“Aku kerja di kantor kecil, yang pegawainya juga terbatas jadi wajar kami dekat satu sama lain.”
“Bukan itu yang Mama maksud, tapi dekat secara personal?”“Maksud Mama, apa aku berselingkuh dengannya?” tanya Dina langsung.Mama Angga itu terlihat tidak nyaman Dina menebak langsung maksudnya seperti itu, tapi dia juga penasaran terhadap hal itu.“Mama tidak bermaksud menuduhmu?”“Jawabannya enggak Ma, aku tidak serendah itu berselingkuh dengan orang lain saat aku masih terikat hubungan dengan laki-laki lain,” jawab Dina tegas.“Meski laki-laki yang menjadi suamimu telah berselingkuh di belakangmu?” tanya sang mama dengan hati-hati.“Apa Mama yakin anak Mama berselingkuh?” tanya Dina balik, dia tahu ini tidak sopan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan tapi Dina tidak bisa melewatkan kesempatan ini untuk menanyakan pendapat mama mertuanya.Dina memandang ibu mertuanyaDia indah seperti sekuntum bunga mawar, bibirnya yang berwarna pink alami membuat sang kumbang tergoda untuk mencicipinya merasakan manisnya madu yang bisa menjadi candu untuknya, tapi bahasa tubuhnya yang defensif membuat sang kumbang harus ingat, sang mawar memang berduri. Sejenak Angga memandangi wajah indah yang sedang tertidur lelap, wajahnya polos dan tenang seperti bayi yang tidak ada beban dalam hidupnya. Tangannya yang terlipat di depan dada seolah sebagai benteng pertahanan yang menghalau siapa pun orang yang berniat mendekat. Tapi itu justri membuat insting berburunya semakin tertantang untuk bisa meraihnya. Perlahan Angga berjalan mendekat, tangannya terulur hendak menyentuh pipi yang terlihat putih mulus itu, diusapnya sejenak, tak sampai di sana dia menurunkan tubuhnya dan berniat mengecup bibir itu, ingin merasakan manisnya, tapi wajah itu tiba-tiba berpaling sehingga bibirnya hanya berlabuh di ujung bibir saja, mata yang tadinya terpeja
Dina memeluk tubuh mungil Ara yang sudah terlelap dalam alam mimpinya, Dina memandang jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam berarti sudah hampir dua jam suaminya pergi mengantarkan Keira ke rumah mamanya, Dina tak tahu bagaimana tanggapan mertuanya tentang ini, sejujurnya Dina juga tak menyangka kalau Angga akan mengusulkan Keira untuk tinggal dengan sang mama. Dina tahu permintaannya ini sangat mengandung resiko, Angga bisa saja menghabiskan waktunya dengan Keira di rumah sang mama dengan alasan kehamilannya atau apa, tapi setidaknya kondisi rumah lebih menyehatkan jiwa dan raganya, anak-anak tak perlu lagi melihat papanya berseliweran di rumah tanpa menyapanya, itu mungkin lebih mudah, Dina bisa memberikan alasan kalau papanya sedang bekerja Bagaimanapun keputusan ini telah dia ambil, tanpa paksaan dari pihak manapun, meski Anggalah yang pertama kali mengusulkannya, tapi Dina dengan sadar telah menyetujuinya dan dia akan menanggung
'Din, apa benar postingan itu, kamu akhirnya bercerai dengan suamimu?'Dina memegang ponselnya dengan pias postingan apa yang dimaksud temannya ini, kenapa dia sampai bilang begitu. “Ada apa, Din kenapa wajahmu terlihat cemas?” tanya Brian yang dari tadi memperhatikan Dina membuka ponselnya. Dina hanya diam tak sanggup menjawab apa pun, dia hanya bisa memandang Brian dengan pandangan yang sudah mulai mengabur oleh air mata yang siap jatuh. Karena tak ada respon dari Dina, tanpa kata Brian mengambil ponsel Dina yang masih menyala dan menampilkan pesan yang baru saja dibaca oleh wanita itu. Brian mengerutkan keningnya. Lalu memandang Dina yang masih mematung dengan tangan bergetar. Brian meletakkan ponsel Dina di meja dan segera beranjak ke sebuah kulkas kecil yang memang ada di ruanganya.“Minum dulu, Din, tenangkan dirimu.” Brian menyerahkan minuman itu pada Dina, dan dengan isyara
“Maksudnya apa!’ tulis Dina dengan geram. Dina masih memegang ponselnya dengan muka pias, tangannya sedikit bergetar saat memegang benda itu. tak bisa dipungkiri Dina begitu ketakutan kalau semuanya itu memang benar adanya. Dia mungkin bisa terlihat mandiri dan tegar menghadapi semua cibiran orang-orang saat memutuskan terus bertahan di sisi Angga, ketika sang suami sudah mengkhianatinya dengan perempuan lain, bahkan membawa perempuan itu dalam status yang sama dengannya, tapi di dalam hatinya Dina juga ingin menangis, ingin menjerit sekuat tenaga, tapi dia sadar itu tak akan ada gunanya. Dina bukan orang yang dengan gampang meninggalkan semuanya begitu saja, dia adalah seorang petarung, sejak kecil dia sudah bertarung dengan nasib yang sama sekali tak diinginkan oleh semua anak di dunia ini, ditinggalkan dan tidak diinginkan. “Din, kamu baik-baik saja?” Brian sudah berdiri di sebelahnya memandangnya dengan prihatin. Hanya ada mereka berdua di
Proses akreditasi ulang akan dilakukan kurang dari sebulan lagi, dan mereka harus berlomba dengan waktu untuk menyiapkan semuanya, beban pekerjaan yang bertambah saat ini sangat disyukuri oleh Dina, wanita itu bisa memberi alasan pada dirinya sendiri untuk tidak memikirkan masalah yang ada dalam rumah tangganya. Bukan Dina ingin melarikan diri dari semua masalah itu, tidak. Dina hanya sedang membujuk hatinya supaya mampu berpikir jernih dan bijak agar nantinya tidak akan ada yang dia sesali. Sasa memperhatikan Dina yang jauh lebih pendiam, dibandingkan dengan tadi sebelum mereka makan siang. Dia tadi sempat melihat Brian menghampiri wanita itu dan mengajaknya berbincang, Sasa tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan tapi sepertinya atasannya itu sedang menghibur Dina entah untuk alasan apa. Suasana ruangan itu terasa mendung, tak ada lagi canda dan tawa seperti tadi, Brian melirik Dina yang bekerja dengan begitu serius di depan layar laptopnya, sedangkan Sasa sering mencuri pand
“Apa Pak Brian suka sama kamu ya, Din?” tanya Sasa tiba-tiba. Dina melotot mendengar komentar ngawur temannya itu, Dina menoleh ke kanan kiri mirip maling jemuran yang mau beraksi. Dina mengelus dadanya lega ternyata hanya mereka orang yang berkeliaran di parkiran pada jam segini, tentu saja ini masih jam kerja dan tanpa urusan yang mendesak atau ijin khusus mana berani mereka berkeliaran. Tangan Dina bergerak mencubit pinggang Sasa yang membuat wanita itu menjerit kesakitan.“Kamu ngapain nyubit aku, Din,” sentak Sasa tak terima. “Aku tadinya pengen ketok-ketok kepalamu, Mbak tapi takut kualat sama orang tua.” “Kita hanya beda tiga tahun woii!” kata Sasa tak terima. “Yang penting lebih tua dari aku, dan jangan ngomong asal ya bisa membuat kacau dunia kalau sampai orang dengar, sudahlah ayo berangkat Aksa sudah menunggu.” Sasa hanya menggerutu kesal saat Dina memerintahkan dengan sewenang-wenang.
Dina terpaksa meminta ijin pada Brian untuk tidak bisa kembali lagi ke kantor, tidak mungkin dia meninggalkan Aksa dalam keadaan kacau seperti itu, apalagi anak itu yang masih terlihat marah pada anak yang bernama Dito tadi.Dina yakin dalam keadaan seperti ini dia tak akan bisa fokus bekerja dan akan mengacaukan segalanya, Brian sudah berkali-kali mewanti-wantinya untuk mengambil jatah cuti jika dia tak bisa fokus bekerja dan membawa serta hati dan pikirannya. “Ambil waktu yang kamu mau, dan kembalilah bekerja jika kamu rasa siap untuk bekerja,” jawab Brian saat Dina menghubunginya tadi setelah mereka masih berada di halaman sekolah menunggu Pak Amin menjemputnya. Meski tak enak hati, karena meninggalkan pekerjaan begitu saja, Dina merasa bersyukur atasannya itu mau mengerti kondisinya saat ini, bahkan Brian juga menanyakan kondisi Brian dan meminta bicara sebentar dengan anak itu. Entah apa yang mereka bicarakan tapi setelah bicara dengan Br
“Tentu.” Aksa berkata dengan yakin. Dia memandang Dina ragu sejenak untuk mengatakan sesuatu. “Apa Aksa boleh ikut Bunda saja kalau Papa memilih Tante Keira?” kata Aksa yang membuat Dina ingin menangis mendengarnya. Kali ini Keira sudah keterlaluan dia pasti akan membuat perhitungan dengannya, selama ini dia tidak mau terlalu ikut campur tentang Keira, tapi tidak jika ulah wanita itu sudah melukai anak-anaknya. Dina memeluk anak itu erat, ditumpahkannya rasa sesak yang bercokol di dadanya. "Aksa anak bunda...." Dina tak dapat lagi meneruskan kalimatnya, Tenggorokannya seolah tersumbat dengan potongan kayu tak mampu lagi untuk bicara. Untuk pertama kalinya Dina menangis tergugu memeluk Aksa, sedangkan anak itu sendiri hanya diam seperti patung tak membalas pelukan Bundanya, pun tak mengatakan apapun. Dina yang menyadari hal itu melepaskan pelukannya. "Aksa kenapa, Nak?" Aksa hanya memandang kosong, bahkan saat Dina mengguncang tubuhnya, dia hanya diam terpaku membuat Dina ketak