“Darah?!” Mata Sean terpaku pada sesuatu yang baru dia lihat ketika dia menyibak selimut penutup ranjang.
Mata Sean menyorot tajam pada satu noda merah kecokelatan yang tampak sangat jelas di hamparan putih. Noda kecil itu tampak terlalu jelas hingga menyita perhatiannya.
Sean kembali mengangkat pandangannya. Dia berusaha mengingat siapa orang yang bersamanya tadi malam.
“Aku harus segera menangkap orang itu, sebelum mulutnya akan membuat ulah! Aku gak akan biarkan orang dengan seenaknya menghancurkan aku!” tekad Sean sambil sedikit menggerutukan giginya dan meremas seprei di tangannya dengan kuat.
Saat ini Sean sedang ada dipuncak kariernya. Meski dia baru saja pindah ke Jakarta, tapi dalam dua tahun ini, dia mampu membawa perusahaan milik papanya itu terbang makin luas menguasai dunia.
Sean tahu, kalau dirinya saat ini sedang menjadi bidikan banyak orang yang menjadi pesaing bisnisnya. Namun Sean selalu tetap waspada pada segala sesuatu yang terjadi kepadanya. Dia tidak mau hancur hanya karena sebuah noda kecil.
Sean mencoba untuk mencari petunjuk siapa orang yang ada bersama dia tadi malam. Tapi sudah beberapa kali dia memeriksa sampai ke sudut kamar pun, tidak ada satu petunjuk yang dia dapatkan.
Sean menghela napas berat. Dia sedikit kesal dengan pikirannya yang sedikit kacau pagi ini. Kepalanya juga masih sedikit pusing, efek dari mabuk dan gairah tinggi tadi malam.
Saat menghadiri pesta jamuan dari salah satu rekanan bisnisnya semalam, entah mengapa Sean merasa tubuhnya sangat terbakar. Dia sampai merasa tidak mampu pulang karena kepalanya sangat pusing. Tapi kejadian setelah itu dia sudah tidak ingat lagi.
“Tadi malem aku sama Lisa. Apa dia orangnya?” ucap Sean mencoba menebak.
“Kalo dia yang ada sama aku tadi malam, pasti dia udah ada di sini saat ini. Wanita ambisius itu, pasti gak akan melewatkan hal kayak gini,” ucap Sean yang kemudian segera menghubungi Bima kembali.
“Iya, Pak. Saya sedang dalam perjalanan menjemput, Bapak,” ucap Bima saat dia menerima panggilan telepon atasannya.
“Mana Lisa?” tanya Sean tanpa menjawab ucapan Bima.
“Tadi Lisa izin gak masuk kantor, Pak. Katanya dia lagi gak enak badan, Pak. Tapi saat saya tanya lagi dia gak jawab. Dia kayaknya lagi bangun tidur gitu.”
“Baru bangun tidur?”
“Iya, Pak. Memangnya ada apa, Pak? Apa saya perlu suruh Lisa ke kantor sekarang?”
“Gak usah. Buruan sini!”
Sean pindah ke sofa, sambil menunggu jemputan Bima. Dia segera memainkan ponselnya, untuk mengecek berkas-berkas yang masuk ke dalam emailnya.
Namun saat Sean sedang sibuk dengan pekerjaannya, sudut matanya sedikit terganggu dengan benda yang mengkilap karena terkena pantulan sinar matahari yang menerobos masuk melalui sela-sela gorden. Sontak saja, pandangan Sean langsung teralihkan ke benda itu.
“Kancing.” Sean mengambil benda itu dan melihatnya sampai dua alis tebalnya hampir terpaut.
“Ini pasti punya wanita itu. Aku harus cari dia sampai dapet, meski harus masuk ke lobang semut!”
Sean berdiri dan kembali duduk. Dia mencoba berkonsentrasi lagi dalam pekerjaannya, tapi entah mengapa pikirannya masih terganggu dengan pertanyaan besar yang menghantuinya saat ini.
Sean kembali mencoba mengedarkan pandangannya lagi. Dia berusaha untuk mencari petunjuk lagi, siapa tahu masih ada petunjuk yang tercecer dan luput dari pandangannya.
Sean mengakhiri pencariannya saat dia mendengar bel di pintu kamarnya. Dia segera meninggalkan kamar itu dengan membawa kancing di saku celananya.
Sepi. Suasana di dalam mobil yang dikendarai oleh Bima sangat sunyi.
Sean yang ada di kursi belakang, memilih untuk tetap memeriksa emailnya, sedangkan Bima tetap terus menyetir, membawa atasannya ke kantor.
Tidak banyak percakapan di dalam mobil yang meluncur di jalanan beraspal itu. Sean hanya fokus pada pekerjaannya yang sudah menjadi santapannya setiap hari.
***
Ellena masih terduduk diam di atas tempat tidurnya. Dia masih menutupi tubuhnya dengan selimut kamar kosnya sambil menahan perih.
Rasa perih di inti tubuhnya memang sudah tidak begitu terasa lagi, tapi rasa perih di hatinya setelah mengalami malam kelam bersama atasannya itu yang membuat Ellena sangat bersedih. Dia tidak menyangka, kedatangannya tadi malam itu akan membawa bencana untuk dia.
“Kenapa Pak Bima harus nyuruh aku ke sana tadi malam. Kenapa gak Pak Bima sendiri yang anter berkas itu. Kenapa harus aku!” ucap Ellena sambil menangis.
“Kalo tadi malam aku gak pergi, aku gak akan mungkin ngalamin nasib kayak gini. Sekarang, aku udah hancur! Aku udah kotor!” pekik Ellena tertahan.
Ellena kembali menumpahkan air matanya di atas bantal. Dia masih menyesali kejadian semalam, yang seolah membuat dia tidak ingin hidup lagi.
Ellena membuka laci lemari kecil yang ada di samping tempat tidurnya. Dia mengacak isi lemari itu, untuk mencari sesuatu yang dia pikir akan mampu membantunya menghilangkan rasa perih yang dia rasakan.
Ellena memegang kuat sebuah cutter di tangannya. Dia mengeluarkan mata pisau tipis itu dari sarungnya, lalu dia menatapnya dengan tajam. Ellena sudah gelap mata.
“Aku udah terlalu kotor. Aku udah gak layak hidup. Aku gak layak ketemu sama ibu lagi. Maafin Ellena, Bu. Maafin Ellena yang udah mengecewakan ibu. Maafkan Ellena, Bu,” ucap Ellena sambil mencucurkan air mata.
Ellena terpuruk. Dia sangat sedih dengan perlakuan Sean tadi malam kepadanya.
Ellena menatap ujung pisau tipis itu sambil terisak. Ada rasa takut tapi dia juga tidak mampu menapaki tanah lagi dengan rasa malu yang menderanya saat ini.
Ellena menempelkan bagian pisau itu di pergelangan tangannya. Ellena memejamkan matanya, sambil sedikit menahan perih di kulit putihnya itu.
“Aach, sakit!” ucap Ellena saat dia merasakan perih di pergelangan tangannya.Ellena yang tadinya ingin mengakhiri hidupnya lewat pisau tipis itu, jadi mengurungkan niatnya karena ya mendengar dering telepon yang cukup nyaring, sehingga merusak konsentrasinya. Sebenarnya Ellena juga tidak yakin dengan tindakannya itu, tapi dia hanya berusaha nekat saja karena merasa hidupnya sudah hancur.“Ibu,” ucap Ellena ketika dia melihat nama ibunya di layar ponsel.Ellena mengambil tisu untuk membungkus goresan luka yang baru saja dia torehkan di pergelangan tangannya. Dia juga meminum air dulu, agar suaranya tidak terlalu serak.“Halo, Bu,” sapa Ellena mencoba bersikap biasa saja agar ibunya tidak curiga kepadanya.“Ell, maaf Ibu ganggu kamu pagi-pagi gini. Tapi kamu lagi sibuk nggak, Ell?” tanya Sari ingin memastikan keadaan putrinya.“Enggak kok Bu, Ellena nggak lagi sibuk. Emang ada apa Bu, kok kayaknya penting banget.”“Anu Ell, ini soal uang sekolah adik kamu. Surat tagihan dari sekolah ud
“Selamat pagi, Pak,” sapa Lisa yang membuat Ellena langsung menoleh.‘Pak Sean. Mati aku! Dia inget aku gak ya?’ ucap Ellena dalam hati yang kaget melihat kehadiran Sean di belakangnya.Tubuh Ellena bergetar melihat sosok yang selama ini selalu dia kagumi itu ada di hadapannya. Entah mengapa tiba-tiba inti tubuhnya terasa perih lagi, seolah sedang mengingatkan Ellena pada luka yang ada di sana.Bayangan malam itu kembali muncul di kepala Ellena. Tubuhnya kaku seolah tidak bisa digerakkan sama sekali.Sean melihat ke arah Ellena. Wanita yang baru pertama kali dia lihat itu seperti sedang sakit karena wajahnya cukup pucat dan beberapa bulir keringat ada di wajahnya.“Kenapa kamu ngeliatin saya kayak gitu?!” tanya Sean sambil menatap aneh ke arah Ellena.“S-sa—saya ....”“Ell, kamu kenapa sih? Ditanya Pak Sean itu loh,” tanya Lisa sambil menyenggol lengan Ellena dengan sikunya.“Hem ... oh, enggak kok. Saya gak papa. Saya gak sakit kok, Pak,” jawab Ellena yang kemudian memilih menundukka
Sean menoleh ke belakang, “Ini kan ....”“Pak, kita udah ditunggu di dalam,” ucap Bima yang mengajak Sean untuk segera masuk.“Oh iya. Ayo kita masuk.”Sebelum melangkah masuk menuju ke ruang briefing, Sean menyempatkan diri untuk menoleh lagi sejenak ke belakang. Dia mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang sepertinya dia kenal.Indra penciuman Sean mendapati sesuatu yang tampak sangat dia kenal. Aroma wanita malam itu tercium di sekitar Sean berdiri saat ini.Sayangnya, terlalu banyak orang di lobby kantor yang cukup luas itu dan tidak ada wajah mereka yang mampu menggetarkan hati Sean. Pria muda nan tampan itu memutuskan untuk mengabaikan perasaan yang baru saja melintas di benaknya.Sean masuk ke dalam ruang briefing dan duduk di barisan paling depan. Dia mulai mendengarkan paparan dari pemberi materi briefing hari ini, yang kebetulan akan membahas tentang proyek besar mereka berikutnya.Tapi entah mengapa pikiran Sean hari ini tidak ada di ruang briefing itu. Pikirannya se
“Temukan siapa pemiliknya dan bawa dia kemari!” perintah Sean dengan tegas. Bima menatap kaget ke arah atasannya. Bukan karena dia tidak mau untuk melaksanakan perintah atasannya, tapi dengan modal sebuah kancing baju saja, Bima menjadi ragu apakah dia bisa menemukan orang yang sedang dicari atasannya itu. Bima menatap ke arah kancing itu lalu kembali ke wajah tampan Sean, “Saya harus mencari pemilik diri kancing baju ini, Pak?” tanya Bima mengulang permintaan atasannya. “Iya. Emang kenapa?” Ada getaran keraguan di dalam suara Sean. “Maaf Pak, tapi ini hanya sebuah kancing dari kemeja murah. Saya yakin kalau kemeja Ini diproduksi masal dan pasti banyak sekali pemiliknya. Apakah Bapak punya petunjuk lain untuk mencari orang yang ingin Bapak temukan?” tanya Bima yang juga ragu dia akan bisa menemukan orang pemilik dari kancing kemeja itu. “Nggak ada. Aku nggak punya petunjuk lain selain kancing itu. Aku memang agak pesimis kalau kita bakal bisa nemuin pemilik dari kancing itu, tapi
“Oh iya, ada satu lagi yang aku baru ingat,” ucap Sean sambil menatap ke arah Bima.“Apa itu, Pak?” Bima sangat antusias.Bima menatap serius ke arah atasannya, berharap petunjuk yang diberikan oleh Sean kali ini bukanlah sebuah petunjuk abal-abal yang tidak ada artinya sama sekali. Bima sangat berharap kalau petunjuk ini akan membawa dirinya sedikit mudah untuk mencari orang yang sedang dicari oleh Sean.“Jaket. Jaketku nggak ada, pasti dia ambil jaket aku waktu dia pergi dari hotel,” ucap Sean yang sangat yakin kalau wanita malamnya itu yang membawa jaketnya pergi.“Jaket? Jaket yang mana, Pak?” Bima ingin petunjuk yang lebih spesifik.“Jaket yang aku beli kemarin waktu kita tugas ke Singapura.”“Oh jaket itu, saya ingat dengan jaket itu. Bapak yakin kalau jaket itu dibawa oleh wanita yang meninggalkan, Bapak?”“Yakin banget. Aku masih ingat kalau malam itu aku datang ke pesta pakai jaket itu. Dan paginya jaket itu udah nggak ada.”Bima terdiam sesaat, “Sepertinya wanita yang
“Heh, kamu. Berhenti!” panggil Sean sedikit berteriak.Panggilan dari Sean itu mampu menghentikan langkah kaki Ellena. Wanita itu langsung merasa tulangnya seperti membeku dan tidak bisa bergerak lagi.Sean masih menetap ke arah Ellena yang kini berada sedikit jauh di depannya. Pandangan mata Sean tertancap lurus ke arah punggung Ellena yang sampai detik ini belum juga bergerak sedikit pun dari posisinya.“Ada apa Pak, kok panggil Ellena?” tanya Bima yang sedikit kaget kenapa Sean sampai memanggil karyawannya seperti itu.“Siapa dia?” tanya Sean mencoba untuk mengenali wanita di depan ya itu.“Ellena. Dia Ellena, karyawan bagian pemasaran yang saat ini sedang ada di urutan teratas daftar promosi kita,” sahut Johan yang sejak tadi tengah berbincang dengan Sean.“Ellena,” panggil Johan agar wanita itu bisa mendekat pada dirinya.‘Aduh, kenapa pakai dipanggil sama Pak Johan segala sih,’ gumam Ellena dalam hati.“Iya, Pak,” jawab Ellena sambil tersenyum aku.Ellena melangkah perlahan
Deg!Ellena kaget mendengar pertanyaan dari Bima. Dia tidak menyangka kalau Bima akan menanyakan hal itu kepadanya saat ini.Padahal Ellena sudah beberapa kali bertemu dengan Bima, tapi pria itu tidak pernah menanyakan hal ini kepadanya. Ellena jadi curiga apakah ada maksud lain dari pertanyaan Bima tersebut.“Ell, kok kamu malah ngelamun. Jadi gimana Ell, kamu waktu itu ketemu nggak sama Pak Sean?” tanya Bima mengulang kembali pertanyaannya.“Oh maaf Pak, saya agak nggak konsen gara-gara lapar. Soal malam itu, saya nggak jadi ketemu sama Pak Sean,” bohong Ellena yang tidak ingin Bima tahu kalau dia malam itu bersama dengan Sean.“Beneran kamu nggak ketemu sama Pak Sean?”“Iya, Pak. Malam itu saya emang datang ke hotel dan langsung naik ke kamar yang Bapak sebutkan. Tapi waktu itu saya nunggu agak lama di depan pintu, tetap aja Pak Sean nggak bukain pintu kamarnya. Padahal saya udah nekan bel pintu beberapa kali, mungkin Pam Sean udah tidur kali ya, Pak. Ya terus saya pulang aja.”
“Eh eh ... lihat tuh siapa yang datang. Nggak salah tuh si ganteng makan di sini,” ucap salah satu teman Ellena yang di depannya. “Si ganteng? Siapa lagi sih itu.” Ellena memutar badannya untuk melihat orang yang ada di belakangnya. Ellena melihat ada dua orang pria masuk ke dalam area kantin kantor dan menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin itu. Suasana kantin yang tadinya riuh dengan candaan santai para karyawan, langsung menjadi sepi ketika sosok yang tampak sangat dingin itu muncul di sana. Sean seolah sedang menyebarkan aura dinginnya ke setiap sudut ruangan kantin. Banyak orang yang kini memilih untuk duduk diam dan segera menghabiskan makanan mereka, daripada harus banyak berinteraksi dengan rekan sejawat mereka seperti tadi. “Wah, gila ya. Langsung sepi loh,” celetuk Vira sambil sedikit berbisik tanpa berani melihat ke arah Sean. “Udah buruan makan. 15 menit lagi jam istirahat selesai, jangan cari masalah,” balas Ellena mengingatkan sahabatnya itu agar sege
“Selamat pagi Pak Sean,” sapa ramah Lisa sambil memamerkan senyum terindahnya pagi ini untuk sang atasan.Namun sayangnya lagi-lagi Lisa mendapatkan ekspresi dingin dari pria tampan itu. Sean hanya berjalan melintasinya tanpa melihat atau sekedar melirik ke arah Lisa pria itu berjalan seolah tidak ada seorangpun di sekelilingnya kecuali dia dan Bima.Lisa memonyongkan bibirnya ketika melihat Sean melewatinya begitu saja. Pria itu terus saja bersikap dingin meskipun dia selalu bekerja di dekatnya. Tapi Lisa berusaha untuk tetap tersenyum karena dia memiliki sebuah kejutan untuk Sean yang sudah dia letakkan di dalam ruang kerja sang atasan tampan.Sean masuk ke dalam ruang kerjanya bersama Bima sambil mendengarkan rentetan jadwal yang harus dia hadiri hari ini. Mata Sean terhenti pada sebuah paper bag berukuran cukup besar yang ada di atas meja kerjanya.“Apa itu?” tanya Sean.“Saya tidak tahu, Pak. Saya akan periksa,” jawab Bima yang kemudian segera mengambil paper bag itu untuk dia p
“Pak Johan, saya telat ya?” tanya Ellena ketika dia baru sampai di Cafe dan sudah melihat Lisa duduk di depan Johan. “Enggak kok, nggak apa-apa. Minum dulu Ell, kayaknya kamu capek banget habis lari-larian.” Johan menuangkan air ke dalam gelas minum dan dia sodorkan pada Ellena. “Makasih, Pak,” ucap Ellena sambil meletakkan paper bag belanjaannya, lalu segera menegak habis air yang disuguhkan oleh Johan. Lisa melihat ke arah paper bag milik Ellena yang ada di atas meja, “Waduh! Curiga kita beliin barang yang sama nih, tapi lain toko,” celetuk Lisa. “Emang kamu beli apa, Lis?” tanya Johan. Lisa meletakkan paper bag belanjaannya di atas meja, headset, “Senjata untuk para introvert yang malas keluar rumah,” jawab Lisa sambil menyodorkan barang belanjaannya. “Eh, seriusan kamu juga beli headset?” Ellena kaget dengan pilihan barang yang dibeli oleh sahabatnya. “Iya. Dan kalau boleh nebak, pasti kamu juga beli barang yang sama kan?” “Beneran Ell, kamu juga beli headset?” Johan ingin
“Disingkirkan.Tubuh Ellena bergetar ketika dia mendengar kata-kata tersebut. Entah mengapa kata-kata itu terdengar seperti sebuah ancaman yang sangat menakutkan bagi dia.Kalau hanya disingkirkan dari pekerjaannya alias dipecat, mungkin Ellena masih bisa mencari pekerjaan lain. Tapi kalau yang dimaksud oleh Lisa arti disingkirkan itu adalah menghilangkan nyawa, tentu saja ini merupakan sebuah beban untuk Ellena.Dia tidak mungkin meninggalkan ibu dan adiknya yang saat ini tengah sangat bergantung pada dirinya. Ellena sampai bergidik mendengar penuturan dari sahabatnya itu.“Kamu kenapa, Ell?” tanya Lisa yang melihat ekspresi wajah Ellena berubah.“Oh enggak kok, aku nggak apa-apa. Tapi emang bener ya Pak Sean itu orangnya sekejam itu?” tanya Ellena ingin tahu dan sekedar ingin memastikan bagaimana nasibnya jika nanti Sean menemukannya.“Dari kabar yang aku dengar sih kayak gitu. Tapi nggak tau juga ya ... soalnya kan bisa aja itu cuma gosip. Tapi setahu aku Pak Sean itu emang nggak
“Apa ini Elll?” tanya Lisa.Mendengar apa yang dikatakan oleh Lisa, Ellena segera menoleh ke arah temannya itu. Matanya langsung terbelalak lebar melihat Lisa memegang sesuatu di tangannya.Lisa menunjukkan pil penunda kehamilan yang sempat dibeli oleh Ellena di apotek beberapa hari lalu. Dia sepertinya lupa menyimpan pil itu di tempatnya, sehingga Lisa bisa menemukannya.“Loh, kok ada di sini sih. Sembarangan aja deh naruhnya,” ucap Ellena berusaha untuk tetap tenang agar Lisa tidak curiga kepadanya.Punya siapa sih, Ell? Bukannya itu kayak pil KB ya?” tanya Lisa yang tidak menyangka dia akan menemukan barang seperti itu di kamar Ellena.“Punya salah satu anak di sini,” jawab Ellena yang kemudian segera memasukkan pil itu ke dalam laci meja yang ada di kamarnya.“Punya anak di sini? Kok ada di lemari kamu? Itu bukan punya kamu kan, El?” selidik Lisa.Ellena menoleh ke arah Lisa, Menurut kamu, orang kaya aku butuh ya pil kayak gitu?” Ellena meminta pendapat dari temannya itu.Lis
“Apa sudah ketemu, Pak?” tanya Bima sedikit berbisik saat dia mengikuti langkah atasannya dari belakang.“Sudah.”Sean terus melangkah dengan pasti menuju ke ruang kerjanya kembali. Dia melangkah sedikit cepat untuk menuju ke lift yang akan mengantarkannya kembali ke ruang kerjanya.Sean memang sengaja melakukan inspeksi mendadak ke kantin, karena dia mendapatkan laporan dari Bima kalau Ellena datang ke hotel pada malam itu. Namun menurut Bima juga, Ellena tidak bertemu dengan Sean meskipun Ellena datang ke hotel.Sean semakin yakin kalau wanita yang bersamanya itu adalah Ellena. Tapi setelah kembali dari kantin, Sean kembali meragu dengan apa yang sudah dia yakini tadi.“Apa benar cuma Ellena yang memakai parfum itu, Pak?” tanya Bima ketika dia dan Sean sudah kembali ke ruang kerja Sean.“Gak. Ada dua orang lagi yang memakai parfum dengan aroma yang mirip dengan yang dipakai Ellena. Coba selidiki mereka, termasuk apa saja yang mereka lakukan setelah mereka pulang dari kantor,” peri
“Eh eh ... lihat tuh siapa yang datang. Nggak salah tuh si ganteng makan di sini,” ucap salah satu teman Ellena yang di depannya. “Si ganteng? Siapa lagi sih itu.” Ellena memutar badannya untuk melihat orang yang ada di belakangnya. Ellena melihat ada dua orang pria masuk ke dalam area kantin kantor dan menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin itu. Suasana kantin yang tadinya riuh dengan candaan santai para karyawan, langsung menjadi sepi ketika sosok yang tampak sangat dingin itu muncul di sana. Sean seolah sedang menyebarkan aura dinginnya ke setiap sudut ruangan kantin. Banyak orang yang kini memilih untuk duduk diam dan segera menghabiskan makanan mereka, daripada harus banyak berinteraksi dengan rekan sejawat mereka seperti tadi. “Wah, gila ya. Langsung sepi loh,” celetuk Vira sambil sedikit berbisik tanpa berani melihat ke arah Sean. “Udah buruan makan. 15 menit lagi jam istirahat selesai, jangan cari masalah,” balas Ellena mengingatkan sahabatnya itu agar sege
Deg!Ellena kaget mendengar pertanyaan dari Bima. Dia tidak menyangka kalau Bima akan menanyakan hal itu kepadanya saat ini.Padahal Ellena sudah beberapa kali bertemu dengan Bima, tapi pria itu tidak pernah menanyakan hal ini kepadanya. Ellena jadi curiga apakah ada maksud lain dari pertanyaan Bima tersebut.“Ell, kok kamu malah ngelamun. Jadi gimana Ell, kamu waktu itu ketemu nggak sama Pak Sean?” tanya Bima mengulang kembali pertanyaannya.“Oh maaf Pak, saya agak nggak konsen gara-gara lapar. Soal malam itu, saya nggak jadi ketemu sama Pak Sean,” bohong Ellena yang tidak ingin Bima tahu kalau dia malam itu bersama dengan Sean.“Beneran kamu nggak ketemu sama Pak Sean?”“Iya, Pak. Malam itu saya emang datang ke hotel dan langsung naik ke kamar yang Bapak sebutkan. Tapi waktu itu saya nunggu agak lama di depan pintu, tetap aja Pak Sean nggak bukain pintu kamarnya. Padahal saya udah nekan bel pintu beberapa kali, mungkin Pam Sean udah tidur kali ya, Pak. Ya terus saya pulang aja.”
“Heh, kamu. Berhenti!” panggil Sean sedikit berteriak.Panggilan dari Sean itu mampu menghentikan langkah kaki Ellena. Wanita itu langsung merasa tulangnya seperti membeku dan tidak bisa bergerak lagi.Sean masih menetap ke arah Ellena yang kini berada sedikit jauh di depannya. Pandangan mata Sean tertancap lurus ke arah punggung Ellena yang sampai detik ini belum juga bergerak sedikit pun dari posisinya.“Ada apa Pak, kok panggil Ellena?” tanya Bima yang sedikit kaget kenapa Sean sampai memanggil karyawannya seperti itu.“Siapa dia?” tanya Sean mencoba untuk mengenali wanita di depan ya itu.“Ellena. Dia Ellena, karyawan bagian pemasaran yang saat ini sedang ada di urutan teratas daftar promosi kita,” sahut Johan yang sejak tadi tengah berbincang dengan Sean.“Ellena,” panggil Johan agar wanita itu bisa mendekat pada dirinya.‘Aduh, kenapa pakai dipanggil sama Pak Johan segala sih,’ gumam Ellena dalam hati.“Iya, Pak,” jawab Ellena sambil tersenyum aku.Ellena melangkah perlahan
“Oh iya, ada satu lagi yang aku baru ingat,” ucap Sean sambil menatap ke arah Bima.“Apa itu, Pak?” Bima sangat antusias.Bima menatap serius ke arah atasannya, berharap petunjuk yang diberikan oleh Sean kali ini bukanlah sebuah petunjuk abal-abal yang tidak ada artinya sama sekali. Bima sangat berharap kalau petunjuk ini akan membawa dirinya sedikit mudah untuk mencari orang yang sedang dicari oleh Sean.“Jaket. Jaketku nggak ada, pasti dia ambil jaket aku waktu dia pergi dari hotel,” ucap Sean yang sangat yakin kalau wanita malamnya itu yang membawa jaketnya pergi.“Jaket? Jaket yang mana, Pak?” Bima ingin petunjuk yang lebih spesifik.“Jaket yang aku beli kemarin waktu kita tugas ke Singapura.”“Oh jaket itu, saya ingat dengan jaket itu. Bapak yakin kalau jaket itu dibawa oleh wanita yang meninggalkan, Bapak?”“Yakin banget. Aku masih ingat kalau malam itu aku datang ke pesta pakai jaket itu. Dan paginya jaket itu udah nggak ada.”Bima terdiam sesaat, “Sepertinya wanita yang