“Tante kenapa? Apa ada yang sakit?” Mustika terkesiap. Tidak menyangka kalau Ibrahim sedang memperhatikannya. Mustika berdehem sejenak hanya untuk melonggarkan tenggorokannya yang dirasa tercekat. “Nggak ada kok, Ibrahim. Tante baik-baik aja, karena supnya masih panas aja jadi Tante diam,” jelasnya yang sudah pasti berbohong. Ibrahim hanya mengangguk saja, lalu melanjutkan makannya, sedangkan Alayya tak peduli. Dia dengan lahap menyantap semua yang disediakan Christy di depannya. Segera menyelesaikan sesi sarapan ini dan kembali ke kamarnya adalah hal yang sangat ingin dia lakukan saat ini. “Lukamu bagaimana, Ya? Perbannya udah diganti?” tanya Ibrahim yang mengalihkan tatapannya pada Alayya. “Udah, pakai plester aja kok,” jawab Alayya dengan mulut yang penuh makanan.Ibrahim terkekeh. “Salep lebamnya udah dikasih juga?” Kali ini Alayya mengangguk. Malas bicara. Sandwich-nya terlalu enak untuk diabaikan.Akan tetapi, kehadiran
“Nggak usah cari perhatian kamu, Ayya. Ibrahim nggak akan tertarik sama wanita bekas orang kayak kamu ini.”Alayya mendelik tak terima dengan sindiran Mustika. Dia benar-benar kesakitan sekarang. Salahnya juga karena terburu-buru mau bangkit dari kursinya, lutut yang masih lebam dan terluka itu terantuk bibir meja makan bagian bawah. Bukannya membantunya, Mustika malah menuduhnya yang bukan-bukan. Jadi jangan salahkan kalau akhirnya Alayya menepis tangan Ibrahim yang ingin menyentuh kakinya. “Nggak perlu, Tuan. Saya bisa sendiri,” ucap Alayya dengan nada ketus. Ibrahim tidak memaksa, tetapi tangan yang berhenti di udara itu pun dia kepalkan dengan erat. Kesal? Bukan. Ibrahim sungguh mengkhawatirkan Alayya. Namun, wanita itu sudah tidak ada di kursinya. Pria yang pagi ini memakai jas abu-abu itu menengok ke belakang punggungnya, Alayya berjalan dengan tertatih sambil memegang lututnya yang terluka. “Kenapa Tante bicara seperti tadi?” Pelan, tetapi cukup untuk menyentil perasaan Mus
Alayya memandang gamang pada layar ponsel yang sudah menghitam. Kalau dia tidak mengenal siapa Ghania, tentu dia tidak akan percaya dengan apa yang baru saja temannya itu katakan. Lima puluh juta bukan nominal yang kecil, bahkan untuk dirinya yang sudah menjadi wanita dengan gelar favorit di klubnya bernaung, jumlah itu baru bisa dia dapatkan paling cepat selama satu bulan tanpa dihitung fee dari pelanggan sendiri tentunya, tetapi lihatlah Ghania mendapatkannya hanya dalam satu hari dan itu juga dari pria yang mengurungnya di sini? “Iya, Tuan Ibrahim bilang, ini uang untuk ganti bayar kos-kosan kamu, dan aku nggak boleh lagi ajakin kamu cari pelanggan, Ya. Kalau nggak nurut, aku harus bayar tiga kali lipat sama dia.” Itu kata Ghania tadi yang tentu saja membuat Alayya makin terperangah.“Jadi dia benar-benar serius melarangku menjadi wanita malam lagi? Tapi, masa iya aku harus berada di dalam kamar terus, sih? Aku bukan tahanan ’kan, ya?”
“Apa yang Nyonya katakan? Anda tahu benar apa artinya Nona Ayya untuk Tuan Ibrahim.” Christy jelas tidak bisa berdiam diri mengetahui niat Mustika saat ini. “Diam, kamu, Chris! Aku nggak lagi minta pendapatmu. Kalau kamu nggak mau dengar, keluar saja dari kamar ini sekarang,” titah Mustika dengan nada ketus pun tanpa melihat ke arah sang pelayan.“Nyonya … jangan lakukan itu. Anda tahu konsekuensinya jika melanggar perintah Tuan Ibrahim, bukan?” ucapan Christy kali ini berhasil mengalihkan tatapan mata Mustika.Dengan sorot mata memicing tajam, wanita paruh baya itu berkata,’’Nggak usah ngancam aku, Chris! Asal kamu tutup mulut, Ibrahim juga nggak akan tahu kalau aku yang membantu wanita ini pergi darinya.”“Ta-tapi ….”“Udah deh! Kalian ini apa-apaan sih? Malah ribut di depanku?” sentak Alayya yang sedari tadi memperhatikan pembicaraan kedua paruh baya itu. Kedua wanita itu pun serentak mengalihkan tatapannya pada Alayya.“Oke, Nyonya cepat katakan apa saran Anda biar aku bisa menjau
Beruntung coffee shop yang ada di lobi kantor Ibrahim sedang sepi pengunjung, hingga kehadiran Darel beserta anak buahnya yang ternyata tidak hanya dua orang itu tidak menarik perhatian para pengunjung cafe yang lain. Ibrahim pun tidak mau kalah. Dia minta Oscar untuk memanggil para ajudannya berkumpul di cafe saat ini juga. Hanya untuk persiapan kalau-kalau pria tambun ini berbuat sesuatu yang di luar dugaannya.“Sekarang katakan apa maksud Anda nggak mau mengembalikan Ayya padaku? Dia wanita favorit di klub aku. Jangan pikir kamu bisa menguasainya begitu saja.” Darel sedang mencoba bersabar, sedari pria tampan di depannya ini memindah tempat diskusi mereka dari luar kantor ke dalam cafe, pria bercambang tipis itu sama sekali belum bicara lagi, sekarang dia justru tersenyum menyeringai menanggapi ucapannya barusan membuat kesalnya makin bertambah saja. “Kenapa Anda tersenyum seperti itu?” tanya pria paruh baya itu dengan nada ketus.Ibrahi
Alayya berdecih tak suka. Mana mungkin dia rindu pada pria sekaku kanebo kering ini. “Jangan ke-PDan deh, Tuan. Siapa juga yang rindu pada Anda,” jawab Alayya dengan gugup. Terlihat sekali dari cara dia menatap Ibrahim yang tidak fokus. Tingkahnya itu sangat menggemaskan, tanpa sadar sudut bibir Ibrahim terangkat sedikit. Apalagi saat jarak dirinya semakin dekat dengan Alayya, wanita itu justru terlihat terkejut lalu mundur satu langkah. “Baiklah. Anggap saya terlalu percaya diri. Sekarang katakan, kenapa jam segini kamu ada di sini? Bukannya tidur biar besok pagi lebih mudah bangunnya?” tanyanya tanpa mengurangi intensitas tatapan tajam, tapi menghanyutkan itu. Alayya susah payah menelan salivanya saat ini. Jaraknya dengan Ibrahim tidak lebih dari sejengkal membuat rasa khawatirnya banyak. Takut pria itu mendengar detak jantungnya yang makin riuh pun malu kalau sampai rasa panas di pipinya menimbulkan rona merah jambu yang bisa dilihat sang Tuan Muda tampan itu. Tanpa berani menat
Di dalam kamarnya, Ibrahim mendudukkan bokongnya dengan kasar di bibir ranjang. Dengan sedikit membungkukkan badan dia mengusap cepat wajahnya berulang kali, ingin rasanya berteriak untuk melepaskan semua beban dalam hatinya saat ini. Ibrahim tersiksa, dia terbebani oleh rasa penyesalan yang tak kunjung menemui muaranya. Ini semua karena pertanyaan Alayya barusan. Pertanyaan yang sangat ingin dia hindari sebenarnya, karena selama satu tahun terakhir ini pria yang akan berusia tiga puluh tahun sebulan lagi itu telah mencoba untuk melupakan kejadiaan kecelakaan itu pun rasa penyesalan yang mengiringinya. Kalau boleh meminta, Ibrahim justru memilih agar dialah yang berada di dalam mobil naas itu, tetapi kehendak Yang Kuasa sudah mentakdirkan kalau istri tercintalah yang harus mengalaminya. Masih jelas dalam ingatan Ibrahim siang hari itu, saat dia seharusnya datang menjemput Nisa di rumah untuk berangkat ke acara ulang tahun rekan kerjanya di daerah puncak. Namun, karena kesibukannya ya
Untuk pertama kalinya dalam hidup seorang Alayya, dia menitikkan air mata hanya karena ucapan seorang pria. Alayya yang sejak kecil hidup di lingkungan lokalisasi dan tinggal bersama orang-orang yang tidak pernah memakai hati dalam berhubungan denagn banyak orang, kali ini merasakan betapa hatinya sakit ketika Ibrahim mencurigainya. Memang benar adanya jika perubahannya saat ini karena dia punya maksud tertentu, tetapi tidak bisakah Ibrahim melihat ketulusannya atau dia kurang pandai berakting hingga dengan mudah Ibrahim mengetahui isi pikirannya?Benar juga. Kenapa dia harus kesal? Kenapa dia mesti menangis? Alayya jadi bingung dengan dirinya sendiri saat ini yang kesal dan sedih bersamaan. Suara pintu kamarnya yang tertutup dengan keras membuatnya segera mengusap jejak basah di kedua pipinya. Cepat dia buka pintu toilet dan ternyata Ibrahim sudah tidak ada di dalam kamarnya, dan mendapati kenyataan itu, Alayya meremas baju di dadanya. Ke
"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
“Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
"Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin
Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut
Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu
"Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu
“Oscar, kamu harus jelaskan semuanya sekarang.” Suara Ibrahim terdengar datar, namun penuh dengan emosi yang tertahan. Matanya yang tajam menatap Oscar, yang berdiri dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah kemarin Ibrahim mengusir Oscar, hari ini dia meminta Yakub dan anak buahnya memanggil asistennya itu. Banyak hal yang harus Ibrahim tanyakan padanya. Oscar menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan pengakuannya. Ia tahu, setelah ini, tidak ada jalan kembali. Semua rahasia yang disimpannya selama ini—dari Ibrahim, dari Nisa, bahkan dari dirinya sendiri—akan terungkap. Dan itu menakutkan baginya. Ia tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba, saat dia harus mengungkapkan semua keburukannya di hadapan Ibrahim, pria yang selama ini mempercayainya seperti saudara. "Aku… Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Tuan," ujar Oscar dengan suara serak. Ia menunduk, menghindari tatapan tajam Ibrahim yang seolah bisa menembus relung hatinya. Dia benar-benar tidak tah
“Kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?” Suara Ibrahim terdengar tajam, menembus udara yang terasa tegang di ruang kantor detektif Yakub. Ruangan tersebut remang, diterangi hanya oleh lampu meja yang berada di tengah-tengah ruangan, memberikan suasana serius yang mencekam. Ibrahim duduk di seberang meja kayu besar, menatap tajam ke arah Rivaldo yang duduk di depannya dengan wajah penuh penyesalan. Rivaldo, pria yang dulu merawat Nisa di hari-hari terakhirnya, sekarang duduk dengan tubuh yang tampak letih, tetapi ekspresinya menandakan kesungguhan. "Aku … aku tidak bisa, Tuan Ibrahim. Mustika, dia punya cara untuk membuatku diam," jawab Rivaldo, suaranya gemetar. "Aku merasa bersalah sejak awal, tapi aku nggak bisa menghentikan apa yang terjadi. Mereka mengancamku." Ibrahim menggeram, menahan amarah yang kini semakin memuncak di dalam dadanya. Dia melirik ke arah detektif Yakub, seorang pensiunan polisi yang kini bekerja sebagai detektif swasta, yang berdiri di sudut ruangan deng
"Lepas! Aku harus bertemu dengan Tuan Ibrahim!" Teriakan pria itu memecah suasana resepsi yang semula penuh tawa dan canda. Tamu-tamu undangan, termasuk Alayya, tersentak mendengar suara lantang tersebut. Ibrahim yang tengah melayani tamu-tamunya segera menghentikan aktivitasnya. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari senyuman hangat menjadi tatapan penuh keterkejutan. Dia langsung menoleh ke arah pintu masuk, seorang pria lusuh yang tampak berantakan sedang dipegang erat oleh dua petugas keamanan. "Apa yang terjadi?" bisik Alayya pelan, matanya mengikuti arah tatapan Ibrahim. Dia bisa merasakan suaminya menegang di sampingnya. "Abang?" panggil Alayya lembut, berusaha mendapatkan perhatian suaminya, tetapi Ibrahim hanya diam, pandangannya masih terpaku pada pria itu. Alayya yang awalnya bingung, sekarang merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekacauan tamu tak diundang. "Abang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih khawatir. Ibrahim menghela napas panja