Suara Zahir yang terengah dari sebrang telepon sana membuat Leon khawatir. Saat ini sahabatnya itu sedang berada di dalam Klub seorang diri. Jantungnya seakan berdetak lebih kencang, kalau saja kakinya tidak lumpuh, dia langsung akan pergi menyusul Zahir. Dia khawatir Zahir terluka, dia juga ingin melihat seberapa parah kerusakan dimarkas mereka. Leon menghubungi Hasan, tapi ponsel pria itu tidak aktif. Akhirnya Leon pun mencoba menghubungi bibi Maryam."Maaf Bi, apa Hasan sedang bersama bibi, Leon menghubungi ponselnya tapi tidak aktif." ujar Leon. Lalu bibi Maryam pun memberikan ponselnya pada Hasan."Ada apa Leon, mengapa kau menghubungi ibuku?" "Aktifkan ponselmua sekarang, San . Ini Gawat!" Hasan pun segera mengembalikan ponsel itu pada ibunya, tidak mungkin dia berbicara masalah yang penting didepan ibunya. Setelah itu ia menuju kamarnya yang dulu dipakai Anin saat masih tinggal disana. Pria itu mengaktifkan ponselnya dan balik menghubungi Leon."Ada apa, Le?""Markas kita d
Hasan berlari disepanjang koridor rumah sakit, kabar yang ia dapat dari ibu mertuanya setelah ia mendarat membuatnya sangat khawatir. Hasan melihat Nyonya Anna dengan wajah sedih berurai air mata, ia mendekati wanita itu dan memeluknya. "Hasan! Zahir, San ... Zahiiir!" lirih wanita setengah baya itu."Tenanglah, Bu! Tenang, aku sudah disini!" ujar Hasan menguasap punggung ibu mertuanya."Bagaimana kondisinya sekarang?" "Lihatlah kedalam!" seru wanita yang sedang menangisi putranya.Kemudian tanpa pikir panjang Hasan masuk kedalam kamar, Zahir sedang dibantu dengan alat kejut jantung, tapi monitor disana tetap mengeluarkan bunyi yang sama dan panjang.Ya Allah ... tolong selamatkan sahabatku, batin Hasan berdoa. Di ranjang sebelah Zahir ia melihat Hasna yang sedang tak sadarkan diri juga. Tak lama ibu mertuanya ikut masuk kedalam ruangan, ia menghampiri Zahir."Zahiir! Sadarlah,Nak! Jangan tinggalkan ibu!" isak wanita itu ia menggenggam tangan sang putra. Dokter pun sudah menyerah, m
Seorang pria berteriak murka, karena ia baru mendapatkan kabar bahwa gudang persenjataan miliknya diledakkan oleh para pemberontak di Suriah. Lalu ponsel pria itu pun berdering."Sudah mendengar kabar baikmu Tuan?" tanya suara disana sambil terkekeh."Sialan ... Apa kau yang melakukannya?" pria itu bertanya dengan sengit."Jika tak ingin digigit maka jangan mulai menggigit, Tuan. Aku rasa kau paham itu!" sahut suara pria disebarang sana dengan tenang."Jangan macam-macam kau padaku? aku akan menghancurkan keluargamu!" "Temui aku jika kau berani!" tantang sang pria yang membuat lawan bicaranya semakin berang.Kemudian panggilan pun terputus, lalu muncul satu pesan dari pria tadi, ia mengirim peta lokasi pertemuan mereka di luar dari negara tempat mereka tinggal. Tak lama pesan berikutnya masuk lagi. Wajah pria itu menggelap ketika membaca pesan tersebut.'Datanglah sendiri, Jangan jadi pengecut!"Pria itu pun kemudian membanting apapun yang ada dihadapannya. Lalu dia berteriak kepada
Hasan melihat sebuah mobil berhenti didepan tempatnya berada saat ini. Sebelum menemui salah satu orang kerajaan itu, Hasan berdoa didalam hati. Hasan membuka pintu menyambut tamunya. Saat ini mereka sudah saling berhadapan satu sama lain."Apa kau yang menghancurkan gudang senjataku?" tanya Haidar dengan wajah tak terbaca."Apa kau pikir aku mampu?" jawab Hasan balik bertanya sambil melipat kedua tangannya didepan dada. "Jangan coba-coba mengetes kesabaranku, Hasan!" "Siapa yang memulai?" "Aku tidak akan melakukannya, jika kalian tidak membunuh kakakku," "Mengapa kau juga menganiaya Hasna?""Wanita sok suci itu pantas mendapatkan ganjarannya, karena dia telah bersekongkol dengan kakaknya untuk membunuh Syaima.""Lalu bagaimana dengan teman-temanku yang sudah kau serang dengan cara licik?""Yang satu kau buat dia lumpuh, dan satunya lagi baru saja lewat dari masa kirtisnya." ujar Hasan geram."Yaa ... Setidaknya mereka tidak mati." ujar Haidara tanpa rasa bersalah.Hasan mengepalk
Helen terkejut melihat Leon muncul dengan menggunakan kruk."Ya Tuhan Kak, apa yang terjadi padamu?" tanya wanita itu dengan mata berkaca-kaca."Hanya kecelakaan kecil saja, Dik. Jangan khawatir!" sahut Leon menenangkan adikmya yang terlihat sudah ingin menangis."Bagaimana kau bisa tidak mengabarkannya padaku ,Kak!" ucap Helen kecewa juga sedih."Aku baik-baik saja, lihat. Hei ... ayolah jangan menangis Helen!" ujar Leon seraya memeluk sang adik."Aku kecewa padamu, Kak. Apa kau sudah tidak menganggapku adikmu lagi?" tanya Helen sambil tersedu.Bryan pun menghampiri Helen, kemudian menenangkannya."Helen jangan bersedih, ingat bayi kita yang ada didalam perut!" Bryan mengingatkan sang istri tentang kandungannya."Apa? Helen ... Sedang hamil? Benarkah itu, Dik?"Helen mengangguk sambil tersedu kemudian tersenyum lalu menangis lagi. Bryan pun membawa sang istri untuk duduk kembali agar perasaannya lebih tenang."Selamat, kamu akan menjadi seorang ibu." Ucap Leon, kemudian Anin juga m
Leon dan Bryan sudah berada di Rumah sakit untuk menjenguk Zahir. Ia pun masuk menemui sahabatnya yang masih tergolek lemah di ranjang rumah sakit, sedangkan Bryan menunggunya diluar ruangan.Leon disambut oleh Nyonya Anna, ibunya Zahir dan Hasna, gadis itu sudah jauh telihat lebih baik dari yang terakhir Zahir ceritakan."Bagaimana kondisi Zahir, Bi?" tanya Leon pada Nyonya Anna."Alhamdulillah dia sudah sadar semalam Nak Leon, kesehatannya juga membaik." sahut ibunda Zahir menceritakan dengan wajah semringah.Zahir yang mendengar suara Leon pun terbangun, wajahnya yang terlihat pucat pun terlihat tersenyum. Leon pun menghampirinya, Hasna yang sedang duduk disamping Zahir pun berpindah tempat menuju sofa panjang yang berada dekat pintu masuk."Gimana, Hir? Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Leon seraya duduk disampingnya."Alhamdulillah sudah lebih baik, Le. Kamu sendiri apa kabarnya?" "Aku juga sudah lebih baik, walaupun masih harus menjalani terapi. Jadi ... Kapan aku dapat un
" Ehem ... Apa kalian sudah selesai, aku ingin pulang sekarang!" Leon berbicara kepada Bryan dan Devano yang masih menjelaskan jadwal kerjanya."Aku rasa, aku sudah bisa mengerti, Van," Ujar Bryan sambil berdiri lalu membenahi dokumen yang berserakan."Aku juga harus segera ke Bandara sekarang!" Devano menimpali sambil melihat ke arah jam nya."Ya sudah, kita pulang bersama saja, Van!" ucap Leon seraya melangkahkan kakinya.Kemudian ketiganya pergi meninggalkan kantor. Devano menggunakan mobilnya, karena dia membawa sekaligus kopernya didalam mobil. Didalam perjalanan, ponsel Leon berdering. "Halo, Taka!" ucap Leon menyapa pria keturunan jepang-indonesia itu."Kalian masih di pulau Socotra?" tanya Leon lagi."Tidak, kamu sedang menuju bandara. Hari ini kami akan ke Indonesia. Melanjutkan bulan madu ke Bandung.""Benarkah? Devano dan ibuku juga akan ke indonesia hari ini. Mungkin nanti kalian bisa bertemu di pesta pernikahan Devano." "Baiklah, kami akan mampir jika sempat ke pesta p
Sebelum waktu subuh Anin terbangun, mendengar rengekan dari putrinya yang haus meminta susu. Ia pun menghampiri Shafiyya dan menggendong bayi lucu itu, kemudian memberikan Asi nya. Anin menyusui sambil duduk dipinggiran ranjang sebelah meja.Ia mendengar bunyi getaran dari dalam laci meja, setelah dibukanya ternyata suara getar dari ponsel Leon. Anin pun mengambil dan melihat nama Helen disana. Ia menjawab panggilan itu."Halo, Helen!" sapa Anin dengan suara khas bangun tidur."Kak Anin!" suara isak Helen yang bercampur tangis membuat Anin membuatnya mengernyit dan khawatir."Hei, ada apa Helen? Kalian dimana?" tanya Anin panik.Iya pikir setelah mengantarkan ibu mertua dan Noah ke bandara, Helen dan Bryan langsung pulang kerumah."Kak Anin ... Bryan Kak ... Bryan ... Huhuhu...." isak adik iparnya semakin kencang."Ada apa dengan Bryan? Kamu di-dimana ...sekarang?" tanya Anin lagi kali ini suaranya lebih kencang sehingga membuat Shafiyya yang hampir terlelap lagi pun menangis karena s