Malam ini, Adrian tak datang lagi.
Ayunda memastikan itu berkali-kali di ponselnya. Laman itu sudah sekian kali ia refresh, tapi tidak ada daftar klien lain yang masuk. Sementara itu, Venus sudah memanggilnya untuk menemui klien selanjutnya. Sepertinya ini klien terakhir. Sudah lewat tengah malam dan Venus sudah menutup akses.
Ayunda merutuki notifikasi yang muncul. “Pria itu lagi! Tidak ada Adrian.”
Malam berikutnya pun sama.
Dan berikutnya.
Berikutnya.
Dipikir-pikir, kenapa ia jadi gelisah seperti ini. Adrian sepertinya memang tidak serius dengan tujuannya. Apa lelaki itu memang ingin mengerjainya lagi seperti di masa sekolah dulu? Sampai membuatnya mundur dari jabatan ketua OSIS dan dihujat satu sekolah hingga berakhir membuatnya keluar dari sana.
Adrian memang tidak pernah bisa dipercaya.
Lagi pula kenapa ia jadi kepikiran tentang poin yang besar selama dua malam lalu berturut-turut memenuhi akunnya? Bukan hanya sekali ini saja kan dia dapat hal seperti itu.
Adrian masih menduduki peringkat teratas sebagai klien yang memfavoritkan dirinya dengan poin begitu banyak.
”Sial, dia benar-benar mengejekku!” Ayunda membatin kesal.
”Apanya yang klien nomor satu? Peringkatnya memang nomor satu sekarang di laman klien milikku, tapi rutinitasnya masih kalah dengan pria yang mendatangiku malam ini.”
Pria Tua Nomor 23 yang selalu datang untuk bicara dengannya tanpa melakukan apa pun. Entah kenapa, pria itu membuat akun dengan nama samaran yang unik, kecuali Adrian yang percaya diri dengan nama aslinya.
Pria itu juga menginginkan Miss A untuk pergi dari tempat ini. Sepertinya hampir semua lelaki mengatakan hal yang sama, termasuk Adrian. Namun, bedanya pria tua itu tidak pernah menyentuhnya, dalam arti yang sesungguhnya apalagi khusus. Dia benar-benar datang hanya untuk bicara dengan Miss A.
Selama Ayunda berada di tempat ini, sepertinya pria itu juga akan tetap berkunjung ke tempat ini. Malam ini pun pria itu memuji kecantikannya dan gaun yang ia kenakan. Dan—tentu saja kembali mengatakan hal yang sama.
“Pergilah bersamaku, Miss A.”
Ayunda tersenyum menanggapinya. “Kalau Anda ingin aku pergi bersama Anda, bagaimana caranya? Aku, kan, tidak bisa ke mana-mana selain di sini.”
“Kamu berhenti dari sini dan jadilah wanitaku.”
Ayunda tersenyum. Sial, semua pria memang sama saja.
“Itu sangat tidak baik, aku tidak mau jadi simpanan,” bisik Ayunda. Ia beralih melambaikan tangan pada bartender dan memesan minuman.
”Berengsek. Pekerjaan ini saja sudah membuatnya ingin muntah, apalagi jadi simpanan.” Ayunda kembali menggerutu dalam hatinya, dengan segala hal yang terjadi padanya malam demi malam.
“Anda ingin minum di sini saja? Agak ramai, lho.” Ia kembali menoleh usai bartender menyajikan dua gelas minuman untuk mereka. Suasana cukup ramai dan padat di sisi bar. Banyak juga yang datang hanya untuk bersenang-senang tanpa memesan dalam artian khusus.
“Aku bosan di sana,” tunjuk pria di dekat Miss A. “Di sini lebih terlihat menyenangkan. Dekat dengan musik dan membuatku jadi lebih muda. Mau berdansa, Miss A?”
Ayunda terkekeh kecil. Ia tahu pria itu tengah bercanda. Ia lantas melirik orang-orang yang duduk di dekat mereka dan di lantai dansa. Memang tidak ada yang setua pria itu.
“Anda masih gagah kok, masih muda.”
“Kamu bercanda, Miss A.” Pria itu meraih gelasnya. Begitu juga Ayunda. Keduanya saling mendekatkan gelas satu sama lain dan bersulang.
“Terima kasih sudah selalu sabar menghadapiku, Miss A.”
“Anda tidak perlu memikirkan itu. Aku baik-baik saja di sini.”
“Kamu masih sangat muda, aku terlalu tua. Mungkin aku terlihat seperti ayahmu, ya? Karena itu kamu tidak mau pergi bersamaku?”
Ayunda kembali tersenyum. Pandangan pria itu berubah teduh dari biasanya. Ia agak aneh dan merasa bersalah soal itu. Entah apa. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu hingga akhirnya ia tidak tahu harus berkata apa.
Menyadari Miss A tidak merespons, pria tua itu lantas menatap Miss A khawatir. “Ah, maafkan aku, Miss A. Aku melanggar peraturan. Kamu bisa melaporkan ini.”
Ayunda lekas tersadar lalu menggeleng.
“Tidak apa-apa, lagi pula aku tidak tahu berapa usia ayahku.”
Raut wajah pria itu lantas berubah terkejut. “Maaf.” Ia pun tidak tahu kenapa harus kembali meminta maaf kali ini.
Ayunda pun kembali menggeleng.
“Sial, kenapa harus bahas soal ayah, sih?“
Ayunda menggerutu sambil menahan diri.
Kliennya yang satu itu tidak pernah macam-macam selain permintaan untuk pergi. Bisa dikatakan dia pria yang terlalu baik. Ia lantas kembali teringat pada Adrian.
Berengsek!
Jika diingat lagi, semua pria tidak ada yang baik. Ayunda menyingkirkan pikiran terakhir. Kedua pria itu bahkan hanya menginginkan tubuhnya. Apa bedanya, Adrian yang ingin menjadikannya sebagai model dan pria tua itu yang ingin dirinya jadi sugar baby atau ... simpanan, begitu? Apalah istilahnya. Ia pusing dengan semua obrolan teman-temannya yang diam-diam mengambil kesempatan itu di luar. Jika Venus tahu, mereka bisa tamat.
Namun, ia tidak ingin seperti itu. Pekerjaan ini sudah berisiko besar untuk hidupnya, jika harus ditambah dengan menerima pilihan yang mereka ajukan, ia bisa saja masuk ke jurang dan tidak bisa kembali naik ke permukaan. Apalagi menghadapi keluarganya.
Ia harus bertahan sebentar lagi. Mungkin sebentar lagi. Tapi bagaimana? Apa ia harus merayu semua pria itu untuk selalu memberikan tip besar atau .... Ia lantas kembali terpikir pada Adrian.
Dalam semalam, ia bisa mendapatkan poin sebesar tiga kali lipat dari biasanya karena Adrian. Tidak ada yang mampu melampaui. Namun, nasibnya masih seperti ini. Rasanya semua uang itu belum cukup juga.
”Ada yang kamu pikirkan?”
Pria tua itu menyadari Ayunda tampak melamun. Ayunda lekas kembali memasang wajah penuh senyuman dan menggeleng. Mereka kembali mengobrol banyak hal. Terutama tentang pekerjaan pria itu yang membuatnya lelah. Ia sudah seharusnya pensiun dan tinggal di pulau yang tenang.
”Namun, aku tidak ingin sendirian,” katanya.
“Anda bisa datang lagi ke sini daripada harus hidup di pulau terpisah. Aku akan menemani Anda, jadi Anda tidak akan kesepian.”
Pria itu tersenyum dan terkekeh-kekeh. Ia senang dan meraih kembali gelas minumannya. Ayunda makin senang, berharap poinnya bertambah dari pria ini.
Namun, belum sempat ia merayunya, seseorang tiba-tiba saja terdorong dan menubruk pria tua itu dengan satu gelas minuman.
“Duh, maaf, maafkan saya. Saya nggak sengaja.”
Ayunda bangkit dengan khawatir diiringi pria tua itu. “Anda tidak apa-apa?”
“Sepertinya Anda harus ke toilet,” kata seseorang, dengan penuh antusias.
Pria tua itu tampak menilik pakaiannya yang basah. “Ah, nggak apa-apa. Aku harus toilet sebentar. Tunggu, ya, Miss A.”
“Ah, iya.” Ayunda mengangguk. Pria itu lantas pergi. Seseorang mendekat pada Ayunda dan membuat wanita itu tercengang bukan main.
Adrian Laksana!
“Kenapa melihatku begitu?”
Ayunda menghela napas berat. “Sedang apa kamu?”
“Tentu saja—minum, apalagi?” Pria itu—Adrian Laksana mengangkat gelasnya yang sudah tandas akibat kejadian tadi.
“Tapi, sepertinya aku harus memesan lagi.”
Ayunda bersedekap. Ia tidak ingin diganggu. Sesi kliennya belum berakhir. “Banyak tempat di sini, kenapa harus di hadapanku?”
Adrian meraih lengan Ayunda. Wanita itu sontak menahan diri.
“Ian—perlu kuingatkan mata Venus tidak hanya dua. Kalau kamu begini, kamu bisa dikatakan merebut sesi klien lain.”
Adrian balas menyeringai. “Baiklah.”
Pria itu lantas beralih pada bartender dan meminta gelasnya diisi.
“Duduklah.” Adrian memintanya duduk. Wanita itu memandang ke arah toilet. Kliennya belum muncul juga. Ia lantas duduk.
Adrian tersenyum melihat Ayunda yang begitu gelisah melihat layar ponsel. Adrian di sini, tapi tidak ada notifikasi yang muncul. Ini sudah sesi terakhir. Venus sudah menutupnya. Pria itu tidak ada kesempatan, tapi kenapa datang kemari?
“Kamu khawatir pria itu nggak bisa mengeringkan pakaiannya?” Tiba-tiba saja Adrian bicara, membuatnya terkejut sekaligus jengkel.
“Susul saja. Tadi, tumpahnya banyak sekali lho, tepat di bawah—“
Ayunda mendelik. Adrian balas terkekeh. Ia meraih gelas minumannya dan tampak menikmatinya dengan santai.
Ayunda yang kesal lantas bangkit dan berjalan menuju toilet.
”Kenapa lama sekali? Apa pria itu baik-baik saja?”
Belum sempat Ayunda memeriksanya, tiba-tiba saja lengannya terseret seseorang. Ia memekik, tapi suara dentuman musik begitu keras di antara orang-orang yang larut dalam hiburan malam hingga membuat pekikan Ayunda tenggelam.
Ia terseret masuk ke sebuah koridor. Dan orang yang membawa masuk adalah ...
“Mau apa kamu, Ian?!” teriak Ayunda usai menyadari siapa yang baru saja membekap mulutnya.
“Ssshhh, kamu berisik banget, sih? Tenang dulu, dong.”
“Kamu ngapain? Kamu nggak dengar apa yang aku katakan tadi?”
“Periksa ponselmu,” pinta Adrian tanpa harus menjawab pertanyaan Ayunda.
Wanita itu mengernyit.
“Periksa,” tegas Adrian. Ayunda lekas membuka ponsel dan melihat notifikasi muncul di sana.
Klien Anda mengakhiri sesi.
“Menunggu itu membosankan sekali. Aku terlambat beberapa menit saja sudah penuh. Kamu memang sebegitu menariknya, ya?”
Ia beralih menatap Adrian yang tampak sangat lelah. Pria itu melirik ke arah pintu keluar. “Pria tua itu baru saja keluar.”
Ia lantas menghela napas dan menyugar rambut yang tidak begitu panjang juga tidak begitu pendek. Ayunda memperhatikannya dengan seksama. Ia ingat sekali dulu sering memarahi Adrian bahkan sampai mencukur dan membuatnya botak dengan pitak di sana-sini.
Adrian kembali menatap Ayunda yang kini tampak tersenyum tipis-tipis.
“Kamu akhir-akhir ini banyak melamun. Apakah itu pertanda bagus?”
“Akhir-akhir ini?” Mata Ayunda menyipit.
Pria itu menyeringai. “Aku tidak punya kegiatan apa-apa setiap malam, dan minuman di sini enak.”
Ayunda merasa dipermainkan.
“Jadi, kenapa?“ Adrian kembali bertanya, “Kamu mulai berpikir untuk keluar dari tempat ini?”
Bersambung ....
“Kamu datang setiap malam?“ Ayunda bertanya dengan nada marah.“Kamu berharap aku datang?“ goda Adrian.Wanita itu salah tingkah. “Ehm, bukan begitu.“Adrian terkekeh. “Kamu menungguku. Aku tahu itu, kamu selalu gelisah memandang ke arah pintu,“ bisiknya. Senyumnya benar-benar membuat Ayunda ingin kembali menamparnya.“Kamu menungguku, kan?“ Pria itu kembali menggoda Ayunda.Ayunda menarik napas kesal.“Sebenarnya ... aku ingin bicara denganmu, tapi jadwalmu selalu penuh. Aku selalu terlambat datang. Tapi dipikir-pikir bicara denganmu itu melelahkan, selalu saja ada perdebatan. Aku heran kenapa para pria itu betah sekali—““—Kamu yang selalu mengajakku berdebat,” sergah Ayunda dengan mata memelotot. “Dan, maaf sekali, ya. Aku nggak mau bicara denganmu lagi. Sudah jelas kukatakan pada malam lalu, kan? Aku nggak mau menerima tawaranmu.“Adrian menghela napas. Wanita di depannya ini tidak pernah mau mengalah. Ia akui agak kesulitan hanya untuk sekedar bicara baik-baik.Namun, dilihat lag
“Maaf, saya terlambat.” Ayunda menghela napas terengah-engah seketika membuka ruangan yang kini penuh dengan para wanita berpakaian anggun dan menggoda. Di depan mereka semua, Venus berdiri dan menoleh pada Ayunda. Wajahnya yang datar, tatapannya yang tajam tanpa perlu penekanan langsung menusuk Ayunda. “Kamu tahu minggu ini poinmu sangat tinggi dan tentunya tidak pernah bisa dikejar yang lain, tapi jangan lupa—semua staf harus mematuhi peraturan terutama soal kehadiran tanpa ter-kecuali.” Ayunda mengangguk. Ia tahu tentang itu, tapi Venus pun lebih tahu bahwa dirinya tak hanya fokus pada pekerjaan ini. Itulah sebabnya ia selalu datang tidak tepat waktu. “Kamu berkeringat banyak sekali. Mandi dan cepat bersiap-siap.” “Baik, Venus. Aku permisi.” Venus berbalik pada yang lainnya dan menutup briefing. Ayunda masuk ke ruang staf dan segera mengurus dirinya. Ia sebenarnya terlalu lelah untuk semua pekerjaan ini. Namun, keadaan memaksanya sampai sekarang. Apalagi kontraknya dengan
Ayunda merasa dipermainkan. Pertama oleh Adrian. Kedua oleh Venus dan pemikirannya. “Iya, tapi, Miss A, kamu tahu apa maksudku. Aku bicara seperti ini karena kamu adalah nomor satu —” “Dan aku tetap nomor satu di sini tanpa dirinya, kan? Posisiku tetap nomor satu sejak awal sebelum dia tidak datang kemari, kan?” Venus mengangguk sesaat menyadari Miss A benar. “Kalau begitu ... bisa aku pergi dengan tenang kepada klienku yang menunggu?” Venus mempersilakan perempuan itu untuk pergi kepada kliennya tanpa diantar. Miss A mengetuk pintu dan masuk. “Selamat malam, Tuan. Miss A datang!” Ayunda benci sekali saat mengucapkan salam itu dengan suara imut yang dibuat-buatnya. Namun, kliennya begitu menyukainya. Klien kali ini adalah pria yang kemarin kalah dalam tantangan. Dan dia kembali untuk menantang dirinya. Ayunda bersiap untuk mengalahkan pria itu. “Duduk sini, Miss A!” Ayunda tersenyum dan langsung menawarkan minum. “Minum dulu, Tuan.” “Iya, Miss A.” “Minum yang banyak, ya.” Ay
Semua gara-gara Adrian! Dia sengaja sekali datang setiap hari hanya untuk membuatku terganggu. “Si berengsek itu! Dia pasti sengaja melakukannya!” teriak Ayunda. Wanita itu mencuci wajahnya di toilet usai Venus pergi berjam-jam yang lalu. Sudah hampir di penghujung waktu, tapi dia tidak juga mendapatkan notifikasi klien. Ia membanting pintu toilet dengan kasar dan mengejutkan seseorang di luar. “K-kamu berteriak, Miss A?” Ayunda memandang Putri Salju yang tengah mengambil sesuatu di loker dengan terkejut. Dia pikir tidak ada siapa-siapa di luar. “Ehm, apakah kamu mendengarku?” Putri Salju mengangguk. “Maaf ya.” Ayunda lantas melipir ke kursinya dan duduk di sana sembari mengeluarkan ponsel. “Kamu sepertinya ada masalah, Miss A?” Ternyata wanita itu tidak pergi, melainkan duduk di samping Ayunda. “Klienmu ....” Pandangan Putri Salju pun bertanya-tanya kenapa dia di sini. “Tidak ada klien malam ini,” sahut Ayunda santai. Wanita itu kembali mengangguk. “Tapi ... aneh sekali.
“Kak Yunda, bangunlah. Bukankah kakak ada pekerjaan pagi ini?”Suara gaduh terdengar di dekatnya. Ayunda yang masih setengah sadar dari mimpinya hanya bergumam sambil berusaha membuka mata. Seorang gadis berambut sebahu tengah berdiri memunggunginya di depan meja rias. Tangannya piawai meraih benda-benda yang bergeletakan di sana. Ayunda mengernyit.“Sedang apa kamu, Dinda?”Ia lantas bangkit dan menyadari bahwa adik semata wayangnya itu tengah melakukan apa dengan sebuah kuas kecil di tangannya.“Berani sekali kamu masuk tanpa permisi dan memakai make-up milikku!” Wanita itu gegas merebut kuas kecil yang akan digunakan sang adik untuk membubuhkan hiasan pada kelopak mata.“Sedikit aja, Kak,” rengek Adinda. Gadis pendek itu berusaha meraih apa yang kini berpindah di tangan kakaknya. “Hari ini aku ada kelas untuk seleksi Olimpiade Matemati
“Apa ini?” Ayunda bertanya dengan wajah bingung pada salah satu staf Rose yang membawakannya sesuatu. Satu stel pakaian rapi; blus putih, rok dan blazer hitam “Itu jelas-jelas pakaian kantor, Ayunda. Kamu tidak mungkin menemui klienku dengan seragam cleaning servise begitu, kan?” Rose menatap Ayunda dari mejanya dengan tatapan angkuh. “Jangan permalukan aku, cepat ganti pakaianmu.” Ayunda tidak punya pilihan. Dia bekerja pada dua perusahaan langsung pada Rose. Wanita itu menemukannya di antara kesalahan satu, dua dan seterusnya sampai pada akhirnya Ayunda tidak punya pilihan lain selain menurut. Wanita itu masuk diikuti staf sekretaris ke ruang ganti yang ada di dalam kantor Rose. Dia berganti pakaian dan dibantu merias diri. Setelahnya, Ayunda dihadapkan satu map di meja. “Bu Rose ingin kamu mengerjakan ini.” “Ini ...?” “Dokumen para model untuk direkomendasikan kepada pihak Stardust.” “Stardust?” Kening Ayunda kerut merut. “Kamu tidak tahu Stardust? Itu adalah merek fesy
“Pergilah, Ayunda. Bukankah aku sudah mengatakan tugasmu hari ini?” Suara Rose Martha menjawab Ayunda yang hanya terdiam, sementara Adrian menunggunya di depan pintu.“Bosmu sudah mengizinkanmu. Ayo, pergi,” kata Adrian. Sebelah tangannya terulur pada Ayunda.Wanita itu masih terdiam, kali ini matanya melirik jemari Adrian yang dia sadari begitu panjang dan lentik.“Waktumu begitu banyak, jangan kecewakan aku, Ayunda.” Rose lantas pergi lebih dulu, melewati mereka yang masih berdiri berhadapan.Ayunda sempat melirik wanita itu sebelum akhirnya pasrah akan tugasnya yang harus kembali berhadapan dengan Adrian Laksana.“Kenapa kamu selalu muncul di hadapanku?”“Sudah jelas tujuanku sejak awal. Aku hanya ingin kamu, Ayunda.”Ayunda menarik napas kesal usai mendengar jawaban itu, dia lalu melangkah lebih dulu tanpa menghiraukan uluran tangan Adrian.“Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Ayunda saat mereka sudah berada di lift.Adrian tersenyum miring. “Akhirnya kamu penasaran. Akan aku pastik
“Apa menjadi model untukmu ... bisa membebaskan aku?” Pertanyaan wanita itu kadang tidak pernah terduga dan terlalu mengejutkan—to the point.Adrian menatap wanita itu begitu serius, bahkan lebih dari serius.“Reuni denganmu … membuatku bertanya-tanya tentang kebebasan. Sementara aku pernah terbuang sebelumnya.”“Ayunda, kamu benar-benar ingin bebas, bukan?” tanya Adrian.Bebas?Ayunda mendadak terdiam dalam pikirannya. Tak lama ia kemudian mengedikkan bahu.“Entahlah. Aku nggak bisa pergi dari genggaman Rose. Tanpa izinnya pun, aku bahkan nggak bisa bicara seperti ini padamu,” kata wanita itu. “Kontrakku terikat tidak ada batasan. Hidup dan matiku ada di tangannya.”“Memangnya Rose Tuhan?” cibir Adrian. “Dengar ya, Ayunda. Tuhan saja bisa memberikan kesempatan untuk umatnya. Jadi, jangan ragu. Ikuti saja kata hatimu dan jangan pernah percaya pada siapa pun, termasuk aku. Kamu nggak salah merasa curiga setelah kita lama nggak bertemu. Aku nggak keberatan jika kamu tetap mengang
“Udah denger kabar, belum? Ketua OSIS kita yang sok perfeksionis itu ternyata nilep duit dari dana amal acara sekolah kemarin.”“Serius??”“Iya.”“Hari ini dia bahkan dipanggil kepala sekolah. Nggak tahu deh gimana, dipecat kali, atau mungkin dilaporin polisi.”“Nggak nyangka, kok bisa, ya? Jahat banget.”“Dia mungkin nggak pernah ngeliat uang sebanyak itu.”“Eh, denger-denger sih, katanya dia sengaja ngambil uang itu untuk biaya berobat ibunya di rumah sakit.”“Hahh??”“Sampai sebegitunya?”“Nggak heran, sih. Dia kelihatan kampungan, kalaupun bukan karena beasiswa dia juga nggak bisa masuk sekolah ini, kan?”***“Ayunda! Semua orang bicara yang nggak-nggak tentang kamu.”“Biar aja.”Manda kebingungan menghibur temannya yang terasa makin menjauh darinya. Dia juga makin bingung yang mana yang benar. Semua bukti dikatakan nyata oleh OSIS. “Apa semua yang mereka katakan benar begitu, Ayunda? Apa benar kamu ….”Ayunda menatap Manda agak lama, lalu tersenyum tipis. “Menurutm
“Aku sudah memberikannya pada Ayunda.” Egi kembali membela diri usai Surya terus mendesaknya.“Baiklah, baiklah, kita akhiri aja dan cari Ayunda. Masalah ini nggak bisa dibiarkan berlarut-larut,” kata Surya.“Lebih baik lo cari Ayunda dan kalian bicarakan ini secepatnya,” saran Adrian.Surya menoleh pada yang lainnya, meminta persetujuan. Mereka semua mengangguk.“Kita berdiam diri di sini aja juga nggak menghasilkan apa-apa.” Surya pun akhirnya menyetujui Adrian untuk pergi mencari Ayunda. “Oke, tapi lo harus ikut gue cari Ayunda.”“Sialan, gara-gara dia gue nggak bisa istirahat,” keluh Adrian.“Apa boleh buat. Peran lo di sekolah ini lebih dari Ayunda,” sahut Surya.Adrian pun mau tidak mau mengikuti ke mana Surya melangkah. Tujuan mereka pertama adalah kelas Ayunda, tapi gadis itu tidak ada di sana. Sementara itu, dari area gymnasium, tim lawan baru saja keluar diiringi pendukungnya. Adrian yang melihat kerumunan lawan timnya berhenti dengan cepat. Ada sesuatu yang mencuri
Sepuluh tahun yang lalu. Bunyi dentum bola basket beradu dengan langkah kaki yang menyusul. Sorakan memandu di sana-sini, teriakan makin membahana di gimnasium usai operan bola lawan tertangkap oleh Adrian. Lelaki berambut cepak usai beberapa minggu lalu kena razia rambut, kini memegang kendali bola. Nama lelaki itu lantas menggema usai melakukan shooting dengan tembakan tiga poin. Ayunda memperhatikan lelaki itu—Adrian Laksana yang serius berada di lapangan. Dia tidak ikut-ikutan tertarik seperti yang lainnya; jejeritan tidak jelas dan berisik. Di sisinya, ada Manda, memasang cengiran. “Adrian ganteng juga kalau lagi main basket. Nggak kalah sama pesona kapten lawan. Kenapa nggak dari dulu aku perhatikan, ya, Ayunda? Kita kalah dari semua cewek-cewek di sini.” Ayunda diam saja. Sesaat setelahnya sebuah pesan masuk ke ponselnya, disusul dering panggilan. Gadis berambut lurus itu menyisih sambil menerima telepon. “Kenapa Egi?” serunya, sambil menyumpal satu telinganya agar lebih j
“Apa menjadi model untukmu ... bisa membebaskan aku?” Pertanyaan wanita itu kadang tidak pernah terduga dan terlalu mengejutkan—to the point.Adrian menatap wanita itu begitu serius, bahkan lebih dari serius.“Reuni denganmu … membuatku bertanya-tanya tentang kebebasan. Sementara aku pernah terbuang sebelumnya.”“Ayunda, kamu benar-benar ingin bebas, bukan?” tanya Adrian.Bebas?Ayunda mendadak terdiam dalam pikirannya. Tak lama ia kemudian mengedikkan bahu.“Entahlah. Aku nggak bisa pergi dari genggaman Rose. Tanpa izinnya pun, aku bahkan nggak bisa bicara seperti ini padamu,” kata wanita itu. “Kontrakku terikat tidak ada batasan. Hidup dan matiku ada di tangannya.”“Memangnya Rose Tuhan?” cibir Adrian. “Dengar ya, Ayunda. Tuhan saja bisa memberikan kesempatan untuk umatnya. Jadi, jangan ragu. Ikuti saja kata hatimu dan jangan pernah percaya pada siapa pun, termasuk aku. Kamu nggak salah merasa curiga setelah kita lama nggak bertemu. Aku nggak keberatan jika kamu tetap mengang
“Pergilah, Ayunda. Bukankah aku sudah mengatakan tugasmu hari ini?” Suara Rose Martha menjawab Ayunda yang hanya terdiam, sementara Adrian menunggunya di depan pintu.“Bosmu sudah mengizinkanmu. Ayo, pergi,” kata Adrian. Sebelah tangannya terulur pada Ayunda.Wanita itu masih terdiam, kali ini matanya melirik jemari Adrian yang dia sadari begitu panjang dan lentik.“Waktumu begitu banyak, jangan kecewakan aku, Ayunda.” Rose lantas pergi lebih dulu, melewati mereka yang masih berdiri berhadapan.Ayunda sempat melirik wanita itu sebelum akhirnya pasrah akan tugasnya yang harus kembali berhadapan dengan Adrian Laksana.“Kenapa kamu selalu muncul di hadapanku?”“Sudah jelas tujuanku sejak awal. Aku hanya ingin kamu, Ayunda.”Ayunda menarik napas kesal usai mendengar jawaban itu, dia lalu melangkah lebih dulu tanpa menghiraukan uluran tangan Adrian.“Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Ayunda saat mereka sudah berada di lift.Adrian tersenyum miring. “Akhirnya kamu penasaran. Akan aku pastik
“Apa ini?” Ayunda bertanya dengan wajah bingung pada salah satu staf Rose yang membawakannya sesuatu. Satu stel pakaian rapi; blus putih, rok dan blazer hitam “Itu jelas-jelas pakaian kantor, Ayunda. Kamu tidak mungkin menemui klienku dengan seragam cleaning servise begitu, kan?” Rose menatap Ayunda dari mejanya dengan tatapan angkuh. “Jangan permalukan aku, cepat ganti pakaianmu.” Ayunda tidak punya pilihan. Dia bekerja pada dua perusahaan langsung pada Rose. Wanita itu menemukannya di antara kesalahan satu, dua dan seterusnya sampai pada akhirnya Ayunda tidak punya pilihan lain selain menurut. Wanita itu masuk diikuti staf sekretaris ke ruang ganti yang ada di dalam kantor Rose. Dia berganti pakaian dan dibantu merias diri. Setelahnya, Ayunda dihadapkan satu map di meja. “Bu Rose ingin kamu mengerjakan ini.” “Ini ...?” “Dokumen para model untuk direkomendasikan kepada pihak Stardust.” “Stardust?” Kening Ayunda kerut merut. “Kamu tidak tahu Stardust? Itu adalah merek fesy
“Kak Yunda, bangunlah. Bukankah kakak ada pekerjaan pagi ini?”Suara gaduh terdengar di dekatnya. Ayunda yang masih setengah sadar dari mimpinya hanya bergumam sambil berusaha membuka mata. Seorang gadis berambut sebahu tengah berdiri memunggunginya di depan meja rias. Tangannya piawai meraih benda-benda yang bergeletakan di sana. Ayunda mengernyit.“Sedang apa kamu, Dinda?”Ia lantas bangkit dan menyadari bahwa adik semata wayangnya itu tengah melakukan apa dengan sebuah kuas kecil di tangannya.“Berani sekali kamu masuk tanpa permisi dan memakai make-up milikku!” Wanita itu gegas merebut kuas kecil yang akan digunakan sang adik untuk membubuhkan hiasan pada kelopak mata.“Sedikit aja, Kak,” rengek Adinda. Gadis pendek itu berusaha meraih apa yang kini berpindah di tangan kakaknya. “Hari ini aku ada kelas untuk seleksi Olimpiade Matemati
Semua gara-gara Adrian! Dia sengaja sekali datang setiap hari hanya untuk membuatku terganggu. “Si berengsek itu! Dia pasti sengaja melakukannya!” teriak Ayunda. Wanita itu mencuci wajahnya di toilet usai Venus pergi berjam-jam yang lalu. Sudah hampir di penghujung waktu, tapi dia tidak juga mendapatkan notifikasi klien. Ia membanting pintu toilet dengan kasar dan mengejutkan seseorang di luar. “K-kamu berteriak, Miss A?” Ayunda memandang Putri Salju yang tengah mengambil sesuatu di loker dengan terkejut. Dia pikir tidak ada siapa-siapa di luar. “Ehm, apakah kamu mendengarku?” Putri Salju mengangguk. “Maaf ya.” Ayunda lantas melipir ke kursinya dan duduk di sana sembari mengeluarkan ponsel. “Kamu sepertinya ada masalah, Miss A?” Ternyata wanita itu tidak pergi, melainkan duduk di samping Ayunda. “Klienmu ....” Pandangan Putri Salju pun bertanya-tanya kenapa dia di sini. “Tidak ada klien malam ini,” sahut Ayunda santai. Wanita itu kembali mengangguk. “Tapi ... aneh sekali.
Ayunda merasa dipermainkan. Pertama oleh Adrian. Kedua oleh Venus dan pemikirannya. “Iya, tapi, Miss A, kamu tahu apa maksudku. Aku bicara seperti ini karena kamu adalah nomor satu —” “Dan aku tetap nomor satu di sini tanpa dirinya, kan? Posisiku tetap nomor satu sejak awal sebelum dia tidak datang kemari, kan?” Venus mengangguk sesaat menyadari Miss A benar. “Kalau begitu ... bisa aku pergi dengan tenang kepada klienku yang menunggu?” Venus mempersilakan perempuan itu untuk pergi kepada kliennya tanpa diantar. Miss A mengetuk pintu dan masuk. “Selamat malam, Tuan. Miss A datang!” Ayunda benci sekali saat mengucapkan salam itu dengan suara imut yang dibuat-buatnya. Namun, kliennya begitu menyukainya. Klien kali ini adalah pria yang kemarin kalah dalam tantangan. Dan dia kembali untuk menantang dirinya. Ayunda bersiap untuk mengalahkan pria itu. “Duduk sini, Miss A!” Ayunda tersenyum dan langsung menawarkan minum. “Minum dulu, Tuan.” “Iya, Miss A.” “Minum yang banyak, ya.” Ay