Hari-hati Lova berjalan damai. Dia kuliah seperti biasa, belajar dan sesekali melakukan kunjungan di panti asuhan. Disana Lina selalu menyambutnya dengan senyum hangat
Jika Meredith adalah panutannya maka bagi Lova, Lina adalah sosok ibu yang menyayanginyaLova sudah pernah bilang bukan jika dia ditelantarkan?Sejak kecil Lina sudah merawatnya. Lova dibuang oleh orangtuanya saat berusia 6 tahun.Seingat Lova, saat itu dia diantarkan ke taman kanak-kanak namun sang ibu tidak juga menjemputnya hingga akhirnya Lova harus menebak jalan pulang sendiriNamun ironisnya saat pulang, Lova justru mendapat fakta jika rumahnya dijual dan ibunya tidak juga menjemput LovaLova tidak memiliki kerabat, dia juga tidak tau nama kedua orang tuanya selain panggilan Ed dan Loren, setelah dewasa Lova baru sadar jika kehadiran dirinya mungkin adalah sebuah kecelakaan yang tak diinginkan”Relova”Lova tersadar dari lamunannya. Dia memperbaiki letak kacamatanya lalu menoleh k"Apa hubunganmu dengan mereka?" Tanya AlexLova terkekeh pelan “Apa aku harus mengatakannya padamu?” jawab Lova, nada suaranya terdengar santai namun mengandung sedikit sindiran"Tidak juga, aku hanya penasaran, kau dan pamanku bertemu di klub saat itu" Alex mengarahkan ponselnya pada Lova, disitu ada foto dirinya dan Aleandro. Lova ingat jika dia mengenakan pakaian ini saat dia dan Aleandro berbaikan"Kau menemuinya sehari sebelum pernikahannya, menurutmu apa yang orang lain pikirkan?" Alex berucap dengan tenangLova terkekeh "Entahlah, apa aku pernah terlihat peduli dengan pendapat orang lain?" Lova balik bertanya dengan senyum ringan"Aku tau kau bekerja di klub itu, Angelic" Ucap Alex, menyebutkan identitsnya sebagai Angelic."Benar, aku pelacur disana" Ucal Lova mengakuiAnehnya, Lova tak terkejut sama sekali. Dia seperti sudah menduga jika Alex akan tau, lagipula Alex itu putra salah satu anggota dewan, dia bisa mendapatkan segalanya dengan mudah
"You said you need a man right? And i can be your man, Love"Lova terdiam sejenak, tak menyangka bahwa Caid akan mengungkapkan hal seperti itu dengan nada setenang dan setegas ini. Tatapan pria itu begitu dalam, seolah memenjarakan pandangannya."Aku serius, Lova" lanjut Caid, suaranya terdengar rendah namun tegas. "Aku tak pernah ingin terikat dengan siapa pun sebelumnya, tapi bersamamu… rasanya berbeda."Lova tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan yang mulai bergejolak di dalam hatinya. "Hati-hati, Mr. Walton. Perasaan itu bisa jadi bumerang" jawabnya pelan, mencoba untuk tidak terjebak dalam tatapan intens pria di hadapannya.Namun, Caid justru mengabaikan peringatan itu. Dia meraih tangan Lova, mengusapnya lembut, lalu menatapnya dengan penuh keseriusan. "Kalau begitu, aku akan menerima bumerang itu. Aku tidak peduli seberapa berbahayanya. Selama itu datang darimu, aku siap."Lova tertawa kecil, tak bisa menahan diri dari senyum yang akhirnya mengem
Caid berbaring di samping Lova, tangan kanannya ditekuk sebagai tumpuan kepalanya. Selimut hanya menutupi dari pinggang hingga kaki, sedangkan bagian atas memang sengaja Caid bukaCaid menatap Lova dengan intens, memperhatikan setiap detail wajahnya yang tampak damai dalam tidur. Baginya, tak ada yang lebih memikat daripada sosok Lova yang terlelap di sisinya. Namun, di balik ketenangan itu, Caid merasa sebuah kekosongan yang sulit dijelaskan. Meski ia telah memilikinya di sini, seakan ada perasaan yang belum sepenuhnya terpuaskan.Tangannya perlahan menyusuri kulitnya yang hangat, menyentuhnya dengan kelembutan yang hanya ia tunjukkan pada Lova. Seolah setiap sentuhan menjadi jembatan yang menghubungkan hasrat dan obsesi yang menggerogoti hatinya. Semakin ia dekat, semakin besar keinginannya untuk memiliki Lova seutuhnya—tidak hanya tubuhnya, tetapi juga hatinya, jiwanya, seluruh dirinya.Caid tahu dirinya tidak pernah merasa cukup. Setiap malam bersamanya hanya me
Lova baru saja duduk dikursi kelas ketika segerombolan pria datang menghampirinya dengan senyum yang sinis. Salah satu dari mereka, dengan nada meremehkan, menyeringai"$1000, kubeli kau malam ini" Lova mengerutkan kening, sedikit membenarkan letak kacamatanya yang tak bermasalah, dia mendongak, menatap pria yang baru menyodorkan sebuah kartu padanyapadanya"Seribu dolar? Kau serius?" Lova menahan tawa, membolak-balik kartu di tangannya dengan santai. "Apa menurutmu harga diri seseorang bisa dinilai semurah itu? Atau memang segitu batas kemampuanmu?"Pria itu tampak tersinggung, wajahnya memerah."Jangan sok. Kami dengar kau kerja di klub malam, melayani siapa saja yang bisa bayar, kan?" Salah seorang temannya menimpali. Jujur saja ini pertama kalinya Lova berinteraksi dengan sekumpulan pria yang nampak seperti berandalan ini"Kami bisa membiayaimu, lagipula semua orang sudah tau apa yang kau lakukan di balik topeng mahasiswa teladan mulai itu""Oh samp
"Tapi kau pemilik tahta aslinya"Deg!Lorenzo terdiam dan Caid menyeringai tipis "Kami akan membuatmu kembali mendapat mahkotamu""Memangnya apa yang orang luar sepertimu akan lakukan untuk putra mahkota yang digulingkan?" Sinis Lorenzo mengejekCaid tetap tenang, tak terpengaruh oleh ejekan Lorenzo. Dia mengkode Enid untuk menjelaskan “Kau akan mendapat dukungan dari pihak yang lebih kuat. Kami akan memastikan pemerintah tidak mendapat dukungan penuh dari dalam. Kami bisa memanipulasi media, mengendalikan ekonomi, bahkan membuat krisis yang memecah belah kekuasaan mereka. Kau hanya perlu menjadi wajah dari perubahan ini.”Lorenzo diam, menimbang kata-kata Caid. “Kau berbicara seolah ini hanya permainan catur. Bagaimana jika kau salah perhitungan? Apa kau punya rencana cadangan? Sudah cukup sekali aku dalam penjara dan hampir cacat”Caid menyeringai. “Kami tidak pernah salah perhitungan, Lorenzo. kami bisa menjadikan kekacauan sebagai peluang. Lagip
Lova menatap Meredith dengan lekat, wanita yang menjabat sebagai ketua tim Foxy02Foxy02 adalah sebutan bagi kode mereka, sebuah tim kecil yang terdiri dari anggota wanita dengan keahlian berbedaRelova, sang ahli dalam dunia hacking dan penyamaranRebeca Spancer, sang perakit bomRailyn, sang penembak jitu Meskipun menjadi sebuah unit namun mereka bertiga memiliki kepribadian yang sangat berbanding terbalikRebeca bahkan digadang gadang menjadi musuh bebuyutan Lova, mereka bagaikan api dan air, sungguh sulit menyatukan dua karakter itu dan entah apa yang membuat Meredith memilih Rebeca untuk menjadi penggantinya dalam misi Delta. "Jadi" Lova menjeda ucapannya, dia melangkah mendekati pada meja kerja Meredith lalu menatap sang kapten dengan intens "apa yang kau sembunyikan dariku?"Meredith terdiam sejenak, menarik napas dalam sebelum memberikan jawaban. "Atasan tahu tentang kedekatanmu dengan Caid Walton. Dia khawatir jika, diam-diam, pria itu mem
Lova baru saja keluar dari gedung CIA saat dirinya ditarik paksa oleh Emily. "Kenapa kau bisa disini?" Lova bertanya heran, Emily memang tau jika dirinya adalah agen. Emily juga yang sering membantunya membersihkan sampah masyarakat dan membantunya mencari target sasaran Emily nampak ragu sebelum akhirnya melirik pada sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di seberang jalan "Mereka mencarimu" bisik Emily "sudah sejak tadi mereka mengikuti mu dan memintaku membawamu pada mereka" Tambahnya "Kau diancam?" Tanya Lova Emily mengangguk kaku "Nona Luvena" Seorang pria berjas rapi berjalan kearah mereka Lova menatap pria berjas rapi itu dengan penuh kewaspadaan. Langkahnya mantap, tatapannya dingin, dan cara ia menyebut nama Lova membuatnya merasa tak nyaman. Meski pria itu menunjukkan sopan santun, ada aura ancaman yang terasa. “Maaf mengganggu Anda, Nona Luvena” katanya dengan suara rendah dan penuh ketenangan. “Tolong ikut saya. Tuan kami ingin berbicara dengan Anda.” Lo
Dua minggu ini terasa sangat lama bagi Caid. Ia sibuk dengan para pengacau di monarki, untungnya menjadikan Lorenzo sebagai Sultan adalah hal yang mudah.Mereka juga mendapatkan daerah yang bebas dari pemerintahan, daerah yang dijadikan gudang senjata dan obat-obatan terlarangMarkas kelompok Oletros. "Kalian sudah bekerja keras dua minggu ini, pergilah ke manapun kalian suka" Ucap Caid pada keempat temannya. "Syukurlah, aku sudah merindukan Jenice" Ucap Lucius dengan senyuman tipisnya yang nampak seperti orang bodohLucius memang menyusul mereka saat kudeta mulai dilakukan, tentu saja setelah membuat keributan karena sang ayah mengetahui hubungannya dengan saudara angkatnya sendiri, sang ballerina terkenal. "Kukira kalian putus" Seloroh DaynLucius mendengus, memutar bola matanya malas "sampai matipun tak akan kubiarkan dia lepas""Ckk para orang gila ini""Sepertinya kau ketularan Caid" Tambah Dylan"Tentu saja tidak, aku masih jauh lebi
Kediaman Hilton yang luas dan elegan terlihat semakin hidup hari itu. Di ruang tengah yang mewah, suara tawa dan obrolan lembut bercampur dengan tangisan kecil bayi yang sesekali terdengar.“Akhirnya kalian datang juga. Lumia sudah menunggu” kata Dylan sambil mengarahkan pandangannya ke Matthias. “Dan siapa ini? Calon kakak besar yang gagah, ya?”Matthias tersenyum lebar, jelas sekali jika dia senang mendapat perhatian dan menjadi pusat perhatian “Uncle Dylan! Mana bayinya?” tanyanya tanpa basa-basi.Dylan tertawa kecil dan mengangguk. “Di sana, dengan Aunty. Tapi hati-hati, ya. Dia masih sangat kecil.”Matthias mengangguk penuh semangat. Dengan panduan Lova, ia berjalan ke arah sofa besar tempat Lumia duduk. Wanita muda itu terlihat anggun meskipun kelelahan, mengenakan gaun sederhana yang nyaman. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan kulit kemerahan sedang tidur nyenyak.“Lova, terima kasih sudah datang” sapa Lumia dengan senyum lembut. Matanya berbinar saat melihat Matthias mend
Matahari bersinar hangat di atas taman hijau yang luas. Angin lembut menerpa rambut Lova yang tergerai, membuatnya merasa lebih damai dari biasanya. Dia duduk di atas tikar piknik yang empuk, mengenakan gaun longgar yang menonjolkan perut besarnya. Di sebelahnya, Matthias tertidur pulas dengan kepala di pangkuannya, tangannya kecilnya masih menyentuh perut Lova seolah sedang mencoba merasakan gerakan adik kecilnya.Lova tersenyum lembut, mengusap rambut Matthias dengan penuh kasih. Pandangannya lalu beralih ke Caid, yang duduk di sebelahnya, tangan kekarnya melingkar di pinggangnya dengan erat. Matanya yang gelap tampak lebih lembut hari itu, penuh perhatian saat menatap istri dan anaknya."Dia sudah tidak sabar, ya," gumam Caid sambil menyentuh tangan Matthias yang masih berada di perut Lova. "Setiap hari dia bertanya kapan adiknya keluar."Lova terkekeh pelan, matanya bersinar bahagia. "Dia memang sangat antusias. Tapi aku juga tidak kalah senangnya. Akhirnya,
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti
Kamar Lumia dipenuhi aroma bunga segar dan suara gemerisik sutra. Lumia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan, dengan renda yang menjuntai hingga lantai. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang dibiarkan tergerai, memberikan kilauan keemasan yang membuatnya tampak memukau."Kau terlihat seperti malaikat, sangat cantik" ujar seorang wanita yang membantu menyempurnakan veil pengantinnya.Lumia hanya tersenyum kecil, tetapi ada kilatan gugup di matanya.Pintu terbuka, ayahnya, Petrus, muncul dengan setelan kemeja putih rapi yang dipadukan dengan jas abu-abu tua. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang sulit disembunyikan.“Lumia” panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, memperhatikan putrinya yang kini terlihat begitu dewasa dan cantik“Papa..” Lumia berseru lirih. Rasanya dia hendak menangis namun dia tak enak dengan perias yan
Lumia menatap cincin di jari manisnya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Cincin itu tidak berkilau mewah, tetapi desainnya elegan, seolah-olah Dylan tahu bahwa ia tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah momen ketika cincin itu dipakaikan ke jarinya—begitu mendadak, tanpa persiapan, tanpa janji, dan di depan ayahnya yang sakit.Ia menghela napas panjang, pikirannya melayang ke detik-detik itu.Dylan berdiri di hadapannya dengan raut serius, sementara Petrus mengangguk kecil, memberikan persetujuannya tanpa banyak bicara. Lumia bahkan tidak sempat memproses semuanya sebelum Dylan berlutut, mengeluarkan cincin dari sakunya, dan menatap matanya dengan intens.Lumia bahkan belum mengenal siapa pun dari keluarga Dylan. Orang tua pria itu, saudara, bahkan masa lalunya yang lebih dalam—semuanya adalah misteri baginya. Lumia mengerti bahwa Dylan bukan tipe orang yang suka membuka diri, tetapi jik
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t