Rena dan Anin tergesa menyusuri koridor rumah sakit. Kedua wanita itu terlihat cemas, Anin menitipkan anak-anaknya kepada kedua orang tuanya.Hasan melihat keduanya yang berjalan menghampirinya. Setelah itu Hasan mengajak mereka untuk masuk kedalam ruangan, Mereka pun masuk kedalam ruang rawat ini Leon masih terbaring tak sadarkan diri, perban menempel di kepala pria itu dan dimata sebelah kirinya. Anin dan Rena tak kuasa menahan tangis mereka melihat keadaan Leon yang mengenaskan."Kek Leon!" lirih Anin sambil berurai air mata, mengusap wajah sang suami pelan. "Ini mamah, Leon! Kamu .... Kamu ..." Rena pun tak bisa melanjutkan perkataannya, wanita itu jatuh tak sadarkan diri. Anin pun berteriak, dia sungguh sangat panik dia khawatir pada ibu mertuanya. Hasan pun membantu membawa wanita itu berbaring di sofa, lalu memanggil suster penjaga."Tidak apa-apa, ibu anda hanya shock," seru sang suster kemudian. Anin pun kembali menghampiri suaminya yang masih terbaring tak sadarkan diri,
Anin mendekati Leon lagi, ia menatap suaminya dengan tatapan heran."Kamu kenapa?" tukas Anin kesal."Pergi kamu! Keluar!" balas Leon kasar."Pah ... Istighfar, kamu kenapa sih?" ujar Anin lagi seraya memegang tangan Leon."Pergi Anin, tinggalkan saja aku sendiri disini.""Aku gak mau, aku gak akan tinggalin kamu, apalagi dalam keadaan kamu seperti ini.""Pergi Anin, aku suami yang tak berguna, aku sudah cacat." teriak Leon lagi.Anin memeluk suaminya erat, seraya menangis tersedu."Jangan usir aku Kak, aku tidak akan beranjak sedikitpun dari sisimu, aku sayang kamu apapun yang terjadi.""Aku sudah lumpuh Anin, apa yang bisa kau harapkan lagi dari suami seperti aku." isaknya sambil membalas pelukan Anin."Aku tak bisa melindungimu dan anak-anak lagi." ujar Leon putus asa.Anin menggelengkan kepala, "Tidak, kamu akan sembuh. Kamu pasti bisa sembuh!" "Kita akan melewati ini semua bersama, tolong jangan usir aku." ucap Anin seraya tergugu dalam pelukan Leon."Aku, Noah, Shafiyya dan Mam
Pulang dari Rumah sakit, Zahir menuju ke kediamnnya. Sudah tiga hari ini dia tidak menginap di Klub lagi. Berawal saat pertemuannya dengan Hasna kembali beberapa hari lalu, ia senang Hasna sudah tidak histeris ketika melihatnya, tapi dia tetap menjaga jarak dengan Zahir. Tetap tidak mau berkontak mata langsung dengannya. Tapi Zahir bersyukur, setidaknya dia tidak takut denga Zahir. Kata ibunya, Hasna seperti itu karena dia merasa malu, bukannya takut.Zahir masuk kedalam rumah, dia tidak menemukan seseorang pun, dia mencari ibunya didapur tapi tidak ada. Zahir mendengar suara tawa dari halaman belakang rumahnya. Rupanya ibu sedang menceritakan sesuatu yang membuat gadis itu tertawa, tawa yang indah bagi Zahir. "Benarkah, Bu? Lalu apa ayah memarahi Zahir?" tanya gadis itu dengan senyum tak lepas dari bibirnya. Zahir yang merasa jika dirinya lah yang sedang menjadi bahan perbincangan kedua wanita itu pun ikut tersenyum. Tapi, apa-apaan ibunya ini, menceritakan hal memalukan tentangnya
Pagi ini Hasan sudah berada dirumah Anin hendak menemui kedua orang tua Anin dan mengantarkannya sampai ke Madinah kerumah orang tuanya. Ia bertemu ayah Anin diruang tamu dan berbincang dengannya terlebih dahulu."Paman dan bibimu memang niat mau umroh dulu sepulang dari sini biar sekalian." Ayah Anin mulia bercerita."Tadinya Raga juga mau ikut, tapi dikantor lagi banyak urusan belum bisa ditinggal, jadinya nanti dia mau menyusul langsung ke Madinah saja," sambung pria setengah baya itu."Aku juga sudah ngabarin ibu kalau paman dan bibi akan berangkat sekarang."Hasan menimpali ucapan pamannya.Kemudian Leon dan Anin muncul, bersama bundanya Anin yang sudah siap. "Sudah siap? Ayo kita berangakat sekarang!" seru Ayan Anin.Anin pun memeluk kedua orang tuanya, dan mencium tangan mereka takzim."Bunda-Ayah hati-hati dijalan, kalau ada apa-apa kabari Anin ya, Salam buat bibi Maryam!" ucap Anin sendu. Sebenarnya Anin ingin ikut ke Madinah, dia belum diwisuda setelah dinyatakan lulus dar
Leon sedang menggendong Shafiyya diruang tamu ketika Taka datang bersama istrinya.Laki-laki keturunan Jepang-Indonesia itu mengenakan pakaian santai, bukan pakaian formal yang biasa ia kenakan saat bertemu Leon maupun Hasan."Selamat datang, Apa kabarmu Taka?" tanya Leon sambil tersenyum ramah menjabat tangan Taka.Leon menundukkan kepala tanda menghormati kala Taka memperkenalkan istrinya yang cantik."Ini istriku, Hana!" ujar Taka memperkenalkan.Leon memegang dada nya kemudian menunduk sopan pada Hana.Lalu ia mengajak sepasang suami istri itu menuju ruang makan. Rena pun keluar lalu berkenalan dengan mereka. "Biar mamah bawa Shafiyya kedalam kamar!" tawar sang Mamah. Leon pun memberikan bayi mungilnya itu untuk digendong neneknya. "Lucu sekali bayimu, berapa bulan umurnya?" tanya Hana ia memperhatikan Shafiyya yang sedang tertidur pulas didalam pelukan neneknya."Umurnya baru tiga bulan, dia memang sangat menggemaskan." balas Leon."Nanti kita akan buat yang lebih lucu dari itu
Suara Zahir yang terengah dari sebrang telepon sana membuat Leon khawatir. Saat ini sahabatnya itu sedang berada di dalam Klub seorang diri. Jantungnya seakan berdetak lebih kencang, kalau saja kakinya tidak lumpuh, dia langsung akan pergi menyusul Zahir. Dia khawatir Zahir terluka, dia juga ingin melihat seberapa parah kerusakan dimarkas mereka. Leon menghubungi Hasan, tapi ponsel pria itu tidak aktif. Akhirnya Leon pun mencoba menghubungi bibi Maryam."Maaf Bi, apa Hasan sedang bersama bibi, Leon menghubungi ponselnya tapi tidak aktif." ujar Leon. Lalu bibi Maryam pun memberikan ponselnya pada Hasan."Ada apa Leon, mengapa kau menghubungi ibuku?" "Aktifkan ponselmua sekarang, San . Ini Gawat!" Hasan pun segera mengembalikan ponsel itu pada ibunya, tidak mungkin dia berbicara masalah yang penting didepan ibunya. Setelah itu ia menuju kamarnya yang dulu dipakai Anin saat masih tinggal disana. Pria itu mengaktifkan ponselnya dan balik menghubungi Leon."Ada apa, Le?""Markas kita d
Hasan berlari disepanjang koridor rumah sakit, kabar yang ia dapat dari ibu mertuanya setelah ia mendarat membuatnya sangat khawatir. Hasan melihat Nyonya Anna dengan wajah sedih berurai air mata, ia mendekati wanita itu dan memeluknya. "Hasan! Zahir, San ... Zahiiir!" lirih wanita setengah baya itu."Tenanglah, Bu! Tenang, aku sudah disini!" ujar Hasan menguasap punggung ibu mertuanya."Bagaimana kondisinya sekarang?" "Lihatlah kedalam!" seru wanita yang sedang menangisi putranya.Kemudian tanpa pikir panjang Hasan masuk kedalam kamar, Zahir sedang dibantu dengan alat kejut jantung, tapi monitor disana tetap mengeluarkan bunyi yang sama dan panjang.Ya Allah ... tolong selamatkan sahabatku, batin Hasan berdoa. Di ranjang sebelah Zahir ia melihat Hasna yang sedang tak sadarkan diri juga. Tak lama ibu mertuanya ikut masuk kedalam ruangan, ia menghampiri Zahir."Zahiir! Sadarlah,Nak! Jangan tinggalkan ibu!" isak wanita itu ia menggenggam tangan sang putra. Dokter pun sudah menyerah, m
Seorang pria berteriak murka, karena ia baru mendapatkan kabar bahwa gudang persenjataan miliknya diledakkan oleh para pemberontak di Suriah. Lalu ponsel pria itu pun berdering."Sudah mendengar kabar baikmu Tuan?" tanya suara disana sambil terkekeh."Sialan ... Apa kau yang melakukannya?" pria itu bertanya dengan sengit."Jika tak ingin digigit maka jangan mulai menggigit, Tuan. Aku rasa kau paham itu!" sahut suara pria disebarang sana dengan tenang."Jangan macam-macam kau padaku? aku akan menghancurkan keluargamu!" "Temui aku jika kau berani!" tantang sang pria yang membuat lawan bicaranya semakin berang.Kemudian panggilan pun terputus, lalu muncul satu pesan dari pria tadi, ia mengirim peta lokasi pertemuan mereka di luar dari negara tempat mereka tinggal. Tak lama pesan berikutnya masuk lagi. Wajah pria itu menggelap ketika membaca pesan tersebut.'Datanglah sendiri, Jangan jadi pengecut!"Pria itu pun kemudian membanting apapun yang ada dihadapannya. Lalu dia berteriak kepada