Senja terlihat sangat indah saat Dina keluar dari taman belakang rumahnya. Tak dapat dipungkiri kalau taman ini memang sengaja di desain untuk bersantai kala sore hari. Dina menghempaskan diri di kursi panjang. Mengistirahatkan sejenak tubuhnya yang penat oleh berbagai masalah yang menderanya akhir-akhir ini. Dina memikirkan kembali kehidupannya akhir-akhir ini, mulai dari hadirnya Keira dalam kehidupan pernikahannya dengan Angga, kehamilan Keira yang sudah melebihi usia pernikahan mereka dan juga berbagai ulah yang entah sengaja atau tidak dilakukan Keira. Dan sekarang ini Aksa yang mulai menunjukkan penolakan yang ekstrim untuk semuanya. Jika bisa Dina ingin berhenti saja di sini, meninggalkan semuanya dan pergi jauh, sangat jauh sampai dia sendiri akan lupa pernah memiliki kehidupan bersama orang-orang di sini. Tapi Dina menyesalkan otaknya yang masih waras dan tak melakukan semua itu setidaknya belum waktunya. Dia harus memastikan semuanya baik-baik
Andai saja cinta bisa dipelajari Dina akan meminta suaminya untuk membeli berjuta-juta buku untuk referensi, dia bahkan akan rela menyusunnya dalam sebuah naskah lengkap yang bisa dengan mudah dipelajari, asal cinta itu bisa tumbuh subur. Dina pernah mendengar bahwa laki-laki bisa bercinta dengan wanita manapun yang mampu memicu gairahnya. Tidak perlu ada cinta, apakah itu yang terjadi selama tahun-tahun pernikahannya dengan Angga?Suaminya ini memang secara terus terang mengatakan tak bisa mencintainya, tapi perlakuannya saat mereka berdua bersama yang begitu lembut dan memuja membuat Dina terlena. Apalagi Angga adalah laki-laki pertama dan satu-satunya sampai saat ini yang berhasil menggempur dinding pertahanannya dan menjadikan dia wanita seutuhnya. Bahkan luka yang ditimbulkan oleh suaminya itu tak mampu untuk menolak sentuhan sang suami. Dina tahu jika bersama suaminya dia memang semurahan itu. Dina menggeser tubuhnya
Dina menutup mukanya dan menangis setelah Angga menutup pintu kamar mereka, dia tak tahu apa yang menjadi tujuan suaminya, semuanya seolah kabur bagai Dina, laki-laki yang dulu dianggap mampu sebagai tempatnya bersandar kala susah dan tempatnya berbagi tawa saat senang nyatanya sekarang bagai orang asing untuknya, lima tahun usia pernikahannya seolah dia tak mengenal suaminya lagi, laki-laki yang dulu setiap malam tidur di sampingnya. Dina tahu pernikahan adalah medan perang dengan banyak musuh yang akan datang, bahkan musuh bukan hanya akan datang dari luar tapi bisa juga dari diri sendiri, karena pernikahan adalah bersatunya dua kepala yang memiliki latar belakang yang berbeda. Bertahun-tahun yang lalu dia juga merasa seperti ini, sepi dan sendiri, meski ada Bu Rahmi, ibu panti yang baik hati itu, tapi tetap saja dia merasa sendiri karena Bu Rahmi juga banyak memiliki anak asuh dan tidak setiap saat bisa didekatnya. Saat malam dia bermimpi buruk, dia hanya bisa memluk guling samb
"Diam Din! aku bicara dengan Aksa dia laki-laki harus bisa bertanggung jawab pada perbuatannya," bentak Angga pada Dina. Dina terkejut dengan bentakan Angga, Dina menatap tajam suaminya memberi tanda agar segera menghentikan perdebatan ini, tapi dasar Angga yang bebal malah masih melotot pada Aksa membuat anak itu makin menunduk dengan rasa bersalah. Dina tak dapat menahan air matanya lagi, dia ingin meraih Aksa dalam pelukannya, menenangkan anak itu, melakukan sesuatu yang membuat anak itu akan merasa lebih baik, tapi anak itu menolak, terborgol oleh rasa bersalah. "Aksa yang dorong Bunda, Aksa jahat sama Bunda seperti wanita itu, Bunda boleh hukum Aksa," rancaunya lagi. "Bunda nggak apa-apa, Ini bukan salah Aksa," bujuk Dina lagi, wanita itu beringsut mendekati Aksa dan berusaha meraihnya kembali. Tapi Aksa menepisnya dengan kasar, dan memandang Dina dengan mata nyalang. Dina terkejut tentu saja, begitu jug
Angga melotot mendengar kalimat Dina yang diucapkan begitu tenang dan penuh kepasrahan. “Kamu ngomong apa, Din! Tidakkah berpikir dengan otakmu.” Angga menatap istrinya tajam. “Kamu mendengar dengan jelas bukan? Tenang saja, aku menyayangi anak-anak dengan tulus jadi aku akan tetap merawat mereka meski kita sudah berpisah nanti, aku tidak masalah siapa di antara kita yang akan mengajukan gugatan, dan setelah itu kamu bisa konsentrasi pada Keira tanpa perlu mempedulikan aku lagi, aku yakin kamu juga sudah bosan bertengkar denganku.” Dina berkata datar dan tenang tapi tangannya yang gemetar, tak bisa menutupi hatinya yang sudah tak berbentuk lagi. Angga berdiri di sana memandang Dina dengan geram, matanya menyorot tajam dan tanganya mengepal erat. “Tidak akan,” jawab Angga singkat dengan yakin. Dina memandang suaminya dengan marah. Dia langsung duduk dengan tegak. “Kenapa tidak mungkin? Bukankah itu lebih muda
Nyatanya Dina benar-benar tertidur, dan baru terbangun setelah hari sudah semakin sore, tidak Angga di sisinya mungkin laki-laki itu sedang bersama Keira saat ini, terserahlah, Dina sudah tak peduli, dia akan mengecek anak-anak dulu.Suara tawa anak-anak di halaman depan rumah membuat Dina mengurungkan niatnya untuk mencari makanan, dia bahkan sudah tidur seperti mayat sedari tadi sampai lupa tidak mengurus anak-anaknya, bahkan dia tak tahu Arsyi tadi apa hanya berangkat dengan Pak Amin sendiri ke sekolah, Dina benar-benar merutuki dirinya sendiri. “Nyonya sudah bangun? Mau makan, Nya? Tadi saya mau bangunkan tapi Nyonya tidur pulas banget saya jadi nggak tega.” Bibi yang sedang membersihkan karpet menyapa Dina yang berjalan cepat ke ruang depan. “Bentar, Bi, aku lihat anak-anak dulu, mereka sudah makan?” tanya Dina. “Sudah, Nya.” Dina hanya mengangguk dan meneruskan langskah ke ruang depan , dilihatnya anak-a
Anak-anak sangat senang Brian ada di rumah ini, meski Dina sedikit kasian padanya, karena meladeni tiga orang anak yang sedang aktif-aktifnya, tentu membutuhkan tenaga dan kesabaran yang tidak sedikit. Apalagi Ara, gadis kecil itu, begitu cerewet bertanya berbagai hal, dan jangan lupakan anak itu yang masih menempel seperti lintah pada Brian. Tapi Brian tetap sabar meladeni tingkah polah anak-anak, wajahnya dari tadi dihiasi senyuman yang menolak luntur dari bibirnya. Permainan monopoli mereka baru saja berakhir dengan muka yang sudah penuh dengan bedak bayi, dan Dina segera meminta mereka untuk mencuci muka di kamar mandi. Bibi yang kebetulan lewat juga dengan iseng berkomentar, mereka sudah mirip pisang ditepungi dan siap digoreng. Dina berkali-kali harus menghela nafas lelah saat putri kecilnya bahkan tak mau dia bantu untuk cuci muka. “Ara mau sama Om Brian.” Brian hanya tertawa melihat perdebatan ibu d
Dina memandang anak-anak yang begitu antusias menceritakan menu makan malam yang tersaji di meja makan, padahal sekali lihat saja Brian pasti bisa mengetahui apa nama masakan itu, apalagi ibunya yang memang hobi memasak dan memiliki sebuah restoran. "Ini menu gurame bakar kesukaan Ara dan Bunda, Om, kalau itu cumi asam manis kesukaan Papa dan Mas Aksa." "Lalu untuk Arsyi?" tanya Brian penasaran dan menoleh pada gadis kecil yang duduk di sebelah kirinya. "Arsyi suka semua makanan yang dimasak Bunda, jadi tidak ada makanan khusus untuk Arsyi." "Kamu memang banyak makan pasti sebentar lagi akan menggelembung seperti balon," ejek Aksa. "Enak saja, meski makanku banyak aku juga banyak olahraga," jawab Arsyi tak terima. "Olah raga apa? Tiap hari cuma main boneka kok olah raga." "Ok, cukup-cukup, anak baik itu tidak boleh bertengkar." Mereka langsung diam saat Brian menegurnya.