Pagi ini Hasan sudah berada dirumah Anin hendak menemui kedua orang tua Anin dan mengantarkannya sampai ke Madinah kerumah orang tuanya. Ia bertemu ayah Anin diruang tamu dan berbincang dengannya terlebih dahulu."Paman dan bibimu memang niat mau umroh dulu sepulang dari sini biar sekalian." Ayah Anin mulia bercerita."Tadinya Raga juga mau ikut, tapi dikantor lagi banyak urusan belum bisa ditinggal, jadinya nanti dia mau menyusul langsung ke Madinah saja," sambung pria setengah baya itu."Aku juga sudah ngabarin ibu kalau paman dan bibi akan berangkat sekarang."Hasan menimpali ucapan pamannya.Kemudian Leon dan Anin muncul, bersama bundanya Anin yang sudah siap. "Sudah siap? Ayo kita berangakat sekarang!" seru Ayan Anin.Anin pun memeluk kedua orang tuanya, dan mencium tangan mereka takzim."Bunda-Ayah hati-hati dijalan, kalau ada apa-apa kabari Anin ya, Salam buat bibi Maryam!" ucap Anin sendu. Sebenarnya Anin ingin ikut ke Madinah, dia belum diwisuda setelah dinyatakan lulus dar
Leon sedang menggendong Shafiyya diruang tamu ketika Taka datang bersama istrinya.Laki-laki keturunan Jepang-Indonesia itu mengenakan pakaian santai, bukan pakaian formal yang biasa ia kenakan saat bertemu Leon maupun Hasan."Selamat datang, Apa kabarmu Taka?" tanya Leon sambil tersenyum ramah menjabat tangan Taka.Leon menundukkan kepala tanda menghormati kala Taka memperkenalkan istrinya yang cantik."Ini istriku, Hana!" ujar Taka memperkenalkan.Leon memegang dada nya kemudian menunduk sopan pada Hana.Lalu ia mengajak sepasang suami istri itu menuju ruang makan. Rena pun keluar lalu berkenalan dengan mereka. "Biar mamah bawa Shafiyya kedalam kamar!" tawar sang Mamah. Leon pun memberikan bayi mungilnya itu untuk digendong neneknya. "Lucu sekali bayimu, berapa bulan umurnya?" tanya Hana ia memperhatikan Shafiyya yang sedang tertidur pulas didalam pelukan neneknya."Umurnya baru tiga bulan, dia memang sangat menggemaskan." balas Leon."Nanti kita akan buat yang lebih lucu dari itu
Suara Zahir yang terengah dari sebrang telepon sana membuat Leon khawatir. Saat ini sahabatnya itu sedang berada di dalam Klub seorang diri. Jantungnya seakan berdetak lebih kencang, kalau saja kakinya tidak lumpuh, dia langsung akan pergi menyusul Zahir. Dia khawatir Zahir terluka, dia juga ingin melihat seberapa parah kerusakan dimarkas mereka. Leon menghubungi Hasan, tapi ponsel pria itu tidak aktif. Akhirnya Leon pun mencoba menghubungi bibi Maryam."Maaf Bi, apa Hasan sedang bersama bibi, Leon menghubungi ponselnya tapi tidak aktif." ujar Leon. Lalu bibi Maryam pun memberikan ponselnya pada Hasan."Ada apa Leon, mengapa kau menghubungi ibuku?" "Aktifkan ponselmua sekarang, San . Ini Gawat!" Hasan pun segera mengembalikan ponsel itu pada ibunya, tidak mungkin dia berbicara masalah yang penting didepan ibunya. Setelah itu ia menuju kamarnya yang dulu dipakai Anin saat masih tinggal disana. Pria itu mengaktifkan ponselnya dan balik menghubungi Leon."Ada apa, Le?""Markas kita d
Hasan berlari disepanjang koridor rumah sakit, kabar yang ia dapat dari ibu mertuanya setelah ia mendarat membuatnya sangat khawatir. Hasan melihat Nyonya Anna dengan wajah sedih berurai air mata, ia mendekati wanita itu dan memeluknya. "Hasan! Zahir, San ... Zahiiir!" lirih wanita setengah baya itu."Tenanglah, Bu! Tenang, aku sudah disini!" ujar Hasan menguasap punggung ibu mertuanya."Bagaimana kondisinya sekarang?" "Lihatlah kedalam!" seru wanita yang sedang menangisi putranya.Kemudian tanpa pikir panjang Hasan masuk kedalam kamar, Zahir sedang dibantu dengan alat kejut jantung, tapi monitor disana tetap mengeluarkan bunyi yang sama dan panjang.Ya Allah ... tolong selamatkan sahabatku, batin Hasan berdoa. Di ranjang sebelah Zahir ia melihat Hasna yang sedang tak sadarkan diri juga. Tak lama ibu mertuanya ikut masuk kedalam ruangan, ia menghampiri Zahir."Zahiir! Sadarlah,Nak! Jangan tinggalkan ibu!" isak wanita itu ia menggenggam tangan sang putra. Dokter pun sudah menyerah, m
Seorang pria berteriak murka, karena ia baru mendapatkan kabar bahwa gudang persenjataan miliknya diledakkan oleh para pemberontak di Suriah. Lalu ponsel pria itu pun berdering."Sudah mendengar kabar baikmu Tuan?" tanya suara disana sambil terkekeh."Sialan ... Apa kau yang melakukannya?" pria itu bertanya dengan sengit."Jika tak ingin digigit maka jangan mulai menggigit, Tuan. Aku rasa kau paham itu!" sahut suara pria disebarang sana dengan tenang."Jangan macam-macam kau padaku? aku akan menghancurkan keluargamu!" "Temui aku jika kau berani!" tantang sang pria yang membuat lawan bicaranya semakin berang.Kemudian panggilan pun terputus, lalu muncul satu pesan dari pria tadi, ia mengirim peta lokasi pertemuan mereka di luar dari negara tempat mereka tinggal. Tak lama pesan berikutnya masuk lagi. Wajah pria itu menggelap ketika membaca pesan tersebut.'Datanglah sendiri, Jangan jadi pengecut!"Pria itu pun kemudian membanting apapun yang ada dihadapannya. Lalu dia berteriak kepada
Hasan melihat sebuah mobil berhenti didepan tempatnya berada saat ini. Sebelum menemui salah satu orang kerajaan itu, Hasan berdoa didalam hati. Hasan membuka pintu menyambut tamunya. Saat ini mereka sudah saling berhadapan satu sama lain."Apa kau yang menghancurkan gudang senjataku?" tanya Haidar dengan wajah tak terbaca."Apa kau pikir aku mampu?" jawab Hasan balik bertanya sambil melipat kedua tangannya didepan dada. "Jangan coba-coba mengetes kesabaranku, Hasan!" "Siapa yang memulai?" "Aku tidak akan melakukannya, jika kalian tidak membunuh kakakku," "Mengapa kau juga menganiaya Hasna?""Wanita sok suci itu pantas mendapatkan ganjarannya, karena dia telah bersekongkol dengan kakaknya untuk membunuh Syaima.""Lalu bagaimana dengan teman-temanku yang sudah kau serang dengan cara licik?""Yang satu kau buat dia lumpuh, dan satunya lagi baru saja lewat dari masa kirtisnya." ujar Hasan geram."Yaa ... Setidaknya mereka tidak mati." ujar Haidara tanpa rasa bersalah.Hasan mengepalk
Helen terkejut melihat Leon muncul dengan menggunakan kruk."Ya Tuhan Kak, apa yang terjadi padamu?" tanya wanita itu dengan mata berkaca-kaca."Hanya kecelakaan kecil saja, Dik. Jangan khawatir!" sahut Leon menenangkan adikmya yang terlihat sudah ingin menangis."Bagaimana kau bisa tidak mengabarkannya padaku ,Kak!" ucap Helen kecewa juga sedih."Aku baik-baik saja, lihat. Hei ... ayolah jangan menangis Helen!" ujar Leon seraya memeluk sang adik."Aku kecewa padamu, Kak. Apa kau sudah tidak menganggapku adikmu lagi?" tanya Helen sambil tersedu.Bryan pun menghampiri Helen, kemudian menenangkannya."Helen jangan bersedih, ingat bayi kita yang ada didalam perut!" Bryan mengingatkan sang istri tentang kandungannya."Apa? Helen ... Sedang hamil? Benarkah itu, Dik?"Helen mengangguk sambil tersedu kemudian tersenyum lalu menangis lagi. Bryan pun membawa sang istri untuk duduk kembali agar perasaannya lebih tenang."Selamat, kamu akan menjadi seorang ibu." Ucap Leon, kemudian Anin juga m
Leon dan Bryan sudah berada di Rumah sakit untuk menjenguk Zahir. Ia pun masuk menemui sahabatnya yang masih tergolek lemah di ranjang rumah sakit, sedangkan Bryan menunggunya diluar ruangan.Leon disambut oleh Nyonya Anna, ibunya Zahir dan Hasna, gadis itu sudah jauh telihat lebih baik dari yang terakhir Zahir ceritakan."Bagaimana kondisi Zahir, Bi?" tanya Leon pada Nyonya Anna."Alhamdulillah dia sudah sadar semalam Nak Leon, kesehatannya juga membaik." sahut ibunda Zahir menceritakan dengan wajah semringah.Zahir yang mendengar suara Leon pun terbangun, wajahnya yang terlihat pucat pun terlihat tersenyum. Leon pun menghampirinya, Hasna yang sedang duduk disamping Zahir pun berpindah tempat menuju sofa panjang yang berada dekat pintu masuk."Gimana, Hir? Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Leon seraya duduk disampingnya."Alhamdulillah sudah lebih baik, Le. Kamu sendiri apa kabarnya?" "Aku juga sudah lebih baik, walaupun masih harus menjalani terapi. Jadi ... Kapan aku dapat un