“Din…Dina, Kamu kenapa, Din?” Sasa sedikit berteriak saat Dina melewatinya dengan agak tergesa.
“Kayak baru lihat setan saja, padahal terakhir aku masuk penghuninya ganteng kebangetan,” gerutu Sasa, yang melihat Dina hanya menoleh sekilas tanpa mau menghampiri meja kerjanya.“Karena mahluk yang di dalam gantengnya kebangetan, Mbak aku jadi takut khilaf,” jawab Dina seenaknya.“Bukannya takut ditambahin kerjaan ya,” ejek Sasa.Dina berjalan mendekati meja Sasa, dan dengan pelan berbisik. “Jangan cemburu gitu Mbak, aku nggak bakal bantuin kerjaan Mbak Sasa kok,” katanya sambil nyengir iseng, kemudian meninggalkan Sasa yang melongo memandang kepergiannya.“Kamu kalau menyebalkan gini, memang minta dijitak, Din.”“Siapa yang menyebalkan, Sa?”Tiba-tiba sosok Brian sudah berdiri di depan meja kerjanya, Sasa meringis, kapan coba bosnya ini keluar kandang, tiba-tiba sudah nongol, nggak kDina semakin gugup saat suaminya sudah berjalan semakin dekat. Kepercayaan dirinya tadi yang sengaja dia pupuk dan mulai bersemi hilang sudah tak berbekas digantikan gugup luar biasa yang membuat tangannya menjadi dingin.Ya Tuhan menghadapi suaminya sendiri saja Dina tidak mampu ini malah sok sokan ingin bicara di depan rapat bersama para bos besar yang jelas-jelas tak dia kenal sama sekali. Dina bingung harus bagaimana sekarang? Apa dia lari saja tak mempedulikan perintah atasannya, tapi Dina bukan pengecut dia tak pernah lari dari masalah serumit apapun. “Selamat sore, Pak Angga.” Brian menyapa Angga dengan sopan dan formal, tentu saja mereka rekan bisnis yang akan bermitra untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Yang disambut suaminya itu dengan formal juga. Dina sedikit tersenyum saat sang suami memandang ke arahnya, dan berjalan ke sampingnya. “Saya tidak tahu jika Pak Brian mengajak serta istri saya di rapat kali ini.”
Prestasi yang hari ini Dina dapatkan di tempat kerja sepertinya berbanding terbalik dengan prestasinya di rumah sebagai seorang istri dan juga ibu. Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di sebelah sebuah sedan hitam milik ibu mertuanya. Dina menghela nafas pelan, dia sudah berkali-kali mencoba untuk berdamai dengan kondisi rumah tangganya sekarang, dia juga tak mau terlalu menghakimi suaminya dan juga Keira, Dina sadar ini juga kesalahannya yang tak mampu menggenggam hati suaminya, sehingga ada celah di hati suaminya untuk memasukkan orang lain dalam kehidupan mereka. Dina melirik suaminya yang juga terdiam di tempatnya, laki-laki itu hanya memandang kosong ke depan, kontras sekali dengan senyum yang dia pamerkan tadi saat di kantor. Bahkan Angga seolah tak peduli dengan gunjingan orang lain, tapi ketika sampai di rumah mungkin suaminya merasakan hal yang sama dengannya. Perasaan tak nyaman. Apalagi ada sang mama yang berkunjung kemari. Dina bukannya tidak suka dengan kehadira
“Aku kerja di kantor kecil, yang pegawainya juga terbatas jadi wajar kami dekat satu sama lain.” “Bukan itu yang Mama maksud, tapi dekat secara personal?” “Maksud Mama, apa aku berselingkuh dengannya?” tanya Dina langsung. Mama Angga itu terlihat tidak nyaman Dina menebak langsung maksudnya seperti itu, tapi dia juga penasaran terhadap hal itu. “Mama tidak bermaksud menuduhmu?” “Jawabannya enggak Ma, aku tidak serendah itu berselingkuh dengan orang lain saat aku masih terikat hubungan dengan laki-laki lain,” jawab Dina tegas. “Meski laki-laki yang menjadi suamimu telah berselingkuh di belakangmu?” tanya sang mama dengan hati-hati.“Apa Mama yakin anak Mama berselingkuh?” tanya Dina balik, dia tahu ini tidak sopan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan tapi Dina tidak bisa melewatkan kesempatan ini untuk menanyakan pendapat mama mertuanya. Dina memandang ibu mertuanya
Dia indah seperti sekuntum bunga mawar, bibirnya yang berwarna pink alami membuat sang kumbang tergoda untuk mencicipinya merasakan manisnya madu yang bisa menjadi candu untuknya, tapi bahasa tubuhnya yang defensif membuat sang kumbang harus ingat, sang mawar memang berduri. Sejenak Angga memandangi wajah indah yang sedang tertidur lelap, wajahnya polos dan tenang seperti bayi yang tidak ada beban dalam hidupnya. Tangannya yang terlipat di depan dada seolah sebagai benteng pertahanan yang menghalau siapa pun orang yang berniat mendekat. Tapi itu justri membuat insting berburunya semakin tertantang untuk bisa meraihnya. Perlahan Angga berjalan mendekat, tangannya terulur hendak menyentuh pipi yang terlihat putih mulus itu, diusapnya sejenak, tak sampai di sana dia menurunkan tubuhnya dan berniat mengecup bibir itu, ingin merasakan manisnya, tapi wajah itu tiba-tiba berpaling sehingga bibirnya hanya berlabuh di ujung bibir saja, mata yang tadinya terpeja
Dina memeluk tubuh mungil Ara yang sudah terlelap dalam alam mimpinya, Dina memandang jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam berarti sudah hampir dua jam suaminya pergi mengantarkan Keira ke rumah mamanya, Dina tak tahu bagaimana tanggapan mertuanya tentang ini, sejujurnya Dina juga tak menyangka kalau Angga akan mengusulkan Keira untuk tinggal dengan sang mama. Dina tahu permintaannya ini sangat mengandung resiko, Angga bisa saja menghabiskan waktunya dengan Keira di rumah sang mama dengan alasan kehamilannya atau apa, tapi setidaknya kondisi rumah lebih menyehatkan jiwa dan raganya, anak-anak tak perlu lagi melihat papanya berseliweran di rumah tanpa menyapanya, itu mungkin lebih mudah, Dina bisa memberikan alasan kalau papanya sedang bekerja Bagaimanapun keputusan ini telah dia ambil, tanpa paksaan dari pihak manapun, meski Anggalah yang pertama kali mengusulkannya, tapi Dina dengan sadar telah menyetujuinya dan dia akan menanggung
'Din, apa benar postingan itu, kamu akhirnya bercerai dengan suamimu?'Dina memegang ponselnya dengan pias postingan apa yang dimaksud temannya ini, kenapa dia sampai bilang begitu. “Ada apa, Din kenapa wajahmu terlihat cemas?” tanya Brian yang dari tadi memperhatikan Dina membuka ponselnya. Dina hanya diam tak sanggup menjawab apa pun, dia hanya bisa memandang Brian dengan pandangan yang sudah mulai mengabur oleh air mata yang siap jatuh. Karena tak ada respon dari Dina, tanpa kata Brian mengambil ponsel Dina yang masih menyala dan menampilkan pesan yang baru saja dibaca oleh wanita itu. Brian mengerutkan keningnya. Lalu memandang Dina yang masih mematung dengan tangan bergetar. Brian meletakkan ponsel Dina di meja dan segera beranjak ke sebuah kulkas kecil yang memang ada di ruanganya.“Minum dulu, Din, tenangkan dirimu.” Brian menyerahkan minuman itu pada Dina, dan dengan isyara
“Maksudnya apa!’ tulis Dina dengan geram. Dina masih memegang ponselnya dengan muka pias, tangannya sedikit bergetar saat memegang benda itu. tak bisa dipungkiri Dina begitu ketakutan kalau semuanya itu memang benar adanya. Dia mungkin bisa terlihat mandiri dan tegar menghadapi semua cibiran orang-orang saat memutuskan terus bertahan di sisi Angga, ketika sang suami sudah mengkhianatinya dengan perempuan lain, bahkan membawa perempuan itu dalam status yang sama dengannya, tapi di dalam hatinya Dina juga ingin menangis, ingin menjerit sekuat tenaga, tapi dia sadar itu tak akan ada gunanya. Dina bukan orang yang dengan gampang meninggalkan semuanya begitu saja, dia adalah seorang petarung, sejak kecil dia sudah bertarung dengan nasib yang sama sekali tak diinginkan oleh semua anak di dunia ini, ditinggalkan dan tidak diinginkan. “Din, kamu baik-baik saja?” Brian sudah berdiri di sebelahnya memandangnya dengan prihatin. Hanya ada mereka berdua di
Proses akreditasi ulang akan dilakukan kurang dari sebulan lagi, dan mereka harus berlomba dengan waktu untuk menyiapkan semuanya, beban pekerjaan yang bertambah saat ini sangat disyukuri oleh Dina, wanita itu bisa memberi alasan pada dirinya sendiri untuk tidak memikirkan masalah yang ada dalam rumah tangganya. Bukan Dina ingin melarikan diri dari semua masalah itu, tidak. Dina hanya sedang membujuk hatinya supaya mampu berpikir jernih dan bijak agar nantinya tidak akan ada yang dia sesali. Sasa memperhatikan Dina yang jauh lebih pendiam, dibandingkan dengan tadi sebelum mereka makan siang. Dia tadi sempat melihat Brian menghampiri wanita itu dan mengajaknya berbincang, Sasa tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan tapi sepertinya atasannya itu sedang menghibur Dina entah untuk alasan apa. Suasana ruangan itu terasa mendung, tak ada lagi canda dan tawa seperti tadi, Brian melirik Dina yang bekerja dengan begitu serius di depan layar laptopnya, sedangkan Sasa sering mencuri pand