“Jangan, Pak! Tolong sadarlah!”
Ellena berusaha keras untuk melepaskan cengkraman pria yang saat ini sedang bersamanya. Tubuhnya yang lebih mungil jika dibandingkan dengan Sean, tentu saja harus mengeluarkan tenaga ekstra agar pria itu bisa menjauh darinya.
Sean yang malam ini seperti orang yang sedang kesetanan itu tidak peduli atas penolakan Ellena dan serangan kecil Ellena di tubuhnya. Sean yang sudah dipenuhi oleh gairah itu ingin menuntaskan semuanya pada wanita yang saat ini ada dalam kuasanya itu.
Kraak!
Sean membuka paksa kemeja yang dikenakan oleh Ellena hingga kancing yang tadinya menempel kuat di depan dada Ellena kini harus terpelanting tak tentu arah. Ellena sudah menangis sesenggukkan sambil berusaha menjauhkan dirinya dari lingkungan Sean meski tenaganya sudah mulai habis.
“Pak, sadar, Pak. Sadar!” ucap Ellena yang lebih terdengar seperti sebuah teriakan.
“Diam kamu!” bentak Sean.
Aroma alkohol langsung memenuhi rongga hidung Ellena ketika Sean berbicara. Tampaknya pria muda nan tampan itu sudah dipengaruhi oleh alkohol yang membuatnya berubah menjadi serigala lapar malam ini.
Sean langsung menyeret Ellena dan membantingnya begitu saja ke atas peraduan. Tubuh Ellena sedikit terpental sehingga membuat kemejanya terbuka dan menampilkan pemandangan indah yang membuat Sean semakin lapar.
Ellena yang melihat tatapan liar Sean langsung menutup kemejanya dan berusaha untuk bangun. Tapi baru saja dia akan bangun, Sean sudah langsung mendidih tuh kecil dan kurusnya itu.
“Jangan, Pak. Jangan!” teriak Ellena sambil menangis saat bibir Sean kini menjamah lehernya.
Sean yang tidak peduli pada teriakan Ellena terus saja melakukan aktivitasnya. Yang ada dalam pikiran pria itu hanyalah ingin melepaskan hasrat yang menghubungkan tinggi secara tiba-tiba malam ini.
Sean bahkan sedikit melakukan pemaksaan pada Ellena ketika wanita itu berusaha untuk menghalangi Sean ngelucuti pakaiannya. Ellena yang sudah kehabisan tenaga kini hanya bisa menangis melihat Sean yang semakin beringas kepadanya.
Butiran bening itu terus mengalir membasahi pipi Ellena saat Sean sudah menguasainya. Keselamatan mahkota yang selama ini dia jaga sedang terancam, tapi Ellena sudah tidak lagi memiliki tenaga untuk melawan Sean.
Sakit. Kehormatannya yang direnggut paksa oleh Sean membuatnya sakit. Sakit yang dalam, secara fisik maupun mental. Ellena tidak menyangka kalau hidupnya akan dihancurkan oleh pria mabuk seperti Sean.
***
Ellena terbangun dari tidurnya. Tenggorokannya terasa sangat panas dan kering sehingga membuatnya ingin segera mencari air untuk membasahi tenggorokannya itu.
Ellena menggeliat karena badannya terasa sangat sakit. Dia sampai merintih ketika dia berusaha bangun dari tidurnya.
“Aduuh! Sakit banget badanku,” gumam Ellena dengan suara serak.
Baru saja kesadaran Ellena kembali, bayangan akan kejadian tadi malam langsung terputar kembali dalam ingatannya. Ellena terbayang bagaimana penderitaan yang dia rasakan tadi malam di bawah kungkungan Sean.
Ellena melihat tubuhnya yang ada di bawah selimut. Dia berharap tadi malam hanyalah sebuah mimpi buruk yang menimpanya. Ellena berdoa sambil memejamkan matanya sebelum dia melihat keadaannya di bawah selimut tebal itu.
“Ya Tuhan!” Ellena hampir berteriak melihat tubuhnya tidak berpakaian di dalam selimut tebal itu.
Bulir air mata kembali menetes di pipi Ellena. Dadanya terasa sangat sesak karena hidupnya telah dihancurkan oleh seseorang begitu saja. Ellena mengantukkan keningnya ke lututnya yang saat ini sedang dia peluk.
Dengkuran lembut terdengar di telinga Ellena. Wanita yang sedang berlinang air mata itu menoleh ke samping dan mendapati seorang pria yang sedang tidur membelakanginya. Pria yang tadi malam merenggut kesuciannya dengan paksa.
Tidak sepatah kata pun yang bisa keluar dari mulut Ellena saat ini. Dadanya terasa kian sesak dan dipenuhi dengan luka yang ditorehkan oleh orang yang sempat dia sanjung karena menjadi panutannya dalam bekerja.
Dengan mengumpulkan sisa tenaganya, Ellena berusaha untuk turun dari tempat tidur. Dia tidak ingin berlama-lama di sana, karena dia tidak ingin terlalu lama melihat paras tampan Sean yang sempat dia kagumi itu.
“Aww.” Ellena merintih pelan.
Dengan langkah kaki tertatih, Ellena memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Dia kemudian berjalan perlahan sambil menahan sakit di inti tubuhnya menuju ke kamar mandi. Perih dan terasa sangat nyeri, membuat pergerakan Ellena kian terbatas.
Ellena mengunci pintu kamar mandi. Dia ingin segera pergi dari tempat itu sebelum atasannya itu bangun. Ellena tidak ingin terlihat menyedihkan di depan Sean.
Ellena segera membasuh wajahnya dengan air dingin di wastafel, lalu sedikit merapikan rambutnya yang sudah seperti singa itu.
Matanya bengkak, bahkan bukan hanya mata, tapi semua wajah Ellena bengkak setelah dia banyak menangis. Bayangan kejadian tadi malam, terus saja berputar di memori ingatannya. Membuat Ellena kian sedih dan terpuruk.
Ellena semakin kaget saat dia mendapati hampir semua kancing kemejanya terlepas. Dia semakin bingung, karena dia tidak akan mungkin keluar dengan pakaian terbuka seperti itu.
Ellena keluar dari kamar mandi sambil mengendap-endap. Dia ingin memastikan keadaan di luar, karena dia takut Sean sudah bangun.
“Aku harus cepat pergi dari sini. Aku gak mau terus di sini. Aku gak mau tampak lebih menyedihkan di depan Pak Sean.” Ellena menyambar jaket milik Sean yang tergeletak di lantai untuk dia kenakan.
Ellena pernah mendengar gosip beredar di kantor kalau atasannya itu sudah biasa menghabiskan malam dengan siapa saja. Dan kalau ada orang yang menuntut tanggung jawab, maka Sean akan membayarnya seperti seorang wanita malam.
Harga diri Ellena pasti akan lebih terluka jika itu sampai terjadi. Dia tidak mau terlihat lebih rendah dari orang yang telah menghancurkan kehidupannya.
Saat Ellena baru saja menutup pintu kamar, kilatan sinar mentari yang masuk melalui gorden kamar, menggoda mata Sean untuk terbuka. Dengan malas, pria yang masih bergelung dalam selimut hangat itu mulai membuka matanya secara perlahan.
Sean mengerjapkan matanya beberapa kali sambil mengumpulkan nyawanya. Dia mencoba mencari tahu di mana dia berada saat ini.
“Sakit banget kepalaku,” ucap Sean sambil menyugar rambutnya sambil sesekali menggerakkan lehernya yang terasa kaku.
Sekelebat kejadian tadi malam terlintas di pikiran Sean. Dia langsung membuka matanya dengan sempurna lalu melihat ke sebelah dia tidur.
“Sama siapa aku semalam?” ucap Sean yang tidak mengingat sosok wanita yang memberinya kepuasan tadi malam.
Sean tidak mendapati ada orang lain di kamar ini. Bahkan setelah dia mengedarkan pandangannya pun, tampaknya dia benar sendiri di kamar ini.
Tapi anehnya, kejadian itu terasa nyata. Bahkan Sean pun masih merasakan sisa kenikmatan itu pagi ini. Tidurnya juga terlalu pulas, padahal dia termasuk orang yang susah mendapatkan tidur nyenyak terlalu lama.
“Siapa dia? Aku harus cari tau siapa orangnya. Aku gak mau orang itu akan merusak reputasiku kalo dia ngomong sembarangan!” geram Sean sambil sedikit menyipitkan matanya.
Pagi ini Sean ada janji penting yang harus dia hadiri. Sean tidak ingin membuat kliennya itu menunggu terlalu lama, jadi dia harus segera membersihkan diri dan kembali bekerja.
Sean keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Sean langsung mencari ponselnya untuk menghubungi sekretarisnya.
“Ke mana dia! Berani dia abaikan telponku!” geram Sean semakin kesal.
Sean segera memindah panggilannya ke asisten pribadinya. Dia tahu saat ini Bima sedang sakit, oleh karena itu, tadi malam dia ditemani oleh Lisa untuk bertemu dengan kliennya.
“Halo, Pak. Sel ....”
“Jemput saya di Hotel Cempaka, sekarang!” Sean langsung memutus panggilan teleponnya.
Setelah memberikan perintah pada asisten pribadinya, Sean segera memutus sambungan teleponnya. Dia ingin segera bersiap untuk bekerja, karena ini adalah salah satu kegiatan favorit Sean.
Sean mengambil pakaiannya yang ada di lantai hotel. Saat dia sudah memakai celana dan kemejanya, Sean teringat kalau tadi malam dia memakai jaket. Sean pun mencari-cari jaket itu, karena dia tidak melihatnya.
Sean menyibak tumpukan selimut di atas ranjang, “Darah?!”
“Darah?!” Mata Sean terpaku pada sesuatu yang baru dia lihat ketika dia menyibak selimut penutup ranjang.Mata Sean menyorot tajam pada satu noda merah kecokelatan yang tampak sangat jelas di hamparan putih. Noda kecil itu tampak terlalu jelas hingga menyita perhatiannya.Sean kembali mengangkat pandangannya. Dia berusaha mengingat siapa orang yang bersamanya tadi malam.“Aku harus segera menangkap orang itu, sebelum mulutnya akan membuat ulah! Aku gak akan biarkan orang dengan seenaknya menghancurkan aku!” tekad Sean sambil sedikit menggerutukan giginya dan meremas seprei di tangannya dengan kuat.Saat ini Sean sedang ada dipuncak kariernya. Meski dia baru saja pindah ke Jakarta, tapi dalam dua tahun ini, dia mampu membawa perusahaan milik papanya itu terbang makin luas menguasai dunia.Sean tahu, kalau dirinya saat ini sedang menjadi bidikan banyak orang yang menjadi pesaing bisnisnya. Namun Sean selalu tetap waspada pada segala sesuatu yang terjadi kepadanya. Dia tidak mau hancur h
“Aach, sakit!” ucap Ellena saat dia merasakan perih di pergelangan tangannya.Ellena yang tadinya ingin mengakhiri hidupnya lewat pisau tipis itu, jadi mengurungkan niatnya karena ya mendengar dering telepon yang cukup nyaring, sehingga merusak konsentrasinya. Sebenarnya Ellena juga tidak yakin dengan tindakannya itu, tapi dia hanya berusaha nekat saja karena merasa hidupnya sudah hancur.“Ibu,” ucap Ellena ketika dia melihat nama ibunya di layar ponsel.Ellena mengambil tisu untuk membungkus goresan luka yang baru saja dia torehkan di pergelangan tangannya. Dia juga meminum air dulu, agar suaranya tidak terlalu serak.“Halo, Bu,” sapa Ellena mencoba bersikap biasa saja agar ibunya tidak curiga kepadanya.“Ell, maaf Ibu ganggu kamu pagi-pagi gini. Tapi kamu lagi sibuk nggak, Ell?” tanya Sari ingin memastikan keadaan putrinya.“Enggak kok Bu, Ellena nggak lagi sibuk. Emang ada apa Bu, kok kayaknya penting banget.”“Anu Ell, ini soal uang sekolah adik kamu. Surat tagihan dari sekolah ud
“Selamat pagi, Pak,” sapa Lisa yang membuat Ellena langsung menoleh.‘Pak Sean. Mati aku! Dia inget aku gak ya?’ ucap Ellena dalam hati yang kaget melihat kehadiran Sean di belakangnya.Tubuh Ellena bergetar melihat sosok yang selama ini selalu dia kagumi itu ada di hadapannya. Entah mengapa tiba-tiba inti tubuhnya terasa perih lagi, seolah sedang mengingatkan Ellena pada luka yang ada di sana.Bayangan malam itu kembali muncul di kepala Ellena. Tubuhnya kaku seolah tidak bisa digerakkan sama sekali.Sean melihat ke arah Ellena. Wanita yang baru pertama kali dia lihat itu seperti sedang sakit karena wajahnya cukup pucat dan beberapa bulir keringat ada di wajahnya.“Kenapa kamu ngeliatin saya kayak gitu?!” tanya Sean sambil menatap aneh ke arah Ellena.“S-sa—saya ....”“Ell, kamu kenapa sih? Ditanya Pak Sean itu loh,” tanya Lisa sambil menyenggol lengan Ellena dengan sikunya.“Hem ... oh, enggak kok. Saya gak papa. Saya gak sakit kok, Pak,” jawab Ellena yang kemudian memilih menundukka
Sean menoleh ke belakang, “Ini kan ....”“Pak, kita udah ditunggu di dalam,” ucap Bima yang mengajak Sean untuk segera masuk.“Oh iya. Ayo kita masuk.”Sebelum melangkah masuk menuju ke ruang briefing, Sean menyempatkan diri untuk menoleh lagi sejenak ke belakang. Dia mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang sepertinya dia kenal.Indra penciuman Sean mendapati sesuatu yang tampak sangat dia kenal. Aroma wanita malam itu tercium di sekitar Sean berdiri saat ini.Sayangnya, terlalu banyak orang di lobby kantor yang cukup luas itu dan tidak ada wajah mereka yang mampu menggetarkan hati Sean. Pria muda nan tampan itu memutuskan untuk mengabaikan perasaan yang baru saja melintas di benaknya.Sean masuk ke dalam ruang briefing dan duduk di barisan paling depan. Dia mulai mendengarkan paparan dari pemberi materi briefing hari ini, yang kebetulan akan membahas tentang proyek besar mereka berikutnya.Tapi entah mengapa pikiran Sean hari ini tidak ada di ruang briefing itu. Pikirannya se
“Temukan siapa pemiliknya dan bawa dia kemari!” perintah Sean dengan tegas. Bima menatap kaget ke arah atasannya. Bukan karena dia tidak mau untuk melaksanakan perintah atasannya, tapi dengan modal sebuah kancing baju saja, Bima menjadi ragu apakah dia bisa menemukan orang yang sedang dicari atasannya itu. Bima menatap ke arah kancing itu lalu kembali ke wajah tampan Sean, “Saya harus mencari pemilik diri kancing baju ini, Pak?” tanya Bima mengulang permintaan atasannya. “Iya. Emang kenapa?” Ada getaran keraguan di dalam suara Sean. “Maaf Pak, tapi ini hanya sebuah kancing dari kemeja murah. Saya yakin kalau kemeja Ini diproduksi masal dan pasti banyak sekali pemiliknya. Apakah Bapak punya petunjuk lain untuk mencari orang yang ingin Bapak temukan?” tanya Bima yang juga ragu dia akan bisa menemukan orang pemilik dari kancing kemeja itu. “Nggak ada. Aku nggak punya petunjuk lain selain kancing itu. Aku memang agak pesimis kalau kita bakal bisa nemuin pemilik dari kancing itu, tapi
“Oh iya, ada satu lagi yang aku baru ingat,” ucap Sean sambil menatap ke arah Bima.“Apa itu, Pak?” Bima sangat antusias.Bima menatap serius ke arah atasannya, berharap petunjuk yang diberikan oleh Sean kali ini bukanlah sebuah petunjuk abal-abal yang tidak ada artinya sama sekali. Bima sangat berharap kalau petunjuk ini akan membawa dirinya sedikit mudah untuk mencari orang yang sedang dicari oleh Sean.“Jaket. Jaketku nggak ada, pasti dia ambil jaket aku waktu dia pergi dari hotel,” ucap Sean yang sangat yakin kalau wanita malamnya itu yang membawa jaketnya pergi.“Jaket? Jaket yang mana, Pak?” Bima ingin petunjuk yang lebih spesifik.“Jaket yang aku beli kemarin waktu kita tugas ke Singapura.”“Oh jaket itu, saya ingat dengan jaket itu. Bapak yakin kalau jaket itu dibawa oleh wanita yang meninggalkan, Bapak?”“Yakin banget. Aku masih ingat kalau malam itu aku datang ke pesta pakai jaket itu. Dan paginya jaket itu udah nggak ada.”Bima terdiam sesaat, “Sepertinya wanita yang
“Heh, kamu. Berhenti!” panggil Sean sedikit berteriak.Panggilan dari Sean itu mampu menghentikan langkah kaki Ellena. Wanita itu langsung merasa tulangnya seperti membeku dan tidak bisa bergerak lagi.Sean masih menetap ke arah Ellena yang kini berada sedikit jauh di depannya. Pandangan mata Sean tertancap lurus ke arah punggung Ellena yang sampai detik ini belum juga bergerak sedikit pun dari posisinya.“Ada apa Pak, kok panggil Ellena?” tanya Bima yang sedikit kaget kenapa Sean sampai memanggil karyawannya seperti itu.“Siapa dia?” tanya Sean mencoba untuk mengenali wanita di depan ya itu.“Ellena. Dia Ellena, karyawan bagian pemasaran yang saat ini sedang ada di urutan teratas daftar promosi kita,” sahut Johan yang sejak tadi tengah berbincang dengan Sean.“Ellena,” panggil Johan agar wanita itu bisa mendekat pada dirinya.‘Aduh, kenapa pakai dipanggil sama Pak Johan segala sih,’ gumam Ellena dalam hati.“Iya, Pak,” jawab Ellena sambil tersenyum aku.Ellena melangkah perlahan
Deg!Ellena kaget mendengar pertanyaan dari Bima. Dia tidak menyangka kalau Bima akan menanyakan hal itu kepadanya saat ini.Padahal Ellena sudah beberapa kali bertemu dengan Bima, tapi pria itu tidak pernah menanyakan hal ini kepadanya. Ellena jadi curiga apakah ada maksud lain dari pertanyaan Bima tersebut.“Ell, kok kamu malah ngelamun. Jadi gimana Ell, kamu waktu itu ketemu nggak sama Pak Sean?” tanya Bima mengulang kembali pertanyaannya.“Oh maaf Pak, saya agak nggak konsen gara-gara lapar. Soal malam itu, saya nggak jadi ketemu sama Pak Sean,” bohong Ellena yang tidak ingin Bima tahu kalau dia malam itu bersama dengan Sean.“Beneran kamu nggak ketemu sama Pak Sean?”“Iya, Pak. Malam itu saya emang datang ke hotel dan langsung naik ke kamar yang Bapak sebutkan. Tapi waktu itu saya nunggu agak lama di depan pintu, tetap aja Pak Sean nggak bukain pintu kamarnya. Padahal saya udah nekan bel pintu beberapa kali, mungkin Pam Sean udah tidur kali ya, Pak. Ya terus saya pulang aja.”
“Selamat pagi Pak Sean,” sapa ramah Lisa sambil memamerkan senyum terindahnya pagi ini untuk sang atasan.Namun sayangnya lagi-lagi Lisa mendapatkan ekspresi dingin dari pria tampan itu. Sean hanya berjalan melintasinya tanpa melihat atau sekedar melirik ke arah Lisa pria itu berjalan seolah tidak ada seorangpun di sekelilingnya kecuali dia dan Bima.Lisa memonyongkan bibirnya ketika melihat Sean melewatinya begitu saja. Pria itu terus saja bersikap dingin meskipun dia selalu bekerja di dekatnya. Tapi Lisa berusaha untuk tetap tersenyum karena dia memiliki sebuah kejutan untuk Sean yang sudah dia letakkan di dalam ruang kerja sang atasan tampan.Sean masuk ke dalam ruang kerjanya bersama Bima sambil mendengarkan rentetan jadwal yang harus dia hadiri hari ini. Mata Sean terhenti pada sebuah paper bag berukuran cukup besar yang ada di atas meja kerjanya.“Apa itu?” tanya Sean.“Saya tidak tahu, Pak. Saya akan periksa,” jawab Bima yang kemudian segera mengambil paper bag itu untuk dia p
“Pak Johan, saya telat ya?” tanya Ellena ketika dia baru sampai di Cafe dan sudah melihat Lisa duduk di depan Johan. “Enggak kok, nggak apa-apa. Minum dulu Ell, kayaknya kamu capek banget habis lari-larian.” Johan menuangkan air ke dalam gelas minum dan dia sodorkan pada Ellena. “Makasih, Pak,” ucap Ellena sambil meletakkan paper bag belanjaannya, lalu segera menegak habis air yang disuguhkan oleh Johan. Lisa melihat ke arah paper bag milik Ellena yang ada di atas meja, “Waduh! Curiga kita beliin barang yang sama nih, tapi lain toko,” celetuk Lisa. “Emang kamu beli apa, Lis?” tanya Johan. Lisa meletakkan paper bag belanjaannya di atas meja, headset, “Senjata untuk para introvert yang malas keluar rumah,” jawab Lisa sambil menyodorkan barang belanjaannya. “Eh, seriusan kamu juga beli headset?” Ellena kaget dengan pilihan barang yang dibeli oleh sahabatnya. “Iya. Dan kalau boleh nebak, pasti kamu juga beli barang yang sama kan?” “Beneran Ell, kamu juga beli headset?” Johan ingin
“Disingkirkan.Tubuh Ellena bergetar ketika dia mendengar kata-kata tersebut. Entah mengapa kata-kata itu terdengar seperti sebuah ancaman yang sangat menakutkan bagi dia.Kalau hanya disingkirkan dari pekerjaannya alias dipecat, mungkin Ellena masih bisa mencari pekerjaan lain. Tapi kalau yang dimaksud oleh Lisa arti disingkirkan itu adalah menghilangkan nyawa, tentu saja ini merupakan sebuah beban untuk Ellena.Dia tidak mungkin meninggalkan ibu dan adiknya yang saat ini tengah sangat bergantung pada dirinya. Ellena sampai bergidik mendengar penuturan dari sahabatnya itu.“Kamu kenapa, Ell?” tanya Lisa yang melihat ekspresi wajah Ellena berubah.“Oh enggak kok, aku nggak apa-apa. Tapi emang bener ya Pak Sean itu orangnya sekejam itu?” tanya Ellena ingin tahu dan sekedar ingin memastikan bagaimana nasibnya jika nanti Sean menemukannya.“Dari kabar yang aku dengar sih kayak gitu. Tapi nggak tau juga ya ... soalnya kan bisa aja itu cuma gosip. Tapi setahu aku Pak Sean itu emang nggak
“Apa ini Elll?” tanya Lisa.Mendengar apa yang dikatakan oleh Lisa, Ellena segera menoleh ke arah temannya itu. Matanya langsung terbelalak lebar melihat Lisa memegang sesuatu di tangannya.Lisa menunjukkan pil penunda kehamilan yang sempat dibeli oleh Ellena di apotek beberapa hari lalu. Dia sepertinya lupa menyimpan pil itu di tempatnya, sehingga Lisa bisa menemukannya.“Loh, kok ada di sini sih. Sembarangan aja deh naruhnya,” ucap Ellena berusaha untuk tetap tenang agar Lisa tidak curiga kepadanya.Punya siapa sih, Ell? Bukannya itu kayak pil KB ya?” tanya Lisa yang tidak menyangka dia akan menemukan barang seperti itu di kamar Ellena.“Punya salah satu anak di sini,” jawab Ellena yang kemudian segera memasukkan pil itu ke dalam laci meja yang ada di kamarnya.“Punya anak di sini? Kok ada di lemari kamu? Itu bukan punya kamu kan, El?” selidik Lisa.Ellena menoleh ke arah Lisa, Menurut kamu, orang kaya aku butuh ya pil kayak gitu?” Ellena meminta pendapat dari temannya itu.Lis
“Apa sudah ketemu, Pak?” tanya Bima sedikit berbisik saat dia mengikuti langkah atasannya dari belakang.“Sudah.”Sean terus melangkah dengan pasti menuju ke ruang kerjanya kembali. Dia melangkah sedikit cepat untuk menuju ke lift yang akan mengantarkannya kembali ke ruang kerjanya.Sean memang sengaja melakukan inspeksi mendadak ke kantin, karena dia mendapatkan laporan dari Bima kalau Ellena datang ke hotel pada malam itu. Namun menurut Bima juga, Ellena tidak bertemu dengan Sean meskipun Ellena datang ke hotel.Sean semakin yakin kalau wanita yang bersamanya itu adalah Ellena. Tapi setelah kembali dari kantin, Sean kembali meragu dengan apa yang sudah dia yakini tadi.“Apa benar cuma Ellena yang memakai parfum itu, Pak?” tanya Bima ketika dia dan Sean sudah kembali ke ruang kerja Sean.“Gak. Ada dua orang lagi yang memakai parfum dengan aroma yang mirip dengan yang dipakai Ellena. Coba selidiki mereka, termasuk apa saja yang mereka lakukan setelah mereka pulang dari kantor,” peri
“Eh eh ... lihat tuh siapa yang datang. Nggak salah tuh si ganteng makan di sini,” ucap salah satu teman Ellena yang di depannya. “Si ganteng? Siapa lagi sih itu.” Ellena memutar badannya untuk melihat orang yang ada di belakangnya. Ellena melihat ada dua orang pria masuk ke dalam area kantin kantor dan menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin itu. Suasana kantin yang tadinya riuh dengan candaan santai para karyawan, langsung menjadi sepi ketika sosok yang tampak sangat dingin itu muncul di sana. Sean seolah sedang menyebarkan aura dinginnya ke setiap sudut ruangan kantin. Banyak orang yang kini memilih untuk duduk diam dan segera menghabiskan makanan mereka, daripada harus banyak berinteraksi dengan rekan sejawat mereka seperti tadi. “Wah, gila ya. Langsung sepi loh,” celetuk Vira sambil sedikit berbisik tanpa berani melihat ke arah Sean. “Udah buruan makan. 15 menit lagi jam istirahat selesai, jangan cari masalah,” balas Ellena mengingatkan sahabatnya itu agar sege
Deg!Ellena kaget mendengar pertanyaan dari Bima. Dia tidak menyangka kalau Bima akan menanyakan hal itu kepadanya saat ini.Padahal Ellena sudah beberapa kali bertemu dengan Bima, tapi pria itu tidak pernah menanyakan hal ini kepadanya. Ellena jadi curiga apakah ada maksud lain dari pertanyaan Bima tersebut.“Ell, kok kamu malah ngelamun. Jadi gimana Ell, kamu waktu itu ketemu nggak sama Pak Sean?” tanya Bima mengulang kembali pertanyaannya.“Oh maaf Pak, saya agak nggak konsen gara-gara lapar. Soal malam itu, saya nggak jadi ketemu sama Pak Sean,” bohong Ellena yang tidak ingin Bima tahu kalau dia malam itu bersama dengan Sean.“Beneran kamu nggak ketemu sama Pak Sean?”“Iya, Pak. Malam itu saya emang datang ke hotel dan langsung naik ke kamar yang Bapak sebutkan. Tapi waktu itu saya nunggu agak lama di depan pintu, tetap aja Pak Sean nggak bukain pintu kamarnya. Padahal saya udah nekan bel pintu beberapa kali, mungkin Pam Sean udah tidur kali ya, Pak. Ya terus saya pulang aja.”
“Heh, kamu. Berhenti!” panggil Sean sedikit berteriak.Panggilan dari Sean itu mampu menghentikan langkah kaki Ellena. Wanita itu langsung merasa tulangnya seperti membeku dan tidak bisa bergerak lagi.Sean masih menetap ke arah Ellena yang kini berada sedikit jauh di depannya. Pandangan mata Sean tertancap lurus ke arah punggung Ellena yang sampai detik ini belum juga bergerak sedikit pun dari posisinya.“Ada apa Pak, kok panggil Ellena?” tanya Bima yang sedikit kaget kenapa Sean sampai memanggil karyawannya seperti itu.“Siapa dia?” tanya Sean mencoba untuk mengenali wanita di depan ya itu.“Ellena. Dia Ellena, karyawan bagian pemasaran yang saat ini sedang ada di urutan teratas daftar promosi kita,” sahut Johan yang sejak tadi tengah berbincang dengan Sean.“Ellena,” panggil Johan agar wanita itu bisa mendekat pada dirinya.‘Aduh, kenapa pakai dipanggil sama Pak Johan segala sih,’ gumam Ellena dalam hati.“Iya, Pak,” jawab Ellena sambil tersenyum aku.Ellena melangkah perlahan
“Oh iya, ada satu lagi yang aku baru ingat,” ucap Sean sambil menatap ke arah Bima.“Apa itu, Pak?” Bima sangat antusias.Bima menatap serius ke arah atasannya, berharap petunjuk yang diberikan oleh Sean kali ini bukanlah sebuah petunjuk abal-abal yang tidak ada artinya sama sekali. Bima sangat berharap kalau petunjuk ini akan membawa dirinya sedikit mudah untuk mencari orang yang sedang dicari oleh Sean.“Jaket. Jaketku nggak ada, pasti dia ambil jaket aku waktu dia pergi dari hotel,” ucap Sean yang sangat yakin kalau wanita malamnya itu yang membawa jaketnya pergi.“Jaket? Jaket yang mana, Pak?” Bima ingin petunjuk yang lebih spesifik.“Jaket yang aku beli kemarin waktu kita tugas ke Singapura.”“Oh jaket itu, saya ingat dengan jaket itu. Bapak yakin kalau jaket itu dibawa oleh wanita yang meninggalkan, Bapak?”“Yakin banget. Aku masih ingat kalau malam itu aku datang ke pesta pakai jaket itu. Dan paginya jaket itu udah nggak ada.”Bima terdiam sesaat, “Sepertinya wanita yang