengajak sepasang suami istri itu menuju ruang makan. Rena pun keluar lalu berkenalan dengan mereka. "Biar mamah bawa Shafiyya kedalam kamar!" tawar sang Mamah. Leon pun memberikan bayi mungilnya itu untuk digendong neneknya. "Lucu sekali bayimu, berapa bulan umurnya?" tanya Hana ia memperhatikan Shafiyya yang sedang tertidur pulas didalam pelukan neneknya."Umurnya baru tiga bulan, dia memang sangat menggemaskan." balas Leon."Nanti kita akan buat yang lebih lucu dari itu