"Aku bilang mengangkanglah"
Lova menatap Caid, senyum menggoda tersungging di bibirnya, meski dia bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat di antara mereka. "Kau sungguh tidak berubah, ya, Walton?" balas Lova, tawa kecilnya terdengar di udara yang kini terasa lebih tebal. Dia tidak gentar dengan perintahnya, malah merasa tertantang oleh sikap dominan Caid yang mencoba mengendalikan dirinya.Dengan perlahan dia memundurkan tubuhnya, mengambil posisi ditengah meja lalu menekuk kedua kakinya menghadap Caid"Begini? cukup nyaman, bukan?" Lova melontarkan kalimat dengan nada mengejek, sambil menatap Caid dengan tatapan penuh tantangan.Caid mengerutkan keningnya, kebingungan bercampur kemarahan. "Kau pikir ini lelucon, Lova?" Suaranya lebih dalam, penuh tekanan."Aku hanya bermain dengan aturan yang kau buat, kau menyuruhku mengangkang dan aku melakukannya" jawab Lova, suaranya tetap tenang meski hatinya berdebar.Caid menggunakan kedua tangannya untuk memLova terbaring di sofa, napasnya pelan namun teratur. Dinginnya AC tak serta membuat tubuh Lova yang bermandikan keringat menjadi sejuk.Tubuhnya lelah, liangnya terasa sakit dan membengkak karena Caid. Lova mendengus, mengingat betapa ganasnya Caid membuat wajahnya memerah.“Belakangan ini, kau hobi sekali memancing amarahku” kata Caid, suaranya lebih lembut meski nada tajamnya masih terasa. Dia datang sambil membawa sebuah handuk dan menyeka tubuh Lova“Mungkin aku ingin tahu seberapa jauh aku bisa pergi sebelum kau benar-benar marah.” Lova tersenyum kecil, mengalihkan pandangannya dari tubuh telanjang Caid”Aku marah karena kau mendekati pria lain, Love!” Sahut Caid menahan napas, matanya berkilat, mencoba menutupi rasa frustrasinya dengan kesabaran yang tipis. Dibalik tatapannya, jelas terlihat bahwa pria itu berada di ambang batas.Tanpa peringatan, Lova mendekat dan mencium Caid. Bibir mereka bersentuhan hanya sebentar, namun itu cukup untuk membuat jantung
Pria dengan setelan kemeja licin nan mahal itu memasuki kasino dengan santai. Dia mengambil satu kursi di lingkaran, memperhatikan suasana permainan yang penuh ketegangan. Saat melihat sang target, senyum Caid semakin lebar.“Bolehkah aku bergabung?” Tanya Caid dengan nada menyenangkan.”Silahkan Mr Walton” Sang Bandar mempersilahkan lalu menyuruh seorang pelayan mengambilkan kursi untuknyaSahaduta meliriknya, merasakan hawa dingin menyelimuti hati. "Tak kusangka Mr Walton memiliki waktu luang untuk berjudi” Ucapnya tanpa maksud apapunCaid menyandarkan punggungnya ke kursi ”Hanya mencoba peruntungan. Terakhir kali aku kesini, aku mendapatkan sang primadona” Ucapnya tenang namun terselip nada angkuh disana”Well harus kuakui Angelic memang menggoda, aku bahkan tidak bisa mengalihkan pandangan darinya saat dia melayaniku” Ucap Sahaduta. Sengaja ingin melihat respon Caid, alangkah lebih baik jika pria itu cemburu atau emosi padanyaNamun bukannya merespon
Lova baru saja hendak pergi saat Caid menarik Lova keluar dari apartemen tanpa banyak bicara. Mereka menuju markas kelompok Caid di New York, gedung besar yang terletak di pusat kota, tersembunyi di balik bisnis-bisnis resmi yang dijalankan oleh Caid dan kelompoknya. Lova sudah pernah kesini beberapa kali, tapi hari ini terasa berbeda. Ada ketegangan di udara, dan dia bisa merasakannya sejak Caid mulai bersikap dingin.Begitu mereka sampai, Dylan, sahabat Caid yang selalu terlibat dalam urusan-urusan gelapnya, sudah menunggu di lobi. Dylan menyapa mereka dengan senyum tipis di bibirnya. "Angelic, lama tidak kelihatan" katanya menyapa Lova dengan santai”Halo.. Dylan” Lova balas menyapa namun hal itu tidak berlangsung lama karena Caid kembali menariknya menuju sebuah tempat”Pergi bersama” Ucap Dylan mengikuti dibelakang Caid dan Lova”Mau kemana?” Lova bertanya namun Caid nampak tidak menunjukan tanda-tanya akan menjawab. Akhirnya Lova menoleh kepada Dylan
Caid membuka matanya perlahan, tatapannya langsung terkunci pada Lova. Mata itu dalam, gelap, dan tak terbaca. Untuk sesaat, Lova merasa terhenti di sana, tak bisa memahami apa yang tersembunyi di balik tatapan itu.Pakaian mereka berserakan dilantai, beberapa bagian robek tak berbentuk dan aroma keringat dan keintiman masih tersisa di udara. Caid tersenyum, tetapi ada kesan misterius yang menyelimuti senyumnya. “Jadi, ini yang kita inginkan?” suaranya rendah, menggoda, tetapi juga penuh dengan makna.Lova menarik napas dalam-dalam, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “maksudmu partner sex?” katanya, meskipun hatinya bergetar dengan perasaan yang sulit dijelaskan.Caid mendekat, meraih tangan Lova dan menggenggamnya dengan lembut. “Ingin tinggal bersama?” dia tidak menjawab pertanyaan Lova melainkan bertanya balik”Bukannya kau sudah melakukannya?” Lova bertanya balikTatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua keraguan tampak memudar. Ada sesuatu
Lova menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan emosi yang tiba-tiba meluap dalam dirinya.Evelyn.Nama itu seolah berdentum di kepalanya, memunculkan perasaan yang seharusnya tidak ia rasakan. Cemburu?Lova dulu selalu menganggap cemburu adalah hal bodoh, terutama dengan hubungan yang tak pernah ia anggap serius. Tapi kenapa sekarang, hanya melihat nama itu di tubuh Caid membuat dadanya terasa sesak?Caid tersenyum tipis, menyadari reaksi Lova yang tak biasa. "Kau tahu, Evelyn sangat spesial bagiku. Bahkan ibuku sangat menyayanginya" katanya dengan tenang, seolah mencoba menenangkan situasi, tapi tetap dengan nada menggoda yang sama seolah ingin membuat Lova terbakar“Oh ya. Aku tidak peduli dengan masa lalumu, Caid” jawabnya, meskipun dalam hatinya, kata-kata itu terasa kosong.“Benarkah?” Caid bangun dari posisinya, tubuhnya mendekat ke Lova, menempatkan tangannya lembut di dagu Lova dan mengangkat wajahnya hingga mata mereka bertemu. Tatapannya seriu
”Sahaduta ditemukan tak bernyawa saat kecelakaan, pihak forensik bilang jika dia meninggal karena benturan yang kuat tapi anggota legislatif tidak percaya, sepertinya mereka akan melakukan penyelidikan pada kita” ”Katakan padaku sebenarnya apa yang terjadi? Jangan berbohong karena aku tau semua ini ada hubungannya dengan Walton”Lova tidak menyimak dengan jelas apa yang disampaikan oleh Meredith padahal wanita itu sedang menjelaskan hal yang penting padanya”Lova””R02””Relova!””Ya Meredith” Jawab Lova terkesiap”Apa yang kau pikirkan?” Tanyanya”Tidak ada, maaf aku cukup lelah beberapa hari ini” Meredith mengerutkan kening. Ini pertama kalinya Lova tak fokus pada tugasnya. Ia tahu Lova bukan tipe orang yang mudah teralihkan, terutama ketika menyangkut pekerjaan”Istirahatlah”Lova terkejut ”Tidak Meredith, aku baik-baik saja””Aku memberikanmu waktu istirahat Lova” Ucap Meredith tak terpengaruh. Ia menyandarkan punggungnya ke kurs
Hari-hati Lova berjalan damai. Dia kuliah seperti biasa, belajar dan sesekali melakukan kunjungan di panti asuhan. Disana Lina selalu menyambutnya dengan senyum hangatJika Meredith adalah panutannya maka bagi Lova, Lina adalah sosok ibu yang menyayanginyaLova sudah pernah bilang bukan jika dia ditelantarkan?Sejak kecil Lina sudah merawatnya. Lova dibuang oleh orangtuanya saat berusia 6 tahun.Seingat Lova, saat itu dia diantarkan ke taman kanak-kanak namun sang ibu tidak juga menjemputnya hingga akhirnya Lova harus menebak jalan pulang sendiriNamun ironisnya saat pulang, Lova justru mendapat fakta jika rumahnya dijual dan ibunya tidak juga menjemput LovaLova tidak memiliki kerabat, dia juga tidak tau nama kedua orang tuanya selain panggilan Ed dan Loren, setelah dewasa Lova baru sadar jika kehadiran dirinya mungkin adalah sebuah kecelakaan yang tak diinginkan”Relova”Lova tersadar dari lamunannya. Dia memperbaiki letak kacamatanya lalu menoleh k
"Apa hubunganmu dengan mereka?" Tanya AlexLova terkekeh pelan “Apa aku harus mengatakannya padamu?” jawab Lova, nada suaranya terdengar santai namun mengandung sedikit sindiran"Tidak juga, aku hanya penasaran, kau dan pamanku bertemu di klub saat itu" Alex mengarahkan ponselnya pada Lova, disitu ada foto dirinya dan Aleandro. Lova ingat jika dia mengenakan pakaian ini saat dia dan Aleandro berbaikan"Kau menemuinya sehari sebelum pernikahannya, menurutmu apa yang orang lain pikirkan?" Alex berucap dengan tenangLova terkekeh "Entahlah, apa aku pernah terlihat peduli dengan pendapat orang lain?" Lova balik bertanya dengan senyum ringan"Aku tau kau bekerja di klub itu, Angelic" Ucap Alex, menyebutkan identitsnya sebagai Angelic."Benar, aku pelacur disana" Ucal Lova mengakuiAnehnya, Lova tak terkejut sama sekali. Dia seperti sudah menduga jika Alex akan tau, lagipula Alex itu putra salah satu anggota dewan, dia bisa mendapatkan segalanya dengan mudah
Kediaman Hilton yang luas dan elegan terlihat semakin hidup hari itu. Di ruang tengah yang mewah, suara tawa dan obrolan lembut bercampur dengan tangisan kecil bayi yang sesekali terdengar.“Akhirnya kalian datang juga. Lumia sudah menunggu” kata Dylan sambil mengarahkan pandangannya ke Matthias. “Dan siapa ini? Calon kakak besar yang gagah, ya?”Matthias tersenyum lebar, jelas sekali jika dia senang mendapat perhatian dan menjadi pusat perhatian “Uncle Dylan! Mana bayinya?” tanyanya tanpa basa-basi.Dylan tertawa kecil dan mengangguk. “Di sana, dengan Aunty. Tapi hati-hati, ya. Dia masih sangat kecil.”Matthias mengangguk penuh semangat. Dengan panduan Lova, ia berjalan ke arah sofa besar tempat Lumia duduk. Wanita muda itu terlihat anggun meskipun kelelahan, mengenakan gaun sederhana yang nyaman. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan kulit kemerahan sedang tidur nyenyak.“Lova, terima kasih sudah datang” sapa Lumia dengan senyum lembut. Matanya berbinar saat melihat Matthias mend
Matahari bersinar hangat di atas taman hijau yang luas. Angin lembut menerpa rambut Lova yang tergerai, membuatnya merasa lebih damai dari biasanya. Dia duduk di atas tikar piknik yang empuk, mengenakan gaun longgar yang menonjolkan perut besarnya. Di sebelahnya, Matthias tertidur pulas dengan kepala di pangkuannya, tangannya kecilnya masih menyentuh perut Lova seolah sedang mencoba merasakan gerakan adik kecilnya.Lova tersenyum lembut, mengusap rambut Matthias dengan penuh kasih. Pandangannya lalu beralih ke Caid, yang duduk di sebelahnya, tangan kekarnya melingkar di pinggangnya dengan erat. Matanya yang gelap tampak lebih lembut hari itu, penuh perhatian saat menatap istri dan anaknya."Dia sudah tidak sabar, ya," gumam Caid sambil menyentuh tangan Matthias yang masih berada di perut Lova. "Setiap hari dia bertanya kapan adiknya keluar."Lova terkekeh pelan, matanya bersinar bahagia. "Dia memang sangat antusias. Tapi aku juga tidak kalah senangnya. Akhirnya,
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti
Kamar Lumia dipenuhi aroma bunga segar dan suara gemerisik sutra. Lumia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan, dengan renda yang menjuntai hingga lantai. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang dibiarkan tergerai, memberikan kilauan keemasan yang membuatnya tampak memukau."Kau terlihat seperti malaikat, sangat cantik" ujar seorang wanita yang membantu menyempurnakan veil pengantinnya.Lumia hanya tersenyum kecil, tetapi ada kilatan gugup di matanya.Pintu terbuka, ayahnya, Petrus, muncul dengan setelan kemeja putih rapi yang dipadukan dengan jas abu-abu tua. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang sulit disembunyikan.“Lumia” panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, memperhatikan putrinya yang kini terlihat begitu dewasa dan cantik“Papa..” Lumia berseru lirih. Rasanya dia hendak menangis namun dia tak enak dengan perias yan
Lumia menatap cincin di jari manisnya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Cincin itu tidak berkilau mewah, tetapi desainnya elegan, seolah-olah Dylan tahu bahwa ia tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah momen ketika cincin itu dipakaikan ke jarinya—begitu mendadak, tanpa persiapan, tanpa janji, dan di depan ayahnya yang sakit.Ia menghela napas panjang, pikirannya melayang ke detik-detik itu.Dylan berdiri di hadapannya dengan raut serius, sementara Petrus mengangguk kecil, memberikan persetujuannya tanpa banyak bicara. Lumia bahkan tidak sempat memproses semuanya sebelum Dylan berlutut, mengeluarkan cincin dari sakunya, dan menatap matanya dengan intens.Lumia bahkan belum mengenal siapa pun dari keluarga Dylan. Orang tua pria itu, saudara, bahkan masa lalunya yang lebih dalam—semuanya adalah misteri baginya. Lumia mengerti bahwa Dylan bukan tipe orang yang suka membuka diri, tetapi jik
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t