“Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
Seringai senyum tercetak jelas dari bibir seorang pria yang saat ini sedang berada di atas tubuh seorang wanita cantik. Tangan kanannya bergerak menyusuri sisi wajah wanita itu. Pelan, yang mana membuat bulu kuduk si wanita meremang seketika. Sama halnya dengan si pria, wanita cantik berkulit putih itu pun menebar senyum yang menggoda juga gerak tangannya yang melingkar pada leher kokoh pria yang tak lagi muda, tetapi tetap terlihat garis ketampanannya itu seketika mematik hasrat kelaki-lakiannya. “Malam ini kamu harus jadi milikku, Ayya,” bisiknya lirih tepat di telinga sang wanita yang biasa dipanggil Ayya itu. Embusan napas hangat yang menerpa wajahnya seketika membuat sekujur tubuh sang wanita membeku. Pria itu kembali tersenyum, lalu menatap penuh nafsu pada bibir berpemulas merah merona juga seksi itu. Perlahan dia gerakan bibirnya mendekati bibir wanita itu, tetapi sial. Baru saja kulit bibirnya akan menyentuh bibir seksi yang sedari tadi menggodanya itu, ketukan pintu kamar
Satu detikDua detikTatapan tajam dari iris mata sehitam jelaga milik Ibrahim berhasil membungkam mulut Alayya. Wanita cantik berhidung mancung itu pun sampai tidak bisa berkedip karena terpesona oleh ketampanan yang dimiliki pria di hadapannya ini. Jantungnya pun ikut berdentam-dentam seakan tahu siapa yang sedang ada di dekatnya. Refleks tangan kanan Alayya menyentuh dadanya sendiri. Dirinya tidak mengerti kenapa bisa merasa deg-degan seperti ini.“Kenapa diam? Apa jantungmu berbisik memberi tahu siapa saya?” tebak Ibrahim sambil tersenyum sinis kala melihat Alayya meraba dadanya sendiri. Alayya tidak terima, dengan kedua tangannya dia dorong tubuh Ibrahim menjauh. “Jangan asal bicara Anda, Tuan. Saya tidak mengenal Anda apalagi almarhum istri Anda. Lebih baik Anda pergi dari sini dan biarkan saya melanjutkan pekerjaan saya.”Wanita itu kembali membuang muka, sekuat tenaga dia mencoba mengingkari apa yang sudah dirasakan pada jantungnya sendiri. “Alayya Farhana Pramudhita, 24 ta
#ziya_khan21#tugas_revisi_1#CEO_3_terima_ayyaAlayya mendelik tak terima dengan penilaian Mustika. Benar dia memang wanita malam, tetapi dia bukan perempuan murahan yang bersedia tidur dengan sembarang pria.“Bisa jaga mulut Anda, Nyonya!” sentak Alayya dengan wajah geram.“Ayya, bersikaplah sopan pada Tanteku,” kata Ibrahim berang dengan ucapan Alayya.Alayya berdecak sebal, lalu menatap kesal pada pria rupawan itu. “Aku akan bersikap sopan pada orang yang sopan padaku. Jelas-jelas Tante Anda yang mulai duluan.”“Kamu pikir siapa kamu ini, berani bicara seperti itu di rumahku?” Mustika menyela dengan nada naik satu oktaf. Alayya tertawa sumbang. “Oh ya? rumah Anda? Saya nggak tuli ya, Nyonya. Ini rumah Tuan Ibrahim bukan rumah Anda!” Mustika melotot mendapati perlawanan dari orang yang bahkan tidak dia kenal sama sekali. Wanita paruh baya yang selalu dominan di dalam rumah besar ini pun tidak terima dengan sikap Alayya yang dirasa kurang ajar. “Ibrahim cepat katakan sama Tante si
Kalau saja menemukan gunting di dalam kamarnya, Alayya sudah pasti akan memotong gaun tidur panjang berbahan satin ini. Sayangnya, sudah membongkar semua isi laci yang ada di ruang ber-AC ini, wanita itu tidak juga menemukan benda tajam itu. Bagaimana tidak, Alayya tidak pernah tidur dengan baju sepanjang ini. Baju tidur yang biasa dia pakai hanya sebatas paha atasnya, sering kali hanya mengenakan pakaian dalam saja, tapi sekarang lihatlah dirinya. Baju tidur yang Alayya paham pasti harganya mahal ini melekat di tubuhnya. Tidak ingin memakai, tetapi protes yang dia lontarkan pada Christy juga Ibrahim sama sekali tidak di dengar. Apa tadi yang Ibrahim bilang, “Nggak akan ada baju-baju lama kamu di sini.”“Kenapa?” Alayya jelas terperangah saat itu, padahal dia tahu kalau Ibrahim akan menyuruh orang untuk mengambil baju-bajunya di kos-kosan. “Semua pakaian di lemari itu bukan selera saya.” protesnya lagi. “Saya tahu, tapi mulai sekarang kamu harus pakai itu, meski belum bisa seperti
Alayya berjengit kaget, hampir saja dia menjatuhkan hair dryer yang sedang dia pakai untuk mengeringkan rambut panjangnya itu di kursi depan meja riasnya ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan paksa. “Apa begitu cara orang masuk ke kamar tamu di rumah ini, Tante?” Alayya menyambut Mustika melalui cermin di depannya dengan tatapan sinis meski tangannya masih mengerakkan mesin pengering rambut itu. “Tutup mulutmu wanita tidak tahu diri, aku bukan Tantemu,’’ salak Mustika tanpa basa basi. Langkahnya pun mantap sekali mendekati wanita yang tengah tersenyum mengejek itu. Alayya berdecih sambil meletakkan hair dryer kembali ke atas meja rias. Masih dengan melihat pantulan bayangan Mustika di cermin Alayya pun berkata, “Oke, Nyonya. sekarang katakan padaku apa keperluan Anda datang ke kamarku.”Wanita berusia 58 tahun itu berdecak tak suka. Wajah judesnya kentara sekali sekarang. “Tolong ya, itu mulut dijaga bicaranya. Ini bukan kamarmu tapi milik keponakanku Ibrahim.” Perkataan M
Alayya kesal bukan main, sambungan teleponnya diputus begitu saja oleh Ibrahim. “Kurang ajar banget sih ini orang!” Alayya menggerutu sambil menatap layar ponsel yang kembali hitam. Sekali lagi dia mencoba menghubungi nomor yang tadi, tetapi hasilnya nihil. Ibrahim sama sekali tidak menggubris dering telepon darinya.“Benar-benar menyebalkan!” Gerak tangan Alayya yang akan melempar ponsel itu menggantung di udara saat terdengar Bembi berseru, “Tunggu Nona! Itu, kan, ponsel saya!” Hampir saja benda pipih itu menyapa lantai kalau saja Bembi terlambat mencegah apa yang akan wanita itu lakukan barusan. Alayya mendelik, sedetik kemudian dia menyadari kesalahannya.“Maaf …,” ucapnya ketus seraya mengulurkan kembali ponsel itu pada sang ajudan. Dia pun kembali masuk ke kamar dengan rasa kesal yang menyesakkan dadanya. “Nggak! Aku nggak mau terkurung di sini! Aku harus bisa keluar dari rumah ini secepatnya!” ujarnya be
"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
“Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
"Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin
Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut
Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu
"Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu
“Oscar, kamu harus jelaskan semuanya sekarang.” Suara Ibrahim terdengar datar, namun penuh dengan emosi yang tertahan. Matanya yang tajam menatap Oscar, yang berdiri dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah kemarin Ibrahim mengusir Oscar, hari ini dia meminta Yakub dan anak buahnya memanggil asistennya itu. Banyak hal yang harus Ibrahim tanyakan padanya. Oscar menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan pengakuannya. Ia tahu, setelah ini, tidak ada jalan kembali. Semua rahasia yang disimpannya selama ini—dari Ibrahim, dari Nisa, bahkan dari dirinya sendiri—akan terungkap. Dan itu menakutkan baginya. Ia tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba, saat dia harus mengungkapkan semua keburukannya di hadapan Ibrahim, pria yang selama ini mempercayainya seperti saudara. "Aku… Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Tuan," ujar Oscar dengan suara serak. Ia menunduk, menghindari tatapan tajam Ibrahim yang seolah bisa menembus relung hatinya. Dia benar-benar tidak tah
“Kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?” Suara Ibrahim terdengar tajam, menembus udara yang terasa tegang di ruang kantor detektif Yakub. Ruangan tersebut remang, diterangi hanya oleh lampu meja yang berada di tengah-tengah ruangan, memberikan suasana serius yang mencekam. Ibrahim duduk di seberang meja kayu besar, menatap tajam ke arah Rivaldo yang duduk di depannya dengan wajah penuh penyesalan. Rivaldo, pria yang dulu merawat Nisa di hari-hari terakhirnya, sekarang duduk dengan tubuh yang tampak letih, tetapi ekspresinya menandakan kesungguhan. "Aku … aku tidak bisa, Tuan Ibrahim. Mustika, dia punya cara untuk membuatku diam," jawab Rivaldo, suaranya gemetar. "Aku merasa bersalah sejak awal, tapi aku nggak bisa menghentikan apa yang terjadi. Mereka mengancamku." Ibrahim menggeram, menahan amarah yang kini semakin memuncak di dalam dadanya. Dia melirik ke arah detektif Yakub, seorang pensiunan polisi yang kini bekerja sebagai detektif swasta, yang berdiri di sudut ruangan deng
"Lepas! Aku harus bertemu dengan Tuan Ibrahim!" Teriakan pria itu memecah suasana resepsi yang semula penuh tawa dan canda. Tamu-tamu undangan, termasuk Alayya, tersentak mendengar suara lantang tersebut. Ibrahim yang tengah melayani tamu-tamunya segera menghentikan aktivitasnya. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari senyuman hangat menjadi tatapan penuh keterkejutan. Dia langsung menoleh ke arah pintu masuk, seorang pria lusuh yang tampak berantakan sedang dipegang erat oleh dua petugas keamanan. "Apa yang terjadi?" bisik Alayya pelan, matanya mengikuti arah tatapan Ibrahim. Dia bisa merasakan suaminya menegang di sampingnya. "Abang?" panggil Alayya lembut, berusaha mendapatkan perhatian suaminya, tetapi Ibrahim hanya diam, pandangannya masih terpaku pada pria itu. Alayya yang awalnya bingung, sekarang merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekacauan tamu tak diundang. "Abang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih khawatir. Ibrahim menghela napas panja