“Selamat pagi, Pak,” sapa Lisa yang membuat Ellena langsung menoleh.
‘Pak Sean. Mati aku! Dia inget aku gak ya?’ ucap Ellena dalam hati yang kaget melihat kehadiran Sean di belakangnya.
Tubuh Ellena bergetar melihat sosok yang selama ini selalu dia kagumi itu ada di hadapannya. Entah mengapa tiba-tiba inti tubuhnya terasa perih lagi, seolah sedang mengingatkan Ellena pada luka yang ada di sana.
Bayangan malam itu kembali muncul di kepala Ellena. Tubuhnya kaku seolah tidak bisa digerakkan sama sekali.
Sean melihat ke arah Ellena. Wanita yang baru pertama kali dia lihat itu seperti sedang sakit karena wajahnya cukup pucat dan beberapa bulir keringat ada di wajahnya.
“Kenapa kamu ngeliatin saya kayak gitu?!” tanya Sean sambil menatap aneh ke arah Ellena.
“S-sa—saya ....”
“Ell, kamu kenapa sih? Ditanya Pak Sean itu loh,” tanya Lisa sambil menyenggol lengan Ellena dengan sikunya.
“Hem ... oh, enggak kok. Saya gak papa. Saya gak sakit kok, Pak,” jawab Ellena yang kemudian memilih menundukkan pandangannya saja.
“Ellena, kamu di sini juga?” sapa Bima yang melihat ada Ellena di samping Lisa.
“Pak, ini Ellena. Orang yang kemarin saya ceritakan akan mendapatkan promosi dua tingkat, karena dia akan menjadi salah satu kandidat pegawai terbaik tahun ini.” Bima memperkenalkan Ellena pada Sean.
Sean melihat ke arah Ellena, “Oh, ini orangnya. Bagus,” ucap Sean datar lalu melengos begitu saja.
“Terima kasih Pak, saya akan berusaha lebih keras lagi,” suara Ellena terdengar bergetar.
“Pak, Ellena ini mengagumi Pak Sean loh. Katanya dia bisa sampai di titik ini karena meniru kerja Pak Sean yang pekerja keras dan selalu penuh semangat,” ucap Lisa yang ingin sedikit memuji Sean lewat Ellena.
Lagi-lagi Sean melirik Ellena lewat sudut matanya, “Hmm,” jawaban hanya sebuah deheman yang lebih terdengar seperti sedang menyindir Ellena yang ingin menirunya.
“Maaf, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak,” ucap Ellena setelah dia mendengar tanda pintu lift akan segera terbuka.
Ellena langsung berusaha secepatnya masuk ke dalam lift, meskipun dia harus sedikit mendorong teman-temannya agar memberinya jalan. Dia tidak sanggup berlama-lama berada di dekat Sean karena kenangan malam itu masih cukup lekat di pikirannya.
Meskipun tadi Sean terlihat tidak mengenalinya, tapi tetap saja hal itu membuat Ellena takut pada pria itu. Tatapan mata Sean bahkan mampu membuat tubuh Ellena demam mendadak, hingga keringat dinginnya keluar.
“Astaga. Kenapa orangnya jadi nyeremin banget ya sekarang. Ketus banget mulutnya,” gerutu Ellena pelan saat dia sudah ada di dalam lift.
‘Ayo Ellena, jangan terlalu berlebihan gini, biasa aja. Dia atasan kamu, santai aja, jangan malah kelihatan mencurigakan,’ gumam Ellena dalam hati.
Ellena mencoba untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya karena ketika tadi di dekat Sean rasanya asupan oksigennya sangat tipis. Napasnya bahkan sempat tersengal, setiap kali pandangan matanya bertemu dengan sorot tajam mata Sean.
Saat Ellena berpamitan, ekor mata Sean menangkap sosok Ellena yang akan berbalik. Dia menangkap kibasan rambut Ellena yang bergerak mengikuti tubuhnya.
Sean sedikit terganggu dengan pemandangan itu. Siluet wajah Ellena dari samping yang ditutupi sebagian rambutnya itu, mirip dengan wanita yang memberontak dalam kuasanya di malam itu.
‘Gak mungkin. Ngapain juga dia ke hotel malam itu. Pasti aku salah, cuma mirip doang,’ ucap Sean dalam hati.
Pintu lift khusus atasan terbuka. Bima menahan pintu itu agar Sean bisa masuk ke dalam.
“Mau ngapain kamu di sini?” tanya Sean saat Lisa akan masuk ke dalam lift.
“Mau ke atas kan, Pak,” jawab Lisa sambil menatap Sean.
“Kamu gak tau ini lift untuk atasan?!” tegas Sean.
“Maaf, Pak.” Lisa terpaksa mundur lagi membiarkan pintu besi itu menutup kembali dan meninggalkan dirinya sendirian di sana.
“Gak sopan banget! Emang kenapa sih kalo aku ikut di lift itu? Giliran Pak Bima aja boleh, kenapa aku gak boleh. Dasar pilih kasih!” gerutu kesal Lisa sambil menatap pintu besi itu.
“Liat aja ya, bentar lagi kamu pasti bakalan jadi milik aku. Aku gak akan lepasin kamu lagi Pak Sean. Aku bakal cari kesempatan lagi,” ucap Lisa yang sangat bertekad ingin memiliki Sean.
Lisa memang sudah sejak lama menyukai Sean. Meskipun Sean dikenal sebagai seorang playboy, tapi hal itu tidak mengendurkan niat Lisa untuk memiliki pria pujaan banyak wanita itu.
Malam itu Lisa memang berencana ingin menghabiskan malam dengan Sean. Dia sengaja memasukkan obat perangsang di minuman Sean, berharap dirinya akan mendapatkan malam indah bersama atasannya itu.
Tapi entah apa yang terjadi, tiba-tiba dia merasa sangat mengantuk ketika acara tengah berlangsung. Matanya yang sudah tidak bisa bertoleransi lagi itu membuat Lisa harus meninggalkan ruang acara lebih cepat. Meskipun dia sudah berpesan pada Sean untuk menjemputnya di salah satu kamar hotel, tapi pagi hari itu Lisa tidak mendapati Sean tidur di kamarnya.
***
Ellena sedang duduk di ruang kerjanya sambil mengatur degup jantungnya. Rasanya jantungnya ingin melompat keluar, saat dia bersama dengan Sean tadi.
“Heh, bengong aja. Nggak baik tahu anak gadis bengong pagi-pagi, ntar jodohnya dipatok ayam,” ucap Vira sambil menepuk pundak Ellena
“Ih apaan sih, bikin kaget aja. Lagian mana ada jodoh dipatok sama ayam. Belum sempat ayamnya matok jodoh aku, ntar ayamnya udah aku potong duluan,” jawab Ellena ketus.
“Ye ... serius amat Bu nanggepinnya. Santai aja kali.”
“Lagian nyebelin. Apa hubungannya coba, orang bengong sama jodoh dipatok ayam.”
“Anggap aja lah ada. Eh, ayo persiapan, briefing udah mau dimulai. Bisa kena masalah kita kalo ntar sampe telat,” ajak Vira yang segera menyambar ponselnya untuk bersiap berangkat menuju ke ruang briefing.
Dulu Ellena selalu bersemangat kalau dia akan berangkat ke ruang briefing setiap pagi. Tapi entah mengapa hari ini dia menjadi malas untuk pergi ke ruangan itu. Bukan tidak ingin mendengarkan materi briefing yang selalu baru tiap hari, tapi Ellena malas jika nanti dia harus bertemu dengan Sean di sana.
Meskipun Sean tidak ingat akan dirinya, tapi tetap saja hal itu membuat Ellena sedikit tidak nyaman jika berada di sekitaran Sean. Tapi sebagai karyawan di perusahaan ini, Ellena tidak bisa seenaknya saja libur briefing.
Ruangan itu sudah cukup ramai, namun acara belum dimulai. Tampaknya para anggota manajemen utama di perusahaan ini belum hadir, sehingga acara belum bisa dimulai.
“Vir, aku ke toilet dulu ya. Kebelet banget nih,” ucap Ellena yang sudah tidak tahan karena ingin buang air kecil.
“Jangan lama-lama. Ntar keburu acaranya dimulai,” pesan Vira.
“Iya, beres.”
Ellena yang duduk di tengah ruangan harus sedikit bersusah payah untuk keluar dari barisan tempat duduknya. Sesekali dia menyapa beberapa kenalannya yang dia lewati meskipun hanya lewat senyum dan lambaian tangan.
Ellena berjalan cepat keluar dari ruangan agar dia bisa segera kembali ke ruangan tersebut sebelum acara dimulai. Langkah cepat dan panjangnya itu terhenti ketika dia melihat ada Sean dan beberapa manajemen utama kantor ini mulai berjalan menuju ke ruangan briefing.
“Aduh, Pak Sean udah datang. Ya udahlah, bentar dulu,” Ellena tidak tahan lagi menahan panggilan alamnya.
Ellena agak sedikit menjauh dari rombongan Sean setelah dia memberikan hormat pada para atasannya itu. Sean bahkan tidak melihat ke arah Ellena sedikit pun, ketika wanita cantik itu memberikan salam pada atasannya.
Tapi ada OB yang sedang mengepel di dekat Ellena, sehingga dia sedikit mendekati Sean dari arah belakang untuk menghindari OB itu. Pria tampan pimpinan tertinggi dari perusahaan tempat Ellena bekerja itu langsung berdiri mematung dan tidak melanjutkan langkah kakinya. Sean langsung menoleh ke belakang dan mengedarkan pandangannya mencari sesuatu.
Sean menoleh ke belakang, “Ini kan ....”“Pak, kita udah ditunggu di dalam,” ucap Bima yang mengajak Sean untuk segera masuk.“Oh iya. Ayo kita masuk.”Sebelum melangkah masuk menuju ke ruang briefing, Sean menyempatkan diri untuk menoleh lagi sejenak ke belakang. Dia mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang sepertinya dia kenal.Indra penciuman Sean mendapati sesuatu yang tampak sangat dia kenal. Aroma wanita malam itu tercium di sekitar Sean berdiri saat ini.Sayangnya, terlalu banyak orang di lobby kantor yang cukup luas itu dan tidak ada wajah mereka yang mampu menggetarkan hati Sean. Pria muda nan tampan itu memutuskan untuk mengabaikan perasaan yang baru saja melintas di benaknya.Sean masuk ke dalam ruang briefing dan duduk di barisan paling depan. Dia mulai mendengarkan paparan dari pemberi materi briefing hari ini, yang kebetulan akan membahas tentang proyek besar mereka berikutnya.Tapi entah mengapa pikiran Sean hari ini tidak ada di ruang briefing itu. Pikirannya se
“Temukan siapa pemiliknya dan bawa dia kemari!” perintah Sean dengan tegas. Bima menatap kaget ke arah atasannya. Bukan karena dia tidak mau untuk melaksanakan perintah atasannya, tapi dengan modal sebuah kancing baju saja, Bima menjadi ragu apakah dia bisa menemukan orang yang sedang dicari atasannya itu. Bima menatap ke arah kancing itu lalu kembali ke wajah tampan Sean, “Saya harus mencari pemilik diri kancing baju ini, Pak?” tanya Bima mengulang permintaan atasannya. “Iya. Emang kenapa?” Ada getaran keraguan di dalam suara Sean. “Maaf Pak, tapi ini hanya sebuah kancing dari kemeja murah. Saya yakin kalau kemeja Ini diproduksi masal dan pasti banyak sekali pemiliknya. Apakah Bapak punya petunjuk lain untuk mencari orang yang ingin Bapak temukan?” tanya Bima yang juga ragu dia akan bisa menemukan orang pemilik dari kancing kemeja itu. “Nggak ada. Aku nggak punya petunjuk lain selain kancing itu. Aku memang agak pesimis kalau kita bakal bisa nemuin pemilik dari kancing itu, tapi
“Oh iya, ada satu lagi yang aku baru ingat,” ucap Sean sambil menatap ke arah Bima.“Apa itu, Pak?” Bima sangat antusias.Bima menatap serius ke arah atasannya, berharap petunjuk yang diberikan oleh Sean kali ini bukanlah sebuah petunjuk abal-abal yang tidak ada artinya sama sekali. Bima sangat berharap kalau petunjuk ini akan membawa dirinya sedikit mudah untuk mencari orang yang sedang dicari oleh Sean.“Jaket. Jaketku nggak ada, pasti dia ambil jaket aku waktu dia pergi dari hotel,” ucap Sean yang sangat yakin kalau wanita malamnya itu yang membawa jaketnya pergi.“Jaket? Jaket yang mana, Pak?” Bima ingin petunjuk yang lebih spesifik.“Jaket yang aku beli kemarin waktu kita tugas ke Singapura.”“Oh jaket itu, saya ingat dengan jaket itu. Bapak yakin kalau jaket itu dibawa oleh wanita yang meninggalkan, Bapak?”“Yakin banget. Aku masih ingat kalau malam itu aku datang ke pesta pakai jaket itu. Dan paginya jaket itu udah nggak ada.”Bima terdiam sesaat, “Sepertinya wanita yang
“Heh, kamu. Berhenti!” panggil Sean sedikit berteriak.Panggilan dari Sean itu mampu menghentikan langkah kaki Ellena. Wanita itu langsung merasa tulangnya seperti membeku dan tidak bisa bergerak lagi.Sean masih menetap ke arah Ellena yang kini berada sedikit jauh di depannya. Pandangan mata Sean tertancap lurus ke arah punggung Ellena yang sampai detik ini belum juga bergerak sedikit pun dari posisinya.“Ada apa Pak, kok panggil Ellena?” tanya Bima yang sedikit kaget kenapa Sean sampai memanggil karyawannya seperti itu.“Siapa dia?” tanya Sean mencoba untuk mengenali wanita di depan ya itu.“Ellena. Dia Ellena, karyawan bagian pemasaran yang saat ini sedang ada di urutan teratas daftar promosi kita,” sahut Johan yang sejak tadi tengah berbincang dengan Sean.“Ellena,” panggil Johan agar wanita itu bisa mendekat pada dirinya.‘Aduh, kenapa pakai dipanggil sama Pak Johan segala sih,’ gumam Ellena dalam hati.“Iya, Pak,” jawab Ellena sambil tersenyum aku.Ellena melangkah perlahan
Deg!Ellena kaget mendengar pertanyaan dari Bima. Dia tidak menyangka kalau Bima akan menanyakan hal itu kepadanya saat ini.Padahal Ellena sudah beberapa kali bertemu dengan Bima, tapi pria itu tidak pernah menanyakan hal ini kepadanya. Ellena jadi curiga apakah ada maksud lain dari pertanyaan Bima tersebut.“Ell, kok kamu malah ngelamun. Jadi gimana Ell, kamu waktu itu ketemu nggak sama Pak Sean?” tanya Bima mengulang kembali pertanyaannya.“Oh maaf Pak, saya agak nggak konsen gara-gara lapar. Soal malam itu, saya nggak jadi ketemu sama Pak Sean,” bohong Ellena yang tidak ingin Bima tahu kalau dia malam itu bersama dengan Sean.“Beneran kamu nggak ketemu sama Pak Sean?”“Iya, Pak. Malam itu saya emang datang ke hotel dan langsung naik ke kamar yang Bapak sebutkan. Tapi waktu itu saya nunggu agak lama di depan pintu, tetap aja Pak Sean nggak bukain pintu kamarnya. Padahal saya udah nekan bel pintu beberapa kali, mungkin Pam Sean udah tidur kali ya, Pak. Ya terus saya pulang aja.”
“Eh eh ... lihat tuh siapa yang datang. Nggak salah tuh si ganteng makan di sini,” ucap salah satu teman Ellena yang di depannya. “Si ganteng? Siapa lagi sih itu.” Ellena memutar badannya untuk melihat orang yang ada di belakangnya. Ellena melihat ada dua orang pria masuk ke dalam area kantin kantor dan menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin itu. Suasana kantin yang tadinya riuh dengan candaan santai para karyawan, langsung menjadi sepi ketika sosok yang tampak sangat dingin itu muncul di sana. Sean seolah sedang menyebarkan aura dinginnya ke setiap sudut ruangan kantin. Banyak orang yang kini memilih untuk duduk diam dan segera menghabiskan makanan mereka, daripada harus banyak berinteraksi dengan rekan sejawat mereka seperti tadi. “Wah, gila ya. Langsung sepi loh,” celetuk Vira sambil sedikit berbisik tanpa berani melihat ke arah Sean. “Udah buruan makan. 15 menit lagi jam istirahat selesai, jangan cari masalah,” balas Ellena mengingatkan sahabatnya itu agar sege
“Apa sudah ketemu, Pak?” tanya Bima sedikit berbisik saat dia mengikuti langkah atasannya dari belakang.“Sudah.”Sean terus melangkah dengan pasti menuju ke ruang kerjanya kembali. Dia melangkah sedikit cepat untuk menuju ke lift yang akan mengantarkannya kembali ke ruang kerjanya.Sean memang sengaja melakukan inspeksi mendadak ke kantin, karena dia mendapatkan laporan dari Bima kalau Ellena datang ke hotel pada malam itu. Namun menurut Bima juga, Ellena tidak bertemu dengan Sean meskipun Ellena datang ke hotel.Sean semakin yakin kalau wanita yang bersamanya itu adalah Ellena. Tapi setelah kembali dari kantin, Sean kembali meragu dengan apa yang sudah dia yakini tadi.“Apa benar cuma Ellena yang memakai parfum itu, Pak?” tanya Bima ketika dia dan Sean sudah kembali ke ruang kerja Sean.“Gak. Ada dua orang lagi yang memakai parfum dengan aroma yang mirip dengan yang dipakai Ellena. Coba selidiki mereka, termasuk apa saja yang mereka lakukan setelah mereka pulang dari kantor,” peri
“Apa ini Elll?” tanya Lisa.Mendengar apa yang dikatakan oleh Lisa, Ellena segera menoleh ke arah temannya itu. Matanya langsung terbelalak lebar melihat Lisa memegang sesuatu di tangannya.Lisa menunjukkan pil penunda kehamilan yang sempat dibeli oleh Ellena di apotek beberapa hari lalu. Dia sepertinya lupa menyimpan pil itu di tempatnya, sehingga Lisa bisa menemukannya.“Loh, kok ada di sini sih. Sembarangan aja deh naruhnya,” ucap Ellena berusaha untuk tetap tenang agar Lisa tidak curiga kepadanya.Punya siapa sih, Ell? Bukannya itu kayak pil KB ya?” tanya Lisa yang tidak menyangka dia akan menemukan barang seperti itu di kamar Ellena.“Punya salah satu anak di sini,” jawab Ellena yang kemudian segera memasukkan pil itu ke dalam laci meja yang ada di kamarnya.“Punya anak di sini? Kok ada di lemari kamu? Itu bukan punya kamu kan, El?” selidik Lisa.Ellena menoleh ke arah Lisa, Menurut kamu, orang kaya aku butuh ya pil kayak gitu?” Ellena meminta pendapat dari temannya itu.Lis
“Selamat pagi Pak Sean,” sapa ramah Lisa sambil memamerkan senyum terindahnya pagi ini untuk sang atasan.Namun sayangnya lagi-lagi Lisa mendapatkan ekspresi dingin dari pria tampan itu. Sean hanya berjalan melintasinya tanpa melihat atau sekedar melirik ke arah Lisa pria itu berjalan seolah tidak ada seorangpun di sekelilingnya kecuali dia dan Bima.Lisa memonyongkan bibirnya ketika melihat Sean melewatinya begitu saja. Pria itu terus saja bersikap dingin meskipun dia selalu bekerja di dekatnya. Tapi Lisa berusaha untuk tetap tersenyum karena dia memiliki sebuah kejutan untuk Sean yang sudah dia letakkan di dalam ruang kerja sang atasan tampan.Sean masuk ke dalam ruang kerjanya bersama Bima sambil mendengarkan rentetan jadwal yang harus dia hadiri hari ini. Mata Sean terhenti pada sebuah paper bag berukuran cukup besar yang ada di atas meja kerjanya.“Apa itu?” tanya Sean.“Saya tidak tahu, Pak. Saya akan periksa,” jawab Bima yang kemudian segera mengambil paper bag itu untuk dia p
“Pak Johan, saya telat ya?” tanya Ellena ketika dia baru sampai di Cafe dan sudah melihat Lisa duduk di depan Johan. “Enggak kok, nggak apa-apa. Minum dulu Ell, kayaknya kamu capek banget habis lari-larian.” Johan menuangkan air ke dalam gelas minum dan dia sodorkan pada Ellena. “Makasih, Pak,” ucap Ellena sambil meletakkan paper bag belanjaannya, lalu segera menegak habis air yang disuguhkan oleh Johan. Lisa melihat ke arah paper bag milik Ellena yang ada di atas meja, “Waduh! Curiga kita beliin barang yang sama nih, tapi lain toko,” celetuk Lisa. “Emang kamu beli apa, Lis?” tanya Johan. Lisa meletakkan paper bag belanjaannya di atas meja, headset, “Senjata untuk para introvert yang malas keluar rumah,” jawab Lisa sambil menyodorkan barang belanjaannya. “Eh, seriusan kamu juga beli headset?” Ellena kaget dengan pilihan barang yang dibeli oleh sahabatnya. “Iya. Dan kalau boleh nebak, pasti kamu juga beli barang yang sama kan?” “Beneran Ell, kamu juga beli headset?” Johan ingin
“Disingkirkan.Tubuh Ellena bergetar ketika dia mendengar kata-kata tersebut. Entah mengapa kata-kata itu terdengar seperti sebuah ancaman yang sangat menakutkan bagi dia.Kalau hanya disingkirkan dari pekerjaannya alias dipecat, mungkin Ellena masih bisa mencari pekerjaan lain. Tapi kalau yang dimaksud oleh Lisa arti disingkirkan itu adalah menghilangkan nyawa, tentu saja ini merupakan sebuah beban untuk Ellena.Dia tidak mungkin meninggalkan ibu dan adiknya yang saat ini tengah sangat bergantung pada dirinya. Ellena sampai bergidik mendengar penuturan dari sahabatnya itu.“Kamu kenapa, Ell?” tanya Lisa yang melihat ekspresi wajah Ellena berubah.“Oh enggak kok, aku nggak apa-apa. Tapi emang bener ya Pak Sean itu orangnya sekejam itu?” tanya Ellena ingin tahu dan sekedar ingin memastikan bagaimana nasibnya jika nanti Sean menemukannya.“Dari kabar yang aku dengar sih kayak gitu. Tapi nggak tau juga ya ... soalnya kan bisa aja itu cuma gosip. Tapi setahu aku Pak Sean itu emang nggak
“Apa ini Elll?” tanya Lisa.Mendengar apa yang dikatakan oleh Lisa, Ellena segera menoleh ke arah temannya itu. Matanya langsung terbelalak lebar melihat Lisa memegang sesuatu di tangannya.Lisa menunjukkan pil penunda kehamilan yang sempat dibeli oleh Ellena di apotek beberapa hari lalu. Dia sepertinya lupa menyimpan pil itu di tempatnya, sehingga Lisa bisa menemukannya.“Loh, kok ada di sini sih. Sembarangan aja deh naruhnya,” ucap Ellena berusaha untuk tetap tenang agar Lisa tidak curiga kepadanya.Punya siapa sih, Ell? Bukannya itu kayak pil KB ya?” tanya Lisa yang tidak menyangka dia akan menemukan barang seperti itu di kamar Ellena.“Punya salah satu anak di sini,” jawab Ellena yang kemudian segera memasukkan pil itu ke dalam laci meja yang ada di kamarnya.“Punya anak di sini? Kok ada di lemari kamu? Itu bukan punya kamu kan, El?” selidik Lisa.Ellena menoleh ke arah Lisa, Menurut kamu, orang kaya aku butuh ya pil kayak gitu?” Ellena meminta pendapat dari temannya itu.Lis
“Apa sudah ketemu, Pak?” tanya Bima sedikit berbisik saat dia mengikuti langkah atasannya dari belakang.“Sudah.”Sean terus melangkah dengan pasti menuju ke ruang kerjanya kembali. Dia melangkah sedikit cepat untuk menuju ke lift yang akan mengantarkannya kembali ke ruang kerjanya.Sean memang sengaja melakukan inspeksi mendadak ke kantin, karena dia mendapatkan laporan dari Bima kalau Ellena datang ke hotel pada malam itu. Namun menurut Bima juga, Ellena tidak bertemu dengan Sean meskipun Ellena datang ke hotel.Sean semakin yakin kalau wanita yang bersamanya itu adalah Ellena. Tapi setelah kembali dari kantin, Sean kembali meragu dengan apa yang sudah dia yakini tadi.“Apa benar cuma Ellena yang memakai parfum itu, Pak?” tanya Bima ketika dia dan Sean sudah kembali ke ruang kerja Sean.“Gak. Ada dua orang lagi yang memakai parfum dengan aroma yang mirip dengan yang dipakai Ellena. Coba selidiki mereka, termasuk apa saja yang mereka lakukan setelah mereka pulang dari kantor,” peri
“Eh eh ... lihat tuh siapa yang datang. Nggak salah tuh si ganteng makan di sini,” ucap salah satu teman Ellena yang di depannya. “Si ganteng? Siapa lagi sih itu.” Ellena memutar badannya untuk melihat orang yang ada di belakangnya. Ellena melihat ada dua orang pria masuk ke dalam area kantin kantor dan menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin itu. Suasana kantin yang tadinya riuh dengan candaan santai para karyawan, langsung menjadi sepi ketika sosok yang tampak sangat dingin itu muncul di sana. Sean seolah sedang menyebarkan aura dinginnya ke setiap sudut ruangan kantin. Banyak orang yang kini memilih untuk duduk diam dan segera menghabiskan makanan mereka, daripada harus banyak berinteraksi dengan rekan sejawat mereka seperti tadi. “Wah, gila ya. Langsung sepi loh,” celetuk Vira sambil sedikit berbisik tanpa berani melihat ke arah Sean. “Udah buruan makan. 15 menit lagi jam istirahat selesai, jangan cari masalah,” balas Ellena mengingatkan sahabatnya itu agar sege
Deg!Ellena kaget mendengar pertanyaan dari Bima. Dia tidak menyangka kalau Bima akan menanyakan hal itu kepadanya saat ini.Padahal Ellena sudah beberapa kali bertemu dengan Bima, tapi pria itu tidak pernah menanyakan hal ini kepadanya. Ellena jadi curiga apakah ada maksud lain dari pertanyaan Bima tersebut.“Ell, kok kamu malah ngelamun. Jadi gimana Ell, kamu waktu itu ketemu nggak sama Pak Sean?” tanya Bima mengulang kembali pertanyaannya.“Oh maaf Pak, saya agak nggak konsen gara-gara lapar. Soal malam itu, saya nggak jadi ketemu sama Pak Sean,” bohong Ellena yang tidak ingin Bima tahu kalau dia malam itu bersama dengan Sean.“Beneran kamu nggak ketemu sama Pak Sean?”“Iya, Pak. Malam itu saya emang datang ke hotel dan langsung naik ke kamar yang Bapak sebutkan. Tapi waktu itu saya nunggu agak lama di depan pintu, tetap aja Pak Sean nggak bukain pintu kamarnya. Padahal saya udah nekan bel pintu beberapa kali, mungkin Pam Sean udah tidur kali ya, Pak. Ya terus saya pulang aja.”
“Heh, kamu. Berhenti!” panggil Sean sedikit berteriak.Panggilan dari Sean itu mampu menghentikan langkah kaki Ellena. Wanita itu langsung merasa tulangnya seperti membeku dan tidak bisa bergerak lagi.Sean masih menetap ke arah Ellena yang kini berada sedikit jauh di depannya. Pandangan mata Sean tertancap lurus ke arah punggung Ellena yang sampai detik ini belum juga bergerak sedikit pun dari posisinya.“Ada apa Pak, kok panggil Ellena?” tanya Bima yang sedikit kaget kenapa Sean sampai memanggil karyawannya seperti itu.“Siapa dia?” tanya Sean mencoba untuk mengenali wanita di depan ya itu.“Ellena. Dia Ellena, karyawan bagian pemasaran yang saat ini sedang ada di urutan teratas daftar promosi kita,” sahut Johan yang sejak tadi tengah berbincang dengan Sean.“Ellena,” panggil Johan agar wanita itu bisa mendekat pada dirinya.‘Aduh, kenapa pakai dipanggil sama Pak Johan segala sih,’ gumam Ellena dalam hati.“Iya, Pak,” jawab Ellena sambil tersenyum aku.Ellena melangkah perlahan
“Oh iya, ada satu lagi yang aku baru ingat,” ucap Sean sambil menatap ke arah Bima.“Apa itu, Pak?” Bima sangat antusias.Bima menatap serius ke arah atasannya, berharap petunjuk yang diberikan oleh Sean kali ini bukanlah sebuah petunjuk abal-abal yang tidak ada artinya sama sekali. Bima sangat berharap kalau petunjuk ini akan membawa dirinya sedikit mudah untuk mencari orang yang sedang dicari oleh Sean.“Jaket. Jaketku nggak ada, pasti dia ambil jaket aku waktu dia pergi dari hotel,” ucap Sean yang sangat yakin kalau wanita malamnya itu yang membawa jaketnya pergi.“Jaket? Jaket yang mana, Pak?” Bima ingin petunjuk yang lebih spesifik.“Jaket yang aku beli kemarin waktu kita tugas ke Singapura.”“Oh jaket itu, saya ingat dengan jaket itu. Bapak yakin kalau jaket itu dibawa oleh wanita yang meninggalkan, Bapak?”“Yakin banget. Aku masih ingat kalau malam itu aku datang ke pesta pakai jaket itu. Dan paginya jaket itu udah nggak ada.”Bima terdiam sesaat, “Sepertinya wanita yang