Dia indah seperti sekuntum bunga mawar, bibirnya yang berwarna pink alami membuat sang kumbang tergoda untuk mencicipinya merasakan manisnya madu yang bisa menjadi candu untuknya, tapi bahasa tubuhnya yang defensif membuat sang kumbang harus ingat, sang mawar memang berduri.
Sejenak Angga memandangi wajah indah yang sedang tertidur lelap, wajahnya polos dan tenang seperti bayi yang tidak ada beban dalam hidupnya. Tangannya yang terlipat di depan dada seolah sebagai benteng pertahanan yang menghalau siapa pun orang yang berniat mendekat. Tapi itu justri membuat insting berburunya semakin tertantang untuk bisa meraihnya.Perlahan Angga berjalan mendekat, tangannya terulur hendak menyentuh pipi yang terlihat putih mulus itu, diusapnya sejenak, tak sampai di sana dia menurunkan tubuhnya dan berniat mengecup bibir itu, ingin merasakan manisnya, tapi wajah itu tiba-tiba berpaling sehingga bibirnya hanya berlabuh di ujung bibir saja, mata yang tadinya terpejaDina memeluk tubuh mungil Ara yang sudah terlelap dalam alam mimpinya, Dina memandang jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam berarti sudah hampir dua jam suaminya pergi mengantarkan Keira ke rumah mamanya, Dina tak tahu bagaimana tanggapan mertuanya tentang ini, sejujurnya Dina juga tak menyangka kalau Angga akan mengusulkan Keira untuk tinggal dengan sang mama. Dina tahu permintaannya ini sangat mengandung resiko, Angga bisa saja menghabiskan waktunya dengan Keira di rumah sang mama dengan alasan kehamilannya atau apa, tapi setidaknya kondisi rumah lebih menyehatkan jiwa dan raganya, anak-anak tak perlu lagi melihat papanya berseliweran di rumah tanpa menyapanya, itu mungkin lebih mudah, Dina bisa memberikan alasan kalau papanya sedang bekerja Bagaimanapun keputusan ini telah dia ambil, tanpa paksaan dari pihak manapun, meski Anggalah yang pertama kali mengusulkannya, tapi Dina dengan sadar telah menyetujuinya dan dia akan menanggung
'Din, apa benar postingan itu, kamu akhirnya bercerai dengan suamimu?'Dina memegang ponselnya dengan pias postingan apa yang dimaksud temannya ini, kenapa dia sampai bilang begitu. “Ada apa, Din kenapa wajahmu terlihat cemas?” tanya Brian yang dari tadi memperhatikan Dina membuka ponselnya. Dina hanya diam tak sanggup menjawab apa pun, dia hanya bisa memandang Brian dengan pandangan yang sudah mulai mengabur oleh air mata yang siap jatuh. Karena tak ada respon dari Dina, tanpa kata Brian mengambil ponsel Dina yang masih menyala dan menampilkan pesan yang baru saja dibaca oleh wanita itu. Brian mengerutkan keningnya. Lalu memandang Dina yang masih mematung dengan tangan bergetar. Brian meletakkan ponsel Dina di meja dan segera beranjak ke sebuah kulkas kecil yang memang ada di ruanganya.“Minum dulu, Din, tenangkan dirimu.” Brian menyerahkan minuman itu pada Dina, dan dengan isyara
“Maksudnya apa!’ tulis Dina dengan geram. Dina masih memegang ponselnya dengan muka pias, tangannya sedikit bergetar saat memegang benda itu. tak bisa dipungkiri Dina begitu ketakutan kalau semuanya itu memang benar adanya. Dia mungkin bisa terlihat mandiri dan tegar menghadapi semua cibiran orang-orang saat memutuskan terus bertahan di sisi Angga, ketika sang suami sudah mengkhianatinya dengan perempuan lain, bahkan membawa perempuan itu dalam status yang sama dengannya, tapi di dalam hatinya Dina juga ingin menangis, ingin menjerit sekuat tenaga, tapi dia sadar itu tak akan ada gunanya. Dina bukan orang yang dengan gampang meninggalkan semuanya begitu saja, dia adalah seorang petarung, sejak kecil dia sudah bertarung dengan nasib yang sama sekali tak diinginkan oleh semua anak di dunia ini, ditinggalkan dan tidak diinginkan. “Din, kamu baik-baik saja?” Brian sudah berdiri di sebelahnya memandangnya dengan prihatin. Hanya ada mereka berdua di
Proses akreditasi ulang akan dilakukan kurang dari sebulan lagi, dan mereka harus berlomba dengan waktu untuk menyiapkan semuanya, beban pekerjaan yang bertambah saat ini sangat disyukuri oleh Dina, wanita itu bisa memberi alasan pada dirinya sendiri untuk tidak memikirkan masalah yang ada dalam rumah tangganya. Bukan Dina ingin melarikan diri dari semua masalah itu, tidak. Dina hanya sedang membujuk hatinya supaya mampu berpikir jernih dan bijak agar nantinya tidak akan ada yang dia sesali. Sasa memperhatikan Dina yang jauh lebih pendiam, dibandingkan dengan tadi sebelum mereka makan siang. Dia tadi sempat melihat Brian menghampiri wanita itu dan mengajaknya berbincang, Sasa tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan tapi sepertinya atasannya itu sedang menghibur Dina entah untuk alasan apa. Suasana ruangan itu terasa mendung, tak ada lagi canda dan tawa seperti tadi, Brian melirik Dina yang bekerja dengan begitu serius di depan layar laptopnya, sedangkan Sasa sering mencuri pand
“Apa Pak Brian suka sama kamu ya, Din?” tanya Sasa tiba-tiba. Dina melotot mendengar komentar ngawur temannya itu, Dina menoleh ke kanan kiri mirip maling jemuran yang mau beraksi. Dina mengelus dadanya lega ternyata hanya mereka orang yang berkeliaran di parkiran pada jam segini, tentu saja ini masih jam kerja dan tanpa urusan yang mendesak atau ijin khusus mana berani mereka berkeliaran. Tangan Dina bergerak mencubit pinggang Sasa yang membuat wanita itu menjerit kesakitan.“Kamu ngapain nyubit aku, Din,” sentak Sasa tak terima. “Aku tadinya pengen ketok-ketok kepalamu, Mbak tapi takut kualat sama orang tua.” “Kita hanya beda tiga tahun woii!” kata Sasa tak terima. “Yang penting lebih tua dari aku, dan jangan ngomong asal ya bisa membuat kacau dunia kalau sampai orang dengar, sudahlah ayo berangkat Aksa sudah menunggu.” Sasa hanya menggerutu kesal saat Dina memerintahkan dengan sewenang-wenang.
Dina terpaksa meminta ijin pada Brian untuk tidak bisa kembali lagi ke kantor, tidak mungkin dia meninggalkan Aksa dalam keadaan kacau seperti itu, apalagi anak itu yang masih terlihat marah pada anak yang bernama Dito tadi.Dina yakin dalam keadaan seperti ini dia tak akan bisa fokus bekerja dan akan mengacaukan segalanya, Brian sudah berkali-kali mewanti-wantinya untuk mengambil jatah cuti jika dia tak bisa fokus bekerja dan membawa serta hati dan pikirannya. “Ambil waktu yang kamu mau, dan kembalilah bekerja jika kamu rasa siap untuk bekerja,” jawab Brian saat Dina menghubunginya tadi setelah mereka masih berada di halaman sekolah menunggu Pak Amin menjemputnya. Meski tak enak hati, karena meninggalkan pekerjaan begitu saja, Dina merasa bersyukur atasannya itu mau mengerti kondisinya saat ini, bahkan Brian juga menanyakan kondisi Brian dan meminta bicara sebentar dengan anak itu. Entah apa yang mereka bicarakan tapi setelah bicara dengan Br
“Tentu.” Aksa berkata dengan yakin. Dia memandang Dina ragu sejenak untuk mengatakan sesuatu. “Apa Aksa boleh ikut Bunda saja kalau Papa memilih Tante Keira?” kata Aksa yang membuat Dina ingin menangis mendengarnya. Kali ini Keira sudah keterlaluan dia pasti akan membuat perhitungan dengannya, selama ini dia tidak mau terlalu ikut campur tentang Keira, tapi tidak jika ulah wanita itu sudah melukai anak-anaknya. Dina memeluk anak itu erat, ditumpahkannya rasa sesak yang bercokol di dadanya. "Aksa anak bunda...." Dina tak dapat lagi meneruskan kalimatnya, Tenggorokannya seolah tersumbat dengan potongan kayu tak mampu lagi untuk bicara. Untuk pertama kalinya Dina menangis tergugu memeluk Aksa, sedangkan anak itu sendiri hanya diam seperti patung tak membalas pelukan Bundanya, pun tak mengatakan apapun. Dina yang menyadari hal itu melepaskan pelukannya. "Aksa kenapa, Nak?" Aksa hanya memandang kosong, bahkan saat Dina mengguncang tubuhnya, dia hanya diam terpaku membuat Dina ketak
Senja terlihat sangat indah saat Dina keluar dari taman belakang rumahnya. Tak dapat dipungkiri kalau taman ini memang sengaja di desain untuk bersantai kala sore hari. Dina menghempaskan diri di kursi panjang. Mengistirahatkan sejenak tubuhnya yang penat oleh berbagai masalah yang menderanya akhir-akhir ini. Dina memikirkan kembali kehidupannya akhir-akhir ini, mulai dari hadirnya Keira dalam kehidupan pernikahannya dengan Angga, kehamilan Keira yang sudah melebihi usia pernikahan mereka dan juga berbagai ulah yang entah sengaja atau tidak dilakukan Keira. Dan sekarang ini Aksa yang mulai menunjukkan penolakan yang ekstrim untuk semuanya. Jika bisa Dina ingin berhenti saja di sini, meninggalkan semuanya dan pergi jauh, sangat jauh sampai dia sendiri akan lupa pernah memiliki kehidupan bersama orang-orang di sini. Tapi Dina menyesalkan otaknya yang masih waras dan tak melakukan semua itu setidaknya belum waktunya. Dia harus memastikan semuanya baik-baik
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda