Leon menceritakan pada Helen dan Yuri sambil senyum-senyum sendiri mengingat masa-masa saat ia pertama kali mendekati Anin. "Kakaknya Anin sangat protektif terhadap adiknya, itu tanda bahwa ia sangat menyangi Anin. Sekarang aku pun merasakannya, lalu apa maksud kalian tiba-tiba ingin menikah?" ujar Leon menatap Helen dan Yuri bergantian."Aku ingin memiliki adikmu!" Yuri mengucapkannya dengan tegas dan yakin."Kau pikir adikku barang, hanya untuk dimiliki. Setelah kau memilikinya, apa yang akan kau berikan untuknya? Beri aku alasan yang meyakinkan Yuri, jangan cuma omong kosong saja." "Leon, putriku membutuhkan Helen dan ia ingin adikmu saja yang menjadi ibunya, jika kau ada diposisiku, apa yang akan kau lakukan?" Yuri malah balik bertanya.Leon menghela napas panjang, mungkin jika ia ada di poisis Yuri, ia juga akan melakukan hal yang sama, tapi ini tentang hidup Helen nantinya. Lalu ia pun beralih menatap adiknya, ia belum tahu alasan mengapa adiknya itu mau menerima lamaran Yuri.
Helen kini tengah bersama Isabel didalam kamarnya, ia melihat gadis kecil itu tengah merengut saat ia dengan wajah sedih."Kenapa bersedih Isabel?" tanya Helen seraya mengusap rambut panjangnya."Kakek dan Nenek tidak jadi datang kerumah," gerutu bocah itu dengan wajah murung."Mungkin kakek dan nenek ada keperluan lain, kalau mereka tidak bisa kesini, nanti kita bisa pergi mengunjungi mereka bukan," hibur Helen pada Isabel yang seketika membuat mata cantik gadis itu berbinar kembali."Yaa ...itu ide yang sangat bagus Aunti, kapan kita akan kesana?" tanya nya dengan semringah."Kita bicarakan hal ini dulu pada Papahmu dulu ,oke. Biar papahmu yang putuskan waktunya, karena aunti juga tidak tahu kapan ia punya waktu untuk menemani kita kesana.” ucapan Helen menenagkan calon putrinya itu.Tok ... Tok ... Tok ..."Permisi, apa aku mengganggu!" Yuri membuka pintu tanpa kamar Helen."Papah, nenek dan kakek tidak jadi datang." adu gadis kecil itu pada Sang Ayah."Badai diluar semakin kencang
Helen kini tengah bersama Isabel didalam kamarnya, ia melihat gadis kecil itu tengah merengut saat ia dengan wajah sedih."Kenapa bersedih Isabel?" tanya Helen seraya mengusap rambut panjangnya."Kakek dan Nenek tidak jadi datang kerumah," gerutu bocah itu dengan wajah murung."Mungkin kakek dan nenek ada keperluan lain, kalau mereka tidak bisa kesini, nanti kita bisa pergi mengunjungi mereka bukan," hibur Helen pada Isabel yang seketika membuat mata cantik gadis itu berbinar kembali."Yaa ...itu ide yang sangat bagus Aunti, kapan kita akan kesana?" tanya nya dengan semringah."Kita bicarakan hal ini dulu pada Papahmu dulu ,oke. Biar papahmu yang putuskan waktunya, karena aunti juga tidak tahu kapan ia punya waktu untuk menemani kita kesana.” ucapan Helen menenagkan calon putrinya itu.Tok ... Tok ... Tok ..."Permisi, apa aku mengganggu!" Yuri membuka pintu tanpa kamar Helen."Papah, nenek dan kakek tidak jadi datang." adu gadis kecil itu pada Sang Ayah."Badai diluar semakin kencang,
Entah mengapa dada Yuri bergemuruh melihat Helen menangis dipelukan Leon, harusnya ia tidak boleh cemburu, berulang kali ia juga mengingatkan dirinya akan hal itu. Yuri sendiri tidak mengerti mengapa ia begini? Setelah menghela napas dan menenangkan dirinya, pria itu menghampiri kedua kakak beradik itu. "Ehem ... apa terjadi sesuatu yang buruk?" tanya Yuri menyadarkan keduanya.Helen pun kemudian melepaskan diri dari pelukan Leon, dan menghapus air matanya sambil memalingksn wajah dari Yuri, karrna ia tidak mau dianggap wanita yang lemah dan cengeng oleh Yuri. "Tidak ... Helen hanya bersedih mengingat mendiang ayah kami." Leon menjawab pertanyaan Yuri dengan tenang."Sudahlah kalian tidur, esok akad pernikahan kalian akan dilakukan jam 10 pagi bukan?" "Baiklah, Kak. Aku permisi dulu kalau begitu, selamat beristirahat." ucap wanita itu kemudian ia meninggalkan Yuri dan Leon yang masih berdiri berhadapan.Leon hendak masuk kedalam kamarnya, tapi kemudian Yuri memanggilnya."Leon, set
Yuri terkejut melihat sosok bertopeng dibelakangnya roboh, lalu Vladimir muncul sambil meniup kepulan asap dipistol miliknya yang baru saja ia gunakan untuk melumpuhkan musuh mereka."Kau berhutang nyawa padaku, Tuan Yuri yang terhormat." cibir pria itu sambil menyeringai, terlihat memyebalkan dimata Yuri. "Kemana Jacob dan Damian? Apa mereka tidak menjaga gerbang?" "Aku akan memberi pelajaran pada mereka nanti.""Aku akan keluar memeriksa mereka." seru Vladimir lalu ia keluar untuk melihat keadaan para penjaga. Baru saja Yuri ingin keluar mengikuti Vladimir, ia mendengar suara tembakan dari lantai dua. Sontak saja pria itu langsung bergegas berlari menghampiri suara itu, mengingat Helen dan Putrinya yang sedang bersembunyi dikamar. "Sial! Mereka menjebakku!" maki pria itu sambil berlari.Yuri menuju kamar Helen, keadaannya sangat berantakan tapi tidak ada Helen dan putri mereka disana. "Yuuu ...ri!" Leon menyebut namanya dengan pelan sambil memegangi perutnya yang berdarah karena
Helen merasakan pening dikepalanya, pandangan yang buram semakin lama semakin jelas. Ia terkejut saat sebuah tangan dingin mengelus kulit wajahnya. Seakan baru saja tersadar dengan apa yang sedang ia alami saat ini, Helen memalingkan wajahnya menghindari sentuhan dari laki-laki yang sedang tersenyum dengan kurang ajarnya, dengan jarak yang sangat dekat. Seketika alarm waspada berbunyi, ia berpikiri untuk segera melakukan sesuatu? Ayo ... Berpikirlah Helen!, batin wanita itu mencoba mencari jalan keluar ditengah keterdesakannya. "Hei ... Jangan takut! Aku tidak akan menyakitimu, Cantik!" Yuri berucap sambil menatap Helen dengan mata berkabut gairah.Helen mundur perlahan lahan mencoba menjauhi Yuri, seketika ia mengingat sesuatu, ya ... ia terpaksa akan menggunankannya jika pria dihadapannya ini berani menyentuhnya. "Mengapa kamu mau menikahi pria seperti Yuri? Aku bisa memberikan lebih dari apa yang ia telah berikan padamu." ucap pria tampan itu, ya ... Hugo memang tidak kalah tampa
Saat ini Helen dan Yuri sudah berada didalam mobil, pulang menuju kediaman laki-laki itu. Tubuhnya masih gemetar, walaupun hijabnya sudah terpasang lagi tapi tetap kejadi beberapa menit yang lalu membuatnya ketakutan, pipinya masih basah oleh jejak air mata. Dia pikir dia akan berakhir menyedihkan, dia pikir dia tidak akan selamat dari cengkraman Hugo, tapi ia beruntung Tuhan masih melindunginya. Yuri datang menolongnya walaupun sedikit terlambat, tapi laki-laki itu terlihat begitu mengkhawatirkan dirinya. Keadaannya yang kacau dengan rambut yang berantakan, membuat Yuri sangat bersalah. Dibopongnya tubuh Helen yang tak berdaya itu, jangankan untuk berjalan, untuk berdiri saja wanita itu kesulitan. Lututnya rasa lemas sama sekali, tenaganya habis ia gunakan untuk melawan Hugo, biar bagaimanpun Helen hanyalah wanita biasa, pasalnya hal ini bukan kali pertama ia rasakan, sebelumnya ia juga pernah diculik dan hampir dinodai saat di Giethroon dulu."Hei tenanglah! kamu sudah aman bersama
Anin terbangun dari tidurnya dengan bersimbah keringat, napasnya tersengal, seketika ia meludah ke arah kiri sambil membaca ta'awudz. Suara tangisan Shafiyyah menyadarkannya dari mimpi buruk yang baru saja ia alami. Digendongnya bayi itu, kemudian ia susui, tak lama tangis Shafiyyah pun mereda. Jantung Anin masih berdetak kencang, berulang kali ia mengucap istighfar agar hatinya tenang.Pikiran dan perasaannya sekarang tertuju pada Leon. Ia bermimpi buruk tentang suaminya itu, dilihatnya sekarang masih pukul tiga dini hari. Ia akan menghubungi Leon setelah menidurkan Shafiyyah kembali. Baru saja Anin memegang ponselnya, Noah ikut terbangun, bocah berusia 6tahun itu pun mengucek matanya yang baru saja terbuka."Bun, Noah mau pipis?" ucapnya sambil mengerjapkan mata."Ya sudah, perlu bunda antar?" tawar Anin sambil tersenyum."Gak perlu Bun, Noah kan dah besal sekalang, Noah berani sendiri kok ke kamar mandi." Oceh pria kecil bermata biru itu."Maa syaa Allah, anak bunda hebat dah beran