“Kamu salah paham.” Adrian geleng-geleng kepala. “Iya, meskipun memang kenyataannya Boy selalu bicara soal betapa cantiknya wanita bernama Miss A di tempat ini.”
Ayunda kembali mendelik.
“Gaun yang kamu pakai—yang aku maksud.” Pandangan Adrian mengarah pada gaun yang melekat pada tubuh Ayunda.
Seketika wanita itu merasa aneh. Ia lekas menutup tubuh bagian depannya yang memang tampak menonjolkan dirinya.
“Gaun?”
“Ehm, jadi ... jujur saja, ya. Aku ingin kamu berhenti dari sini dan jadi modelku.”
“Model?” Ayunda membeo.
Adrian sangat kesal sekali. Ayunda makin lama membuatnya sakit kepala. Ia lantas kembali mengangguk dan berusaha untuk sabar.
“Bukankah aku sudah katakan itu?” sahutnya. “Tentu semua yang kamu lakukan akan dibayar.”
Ayunda menggeleng. “Aku nggak mau.”
“Aku akan bayar kamu sebesar tip yang aku beri malam lalu. Tiga kali lipat,” ujar Adrian dengan nada meyakinkan.
Itu terlalu banyak, tapi tidak sebanding dengan apa yang selama ini menjerat dirinya. Ayunda lantas menggeleng penuh keyakinan.
“Nggak.”
“Kenapa?” Adrian terkejut Ayunda menolaknya. Wanita ini menolak tawaran mahal darinya, benar-benar tidak dipercaya.
“Apa karena kamu masih membenciku? Kamu dendam padaku?”
Ayunda menarik napas dan melurungkan kedua lengannya dari kedua bahu. “Bisa dikatakan begitu.”
Usai mengucapkan itu, Ayunda memandang Adrian dengan tatapan tajam.
Adrian menelisik pandangan Ayunda yang berbeda dengan khawatir. “Hei, Ayunda—ehm, maksudku ah, Miss A.” Lelaki itu kesal lidahnya berbelit menukar panggilan.
“Waktu sudah lama berlalu, Miss A.” Adrian menghela napas panjang. Ia balas menatap Ayunda lekat-lekat.
“Sepuluh tahun lalu kamu bersikap sangat alergi pada lelaki, sekarang apa? Lihat dirimu! Kamu malah bekerja untuk menemani pria-pria berengsek sepertiku. Apakah kamu masih meyakini bahwa hidupmu selamanya akan berada di tempat seperti ini?”
Adrian lantas mendengkus. “Atau ... kamu memang ingin selalu melakukan hal yang kamu benci itu?”
Sontak, Ayunda mendelik.
“Tentu—bersamaku? Pria yang kamu benci sejak dulu?”
Ayunda makin mendelik. Perlahan kedua sudut bibir Adrian mengembangkan seulas senyum. Ia lantas beralih mengusap bibir bawahnya singkat dan mendekatkan wajahnya pada Ayunda.
“Kamu siap, Miss A? Oh—aku ingin sekali memanggilmu ... Ayun—“
Ayunda dengan sigap menahan kedua bahu Adrian. “Apa yang mau kamu lakukan, berengsek?“
“Mengambil tantanganmu, tentu saja,” bisik Adrian. Ia lekas-lekas mengendurkan dasinya; membuat mulut Ayunda menganga. “Tapi karena kamu membuatku kecewa malam kemarin, biar aku yang menantangmu.”
Gawat! Pikirannya bergerak cepat. Sementara itu, Adrian sudah makin dekat untuk membuat napasnya terbungkam.
“Tunggu! Tunggu, Ian—“ Ayunda beralih membungkam mulut lelaki itu dengan satu tangannya. Sontak, Adrian yang kesal menyingkirkan tangan wanita itu.
“Apa, sih? Bukankah kamu nggak mau bekerja denganku?”
“Iya, tapi apakah kamu melakukannya dengan lampu menyala?” sergah Ayunda. Bibirnya tersenyum tipis melihat pada lampu yang menyala terang di atas mereka. Sekejap, Adrian meliriknya dan menggeleng.
“Sayang sekali, aku lebih suka melakukannya dengan lampu menyala.”
Adrian menatap kedua bola mata Ayunda yang kini berbinar sungguh-sungguh. Senyum dan garis tawanya begitu jarang dilihatnya dulu. Bibirnya selalu mengatup rapat saat ia menertawakannya. Lalu tiba-tiba saja namanya dipanggil untuk menghadap guru. Yang selalu membuat Adrian ingat adalah tatapan mata Ayunda yang begitu menusuk. Namun, saat ini tatapan itu membuatnya tidak bisa mengontrol diri.
“Dilihat-lihat ternyata kamu manis juga,” bisik Adrian.
Ayunda terhenyak. “Apa?”
Adrian menjawabnya dengan membungkam bibir wanita itu dengan bibirnya.
Sebelum Ayunda bisa mencerna apa yang kini terjadi pada bibirnya, Adrian menekannya lebih kuat. Hingga akhirnya, wanita itu sudah terlanjur menahan napas karena saking terkejutnya.
Ia lekas mendorong Adrian. Tatapannya nanar. Sebelah tangannya lantas melayangkan tamparan keras pada satu sisi wajah pria itu.
PLAK!
Adrian ternganga sejenak, lalu sedetik kemudian tersenyum tipis, lalu ganti menyeringai.
“Wah, mengejutkan sekali! Ternyata kamu masih sekuat itu. Bagaimana? Masih ingin berlanjut di tempat ini? Jika kamu bersikeras, aku akan dengan senang hati untuk datang lagi dan lagi.”
Ayunda bingung. Apa sebenarnya yang mau ia katakan? Ia hanya perlu mengulur waktu untuk bicara dengan Adrian. Mereka perlu bicara seperti apa yang dikatakan lelaki itu.
Berengsek, kenapa jadi seperti ini?
Sejak dulu bahkan mereka tidak bisa bicara dengan baik. Sekarang apa? Ini seperti negosiasi yang terpaksa hingga berakhir begini.
“Kamu seharusnya nggak melakukan itu.” Suara Ayunda bergetar.
“Aku harus tetap berada di tempat ini. Lagi pula, aku nggak mengerti dunia apa yang kamu tawarkan. Apa kamu mau mengerjaiku lagi?”
Adrian terdiam. Wanita itu lantas berbalik dengan lekas tanpa menunggu jawaban Adrian. Ia memutar kenop pintu dan keluar dari ruangan itu. Tak peduli apa yang akan dilakukan oleh Adrian padanya nanti. Venus mungkin akan memanggilnya untuk interogasi atau hal yang tidak ia mengerti.
Ia belum pernah mengalami komplain sebelumnya. Semua pria bisa ia atasi, tapi tidak dengan Adrian. Pria itu ... menyimpan segala luka buatnya di masa lalu sampai ia lengah dengan sedikit hal seperti ini.
Langkah Ayunda berlari lekas masuk ke ruangan staf. Ia mengunci dirinya di salah satu bilik toilet. Duduk sambil meringis dalam-dalam.
“Sial. Berengsek.”
Ia marah sekali pada dirinya. Ia tidak pernah membiarkan orang lain macam-macam padanya. Ia mengusap bibirnya yang basah.
“Si berengsek itu! Apa yang baru saja dilakukannya?!” teriak Ayunda.
Ia melepas gaun dan menggantungkannya di tempat semula. Tak lama ia lalu memandang gaun itu. Boy selalu mengirimkan gaun-gaun cantik ke tempat ini.
Apa hubungan Boy dengan Adrian? Apakah mereka bisa dikatakan sebagai rekan?
Ayunda tidak ingin ambil pusing. Dia tidak pamit secara langsung pada Venus dan hanya mengirimkan pesan bahwa dia tidak enak badan.
***
Malam berikutnya, Ayunda tidak mendapatkan kalimat apa pun dari Venus. Perempuan itu hanya bertanya, “Apakah kamu sudah baikan?”
Sementara itu, ia berharap ada interograsi hingga bisa menghancurkan poinnya di minggu ini. Namun, semua yang ia pikirkan tidak terjadi. Poinnya malah makin bertambah besar, membuat teman-temannya makin membicarakan dirinya di belakang ataupun di depan.
“Bukankah Miss A pulang cepat kemarin? Tapi lihat, poinnya bahkan bertambah dua kali lipat dari malam biasanya. Apa dia memanipulasi semua ini?”
Ayunda pun heran. Ia membuka ponselnya dan mengecek siapa yang memberikannya poin besar malam lalu. Tidak ada yang lain, tentu saja Adrian.
Mata Ayunda membulat membaca baris nama pria itu kini menjadi top klien di laman miliknya. Sial, apakah dia benar-benar melakukan ini? Untuk apa?
Ayunda berkali-kali memikirkan itu sampai pada klien kesekian yang tampak memperhatikannya lebih.
“Miss A, kamu sepertinya banyak pikiran, ya? Ada apa?”
Ayunda langsung mengubah mode dirinya jadi lebih manis. “Ah, nggak kok. Aku ... tadi berpikir kenapa nggak sebaiknya Anda datang lagi besok? Tambah durasi dan poin tentunya. Aku akan menemanimu dengan baik.” Ia memasang senyuman manisnya lebih lebar.
“Kamu manis sekali, Miss A. Aku nggak tahan untuk melakukan tantangan.” Klien itu berkata dengan penuh harap.
“Hahaha. Kalau kamu mau, kamu bisa upgrade poin untukku, jadi levelmu bisa meningkat untuk tiba di sana.”
“Berengsek, jangan pernah lakukan itu! Aku tidak ingin melakukannya,” batin Ayunda.
Ia lantas beralih memandang ke arah bar dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelab hingga akhirnya terpaku pada pintu masuk yang dijaga oleh salah satu anak buah Venus.
Satu-dua orang pria masuk. Mata Ayunda menilik mereka lalu bergantian pada layar ponselnya.
Tanpa sadar, Ayunda menunggu.
Namun, Adrian tidak muncul di notifikasinya. Malah pria-pria membosankan itu lagi yang menemuinya.
“Apa dia nggak akan datang?”
Bersambung ....
Dua malam lalu.Kelab malam itu agak terpencil di lingkungan kelas atas yang nyaman, menyamar dengan pintu rahasia. Lokasinya sudah begitu dihapal seorang teman karena pekerjaan dan kebutuhan saat ini. Mereka tiba di sebuah pintu yang tertutup rapat tanpa seorang penjaga.“Tempus fugit ....” Pandangan tajam seorang pria mengarang pada pintu berpelat jam pasir dengan sepasang sayap kupu-kupu yang cantik berwarna keemasan. Adrian Laksana, seorang pria yang akan selalu memperhitungkan segala hal termasuk wanita dan tempat yang ia datangi. Wajah tegasnya mengangguk perlahan, mengakui kelab ini cukup filosofis.“Bukankah itu—menandakan waktu akan terbang ... berlalu dengan indah?”Temannya—seorang pria yang tampilannya begitu kontras merangkul pundaknya. “Mau membuktikannya?”Adrian berdecih. Ia melirik pria berambut biru pirus seleher di sampingnya. Sejujurnya, bukanlah kebiasaan baginya untuk membeli kesenangan; kebanyakan wanita dengan senang hati akan melebarkan kaki mereka lebar-leba
Peraturan Tempus Fugit:1. Klien dan staf tidak diperkenankan untuk bertukar kontak apalagi menjalin hubungan setelah sesi berakhir.2. Klien tidak diperkenankan untuk mempertanyakan identitas asli staf.3. Klien diperkenankan untuk bicara apa saja termasuk masalah mereka. Staf akan mendengarkan dan jika punya saran atau hiburan mereka akan melakukannya.4. Jika klien ingin mencapai level atas berupa bonus spesial, klien harus membuat kesepakatan dengan tantangan.5. Tidak ada kesepakatan adalah pelanggaran.6. Klien tidak diperbolehkan mengambil rekaman suara, gambar dan video selama dalam sesi.7. Tidak ada pemukulan fisik, tidak ada pelecehan verbal, tidak ada menguntit staf kami dan tidak melanggar batasan yang ditetapkan.8. Klien satu dan lainnya tidak diperkenankan merebut sesi.9. Apabila klien melanggar batasan akan dimasukkan dalam daftar hitam dan tidak diperkenankan untuk kembali datang. Adrian memutar bola matanya dengan malas. Dia tidak membaca habis semuanya. Lagi pula
“Kamu tegang sekali.” Adrian benar-benar tidak bisa mengelak. “Kamu tegang sekali, Ian. Mau kubantu?” Wajah Ayunda yang menggoda terus-menerus melesak di antara celah kedua tungkai kakinya. Adrian mereguk air liurnya. Ia menahan napas seketika wanita itu kembali tersenyum dan bicara, “Kubantu sini ..., kamu tegang sekali.” Seketika gigi taring Ayunda terlihat. Tawa wanita itu lantas terdengar keras lalu—HAP. “ARRGHHHH!” Adrian bangkit berteriak keras, membuka matanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, seseorang masuk begitu saja dalam kamarnya. “Ada apa, Ian?! Kenapa?!” Adrian melihat teman lelakinya yang berambut biru pirus dengan setelan pakaian tidur yang tak kalah mentereng berdiri di depan tempat tidurnya dengan wajah cemas. Kenapa pakaian pria itu selalu membuatnya sakit mata? Boy memang selalu tampil nyentrik! Adrian lantas tersadar dan bernapas lega. Sial. Tadi itu cuma mimpi ternyata. “Heh, lo kenapa?!” Boy kembali bersuara. Adrian bersandar di ranjangnya. Ia
Malam ini, Adrian tak datang lagi.Ayunda memastikan itu berkali-kali di ponselnya. Laman itu sudah sekian kali ia refresh, tapi tidak ada daftar klien lain yang masuk. Sementara itu, Venus sudah memanggilnya untuk menemui klien selanjutnya. Sepertinya ini klien terakhir. Sudah lewat tengah malam dan Venus sudah menutup akses.Ayunda merutuki notifikasi yang muncul. “Pria itu lagi! Tidak ada Adrian.”Malam berikutnya pun sama.Dan berikutnya.Berikutnya.Dipikir-pikir, kenapa ia jadi gelisah seperti ini. Adrian sepertinya memang tidak serius dengan tujuannya. Apa lelaki itu memang ingin mengerjainya lagi seperti di masa sekolah dulu? Sampai membuatnya mundur dari jabatan ketua OSIS dan dihujat satu sekolah hingga berakhir membuatnya keluar dari sana.Adrian memang tidak pernah bisa dipercaya.Lagi pula kenapa ia jadi kepikiran tentang poin yang besar selama dua malam lalu berturut-turut memenuhi akunnya? Bukan hanya sekali ini saja kan dia dapat hal seperti itu. Adrian masih menduduk
“Kamu datang setiap malam?“ Ayunda bertanya dengan nada marah.“Kamu berharap aku datang?“ goda Adrian.Wanita itu salah tingkah. “Ehm, bukan begitu.“Adrian terkekeh. “Kamu menungguku. Aku tahu itu, kamu selalu gelisah memandang ke arah pintu,“ bisiknya. Senyumnya benar-benar membuat Ayunda ingin kembali menamparnya.“Kamu menungguku, kan?“ Pria itu kembali menggoda Ayunda.Ayunda menarik napas kesal.“Sebenarnya ... aku ingin bicara denganmu, tapi jadwalmu selalu penuh. Aku selalu terlambat datang. Tapi dipikir-pikir bicara denganmu itu melelahkan, selalu saja ada perdebatan. Aku heran kenapa para pria itu betah sekali—““—Kamu yang selalu mengajakku berdebat,” sergah Ayunda dengan mata memelotot. “Dan, maaf sekali, ya. Aku nggak mau bicara denganmu lagi. Sudah jelas kukatakan pada malam lalu, kan? Aku nggak mau menerima tawaranmu.“Adrian menghela napas. Wanita di depannya ini tidak pernah mau mengalah. Ia akui agak kesulitan hanya untuk sekedar bicara baik-baik.Namun, dilihat lag
“Maaf, saya terlambat.” Ayunda menghela napas terengah-engah seketika membuka ruangan yang kini penuh dengan para wanita berpakaian anggun dan menggoda. Di depan mereka semua, Venus berdiri dan menoleh pada Ayunda. Wajahnya yang datar, tatapannya yang tajam tanpa perlu penekanan langsung menusuk Ayunda. “Kamu tahu minggu ini poinmu sangat tinggi dan tentunya tidak pernah bisa dikejar yang lain, tapi jangan lupa—semua staf harus mematuhi peraturan terutama soal kehadiran tanpa ter-kecuali.” Ayunda mengangguk. Ia tahu tentang itu, tapi Venus pun lebih tahu bahwa dirinya tak hanya fokus pada pekerjaan ini. Itulah sebabnya ia selalu datang tidak tepat waktu. “Kamu berkeringat banyak sekali. Mandi dan cepat bersiap-siap.” “Baik, Venus. Aku permisi.” Venus berbalik pada yang lainnya dan menutup briefing. Ayunda masuk ke ruang staf dan segera mengurus dirinya. Ia sebenarnya terlalu lelah untuk semua pekerjaan ini. Namun, keadaan memaksanya sampai sekarang. Apalagi kontraknya dengan
Ayunda merasa dipermainkan. Pertama oleh Adrian. Kedua oleh Venus dan pemikirannya. “Iya, tapi, Miss A, kamu tahu apa maksudku. Aku bicara seperti ini karena kamu adalah nomor satu —” “Dan aku tetap nomor satu di sini tanpa dirinya, kan? Posisiku tetap nomor satu sejak awal sebelum dia tidak datang kemari, kan?” Venus mengangguk sesaat menyadari Miss A benar. “Kalau begitu ... bisa aku pergi dengan tenang kepada klienku yang menunggu?” Venus mempersilakan perempuan itu untuk pergi kepada kliennya tanpa diantar. Miss A mengetuk pintu dan masuk. “Selamat malam, Tuan. Miss A datang!” Ayunda benci sekali saat mengucapkan salam itu dengan suara imut yang dibuat-buatnya. Namun, kliennya begitu menyukainya. Klien kali ini adalah pria yang kemarin kalah dalam tantangan. Dan dia kembali untuk menantang dirinya. Ayunda bersiap untuk mengalahkan pria itu. “Duduk sini, Miss A!” Ayunda tersenyum dan langsung menawarkan minum. “Minum dulu, Tuan.” “Iya, Miss A.” “Minum yang banyak, ya.” Ay
Semua gara-gara Adrian! Dia sengaja sekali datang setiap hari hanya untuk membuatku terganggu. “Si berengsek itu! Dia pasti sengaja melakukannya!” teriak Ayunda. Wanita itu mencuci wajahnya di toilet usai Venus pergi berjam-jam yang lalu. Sudah hampir di penghujung waktu, tapi dia tidak juga mendapatkan notifikasi klien. Ia membanting pintu toilet dengan kasar dan mengejutkan seseorang di luar. “K-kamu berteriak, Miss A?” Ayunda memandang Putri Salju yang tengah mengambil sesuatu di loker dengan terkejut. Dia pikir tidak ada siapa-siapa di luar. “Ehm, apakah kamu mendengarku?” Putri Salju mengangguk. “Maaf ya.” Ayunda lantas melipir ke kursinya dan duduk di sana sembari mengeluarkan ponsel. “Kamu sepertinya ada masalah, Miss A?” Ternyata wanita itu tidak pergi, melainkan duduk di samping Ayunda. “Klienmu ....” Pandangan Putri Salju pun bertanya-tanya kenapa dia di sini. “Tidak ada klien malam ini,” sahut Ayunda santai. Wanita itu kembali mengangguk. “Tapi ... aneh sekali.
“Udah denger kabar, belum? Ketua OSIS kita yang sok perfeksionis itu ternyata nilep duit dari dana amal acara sekolah kemarin.”“Serius??”“Iya.”“Hari ini dia bahkan dipanggil kepala sekolah. Nggak tahu deh gimana, dipecat kali, atau mungkin dilaporin polisi.”“Nggak nyangka, kok bisa, ya? Jahat banget.”“Dia mungkin nggak pernah ngeliat uang sebanyak itu.”“Eh, denger-denger sih, katanya dia sengaja ngambil uang itu untuk biaya berobat ibunya di rumah sakit.”“Hahh??”“Sampai sebegitunya?”“Nggak heran, sih. Dia kelihatan kampungan, kalaupun bukan karena beasiswa dia juga nggak bisa masuk sekolah ini, kan?”***“Ayunda! Semua orang bicara yang nggak-nggak tentang kamu.”“Biar aja.”Manda kebingungan menghibur temannya yang terasa makin menjauh darinya. Dia juga makin bingung yang mana yang benar. Semua bukti dikatakan nyata oleh OSIS. “Apa semua yang mereka katakan benar begitu, Ayunda? Apa benar kamu ….”Ayunda menatap Manda agak lama, lalu tersenyum tipis. “Menurutm
“Aku sudah memberikannya pada Ayunda.” Egi kembali membela diri usai Surya terus mendesaknya.“Baiklah, baiklah, kita akhiri aja dan cari Ayunda. Masalah ini nggak bisa dibiarkan berlarut-larut,” kata Surya.“Lebih baik lo cari Ayunda dan kalian bicarakan ini secepatnya,” saran Adrian.Surya menoleh pada yang lainnya, meminta persetujuan. Mereka semua mengangguk.“Kita berdiam diri di sini aja juga nggak menghasilkan apa-apa.” Surya pun akhirnya menyetujui Adrian untuk pergi mencari Ayunda. “Oke, tapi lo harus ikut gue cari Ayunda.”“Sialan, gara-gara dia gue nggak bisa istirahat,” keluh Adrian.“Apa boleh buat. Peran lo di sekolah ini lebih dari Ayunda,” sahut Surya.Adrian pun mau tidak mau mengikuti ke mana Surya melangkah. Tujuan mereka pertama adalah kelas Ayunda, tapi gadis itu tidak ada di sana. Sementara itu, dari area gymnasium, tim lawan baru saja keluar diiringi pendukungnya. Adrian yang melihat kerumunan lawan timnya berhenti dengan cepat. Ada sesuatu yang mencuri
Sepuluh tahun yang lalu. Bunyi dentum bola basket beradu dengan langkah kaki yang menyusul. Sorakan memandu di sana-sini, teriakan makin membahana di gimnasium usai operan bola lawan tertangkap oleh Adrian. Lelaki berambut cepak usai beberapa minggu lalu kena razia rambut, kini memegang kendali bola. Nama lelaki itu lantas menggema usai melakukan shooting dengan tembakan tiga poin. Ayunda memperhatikan lelaki itu—Adrian Laksana yang serius berada di lapangan. Dia tidak ikut-ikutan tertarik seperti yang lainnya; jejeritan tidak jelas dan berisik. Di sisinya, ada Manda, memasang cengiran. “Adrian ganteng juga kalau lagi main basket. Nggak kalah sama pesona kapten lawan. Kenapa nggak dari dulu aku perhatikan, ya, Ayunda? Kita kalah dari semua cewek-cewek di sini.” Ayunda diam saja. Sesaat setelahnya sebuah pesan masuk ke ponselnya, disusul dering panggilan. Gadis berambut lurus itu menyisih sambil menerima telepon. “Kenapa Egi?” serunya, sambil menyumpal satu telinganya agar lebih j
“Apa menjadi model untukmu ... bisa membebaskan aku?” Pertanyaan wanita itu kadang tidak pernah terduga dan terlalu mengejutkan—to the point.Adrian menatap wanita itu begitu serius, bahkan lebih dari serius.“Reuni denganmu … membuatku bertanya-tanya tentang kebebasan. Sementara aku pernah terbuang sebelumnya.”“Ayunda, kamu benar-benar ingin bebas, bukan?” tanya Adrian.Bebas?Ayunda mendadak terdiam dalam pikirannya. Tak lama ia kemudian mengedikkan bahu.“Entahlah. Aku nggak bisa pergi dari genggaman Rose. Tanpa izinnya pun, aku bahkan nggak bisa bicara seperti ini padamu,” kata wanita itu. “Kontrakku terikat tidak ada batasan. Hidup dan matiku ada di tangannya.”“Memangnya Rose Tuhan?” cibir Adrian. “Dengar ya, Ayunda. Tuhan saja bisa memberikan kesempatan untuk umatnya. Jadi, jangan ragu. Ikuti saja kata hatimu dan jangan pernah percaya pada siapa pun, termasuk aku. Kamu nggak salah merasa curiga setelah kita lama nggak bertemu. Aku nggak keberatan jika kamu tetap mengang
“Pergilah, Ayunda. Bukankah aku sudah mengatakan tugasmu hari ini?” Suara Rose Martha menjawab Ayunda yang hanya terdiam, sementara Adrian menunggunya di depan pintu.“Bosmu sudah mengizinkanmu. Ayo, pergi,” kata Adrian. Sebelah tangannya terulur pada Ayunda.Wanita itu masih terdiam, kali ini matanya melirik jemari Adrian yang dia sadari begitu panjang dan lentik.“Waktumu begitu banyak, jangan kecewakan aku, Ayunda.” Rose lantas pergi lebih dulu, melewati mereka yang masih berdiri berhadapan.Ayunda sempat melirik wanita itu sebelum akhirnya pasrah akan tugasnya yang harus kembali berhadapan dengan Adrian Laksana.“Kenapa kamu selalu muncul di hadapanku?”“Sudah jelas tujuanku sejak awal. Aku hanya ingin kamu, Ayunda.”Ayunda menarik napas kesal usai mendengar jawaban itu, dia lalu melangkah lebih dulu tanpa menghiraukan uluran tangan Adrian.“Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Ayunda saat mereka sudah berada di lift.Adrian tersenyum miring. “Akhirnya kamu penasaran. Akan aku pastik
“Apa ini?” Ayunda bertanya dengan wajah bingung pada salah satu staf Rose yang membawakannya sesuatu. Satu stel pakaian rapi; blus putih, rok dan blazer hitam “Itu jelas-jelas pakaian kantor, Ayunda. Kamu tidak mungkin menemui klienku dengan seragam cleaning servise begitu, kan?” Rose menatap Ayunda dari mejanya dengan tatapan angkuh. “Jangan permalukan aku, cepat ganti pakaianmu.” Ayunda tidak punya pilihan. Dia bekerja pada dua perusahaan langsung pada Rose. Wanita itu menemukannya di antara kesalahan satu, dua dan seterusnya sampai pada akhirnya Ayunda tidak punya pilihan lain selain menurut. Wanita itu masuk diikuti staf sekretaris ke ruang ganti yang ada di dalam kantor Rose. Dia berganti pakaian dan dibantu merias diri. Setelahnya, Ayunda dihadapkan satu map di meja. “Bu Rose ingin kamu mengerjakan ini.” “Ini ...?” “Dokumen para model untuk direkomendasikan kepada pihak Stardust.” “Stardust?” Kening Ayunda kerut merut. “Kamu tidak tahu Stardust? Itu adalah merek fesy
“Kak Yunda, bangunlah. Bukankah kakak ada pekerjaan pagi ini?”Suara gaduh terdengar di dekatnya. Ayunda yang masih setengah sadar dari mimpinya hanya bergumam sambil berusaha membuka mata. Seorang gadis berambut sebahu tengah berdiri memunggunginya di depan meja rias. Tangannya piawai meraih benda-benda yang bergeletakan di sana. Ayunda mengernyit.“Sedang apa kamu, Dinda?”Ia lantas bangkit dan menyadari bahwa adik semata wayangnya itu tengah melakukan apa dengan sebuah kuas kecil di tangannya.“Berani sekali kamu masuk tanpa permisi dan memakai make-up milikku!” Wanita itu gegas merebut kuas kecil yang akan digunakan sang adik untuk membubuhkan hiasan pada kelopak mata.“Sedikit aja, Kak,” rengek Adinda. Gadis pendek itu berusaha meraih apa yang kini berpindah di tangan kakaknya. “Hari ini aku ada kelas untuk seleksi Olimpiade Matemati
Semua gara-gara Adrian! Dia sengaja sekali datang setiap hari hanya untuk membuatku terganggu. “Si berengsek itu! Dia pasti sengaja melakukannya!” teriak Ayunda. Wanita itu mencuci wajahnya di toilet usai Venus pergi berjam-jam yang lalu. Sudah hampir di penghujung waktu, tapi dia tidak juga mendapatkan notifikasi klien. Ia membanting pintu toilet dengan kasar dan mengejutkan seseorang di luar. “K-kamu berteriak, Miss A?” Ayunda memandang Putri Salju yang tengah mengambil sesuatu di loker dengan terkejut. Dia pikir tidak ada siapa-siapa di luar. “Ehm, apakah kamu mendengarku?” Putri Salju mengangguk. “Maaf ya.” Ayunda lantas melipir ke kursinya dan duduk di sana sembari mengeluarkan ponsel. “Kamu sepertinya ada masalah, Miss A?” Ternyata wanita itu tidak pergi, melainkan duduk di samping Ayunda. “Klienmu ....” Pandangan Putri Salju pun bertanya-tanya kenapa dia di sini. “Tidak ada klien malam ini,” sahut Ayunda santai. Wanita itu kembali mengangguk. “Tapi ... aneh sekali.
Ayunda merasa dipermainkan. Pertama oleh Adrian. Kedua oleh Venus dan pemikirannya. “Iya, tapi, Miss A, kamu tahu apa maksudku. Aku bicara seperti ini karena kamu adalah nomor satu —” “Dan aku tetap nomor satu di sini tanpa dirinya, kan? Posisiku tetap nomor satu sejak awal sebelum dia tidak datang kemari, kan?” Venus mengangguk sesaat menyadari Miss A benar. “Kalau begitu ... bisa aku pergi dengan tenang kepada klienku yang menunggu?” Venus mempersilakan perempuan itu untuk pergi kepada kliennya tanpa diantar. Miss A mengetuk pintu dan masuk. “Selamat malam, Tuan. Miss A datang!” Ayunda benci sekali saat mengucapkan salam itu dengan suara imut yang dibuat-buatnya. Namun, kliennya begitu menyukainya. Klien kali ini adalah pria yang kemarin kalah dalam tantangan. Dan dia kembali untuk menantang dirinya. Ayunda bersiap untuk mengalahkan pria itu. “Duduk sini, Miss A!” Ayunda tersenyum dan langsung menawarkan minum. “Minum dulu, Tuan.” “Iya, Miss A.” “Minum yang banyak, ya.” Ay