Sepuluh tahun lalu.
“Adrian!”
Adrian berhenti usai mendengar namanya terpanggil tepat saat ia melewati gerbang sekolah. Di sana, seorang siswi teladan—Adrian menyebutnya begitu karena tampilan gadis itu sungguh rapi sekali. Rambut sebahunya diikat rapi ke belakang, kemejanya licin tanpa lekuk setrika, roknya di bawah lutut menyesuaikan dan tentu saja rapi dimasukkan dalam seragam.
“Apa lagi? Lo nggak bosan menghukum gue terus? Nih, lihat! Seragam gue masukin ke celana udah rapi, celana gue beli baru karena lo nggak suka gue pakai celana pensil, terus ... ikat pinggang, kaus kaki gue putih, sepatu gue juga hitam.”
“Rambut,” tunjuk Ayunda.
Adrian mendesah. Ia belum mencukur rambutnya yang sebenarnya belum panjang-panjang amat. Namun, sepertinya Ayunda memang tidak pernah bisa menolerir satu hal kesalahan dari dirinya.
“Gue—“ Belum sempat Adrian menjelaskan, gadis itu sudah menarik telinga kirinya sampai ia menjerit kesakitan.
“Arghhh! Sakit, Ayunda!!”
Telinganya berdenyut nyeri. Adrian mengaduh sambil memegangi telinga kirinya. Merasa ada yang aneh, ia memeriksa jemarinya yang berlumuran darah. Ia berganti menatap Ayunda yang santai saja menunjukkan anting-anting perak padanya.
“Kamu merasakan itu, kan? Ini adalah peraturan. Itu akibatnya kalau kamu melanggar,” ujar Ayunda. Nada bicaranya selalu datar seolah-olah dia diciptakan bicara seperti itu. Namun, cukup dengan tatapannya saja sudah membuat Adrian kesal setengah mampus. Ditambah sekarang telinganya berdenyut nyeri. Suara Ayunda jadi ikut membuatnya tambah nyeri.
Beberapa murid yang melihatnya tampak berlarian masuk melewati mereka. Ada yang ketakutan dan tak jarang yang menghujat Ayunda.
“Ayunda bikin telinga Adrian berdarah!! Bener-bener cewek kejam!”
“Ya, ampun, cerita mereka kayaknya nggak abis-abis.”
“Sejak Ayunda jadi ketua OSIS, cowok-cowok kayak Adrian selalu ditindas.”
Ayunda sebenarnya sudah malas melakukan tindakan seperti itu, tapi mereka yang memaksa dia melakukannya. Lagi pula, Adrian pantas diperlakukan begitu.
Cowok manja!
***
“Sejujurnya ... aku hanya memastikan mataku tidak menipuku. Apakah ... wanita Tempus Fugit yang memakai rok kotak-kotak merah pendek ini benar-benar ... ketua OSIS-ku di masa SMA?”
Ayunda mendengkus kesal.
“Kenapa kamu punya pekerjaan seperti ini?” sambung Adrian.
“Apa urusanmu?” seru Ayunda. “Bertanya seperti itu tidak diperbolehkan.”
Adrian menggeleng perlahan. Dengan gaya santainya ia menjawab, “Hanya ingin tahu.”
“Menyebalkan,” desis Ayunda.
“Kamu masih belum berubah, ya, Ayunda? Oh—maaf, di sini kamu dipanggil Miss A. Pffft—hahaha. Miss A?”
Tawa Adrian rasanya meledak tak henti-hentinya sampai akhirnya ia melirik jam dinding. Pria itu sengaja atau apa? Ia akan kehilangan sekian menit menuju tantangan dan mungkin akan sangat cepat mengakhirinya. Para pria yang lalu-lalu itu sangat cepat, Ayunda juga pasti bisa mengatasi Adrian.
“Nama itu tidak buruk, cocok sekali buatmu.” Lelaki itu bersandar sambil menyampirkan lengannya di badan sofa. Sepertinya ia kelelahan tertawa.
Ayunda menahan rahangnya kuat-kuat. Nama asli adalah privasinya di sini. Namun, pria itu dengan seenak jidat menyerukannya.
“Ayu—nda Betari,” rapal pria itu penuh penekanan.
“Namamu cantik, tapi kenapa harus menjadi ...,” sorot mata itu menatapnya penasaran, “Miss A?”
Kedua tangan Ayunda mengepal kuat-kuat. Namun, bibirnya dengan cepat kembali tersenyum.
“Kamu sudah selesai? Akan kulaporkan semua ini sebagai bentuk pelanggaran—“
“—Hei, aku bahkan tidak bertanya tentang nama aslimu. Karena apa? Karena aku benar-benar tahu. Lagi pula, aku hanya bertanya, kenapa harus Miss A?”
Pria itu balas tersenyum mengesalkan. Ayunda terdiam.
“Tidak disangka-sangka, sepuluh tahun yang lalu kamu keluar dari sekolah dan berakhir di tempat seperti ini. Apakah keluargamu tahu?”
“Tidak usah banyak bicara,” sergah Ayunda. Dadanya tiba-tiba terasa sesak usai Adrian menyinggung masa lalu dan keluarganya.
“Baiklah—kita akhiri saja pertanyaanku, tapi sesi ini belum berakhir,” sahutnya. “Kamu bahkan belum melakukan apa-apa sebagai tantangan.”
Ayunda meringis kecil. Sial. Apa Adrian benar-benar ingin tidur dengannya?
“Aku masih penasaran,” bisik Adrian dengan tatapan yang dibuat seolah-olah ia pria nakal. “Bagaimana ... kamu bisa bertahan menemani para lelaki? Bukankah kamu membenci mereka?”
“Sumpah. Kamu banyak bicara, sama seperti dulu.” Ayunda kesal.
“Hmm … melihat reaksimu, bekerja di sini pasti sulit.”
Ayunda terlambat menyadari apa yang telah dilakukan pria itu. Kini Adrian seperti sengaja bermain-main dengan rok pendeknya. Wajahnya menunjukkan keterkejutan saat Adrian tersenyum miring. Kekesalannya berkobar.
Si berengsek menyebalkan ini!
“Ayo, cepat kita buat kesepakatan itu,” ujar Adrian tak sabar. Ayunda mengernyitkan alisnya seolah dia tidak akan menurut.
“Kesepakatan macam apa?” tantang Ayunda.
Adrian tersenyum jahil. Dia lalu mencondongkan wajahnya kepada Ayunda. “Tentu saja kamu tahu, bukankah ada kesepakatan macam itu di tempat ini? Hal yang akan membuatmu menyerahkan diri?”
“Percaya diri sekali kamu, apakah kamu siap kalah dariku? Waktumu mungkin tidak akan sampai tiga menit; kamu akan kalah telak di tanganku,” ujar Ayunda, penuh kekesalan.
Ia berdiri dan dalam beberapa saat sudah berlutut di depan sofa—menghadap Adrian yang kini makin mengembangkan senyumnya.
Ayunda tentu saja tidak akan membiarkan Adrian menjadi orang pertama yang melewati tantangannya. Jika itu terjadi, dia mungkin akan sangat menyesal.
Tidak ada yang berhasil menyentuh dirinya. Jika dia kalah, itu akan berakhir. Dia akan berakhir di tempat ini.
Ayunda memastikan. “Kamu siap?”
Bersambung ....
“Kenapa bertanya terus? Waktu terus berjalan. Kamu sengaja, ya, mau membuat waktuku habis dengan sia-sia?” Adrian kembali memasang senyum menjengkelkan. Ayunda mendengkus. Jika bukan karena Adrian adalah klien yang membayarnya dengan mahal, dia tentu sudah menendangnya keluar—dan tentu saja melaporkan pada Venus untuk segala hal yang bisa mem-blacklist nama Adrian Laksana dari Tempus Fugit. Namun, Ayunda sadar Adrian Laksana bukan berasal dari keluarga sembarangan. Bisa-bisa dialah yang kehilangan pekerjaan. Atau yang lebih parah, dia tidak bisa hidup lagi. Ayunda meringis membayangkan hidupnya yang malang. Seperti dulu, nama Adrian Laksana membayangi dirinya usai diusir dari sekolah. “Kenapa wajahmu seakan-akan mau menangis? Kamu sedang bersiap-siap untuk kalah, ya?” ejek Adrian, disambung tawa. Ayunda sontak kembali mengangkat wajahnya. Matanya memelotot sesaat, perlahan dia tersenyum lebar memperlihatkan kedua gigi taringnya. Adrian menarik senyum jengah. “Kamu yang
“Duh, aku sudah memberimu poin sangat banyak, loh. Poinmu sangat tinggi malam lalu, kan? Ya, meskipun kemarin kamu nggak membuatku puas. Aku hargai usaha dan namamu yang besar itu, Miss A.” Ayunda mendelik. Adrian lantas tersenyum miring. “Kenapa kamu menyambutku seperti itu? Itu nggak membuatku senang, loh.” Ayunda sungguh geram. Ia bisa bertingkah biasa pada semua pria yang sebenarnya ia benci. Namun, Adrian adalah spesies laki-laki yang sangat berbeda. Sejak dulu, ia sangat—tidak pernah bisa simpati pada lelaki itu. “Kamu mau aku melakukan apa?” Akhirnya, Ayunda berkata begitu. Adrian bangkit dari sofa dan menghampirinya lebih dekat. “Sapa aku dengan imut?” Senyum pria itu kembali mengembang. “Entahlah, apakah kamu melakukan itu pada klienmu?” Ayunda menahan kesal. Ia bisa melakukan itu. Ia sudah terbiasa bermuka dua sekarang. Satu sisi begitu muak, sisi lainnya menyukai sikapnya yang menjijikkan. “Kamu mau aku melakukannya?” Sekejap, Ayunda tersenyum; memperli
“Kamu salah paham.” Adrian geleng-geleng kepala. “Iya, meskipun memang kenyataannya Boy selalu bicara soal betapa cantiknya wanita bernama Miss A di tempat ini.” Ayunda kembali mendelik. “Gaun yang kamu pakai—yang aku maksud.” Pandangan Adrian mengarah pada gaun yang melekat pada tubuh Ayunda. Seketika wanita itu merasa aneh. Ia lekas menutup tubuh bagian depannya yang memang tampak menonjolkan dirinya. “Gaun?” “Ehm, jadi ... jujur saja, ya. Aku ingin kamu berhenti dari sini dan jadi modelku.” “Model?” Ayunda membeo. Adrian sangat kesal sekali. Ayunda makin lama membuatnya sakit kepala. Ia lantas kembali mengangguk dan berusaha untuk sabar. “Bukankah aku sudah katakan itu?” sahutnya. “Tentu semua yang kamu lakukan akan dibayar.” Ayunda menggeleng. “Aku nggak mau.” “Aku akan bayar kamu sebesar tip yang aku beri malam lalu. Tiga kali lipat,” ujar Adrian dengan nada meyakinkan. Itu terlalu banyak, tapi tidak sebanding dengan apa yang selama ini menjerat dirinya. Ayunda lanta
Dua malam lalu.Kelab malam itu agak terpencil di lingkungan kelas atas yang nyaman, menyamar dengan pintu rahasia. Lokasinya sudah begitu dihapal seorang teman karena pekerjaan dan kebutuhan saat ini. Mereka tiba di sebuah pintu yang tertutup rapat tanpa seorang penjaga.“Tempus fugit ....” Pandangan tajam seorang pria mengarang pada pintu berpelat jam pasir dengan sepasang sayap kupu-kupu yang cantik berwarna keemasan. Adrian Laksana, seorang pria yang akan selalu memperhitungkan segala hal termasuk wanita dan tempat yang ia datangi. Wajah tegasnya mengangguk perlahan, mengakui kelab ini cukup filosofis.“Bukankah itu—menandakan waktu akan terbang ... berlalu dengan indah?”Temannya—seorang pria yang tampilannya begitu kontras merangkul pundaknya. “Mau membuktikannya?”Adrian berdecih. Ia melirik pria berambut biru pirus seleher di sampingnya. Sejujurnya, bukanlah kebiasaan baginya untuk membeli kesenangan; kebanyakan wanita dengan senang hati akan melebarkan kaki mereka lebar-leba
Peraturan Tempus Fugit:1. Klien dan staf tidak diperkenankan untuk bertukar kontak apalagi menjalin hubungan setelah sesi berakhir.2. Klien tidak diperkenankan untuk mempertanyakan identitas asli staf.3. Klien diperkenankan untuk bicara apa saja termasuk masalah mereka. Staf akan mendengarkan dan jika punya saran atau hiburan mereka akan melakukannya.4. Jika klien ingin mencapai level atas berupa bonus spesial, klien harus membuat kesepakatan dengan tantangan.5. Tidak ada kesepakatan adalah pelanggaran.6. Klien tidak diperbolehkan mengambil rekaman suara, gambar dan video selama dalam sesi.7. Tidak ada pemukulan fisik, tidak ada pelecehan verbal, tidak ada menguntit staf kami dan tidak melanggar batasan yang ditetapkan.8. Klien satu dan lainnya tidak diperkenankan merebut sesi.9. Apabila klien melanggar batasan akan dimasukkan dalam daftar hitam dan tidak diperkenankan untuk kembali datang. Adrian memutar bola matanya dengan malas. Dia tidak membaca habis semuanya. Lagi pula
“Kamu tegang sekali.” Adrian benar-benar tidak bisa mengelak. “Kamu tegang sekali, Ian. Mau kubantu?” Wajah Ayunda yang menggoda terus-menerus melesak di antara celah kedua tungkai kakinya. Adrian mereguk air liurnya. Ia menahan napas seketika wanita itu kembali tersenyum dan bicara, “Kubantu sini ..., kamu tegang sekali.” Seketika gigi taring Ayunda terlihat. Tawa wanita itu lantas terdengar keras lalu—HAP. “ARRGHHHH!” Adrian bangkit berteriak keras, membuka matanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, seseorang masuk begitu saja dalam kamarnya. “Ada apa, Ian?! Kenapa?!” Adrian melihat teman lelakinya yang berambut biru pirus dengan setelan pakaian tidur yang tak kalah mentereng berdiri di depan tempat tidurnya dengan wajah cemas. Kenapa pakaian pria itu selalu membuatnya sakit mata? Boy memang selalu tampil nyentrik! Adrian lantas tersadar dan bernapas lega. Sial. Tadi itu cuma mimpi ternyata. “Heh, lo kenapa?!” Boy kembali bersuara. Adrian bersandar di ranjangnya. Ia
Malam ini, Adrian tak datang lagi.Ayunda memastikan itu berkali-kali di ponselnya. Laman itu sudah sekian kali ia refresh, tapi tidak ada daftar klien lain yang masuk. Sementara itu, Venus sudah memanggilnya untuk menemui klien selanjutnya. Sepertinya ini klien terakhir. Sudah lewat tengah malam dan Venus sudah menutup akses.Ayunda merutuki notifikasi yang muncul. “Pria itu lagi! Tidak ada Adrian.”Malam berikutnya pun sama.Dan berikutnya.Berikutnya.Dipikir-pikir, kenapa ia jadi gelisah seperti ini. Adrian sepertinya memang tidak serius dengan tujuannya. Apa lelaki itu memang ingin mengerjainya lagi seperti di masa sekolah dulu? Sampai membuatnya mundur dari jabatan ketua OSIS dan dihujat satu sekolah hingga berakhir membuatnya keluar dari sana.Adrian memang tidak pernah bisa dipercaya.Lagi pula kenapa ia jadi kepikiran tentang poin yang besar selama dua malam lalu berturut-turut memenuhi akunnya? Bukan hanya sekali ini saja kan dia dapat hal seperti itu. Adrian masih menduduk
“Kamu datang setiap malam?“ Ayunda bertanya dengan nada marah.“Kamu berharap aku datang?“ goda Adrian.Wanita itu salah tingkah. “Ehm, bukan begitu.“Adrian terkekeh. “Kamu menungguku. Aku tahu itu, kamu selalu gelisah memandang ke arah pintu,“ bisiknya. Senyumnya benar-benar membuat Ayunda ingin kembali menamparnya.“Kamu menungguku, kan?“ Pria itu kembali menggoda Ayunda.Ayunda menarik napas kesal.“Sebenarnya ... aku ingin bicara denganmu, tapi jadwalmu selalu penuh. Aku selalu terlambat datang. Tapi dipikir-pikir bicara denganmu itu melelahkan, selalu saja ada perdebatan. Aku heran kenapa para pria itu betah sekali—““—Kamu yang selalu mengajakku berdebat,” sergah Ayunda dengan mata memelotot. “Dan, maaf sekali, ya. Aku nggak mau bicara denganmu lagi. Sudah jelas kukatakan pada malam lalu, kan? Aku nggak mau menerima tawaranmu.“Adrian menghela napas. Wanita di depannya ini tidak pernah mau mengalah. Ia akui agak kesulitan hanya untuk sekedar bicara baik-baik.Namun, dilihat lag
“Udah denger kabar, belum? Ketua OSIS kita yang sok perfeksionis itu ternyata nilep duit dari dana amal acara sekolah kemarin.”“Serius??”“Iya.”“Hari ini dia bahkan dipanggil kepala sekolah. Nggak tahu deh gimana, dipecat kali, atau mungkin dilaporin polisi.”“Nggak nyangka, kok bisa, ya? Jahat banget.”“Dia mungkin nggak pernah ngeliat uang sebanyak itu.”“Eh, denger-denger sih, katanya dia sengaja ngambil uang itu untuk biaya berobat ibunya di rumah sakit.”“Hahh??”“Sampai sebegitunya?”“Nggak heran, sih. Dia kelihatan kampungan, kalaupun bukan karena beasiswa dia juga nggak bisa masuk sekolah ini, kan?”***“Ayunda! Semua orang bicara yang nggak-nggak tentang kamu.”“Biar aja.”Manda kebingungan menghibur temannya yang terasa makin menjauh darinya. Dia juga makin bingung yang mana yang benar. Semua bukti dikatakan nyata oleh OSIS. “Apa semua yang mereka katakan benar begitu, Ayunda? Apa benar kamu ….”Ayunda menatap Manda agak lama, lalu tersenyum tipis. “Menurutm
“Aku sudah memberikannya pada Ayunda.” Egi kembali membela diri usai Surya terus mendesaknya.“Baiklah, baiklah, kita akhiri aja dan cari Ayunda. Masalah ini nggak bisa dibiarkan berlarut-larut,” kata Surya.“Lebih baik lo cari Ayunda dan kalian bicarakan ini secepatnya,” saran Adrian.Surya menoleh pada yang lainnya, meminta persetujuan. Mereka semua mengangguk.“Kita berdiam diri di sini aja juga nggak menghasilkan apa-apa.” Surya pun akhirnya menyetujui Adrian untuk pergi mencari Ayunda. “Oke, tapi lo harus ikut gue cari Ayunda.”“Sialan, gara-gara dia gue nggak bisa istirahat,” keluh Adrian.“Apa boleh buat. Peran lo di sekolah ini lebih dari Ayunda,” sahut Surya.Adrian pun mau tidak mau mengikuti ke mana Surya melangkah. Tujuan mereka pertama adalah kelas Ayunda, tapi gadis itu tidak ada di sana. Sementara itu, dari area gymnasium, tim lawan baru saja keluar diiringi pendukungnya. Adrian yang melihat kerumunan lawan timnya berhenti dengan cepat. Ada sesuatu yang mencuri
Sepuluh tahun yang lalu. Bunyi dentum bola basket beradu dengan langkah kaki yang menyusul. Sorakan memandu di sana-sini, teriakan makin membahana di gimnasium usai operan bola lawan tertangkap oleh Adrian. Lelaki berambut cepak usai beberapa minggu lalu kena razia rambut, kini memegang kendali bola. Nama lelaki itu lantas menggema usai melakukan shooting dengan tembakan tiga poin. Ayunda memperhatikan lelaki itu—Adrian Laksana yang serius berada di lapangan. Dia tidak ikut-ikutan tertarik seperti yang lainnya; jejeritan tidak jelas dan berisik. Di sisinya, ada Manda, memasang cengiran. “Adrian ganteng juga kalau lagi main basket. Nggak kalah sama pesona kapten lawan. Kenapa nggak dari dulu aku perhatikan, ya, Ayunda? Kita kalah dari semua cewek-cewek di sini.” Ayunda diam saja. Sesaat setelahnya sebuah pesan masuk ke ponselnya, disusul dering panggilan. Gadis berambut lurus itu menyisih sambil menerima telepon. “Kenapa Egi?” serunya, sambil menyumpal satu telinganya agar lebih j
“Apa menjadi model untukmu ... bisa membebaskan aku?” Pertanyaan wanita itu kadang tidak pernah terduga dan terlalu mengejutkan—to the point.Adrian menatap wanita itu begitu serius, bahkan lebih dari serius.“Reuni denganmu … membuatku bertanya-tanya tentang kebebasan. Sementara aku pernah terbuang sebelumnya.”“Ayunda, kamu benar-benar ingin bebas, bukan?” tanya Adrian.Bebas?Ayunda mendadak terdiam dalam pikirannya. Tak lama ia kemudian mengedikkan bahu.“Entahlah. Aku nggak bisa pergi dari genggaman Rose. Tanpa izinnya pun, aku bahkan nggak bisa bicara seperti ini padamu,” kata wanita itu. “Kontrakku terikat tidak ada batasan. Hidup dan matiku ada di tangannya.”“Memangnya Rose Tuhan?” cibir Adrian. “Dengar ya, Ayunda. Tuhan saja bisa memberikan kesempatan untuk umatnya. Jadi, jangan ragu. Ikuti saja kata hatimu dan jangan pernah percaya pada siapa pun, termasuk aku. Kamu nggak salah merasa curiga setelah kita lama nggak bertemu. Aku nggak keberatan jika kamu tetap mengang
“Pergilah, Ayunda. Bukankah aku sudah mengatakan tugasmu hari ini?” Suara Rose Martha menjawab Ayunda yang hanya terdiam, sementara Adrian menunggunya di depan pintu.“Bosmu sudah mengizinkanmu. Ayo, pergi,” kata Adrian. Sebelah tangannya terulur pada Ayunda.Wanita itu masih terdiam, kali ini matanya melirik jemari Adrian yang dia sadari begitu panjang dan lentik.“Waktumu begitu banyak, jangan kecewakan aku, Ayunda.” Rose lantas pergi lebih dulu, melewati mereka yang masih berdiri berhadapan.Ayunda sempat melirik wanita itu sebelum akhirnya pasrah akan tugasnya yang harus kembali berhadapan dengan Adrian Laksana.“Kenapa kamu selalu muncul di hadapanku?”“Sudah jelas tujuanku sejak awal. Aku hanya ingin kamu, Ayunda.”Ayunda menarik napas kesal usai mendengar jawaban itu, dia lalu melangkah lebih dulu tanpa menghiraukan uluran tangan Adrian.“Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Ayunda saat mereka sudah berada di lift.Adrian tersenyum miring. “Akhirnya kamu penasaran. Akan aku pastik
“Apa ini?” Ayunda bertanya dengan wajah bingung pada salah satu staf Rose yang membawakannya sesuatu. Satu stel pakaian rapi; blus putih, rok dan blazer hitam “Itu jelas-jelas pakaian kantor, Ayunda. Kamu tidak mungkin menemui klienku dengan seragam cleaning servise begitu, kan?” Rose menatap Ayunda dari mejanya dengan tatapan angkuh. “Jangan permalukan aku, cepat ganti pakaianmu.” Ayunda tidak punya pilihan. Dia bekerja pada dua perusahaan langsung pada Rose. Wanita itu menemukannya di antara kesalahan satu, dua dan seterusnya sampai pada akhirnya Ayunda tidak punya pilihan lain selain menurut. Wanita itu masuk diikuti staf sekretaris ke ruang ganti yang ada di dalam kantor Rose. Dia berganti pakaian dan dibantu merias diri. Setelahnya, Ayunda dihadapkan satu map di meja. “Bu Rose ingin kamu mengerjakan ini.” “Ini ...?” “Dokumen para model untuk direkomendasikan kepada pihak Stardust.” “Stardust?” Kening Ayunda kerut merut. “Kamu tidak tahu Stardust? Itu adalah merek fesy
“Kak Yunda, bangunlah. Bukankah kakak ada pekerjaan pagi ini?”Suara gaduh terdengar di dekatnya. Ayunda yang masih setengah sadar dari mimpinya hanya bergumam sambil berusaha membuka mata. Seorang gadis berambut sebahu tengah berdiri memunggunginya di depan meja rias. Tangannya piawai meraih benda-benda yang bergeletakan di sana. Ayunda mengernyit.“Sedang apa kamu, Dinda?”Ia lantas bangkit dan menyadari bahwa adik semata wayangnya itu tengah melakukan apa dengan sebuah kuas kecil di tangannya.“Berani sekali kamu masuk tanpa permisi dan memakai make-up milikku!” Wanita itu gegas merebut kuas kecil yang akan digunakan sang adik untuk membubuhkan hiasan pada kelopak mata.“Sedikit aja, Kak,” rengek Adinda. Gadis pendek itu berusaha meraih apa yang kini berpindah di tangan kakaknya. “Hari ini aku ada kelas untuk seleksi Olimpiade Matemati
Semua gara-gara Adrian! Dia sengaja sekali datang setiap hari hanya untuk membuatku terganggu. “Si berengsek itu! Dia pasti sengaja melakukannya!” teriak Ayunda. Wanita itu mencuci wajahnya di toilet usai Venus pergi berjam-jam yang lalu. Sudah hampir di penghujung waktu, tapi dia tidak juga mendapatkan notifikasi klien. Ia membanting pintu toilet dengan kasar dan mengejutkan seseorang di luar. “K-kamu berteriak, Miss A?” Ayunda memandang Putri Salju yang tengah mengambil sesuatu di loker dengan terkejut. Dia pikir tidak ada siapa-siapa di luar. “Ehm, apakah kamu mendengarku?” Putri Salju mengangguk. “Maaf ya.” Ayunda lantas melipir ke kursinya dan duduk di sana sembari mengeluarkan ponsel. “Kamu sepertinya ada masalah, Miss A?” Ternyata wanita itu tidak pergi, melainkan duduk di samping Ayunda. “Klienmu ....” Pandangan Putri Salju pun bertanya-tanya kenapa dia di sini. “Tidak ada klien malam ini,” sahut Ayunda santai. Wanita itu kembali mengangguk. “Tapi ... aneh sekali.
Ayunda merasa dipermainkan. Pertama oleh Adrian. Kedua oleh Venus dan pemikirannya. “Iya, tapi, Miss A, kamu tahu apa maksudku. Aku bicara seperti ini karena kamu adalah nomor satu —” “Dan aku tetap nomor satu di sini tanpa dirinya, kan? Posisiku tetap nomor satu sejak awal sebelum dia tidak datang kemari, kan?” Venus mengangguk sesaat menyadari Miss A benar. “Kalau begitu ... bisa aku pergi dengan tenang kepada klienku yang menunggu?” Venus mempersilakan perempuan itu untuk pergi kepada kliennya tanpa diantar. Miss A mengetuk pintu dan masuk. “Selamat malam, Tuan. Miss A datang!” Ayunda benci sekali saat mengucapkan salam itu dengan suara imut yang dibuat-buatnya. Namun, kliennya begitu menyukainya. Klien kali ini adalah pria yang kemarin kalah dalam tantangan. Dan dia kembali untuk menantang dirinya. Ayunda bersiap untuk mengalahkan pria itu. “Duduk sini, Miss A!” Ayunda tersenyum dan langsung menawarkan minum. “Minum dulu, Tuan.” “Iya, Miss A.” “Minum yang banyak, ya.” Ay