Alayya kesal bukan main, sambungan teleponnya diputus begitu saja oleh Ibrahim.
“Kurang ajar banget sih ini orang!” Alayya menggerutu sambil menatap layar ponsel yang kembali hitam. Sekali lagi dia mencoba menghubungi nomor yang tadi, tetapi hasilnya nihil. Ibrahim sama sekali tidak menggubris dering telepon darinya.“Benar-benar menyebalkan!” Gerak tangan Alayya yang akan melempar ponsel itu menggantung di udara saat terdengar Bembi berseru, “Tunggu Nona! Itu, kan, ponsel saya!” Hampir saja benda pipih itu menyapa lantai kalau saja Bembi terlambat mencegah apa yang akan wanita itu lakukan barusan. Alayya mendelik, sedetik kemudian dia menyadari kesalahannya.“Maaf …,” ucapnya ketus seraya mengulurkan kembali ponsel itu pada sang ajudan. Dia pun kembali masuk ke kamar dengan rasa kesal yang menyesakkan dadanya. “Nggak! Aku nggak mau terkurung di sini! Aku harus bisa keluar dari rumah ini secepatnya!” ujarnya bersungut-sungut. Namun, baru saja pintu di belakangnya tertutup, wanita yang menggerai rambutnya itu dengan cepat berbalik. “Astaga! Kenapa aku jadi bodoh begini, sih? Ponsel itu ‘kan bisa aku pakai dulu,” gumamnya merutuki diri sendiri lalu kembali membuka pintu yang mana membuat ajudan tadi tersentak.“Berikan ponselmu, saya pinjam dulu,” ucap Alayya sambil menadahkan tangannya. Bembi menggeleng cepat. “Maaf, Non. Perintah Tuan, saya nggak diizinkan untuk memberikan ponsel saya pada Anda lagi,” ujarnya takut-takut.“Apa!” Secepat itu Ibrahim memberinya peringatan, sial! Umpat alayya yang tidak bisa dia katakan pada Bembi. Wanita itu pun membanting pintu sampai Bembi harus menutup telinganya karena kerasnya suara dentuman itu. ***“Siang, Kak Nia?” Ghania Utami tersenyum saja membalas sapaan seorang wanita yang dia temui di ruang tamu kos-kosannya. Kepalanya masih terasa pusing akibat pengaruh alkohol yang dia minum semalaman bersama pria yang menyewanya. Dia lewati juga orang-orang yang duduk-duduk di depan kamar mereka tanpa menyapa seperti biasa yang dia lakukan. Sungguh kalau bukan karena waktu check in hotel telah usai, mana mau dia pulang dalam keadaan seperti ini. Namun, dia bukanlah Alayya yang bersedia membayar kelebihan sewa kamar demi kenyamanan sendiri karena Ghania menghargai uangnya. Dia butuh uang itu untuk adik-adiknya di kampung juga ibunya yang butuh pengobatan. Jadi beginilah dia, setiap selesai melayani tamunya, Ghania memilih cepat pulang dan beristirahat di dalam kamar kosnya sendiri. Langkahnya masih saja sempoyongan saat dirinya sudah sampai di depan kamarnya. Ruangan yang ada di lantai dua rumah kos tiga lantai itu dia tempati bersama Alayya. Wanita yang lebih muda dua tahun darinya itu bahkan rela membayar lebih banyak agar Ghania bisa mengumpulkan uang yang cukup untuk dia kirim kepada keluarga di kampung setiap bulannya.Ghania meletakkan sling bag branded-nya begitu saja di atas nakas. Lalu sepatu high heels merahnya dia lepas saat dia duduk di tepian ranjang tanpa menaruhnya kembali di rak.Wanita berambut sebahu itu melirik ranjang lainnya yang ada di dekat jendela. Kosong. Sahabat sekaligus teman kamarnya tidak ada di sana. Dia bawa mata bulatnya melihat jam di tangan kirinya. Pukul satu siang, tetapi Alayya sudah tidak ada di kamar mereka. “Apa dia masih sama Tuan Hardiawan, ya? Tumben betah banget sama bandot tua itu? Iya juga sih, Tuan Hardiawan duitnya banyak, Ayya pasti dimanjain sama dia,” gumam wanita berkulit khas orang Indonesia itu. Ghania abaikan ketidakberadaan Alayya karena ini juga bukan pertama kalinya si sahabat menghilang, hanya saja biasanya ke mana pun Alayya pergi, Ghania pasti dibagi tahu, lalu kenapa sampai sesiang ini satu pesanpun tidak ada dari temannya itu? Pikirnya menerawang.Baru saja dia menurunkan resleting mini dress hitamnya, pintu kamarnya ada yang mengetuk. “Siapa juga yang datang jam segini, sih? Bikin orang makin BT aja!” gerutunya sambil berjalan menuju pintu dan tangannya kembali menaikkan lagi resleting bajunya. “Kalian siapa?” Ghania memincingkan mata ketika melihat dua orang berpakaian jas hitam lengkap berada di ambang pintu kamarnya. Dari postur tubuh mereka yang tinggi besar, Ghania yakin mereka bukan orang sembarangan. “Anda Ghania Utami?” tanya salah satu dari mereka. “Benar, kalian cari saya?” “Iya, ikut kami ke bawah, bos kami ingin bicara dengan Anda.” Orang itu juga yang menjawab.“Siapa bos kalian? Saya nggak mau ketemu dengan orang yang nggak saya kenal.” Ghania bersiap menutup pintu tetapi pria yang lebih tinggi dari yang tadi bertanya segera menahan pintu itu. “Ada yang harus Anda tahu mengenai teman Anda, Ayya Cantika, silakan ikut kami turun,” titah orang itu sekali lagi yang mana sukses membuat mata Ghania membulat sempurna. “Tidak mungkin mereka orang-orang Tuan Hardiawan, bukan?” Hati Ghania berbisik. Ingin menolak, tetapi rasa penasarannya lebih besar dari apa pun yang pada akhirnya menarik langkah kakinya mengikuti kedua ajudan itu. Mereka membawa Ghania keluar dari gerbang rumah kos-kosan. Sinar matahari mulai menyengat, menusuk kulit wanita yang hanya memakai mini dress sleeveless itu. Langkah kaki jenjangnya berhenti saat darinjarak tiga meter dia melihat seseorang berjas sama dengan dua orang di belakangnya ini membukakan pintu mobil sedan yang Ghania yakin harganya selangit. “Silakan masuk, Nona,” ucap pria yang wajahnya terlihat lebih ramah itu mempersilakannya. Agak ragu sebenarnya. Akan tetapi lagi-lagi rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takutnya. Ghania pun mengangguk lalu masuk ke mobil. “Maaf kalau orang-orang saya sudah membuat Anda takut, Nona.” Ghania memberanikan diri melihat si peminta maaf. Dari suaranya yang berat, wanita itu yakin kalau pria ini adalah laki-laki yang galak dan sangar, tetapi saat pandangan mereka bertemu, jantung Ghania serasa berhenti berdetak saat itu juga. Pria berkulit putih dengan iris mata sehitam jelaga dan berwajah tampan itu membuatnya terpesona. “Siapa Anda?” Bersambung …Ibrahim mengalihkan tatapan matanya pada objek di depan mobilnya sambil menjawab, “Saya Ibrahim. Mulai saat ini, Ayya akan tinggal bersama saya, jadi kamu tidak perlu menunggunya pulang atau pun mencarinya.” “Kenapa begitu?” sela Ghania cepat. “Ayya sahabat saya, saya harus tahu di mana dia dan siapa Anda sampai bisa membawanya pergi? Apa Anda tidak tahu kalau Tuan Darel pasti akan marah dan mencari dia?” Ucapan Ghania berhasil menarik perhatian Ibrahim. “Darel? Siapa dia?”Wanita yang bibirnya masih berpoles lipstik merah menyala itu berdecak. “Sudah saya duga Anda pasti nggak tahu dia.” Ghania memiringkan duduknya agar bisa berhadapan dengan Ibrahim yang mana dress-nya tersingkap memamerkan paha atasnya yang mulus. Bersyukur Ibrahim bukan pria mata keranjang. Suguhan tiba-tiba itu tidak mempengaruhi konsentrasinya sama sekali. “Tuan Darel Agustino adalah pemilik klub tempat kami bernaung. Dan saya beritahukan pada Anda,
Alayya tidak pernah menyangka kalau dia akan mengalami kejadian seperti ini. Memalukan sekaligus menyedihkan itulah dirinya sekarang ini. Bagaimana tidak. Seusai dirinya makan siang tadi, dia sudah berencana kembali ke kamarnya, tetapi melihat suasana rumah yang sepi apalagi tidak ada Nyonya Lampir (ini panggilan Alayya pada Mustika) jiwa ingin tahu Alayya pun meronta-ronta untuk dipuaskan. Perempuan yang dua bulan lagi berumur 24 tahun ini beranjak dari kursinya di ruang makan, bukan lantai dua tujuannya, dia ingin melihat-lihat isi rumah Ibrahim di lantai satu sembari mencari celah kalau-kalau ada jalan untuknya keluar. “Non, mau ke mana?” Christy bertanya saat Alaya baru saja menginjak pintu keluar menuju kolam renang“Hai, Chris. Aku mau jalan-jalan di luar sebentar. Boleh ya?” tanya Alayya dengan wajah berseri. Tidak ada kecurigaan sedikitpun pada diri Christy terhadap sikap Alayya, maka tanpa ragu wanita paruh baya itu
“Chris, apa Tuan Ibrahim udah pulang?” Alayya bertanya pada Christy yang sedang mengganti perban di lututnya. Sejak pulang marah-marah tadi siang, pria itu belum terlihat lagi olehnya.Sambil menggunting plester, Christy pun menjawab. “Tuan nggak akan makan malam di rumah hari ini, Nona.”“Oh, ya? terus biasanya pulang jam berapa, Chris?” entah mengapa tiba-tiba dia mengkhawtirkan Ibrahim. “Nggak tentu, Non. Kadang jam sepuluh malam kadang lewat tengah malam.” Christy bangkit dari duduknya dengan kotak P3K ada di tangannya. “Non tenang aja, saya akan bawakan makan malam Anda ke sini. Saya permisi dulu, ya?’Alayya mengangguk saja. Namun, baru dua langkah berjalan, pertanyaan Alayya membuat kakinya berhenti bergerak. “Aku mau lihat foto Nisa, apa boleh, Chris?’Christy menengok. Wajah Alayya terlihat serius sekali menatapnya. “Maaf, Non. bukan saya yang bisa memutuskan hal itu karena jujur saja semu
“Apa Anda bisa menemani saya ngobrol Tuan? Saya belum ngantuk soalnya,” seru Alayya dengan beraninya dari atas balkon padahal dia tahu malam semakin larut dan Ibrahim baru saja kembali.Namun, bukannya marah, pria tampan itu sejenak berpikir lalu tanpa ragu dia pun menjawab, “Tunggu saya di dalam, saya akan segera datang.”Ucapan itu tentu saja membuat Alayya merekahkan senyumnya. Manis sekali, untuk sesaat Ibrahim merasa melihat senyum sang istri di sana. cepat dia menggeleng agar menghilangkan bayangan itu dari pikirannya, lalu dia pun bergegas masuk ke rumah. Melihat ibrahim tidak lagi berada di teras, Alayya pun memutar tubuhnya dan kembali berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Sesuai ucapannya, lima belas menit kemudian ibrahim yang sudah melepas jas meninggalkan kemeja putih yang digulung hingga siku mengetuk pintu kamar Alayya. Pria itu pun masuk setelah si empunya kamar memberinya izin. “Saya pikir A
Untuk pertama kalinya dalam hidup Alayya, Dia bisa bangun pagi, bahkan lebih pagi dari yang pernah dia lakukan selama ini, tepat saat adzan subuh Ibrahim berhasil membuat wanita muda itu bangun dari tidurnya“Anda benar-benar resek, ya, Tuan! Orang masih enak-enak tidur disuruh bangun,” gerutu Alayya yang sudah duduk di atas ranjangnya. Matanya masih separuh terpejam.“Nanti kamu juga akan terbiasa. Pertama memang seperti itu, sangat berat membuka mata dan nggak nyaman sekali. Makanya harus dibiasakan,” ucap Ibrahim masih dari sisi ranjang. “Dih, males banget! Nggak deh. Mending Tuan aja, ya? Saya baru tidur Tuan. Mata saya berasa lengket. Saya mau tidur lagi, ya?” “Eh … Kok malah balik tidur lagi?” Ibrahim menahan lengan alayya yang akan kembali berbaring di tempat tidurnya.“Bukannya semalam kamu tidur lebih awal? Kenapa masih nggak bisa juga bangun pagi?” tanya Ibrahim dengan nada kesal, karena seingat dia, lampu kamar Alayya sudah mati pukul sebelas malam.Alayya mendelik heran.
“Tante kenapa? Apa ada yang sakit?” Mustika terkesiap. Tidak menyangka kalau Ibrahim sedang memperhatikannya. Mustika berdehem sejenak hanya untuk melonggarkan tenggorokannya yang dirasa tercekat. “Nggak ada kok, Ibrahim. Tante baik-baik aja, karena supnya masih panas aja jadi Tante diam,” jelasnya yang sudah pasti berbohong. Ibrahim hanya mengangguk saja, lalu melanjutkan makannya, sedangkan Alayya tak peduli. Dia dengan lahap menyantap semua yang disediakan Christy di depannya. Segera menyelesaikan sesi sarapan ini dan kembali ke kamarnya adalah hal yang sangat ingin dia lakukan saat ini. “Lukamu bagaimana, Ya? Perbannya udah diganti?” tanya Ibrahim yang mengalihkan tatapannya pada Alayya. “Udah, pakai plester aja kok,” jawab Alayya dengan mulut yang penuh makanan.Ibrahim terkekeh. “Salep lebamnya udah dikasih juga?” Kali ini Alayya mengangguk. Malas bicara. Sandwich-nya terlalu enak untuk diabaikan.Akan tetapi, kehadiran
“Nggak usah cari perhatian kamu, Ayya. Ibrahim nggak akan tertarik sama wanita bekas orang kayak kamu ini.”Alayya mendelik tak terima dengan sindiran Mustika. Dia benar-benar kesakitan sekarang. Salahnya juga karena terburu-buru mau bangkit dari kursinya, lutut yang masih lebam dan terluka itu terantuk bibir meja makan bagian bawah. Bukannya membantunya, Mustika malah menuduhnya yang bukan-bukan. Jadi jangan salahkan kalau akhirnya Alayya menepis tangan Ibrahim yang ingin menyentuh kakinya. “Nggak perlu, Tuan. Saya bisa sendiri,” ucap Alayya dengan nada ketus. Ibrahim tidak memaksa, tetapi tangan yang berhenti di udara itu pun dia kepalkan dengan erat. Kesal? Bukan. Ibrahim sungguh mengkhawatirkan Alayya. Namun, wanita itu sudah tidak ada di kursinya. Pria yang pagi ini memakai jas abu-abu itu menengok ke belakang punggungnya, Alayya berjalan dengan tertatih sambil memegang lututnya yang terluka. “Kenapa Tante bicara seperti tadi?” Pelan, tetapi cukup untuk menyentil perasaan Mus
Alayya memandang gamang pada layar ponsel yang sudah menghitam. Kalau dia tidak mengenal siapa Ghania, tentu dia tidak akan percaya dengan apa yang baru saja temannya itu katakan. Lima puluh juta bukan nominal yang kecil, bahkan untuk dirinya yang sudah menjadi wanita dengan gelar favorit di klubnya bernaung, jumlah itu baru bisa dia dapatkan paling cepat selama satu bulan tanpa dihitung fee dari pelanggan sendiri tentunya, tetapi lihatlah Ghania mendapatkannya hanya dalam satu hari dan itu juga dari pria yang mengurungnya di sini? “Iya, Tuan Ibrahim bilang, ini uang untuk ganti bayar kos-kosan kamu, dan aku nggak boleh lagi ajakin kamu cari pelanggan, Ya. Kalau nggak nurut, aku harus bayar tiga kali lipat sama dia.” Itu kata Ghania tadi yang tentu saja membuat Alayya makin terperangah.“Jadi dia benar-benar serius melarangku menjadi wanita malam lagi? Tapi, masa iya aku harus berada di dalam kamar terus, sih? Aku bukan tahanan ’kan, ya?”
"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
“Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
"Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin
Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut
Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu
"Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu
“Oscar, kamu harus jelaskan semuanya sekarang.” Suara Ibrahim terdengar datar, namun penuh dengan emosi yang tertahan. Matanya yang tajam menatap Oscar, yang berdiri dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah kemarin Ibrahim mengusir Oscar, hari ini dia meminta Yakub dan anak buahnya memanggil asistennya itu. Banyak hal yang harus Ibrahim tanyakan padanya. Oscar menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan pengakuannya. Ia tahu, setelah ini, tidak ada jalan kembali. Semua rahasia yang disimpannya selama ini—dari Ibrahim, dari Nisa, bahkan dari dirinya sendiri—akan terungkap. Dan itu menakutkan baginya. Ia tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba, saat dia harus mengungkapkan semua keburukannya di hadapan Ibrahim, pria yang selama ini mempercayainya seperti saudara. "Aku… Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Tuan," ujar Oscar dengan suara serak. Ia menunduk, menghindari tatapan tajam Ibrahim yang seolah bisa menembus relung hatinya. Dia benar-benar tidak tah
“Kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?” Suara Ibrahim terdengar tajam, menembus udara yang terasa tegang di ruang kantor detektif Yakub. Ruangan tersebut remang, diterangi hanya oleh lampu meja yang berada di tengah-tengah ruangan, memberikan suasana serius yang mencekam. Ibrahim duduk di seberang meja kayu besar, menatap tajam ke arah Rivaldo yang duduk di depannya dengan wajah penuh penyesalan. Rivaldo, pria yang dulu merawat Nisa di hari-hari terakhirnya, sekarang duduk dengan tubuh yang tampak letih, tetapi ekspresinya menandakan kesungguhan. "Aku … aku tidak bisa, Tuan Ibrahim. Mustika, dia punya cara untuk membuatku diam," jawab Rivaldo, suaranya gemetar. "Aku merasa bersalah sejak awal, tapi aku nggak bisa menghentikan apa yang terjadi. Mereka mengancamku." Ibrahim menggeram, menahan amarah yang kini semakin memuncak di dalam dadanya. Dia melirik ke arah detektif Yakub, seorang pensiunan polisi yang kini bekerja sebagai detektif swasta, yang berdiri di sudut ruangan deng
"Lepas! Aku harus bertemu dengan Tuan Ibrahim!" Teriakan pria itu memecah suasana resepsi yang semula penuh tawa dan canda. Tamu-tamu undangan, termasuk Alayya, tersentak mendengar suara lantang tersebut. Ibrahim yang tengah melayani tamu-tamunya segera menghentikan aktivitasnya. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari senyuman hangat menjadi tatapan penuh keterkejutan. Dia langsung menoleh ke arah pintu masuk, seorang pria lusuh yang tampak berantakan sedang dipegang erat oleh dua petugas keamanan. "Apa yang terjadi?" bisik Alayya pelan, matanya mengikuti arah tatapan Ibrahim. Dia bisa merasakan suaminya menegang di sampingnya. "Abang?" panggil Alayya lembut, berusaha mendapatkan perhatian suaminya, tetapi Ibrahim hanya diam, pandangannya masih terpaku pada pria itu. Alayya yang awalnya bingung, sekarang merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekacauan tamu tak diundang. "Abang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih khawatir. Ibrahim menghela napas panja