"Lova terimakasih banyak, padahal kau tidak perlu repot seperti ini"
Lova tersenyum pada Lina yang menggenggam kedua tangannya dengan ekspresi penuh harap, meski di dalam hatinya ada kepuasan tersendiri yang tak bisa disembunyikan.“Tidak apa-apa, Lina. Anak-anak di sini butuh tempat yang lebih baik, dan aku tidak bisa tinggal diam melihat mereka kesulitan” jawab Lova, melepaskan genggaman tangan Lina dengan lembut.Lina mengangguk penuh rasa syukur, matanya berkaca-kaca. “Kau selalu peduli pada kami. Kami tidak tahu harus berbuat apa tanpa bantuanmu, Lova.”Lova hanya tersenyum lagi, menahan rasa bangga yang muncul karena langkahnya yang cerdik. Uang itu memang berasal dari Caid—dari salah satu rekeningnya yang tersimpan rapi dalam sistem, tanpa dia sadari bahwa sebagian besar dananya telah Lova alihkan untuk membeli gedung baru panti asuhan.Ini bukan penggelapanLova hanya mengambil bayaran besar dari Caid karena terus menyetubuhinya tanpa henti dan untuk"Cosette... Apa mungkin... Dia mengancammu?"Cosette menatap Lova sejenak, lalu menggeleng perlahan, tetapi sorot matanya tidak sepenuhnya meyakinkan. Dia tersenyum samar, meskipun ada ketegangan di balik senyuman itu. "Tidak, dia tidak mengancamku, Angelic. Hanya saja, dunia yang dia jalani... itu bukan dunia yang mudah dipahami oleh orang luar."Lova merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Cosette berdiri dari kursinya. "Ayo, ikut aku ke ruanganku" ucapnya singkat, memberikan isyarat agar Lova mengikutinya.Lova menurut, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Saat mereka berjalan menyusuri lorong menuju ruang pribadi Cosette, pikiran Lova melayang pada kemungkinan-kemungkinan buruk.Cosette adalah seseorang yang ia anggap sebagai keluarga, dan Lova tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa Cosette sedang menyembunyikan sesuatu yang besar.Begitu mereka sampai di ruangan Cosette, Cosette menutup
Di klub malam, suasana gemerlap seperti biasa. Musik berdentum keras, lampu sorot bergantian menyinari kerumunan yang sibuk menikmati malam. Lova melangkah masuk, kembali ke tempat yang pernah menjadi panggungnya.Tak lama, tatapan Lova menangkap sosok Sahaduta di sudut VIP, dikelilingi oleh beberapa orang. Dia tampak tenang, menikmati segelas minuman. Lova tahu, malam ini dia harus lebih dari sekadar Angelic. Dia harus masuk ke dalam lingkaran Sahaduta.Dengan percaya diri, Lova melangkah mendekati meja Sahaduta. Setiap gerakannya penuh perhitungan, senyumnya menggoda, dan pandangannya fokus. Ia tahu betul bagaimana cara menarik perhatian. Ketika ia sudah cukup dekat, Sahaduta menoleh dan tatapan mereka bertemu.“Selamat malam, Mr Lunox" ujar Lova dengan suara lembut namun penuh misteri. “Nyonya Cosette mengirim saya untuk anda"Sahaduta tersenyum tipis, memperhatikan Lova dari ujung kepala hingga kaki. "Angelic? Angin apa yang membuat Cosette mengirimmu?" Tanyanya
Aleandro menarik Lova keluar dari klub malam itu, dengan genggaman yang tidak mengizinkan penolakan. Lova merasa perutnya mengencang, bukan karena takut, tetapi karena frustrasi. Ini bukan bagian dari rencananya—dia butuh lebih banyak waktu dengan Sahaduta untuk menggali informasi lebih lanjut.Saat mereka berjalan keluar dari klub, Lova menoleh ke arah Aleandro, dia melepaskan tangannya dengan kasar."Apa yang kau lakukan disini, paman?!" suara Lova penuh ketegasan, namun juga rasa penasaran yang jelas.Aleandro berhenti sejenak, menatap Lova dengan intensitas yang membuat Lova merasa sesak "Menyelamatkanmu dari situasi yang bisa berakhir lebih buruk."Lova mengerutkan kening. "Aku tidak butuh diselamatkan. Aku sedang mencari tahu sesuatu, paman.""Terlalu berisiko," jawab Aleandro tegas, langkahnya kembali bergerak maju dengan Lova mengikuti. "Sahaduta bukan orang yang bisa kau perdaya begitu saja. Jika dia tahu niat aslimu, semuanya akan hancur."Lova beru
Kelopak mata itu terbuka, menampakan netra coklatnya yang menatap kamar dengan cahaya renang. Tubuhnya terasa lelah, terlebih matanya membengkak karena dengan bodohnya menangisi AleandroTersadar ada sesuatu yang membuatnya terjaga. Dia merasakan sesak di perutnya, seperti ada yang menindihnya.Saat matanya mulai fokus, dia menoleh ke samping. Ekspresi heran tak tersembunyi diwajahny begitu mendapati pria yang harusnya ada di Milan itu justru diranjangnyaCaid ada di sana, berbaring di sebelahnya dengan tubuh setengah telanjang, tanpa atasan, memeluknya erat seakan dia tidak ingin Lova pergi ke mana pun.Tubuh Caid yang hangat menekan tubuh Lova, lengan kuatnya melingkar di pinggang Lova seolah-olah mereka sudah lama berbagi ranjang. Lova mencoba melepaskan diri perlahan, namun Caid mempererat pelukannya, matanya tetap terpejam, tetapi ada senyum di bibirnya seolah dia sadar apa yang sedang terjadi."Caid...?" Lova berbisik pelan, mencoba memastikan ini bukan mim
Caid keluar dari kamar dengan langkah yang santai, namun pikirannya penuh dengan Lova. Begitu dia mencapai dapur, matanya langsung tertuju pada sosok Lova yang berdiri di depan kompor, sibuk memasak. Rambutnya tergulung tinggi, sedikit berantakan, tapi justru itu yang membuatnya terlihat semakin seksi di mata Caid. Ada sesuatu yang sangat memikat dalam keacakan itu, seolah Lova tidak menyadari betapa menggodanya dia.Caid berhenti sejenak di ambang pintu, hanya menatap Lova dari jauh. Matanya memperhatikan setiap detail, bagaimana rambutnya jatuh sedikit di lehernya, gerakan lembut tangannya saat mengaduk sesuatu di panci, dan cara tubuhnya bergerak dengan natural.Tanpa sadar, Caid menelan ludahnya, dorongan untuk mendekatinya semakin kuat, hingga dia tidak bisa menahannya lagi.Dengan langkah yang tenang namun pasti, Caid mendekati Lova dari belakang. Saat jarak mereka hampir tak berjarak, dia membungkuk sedikit, lalu dengan lembut mengecup leher Lova yang terbuka.
"Kau tidak ada kelas hari ini?" tanya Caid, suaranya santai namun ada nada halus yang menuntut perhatian. Sup di mangkuk sudah habis, tapi Caid tidak menunjukkan tanda-tanda akan membiarkan Lova bangkit dari pangkuannya.Lova menatapnya sekilas, merasa gerah dengan kedekatan mereka tapi tidak menunjukkan protes yang nyata. "Tidak ada. Kau pikir aku bisa santai di sini kalau aku ada kelas?" jawabnya, berusaha mempertahankan nada biasa."Bagus." Caid mengangguk pelan, seolah puas dengan jawaban itu "Aku lebih suka ketika kau di sini bersamaku daripada di tempat lain" ucapnya, jarinya tanpa sadar menggambar pola lembut di pinggang Lova. Sentuhan itu membuat Lova merasakan sensasi panas yang menjalar, tapi dia menolaknya mentah-mentah dalam pikirannya.Lova menarik napas dalam-dalam, lalu mengubah posisi duduknya sedikit untuk memberi sinyal bahwa dia ingin berdiri. Tapi Caid malah mengencangkan pegangannya di pinggang Lova, tidak mengizinkannya bergerak."Sudah lama kau
"Aku bilang mengangkanglah"Lova menatap Caid, senyum menggoda tersungging di bibirnya, meski dia bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat di antara mereka. "Kau sungguh tidak berubah, ya, Walton?" balas Lova, tawa kecilnya terdengar di udara yang kini terasa lebih tebal. Dia tidak gentar dengan perintahnya, malah merasa tertantang oleh sikap dominan Caid yang mencoba mengendalikan dirinya.Dengan perlahan dia memundurkan tubuhnya, mengambil posisi ditengah meja lalu menekuk kedua kakinya menghadap Caid"Begini? cukup nyaman, bukan?" Lova melontarkan kalimat dengan nada mengejek, sambil menatap Caid dengan tatapan penuh tantangan.Caid mengerutkan keningnya, kebingungan bercampur kemarahan. "Kau pikir ini lelucon, Lova?" Suaranya lebih dalam, penuh tekanan."Aku hanya bermain dengan aturan yang kau buat, kau menyuruhku mengangkang dan aku melakukannya" jawab Lova, suaranya tetap tenang meski hatinya berdebar.Caid menggunakan kedua tangannya untuk mem
Lova terbaring di sofa, napasnya pelan namun teratur. Dinginnya AC tak serta membuat tubuh Lova yang bermandikan keringat menjadi sejuk.Tubuhnya lelah, liangnya terasa sakit dan membengkak karena Caid. Lova mendengus, mengingat betapa ganasnya Caid membuat wajahnya memerah.“Belakangan ini, kau hobi sekali memancing amarahku” kata Caid, suaranya lebih lembut meski nada tajamnya masih terasa. Dia datang sambil membawa sebuah handuk dan menyeka tubuh Lova“Mungkin aku ingin tahu seberapa jauh aku bisa pergi sebelum kau benar-benar marah.” Lova tersenyum kecil, mengalihkan pandangannya dari tubuh telanjang Caid”Aku marah karena kau mendekati pria lain, Love!” Sahut Caid menahan napas, matanya berkilat, mencoba menutupi rasa frustrasinya dengan kesabaran yang tipis. Dibalik tatapannya, jelas terlihat bahwa pria itu berada di ambang batas.Tanpa peringatan, Lova mendekat dan mencium Caid. Bibir mereka bersentuhan hanya sebentar, namun itu cukup untuk membuat jantung