Setelah selesai memberikan darahnya pada Helen, Leon menghubungi Anin. Ia hendak memberi kabar tentang Helen dan suaminya.Anin yang mendengar kabar itu dari suaminya pun menangis, ia merasa iba terhadap Helen, bagaimana rasanya kehilangan suami sekaligus anak yang tengaj dikandungny. Mungkin ia sendiri tidak akan sanggup jika mengalaminya."Aku akan kerumah sakit!" ujar Anin kepada suaminya."Ya, tolong hibur adikku!" balas Leon dengan suara pelan. Dia sungguh tidak tahu apa yang harus dikatakannya saat Helen sadar nanti."Astagfirulloh." Leon beristighfar lalu ia menuju keruangan dimana jenazah Bryan berada.Seorang perawat mengantarkannya menuju ruangan tempat Bryan diperiksa, ketika sudah berada diruangan itu Leon membuka kain yang menutup wajahnya sang adik ipar, tak lama ia menutupnya lagi. "Innailillahi wa innailaihi rooji'uuun." lirihnya, setelah Leon meninggalkan ruangan itu. Leon berpikir bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi, apakah ada orang yang sedang mengincarnya lagi
Zahira dan Anin menghampiri Helen, Zahira melepaskan pisau yang ada ditangan wanita malang itu. Helen malah berteriak histeris, dia mencoba ingin mengambil pisau lagi."Astagfirulloh, Helen sadarlah! Jangan melakukan hal bodoh!" Zahira berteriak menyadarkan wanita itu."Biarkan aku mati! Mana pisaunya?" ucap Helen sengit."Helen, Tenanglah! Jangan seperti ini!" ucap Anin sedih, dia sangat takut melihat Helen yang hampir saja memotong urat nadi nya sendiri."Kalian tidak mengerti! Kalian tidak akan mengerti aku!" teriak Helen lagi."Aku mengerti perasaanmu, tapi apa kamu tidak memikirkan perasaan kakakmu jika melihatmu seperti ini!" "Dia sejak tadi murung, melihatmu begitu terpukul, Helen. Bukankan dia juga keluargamu, saudaramu satu-satunya yang kamu punya saat ini. Dia sama sakitnya denganmu, Helen, tolonglah!" ujar Anin menatap Helen putus asa dan sedih.Helen seolah baru tersadar, bahwa dia masih saudara laki-laki yang menyayanginya, yang sudah mau bersusah payah mencarinya sampai
Saat ini Helen sudah rapih dengan memakai kemeja dan rok hitam panjang selututnya, tak lupa wanita itu juga mengenakan pashmina berwarna senada yang diberikan Anin padanya. Ia menatap dirinya didalam cermin dengan perasaan haru. Tubuh semampainya dibungkus oleh baju yang lebih tertutup dan rambut pirangnya juga tertutup oleh pashmina. Tapi dengan begitu tidak mengurangi kecantikan Halimah sedikitpun, malah ia terlihat lebih sopan dan elegan. Setelah puas dengan penampilan dirinya, wanita itu berjalan keluar menuju dapur, disana sudah berada Leon dan Anin juga bayi mereka. "Maa syaa Allah cantiknya, adik iparku!" seru Anin merasa takjub.Halimah hanya tersenyum malu, seraya berkata, " Kak Anin bisa aja, apa ini cocok?" tanyanya tak percaya diri."Sudah oke kok, sudah cocok jadi sekertaris kakak." Leon menimpali seraya mengangkat jempolnya sambil tersenyum.Setelah menyelesaikan sarapannya, kemudian Leon dan Halimah menuju ke kantornya. Beberapa kali Leon melihat wajah adiknya yang cem
Helen hendak bangkit dari pangkuan Yuri, tapi pria ia malah menahan pinggulnya semakin kuat. Wanita itu mulai ketakutan, pria dihadapannya ini sekarang menatapnya dengan intens bagai menelanjanginya. Manik kelabu pria itu tak berkedip sedkitpun, ia menatap wanita dipangkuannya dengan tatapan lapar, oh ... Padahal baru semalam ia bercinta dengan Luna, teman tidurnya selama satu bulan ini. Pria itu mulai merasa gelisah ketika 'miliknya' merespon dengan sangat baik gadis dipangkuannya. Helen membelalak, matanya membulat menatap Yuri dengan kesal. Ia pun sontak langsung berdiri, kali ini Yuri tidak menahannya, ia tidak bisa menjamin akan melepaskan wanita ini jika sudah berada dalam pelukannya. Sedangkan mereka sedang berada diruangan kakaknya wanita itu. Yang benar saja Yuri ... Kau ingin dihajar Leon? batinnya mengingatkan. Meskipun ia yakin Leon takkan sampai berani memukulnya. Wanita itu masih menatapnya tajam dengan penuh curiga.Yuri balas menatapnya dengan tenang disertai seringai
Helen dan Leon sudah dalam perjalanan pulang dari kantor. Leon menanyakan pada sang adik apakah ia merasa kesulitan dengan tugas yang diberikannya."Sebenarnya tidak sulit hanya saja aku belum terbiasa kak, ini kan masih hari pertama aku bekerja." ujar Helen dengan santai."Ehem ... Helen, sebenarnya Devano besok sudah mulai bekerja, tapi tidak apa-apa jika kau masih ingin ikut bekerja dikantorku." "Tapi tadi kakak mendapatkan tawaran pekerjaan untukmu dari Tuan Yuri." Leon berkata sambil melihat reaksi apa yang akan diberikan sang adik."Tu-tuan Yuri? Pekerjaan apa?" tanya Helen sedikit gugup."Menjadi asistennya, sebenarnya dia memang sedang membutuhkan seorang yang mau membantunya menjaga putrinya, karena ia merasa agak repot kalau harus membawa putrinya kemana-mana saat ia sedang bertemu rekan bisnisnya.""Kemana ibunya?" tanya Helen dengan wajah penuh selidik."Yang pernah kudengar, ibunya sudah meninggal enam tahun lalu, saat melahirkannya." Leon mulai bercerita.Helen terdiam
Leon menatap ke arah Helen, seusai menerima panggilan dari Yuri. "Ada apa Kak?" tanya Helen dengan dahi mengernyit heran."Isabel, putrinya Yuri masuk rumah sakit. Dia memintaku untuk memanggilkanmu, Isabel ingin bertemu denganmu." ucap Leon seraya memperhatikan reaksi yang akan diberikan adiknya.Helen terlihat panik, ia menatap wajah Anin dan Leon bergantian. Akhinya wanita itu mengikuti kata hatinya untuk menemui gadis kecil itu, ia merasa terenyuh ketika gadis itu malah mencarinya saat ia sakit. Ya Tuhan ... Apa ini berarti tanda bahwa aku harus menemerima tawaran Tuan Yuri, batin Helen.Setelah makan malam, Helen dan Leon menuju rumah sakit tempat Isabel dirawat. Keduanya memasuki ruang rawat, terlihat Yuri sedang duduk disamping putrinya yang tengah terlelap. Sesaat pria itu melihat ke arah keduanya, lalu mengampiri mereka."Bagaimana keadaannya?" tanya Leon pad yuri, saat ini mereka sudah berada diluar ruangan, sedangkan Helen menggantikan posisi Yuri duduk disamping Isabel. I
Saat ini, Helen sudah berada dalam pesawat pribadi Yuri, ia terpaksa menyetujui Isabel untuk ikut dengan gadis kecil itu ke rumah mereka di Moskow, Rusia. Sebelum Helen terbang, ia sempat pulang dulu kerumah Leon untuk berpamitan pada keluarganya juga untuk mengambil beberapa barang miliknya yang tertinggal. "Jaga dirimu baik-baik, kalau ada apa-apa segera hubungi aku." pesan Leon kepadanya saat ia hendak pergi."Baik, Kak." ucap Helen dengan tenang, seolah tidak ingin membuat sang kakak mengkhawatirkannya. Helen sendiri tidak mudah mengambil keputusan ini, selain karena bujukan gadis kecil itu, ia juga ingin mencari suasana baru ditempat lain. Bisa saja ia kembali ke Giethroon, tapi Helen tidak ingin sendirian saat ini, di Gietrhroon banyak kenangan manisnya bersama kakek, nenek dan juga suaminya Bryan yang sudah tiada. Dia khawatir akan teringat kembali dan membuatnya semakin sedih. Ini sudah menjadi keputusan Helen, ia bertekad akan hidup mandiri, tanpa merepotkan kakaknya lagi.
Yuri, Helen dan Isabel tiba dirumah pada waktu hari mulai beranjak malam. Gadis itu sejak tadi tak berhenti tersenyum dan menggenggam tangan Helen, sedangkan Yuri berjalan dibelakang mereka. Helen memperhatikan rumah yang terlihat megah itu, beberapa lukisan terpampang didinding rumahnya, terlihat begitu indah dan pasti harganya juga sangat mahal. Helen terkagum melihat satu lukisan ditempat yang sepertinya tidak asing untuknya, dia pun memberanikan diri untuk bertanya pada Yuri."Apa ini di Giethroon?" tanya Helen menghentikan langkahnya seraya melihat Yuri."Hmm ... Mungkin saja, hanya pelukisnya saja yang tahu itu dimana, aku hanya membelinya." sahut Yuri santai, kemudian ia meneruskan langkahnya melewati kedua wanita itu. "Onti, apa kau mau tidur bersamaku?" "Isabel, biarkan onti berisitirahat dikamarnya dulu, Sayang!" seru Yuri pada putrinya."Baik, Pah." cicit gadis itu dengan wajah murung."Nanti, onti akan mampir ke kamarmu sebelum tidur, oke!" Helen tak tega melihat wajah g