“Udah denger kabar, belum? Ketua OSIS kita yang sok perfeksionis itu ternyata nilep duit dari dana amal acara sekolah kemarin.”“Serius??”“Iya.”“Hari ini dia bahkan dipanggil kepala sekolah. Nggak tahu deh gimana, dipecat kali, atau mungkin dilaporin polisi.”“Nggak nyangka, kok bisa, ya? Jahat banget.”“Dia mungkin nggak pernah ngeliat uang sebanyak itu.”“Eh, denger-denger sih, katanya dia sengaja ngambil uang itu untuk biaya berobat ibunya di rumah sakit.”“Hahh??”“Sampai sebegitunya?”“Nggak heran, sih. Dia kelihatan kampungan, kalaupun bukan karena beasiswa dia juga nggak bisa masuk sekolah ini, kan?”***“Ayunda! Semua orang bicara yang nggak-nggak tentang kamu.”“Biar aja.”Manda kebingungan menghibur temannya yang terasa makin menjauh darinya. Dia juga makin bingung yang mana yang benar. Semua bukti dikatakan nyata oleh OSIS. “Apa semua yang mereka katakan benar begitu, Ayunda? Apa benar kamu ….”Ayunda menatap Manda agak lama, lalu tersenyum tipis. “Menurutm
“Anda nakal,” bisik Ayunda dengan riasan wajah yang menggoda. “Miss A ...,” suara parau itu berbisik di telinganya, tangannya hinggap di pangkuan sambil tersenyum. “Kenapa kamu tidak pernah mau pergi denganku? Aku berjanji, kita akan bersenang-senang.” Kliennya yang kali ini terlihat tua mendekatkan wajahnya. Napasnya berbau alkohol dan rokok. Sementara itu, dasi dan bajunya longgar dan kusut—sepertinya hari ini benar-benar melelahkan buatnya. “Aku juga lelah,” batinnya. Miss A—nama samaran Ayunda—sangat istimewa di Tempus Fugit. Bahkan tarifnya sangat tinggi dari yang lainnya. Namun, tidak ada yang berhasil menyentuhnya dalam arti khusus. “Anda tentu terlalu banyak waktu. Lain kali pastikan tambah durasi bersamaku, ya?” Ayunda menolaknya dengan halus. Dia lalu memindahkan tangan pria itu hati-hati dari atas pangkuannya sambil tertawa genit. Tersisa dua menit lagi sesi pria itu berakhir bersamanya. Dia berharap tidak ada lagi yang ‘memesan’ dirinya. “Aku benci pekerjaan ini.”
“Miss A datang untuk Anda,” seru Venus, sebelum akhirnya dia pamit. Ayunda kembali menemui Adrian Laksana. Respons pertama mereka satu sama lain adalah ... saling tatap. Pria itu tengah duduk bertelekan satu kaki panjangnya di sofa berlengan. Jasnya tersampir di sana meninggalkan terusan kemeja berlekuk lelah di gulungan siku. “Tutup pintunya.” Jantung Ayunda berdebar kencang saat mendengar titah itu. Ia lantas mengikuti permintaan itu. Ia menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati dan perlahan. Seperti sengaja untuk memperlambat waktu. “Kemari.” Setiap langkah, jantung Ayunda tampak berdebar lebih cepat. Ia berhenti tepat di depan seorang Adrian Laksana, musuh bebuyutannya di masa SMA dulu. Ia sempat mengalami hal ini. Adrian duduk di hadapannya di atas meja kelas. Sementara itu ia dipanggil untuk menghadapnya sendirian. Sensasi menegangkan itu masih teringat jelas sampai sekarang. Sial. Adrian lantas bangkit dari tempat duduknya. Ia jauh lebih tinggi dari yang Ayunda i
Sepuluh tahun lalu. “Adrian!” Adrian berhenti usai mendengar namanya terpanggil tepat saat ia melewati gerbang sekolah. Di sana, seorang siswi teladan—Adrian menyebutnya begitu karena tampilan gadis itu sungguh rapi sekali. Rambut sebahunya diikat rapi ke belakang, kemejanya licin tanpa lekuk setrika, roknya di bawah lutut menyesuaikan dan tentu saja rapi dimasukkan dalam seragam. “Apa lagi? Lo nggak bosan menghukum gue terus? Nih, lihat! Seragam gue masukin ke celana udah rapi, celana gue beli baru karena lo nggak suka gue pakai celana pensil, terus ... ikat pinggang, kaus kaki gue putih, sepatu gue juga hitam.” “Rambut,” tunjuk Ayunda. Adrian mendesah. Ia belum mencukur rambutnya yang sebenarnya belum panjang-panjang amat. Namun, sepertinya Ayunda memang tidak pernah bisa menolerir satu hal kesalahan dari dirinya. “Gue—“ Belum sempat Adrian menjelaskan, gadis itu sudah menarik telinga kirinya sampai ia menjerit kesakitan. “Arghhh! Sakit, Ayunda!!” Telinganya berdenyut nyeri
“Kenapa bertanya terus? Waktu terus berjalan. Kamu sengaja, ya, mau membuat waktuku habis dengan sia-sia?” Adrian kembali memasang senyum menjengkelkan. Ayunda mendengkus. Jika bukan karena Adrian adalah klien yang membayarnya dengan mahal, dia tentu sudah menendangnya keluar—dan tentu saja melaporkan pada Venus untuk segala hal yang bisa mem-blacklist nama Adrian Laksana dari Tempus Fugit. Namun, Ayunda sadar Adrian Laksana bukan berasal dari keluarga sembarangan. Bisa-bisa dialah yang kehilangan pekerjaan. Atau yang lebih parah, dia tidak bisa hidup lagi. Ayunda meringis membayangkan hidupnya yang malang. Seperti dulu, nama Adrian Laksana membayangi dirinya usai diusir dari sekolah. “Kenapa wajahmu seakan-akan mau menangis? Kamu sedang bersiap-siap untuk kalah, ya?” ejek Adrian, disambung tawa. Ayunda sontak kembali mengangkat wajahnya. Matanya memelotot sesaat, perlahan dia tersenyum lebar memperlihatkan kedua gigi taringnya. Adrian menarik senyum jengah. “Kamu yang
“Duh, aku sudah memberimu poin sangat banyak, loh. Poinmu sangat tinggi malam lalu, kan? Ya, meskipun kemarin kamu nggak membuatku puas. Aku hargai usaha dan namamu yang besar itu, Miss A.” Ayunda mendelik. Adrian lantas tersenyum miring. “Kenapa kamu menyambutku seperti itu? Itu nggak membuatku senang, loh.” Ayunda sungguh geram. Ia bisa bertingkah biasa pada semua pria yang sebenarnya ia benci. Namun, Adrian adalah spesies laki-laki yang sangat berbeda. Sejak dulu, ia sangat—tidak pernah bisa simpati pada lelaki itu. “Kamu mau aku melakukan apa?” Akhirnya, Ayunda berkata begitu. Adrian bangkit dari sofa dan menghampirinya lebih dekat. “Sapa aku dengan imut?” Senyum pria itu kembali mengembang. “Entahlah, apakah kamu melakukan itu pada klienmu?” Ayunda menahan kesal. Ia bisa melakukan itu. Ia sudah terbiasa bermuka dua sekarang. Satu sisi begitu muak, sisi lainnya menyukai sikapnya yang menjijikkan. “Kamu mau aku melakukannya?” Sekejap, Ayunda tersenyum; memperli
“Kamu salah paham.” Adrian geleng-geleng kepala. “Iya, meskipun memang kenyataannya Boy selalu bicara soal betapa cantiknya wanita bernama Miss A di tempat ini.” Ayunda kembali mendelik. “Gaun yang kamu pakai—yang aku maksud.” Pandangan Adrian mengarah pada gaun yang melekat pada tubuh Ayunda. Seketika wanita itu merasa aneh. Ia lekas menutup tubuh bagian depannya yang memang tampak menonjolkan dirinya. “Gaun?” “Ehm, jadi ... jujur saja, ya. Aku ingin kamu berhenti dari sini dan jadi modelku.” “Model?” Ayunda membeo. Adrian sangat kesal sekali. Ayunda makin lama membuatnya sakit kepala. Ia lantas kembali mengangguk dan berusaha untuk sabar. “Bukankah aku sudah katakan itu?” sahutnya. “Tentu semua yang kamu lakukan akan dibayar.” Ayunda menggeleng. “Aku nggak mau.” “Aku akan bayar kamu sebesar tip yang aku beri malam lalu. Tiga kali lipat,” ujar Adrian dengan nada meyakinkan. Itu terlalu banyak, tapi tidak sebanding dengan apa yang selama ini menjerat dirinya. Ayunda lanta
Dua malam lalu.Kelab malam itu agak terpencil di lingkungan kelas atas yang nyaman, menyamar dengan pintu rahasia. Lokasinya sudah begitu dihapal seorang teman karena pekerjaan dan kebutuhan saat ini. Mereka tiba di sebuah pintu yang tertutup rapat tanpa seorang penjaga.“Tempus fugit ....” Pandangan tajam seorang pria mengarang pada pintu berpelat jam pasir dengan sepasang sayap kupu-kupu yang cantik berwarna keemasan. Adrian Laksana, seorang pria yang akan selalu memperhitungkan segala hal termasuk wanita dan tempat yang ia datangi. Wajah tegasnya mengangguk perlahan, mengakui kelab ini cukup filosofis.“Bukankah itu—menandakan waktu akan terbang ... berlalu dengan indah?”Temannya—seorang pria yang tampilannya begitu kontras merangkul pundaknya. “Mau membuktikannya?”Adrian berdecih. Ia melirik pria berambut biru pirus seleher di sampingnya. Sejujurnya, bukanlah kebiasaan baginya untuk membeli kesenangan; kebanyakan wanita dengan senang hati akan melebarkan kaki mereka lebar-leba
“Udah denger kabar, belum? Ketua OSIS kita yang sok perfeksionis itu ternyata nilep duit dari dana amal acara sekolah kemarin.”“Serius??”“Iya.”“Hari ini dia bahkan dipanggil kepala sekolah. Nggak tahu deh gimana, dipecat kali, atau mungkin dilaporin polisi.”“Nggak nyangka, kok bisa, ya? Jahat banget.”“Dia mungkin nggak pernah ngeliat uang sebanyak itu.”“Eh, denger-denger sih, katanya dia sengaja ngambil uang itu untuk biaya berobat ibunya di rumah sakit.”“Hahh??”“Sampai sebegitunya?”“Nggak heran, sih. Dia kelihatan kampungan, kalaupun bukan karena beasiswa dia juga nggak bisa masuk sekolah ini, kan?”***“Ayunda! Semua orang bicara yang nggak-nggak tentang kamu.”“Biar aja.”Manda kebingungan menghibur temannya yang terasa makin menjauh darinya. Dia juga makin bingung yang mana yang benar. Semua bukti dikatakan nyata oleh OSIS. “Apa semua yang mereka katakan benar begitu, Ayunda? Apa benar kamu ….”Ayunda menatap Manda agak lama, lalu tersenyum tipis. “Menurutm
“Aku sudah memberikannya pada Ayunda.” Egi kembali membela diri usai Surya terus mendesaknya.“Baiklah, baiklah, kita akhiri aja dan cari Ayunda. Masalah ini nggak bisa dibiarkan berlarut-larut,” kata Surya.“Lebih baik lo cari Ayunda dan kalian bicarakan ini secepatnya,” saran Adrian.Surya menoleh pada yang lainnya, meminta persetujuan. Mereka semua mengangguk.“Kita berdiam diri di sini aja juga nggak menghasilkan apa-apa.” Surya pun akhirnya menyetujui Adrian untuk pergi mencari Ayunda. “Oke, tapi lo harus ikut gue cari Ayunda.”“Sialan, gara-gara dia gue nggak bisa istirahat,” keluh Adrian.“Apa boleh buat. Peran lo di sekolah ini lebih dari Ayunda,” sahut Surya.Adrian pun mau tidak mau mengikuti ke mana Surya melangkah. Tujuan mereka pertama adalah kelas Ayunda, tapi gadis itu tidak ada di sana. Sementara itu, dari area gymnasium, tim lawan baru saja keluar diiringi pendukungnya. Adrian yang melihat kerumunan lawan timnya berhenti dengan cepat. Ada sesuatu yang mencuri
Sepuluh tahun yang lalu. Bunyi dentum bola basket beradu dengan langkah kaki yang menyusul. Sorakan memandu di sana-sini, teriakan makin membahana di gimnasium usai operan bola lawan tertangkap oleh Adrian. Lelaki berambut cepak usai beberapa minggu lalu kena razia rambut, kini memegang kendali bola. Nama lelaki itu lantas menggema usai melakukan shooting dengan tembakan tiga poin. Ayunda memperhatikan lelaki itu—Adrian Laksana yang serius berada di lapangan. Dia tidak ikut-ikutan tertarik seperti yang lainnya; jejeritan tidak jelas dan berisik. Di sisinya, ada Manda, memasang cengiran. “Adrian ganteng juga kalau lagi main basket. Nggak kalah sama pesona kapten lawan. Kenapa nggak dari dulu aku perhatikan, ya, Ayunda? Kita kalah dari semua cewek-cewek di sini.” Ayunda diam saja. Sesaat setelahnya sebuah pesan masuk ke ponselnya, disusul dering panggilan. Gadis berambut lurus itu menyisih sambil menerima telepon. “Kenapa Egi?” serunya, sambil menyumpal satu telinganya agar lebih j
“Apa menjadi model untukmu ... bisa membebaskan aku?” Pertanyaan wanita itu kadang tidak pernah terduga dan terlalu mengejutkan—to the point.Adrian menatap wanita itu begitu serius, bahkan lebih dari serius.“Reuni denganmu … membuatku bertanya-tanya tentang kebebasan. Sementara aku pernah terbuang sebelumnya.”“Ayunda, kamu benar-benar ingin bebas, bukan?” tanya Adrian.Bebas?Ayunda mendadak terdiam dalam pikirannya. Tak lama ia kemudian mengedikkan bahu.“Entahlah. Aku nggak bisa pergi dari genggaman Rose. Tanpa izinnya pun, aku bahkan nggak bisa bicara seperti ini padamu,” kata wanita itu. “Kontrakku terikat tidak ada batasan. Hidup dan matiku ada di tangannya.”“Memangnya Rose Tuhan?” cibir Adrian. “Dengar ya, Ayunda. Tuhan saja bisa memberikan kesempatan untuk umatnya. Jadi, jangan ragu. Ikuti saja kata hatimu dan jangan pernah percaya pada siapa pun, termasuk aku. Kamu nggak salah merasa curiga setelah kita lama nggak bertemu. Aku nggak keberatan jika kamu tetap mengang
“Pergilah, Ayunda. Bukankah aku sudah mengatakan tugasmu hari ini?” Suara Rose Martha menjawab Ayunda yang hanya terdiam, sementara Adrian menunggunya di depan pintu.“Bosmu sudah mengizinkanmu. Ayo, pergi,” kata Adrian. Sebelah tangannya terulur pada Ayunda.Wanita itu masih terdiam, kali ini matanya melirik jemari Adrian yang dia sadari begitu panjang dan lentik.“Waktumu begitu banyak, jangan kecewakan aku, Ayunda.” Rose lantas pergi lebih dulu, melewati mereka yang masih berdiri berhadapan.Ayunda sempat melirik wanita itu sebelum akhirnya pasrah akan tugasnya yang harus kembali berhadapan dengan Adrian Laksana.“Kenapa kamu selalu muncul di hadapanku?”“Sudah jelas tujuanku sejak awal. Aku hanya ingin kamu, Ayunda.”Ayunda menarik napas kesal usai mendengar jawaban itu, dia lalu melangkah lebih dulu tanpa menghiraukan uluran tangan Adrian.“Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Ayunda saat mereka sudah berada di lift.Adrian tersenyum miring. “Akhirnya kamu penasaran. Akan aku pastik
“Apa ini?” Ayunda bertanya dengan wajah bingung pada salah satu staf Rose yang membawakannya sesuatu. Satu stel pakaian rapi; blus putih, rok dan blazer hitam “Itu jelas-jelas pakaian kantor, Ayunda. Kamu tidak mungkin menemui klienku dengan seragam cleaning servise begitu, kan?” Rose menatap Ayunda dari mejanya dengan tatapan angkuh. “Jangan permalukan aku, cepat ganti pakaianmu.” Ayunda tidak punya pilihan. Dia bekerja pada dua perusahaan langsung pada Rose. Wanita itu menemukannya di antara kesalahan satu, dua dan seterusnya sampai pada akhirnya Ayunda tidak punya pilihan lain selain menurut. Wanita itu masuk diikuti staf sekretaris ke ruang ganti yang ada di dalam kantor Rose. Dia berganti pakaian dan dibantu merias diri. Setelahnya, Ayunda dihadapkan satu map di meja. “Bu Rose ingin kamu mengerjakan ini.” “Ini ...?” “Dokumen para model untuk direkomendasikan kepada pihak Stardust.” “Stardust?” Kening Ayunda kerut merut. “Kamu tidak tahu Stardust? Itu adalah merek fesy
“Kak Yunda, bangunlah. Bukankah kakak ada pekerjaan pagi ini?”Suara gaduh terdengar di dekatnya. Ayunda yang masih setengah sadar dari mimpinya hanya bergumam sambil berusaha membuka mata. Seorang gadis berambut sebahu tengah berdiri memunggunginya di depan meja rias. Tangannya piawai meraih benda-benda yang bergeletakan di sana. Ayunda mengernyit.“Sedang apa kamu, Dinda?”Ia lantas bangkit dan menyadari bahwa adik semata wayangnya itu tengah melakukan apa dengan sebuah kuas kecil di tangannya.“Berani sekali kamu masuk tanpa permisi dan memakai make-up milikku!” Wanita itu gegas merebut kuas kecil yang akan digunakan sang adik untuk membubuhkan hiasan pada kelopak mata.“Sedikit aja, Kak,” rengek Adinda. Gadis pendek itu berusaha meraih apa yang kini berpindah di tangan kakaknya. “Hari ini aku ada kelas untuk seleksi Olimpiade Matemati
Semua gara-gara Adrian! Dia sengaja sekali datang setiap hari hanya untuk membuatku terganggu. “Si berengsek itu! Dia pasti sengaja melakukannya!” teriak Ayunda. Wanita itu mencuci wajahnya di toilet usai Venus pergi berjam-jam yang lalu. Sudah hampir di penghujung waktu, tapi dia tidak juga mendapatkan notifikasi klien. Ia membanting pintu toilet dengan kasar dan mengejutkan seseorang di luar. “K-kamu berteriak, Miss A?” Ayunda memandang Putri Salju yang tengah mengambil sesuatu di loker dengan terkejut. Dia pikir tidak ada siapa-siapa di luar. “Ehm, apakah kamu mendengarku?” Putri Salju mengangguk. “Maaf ya.” Ayunda lantas melipir ke kursinya dan duduk di sana sembari mengeluarkan ponsel. “Kamu sepertinya ada masalah, Miss A?” Ternyata wanita itu tidak pergi, melainkan duduk di samping Ayunda. “Klienmu ....” Pandangan Putri Salju pun bertanya-tanya kenapa dia di sini. “Tidak ada klien malam ini,” sahut Ayunda santai. Wanita itu kembali mengangguk. “Tapi ... aneh sekali.
Ayunda merasa dipermainkan. Pertama oleh Adrian. Kedua oleh Venus dan pemikirannya. “Iya, tapi, Miss A, kamu tahu apa maksudku. Aku bicara seperti ini karena kamu adalah nomor satu —” “Dan aku tetap nomor satu di sini tanpa dirinya, kan? Posisiku tetap nomor satu sejak awal sebelum dia tidak datang kemari, kan?” Venus mengangguk sesaat menyadari Miss A benar. “Kalau begitu ... bisa aku pergi dengan tenang kepada klienku yang menunggu?” Venus mempersilakan perempuan itu untuk pergi kepada kliennya tanpa diantar. Miss A mengetuk pintu dan masuk. “Selamat malam, Tuan. Miss A datang!” Ayunda benci sekali saat mengucapkan salam itu dengan suara imut yang dibuat-buatnya. Namun, kliennya begitu menyukainya. Klien kali ini adalah pria yang kemarin kalah dalam tantangan. Dan dia kembali untuk menantang dirinya. Ayunda bersiap untuk mengalahkan pria itu. “Duduk sini, Miss A!” Ayunda tersenyum dan langsung menawarkan minum. “Minum dulu, Tuan.” “Iya, Miss A.” “Minum yang banyak, ya.” Ay