Kelopak mata itu terbuka, menampakan netra coklatnya yang menatap kamar dengan cahaya renang. Tubuhnya terasa lelah, terlebih matanya membengkak karena dengan bodohnya menangisi Aleandro
Tersadar ada sesuatu yang membuatnya terjaga. Dia merasakan sesak di perutnya, seperti ada yang menindihnya.Saat matanya mulai fokus, dia menoleh ke samping. Ekspresi heran tak tersembunyi diwajahny begitu mendapati pria yang harusnya ada di Milan itu justru diranjangnyaCaid ada di sana, berbaring di sebelahnya dengan tubuh setengah telanjang, tanpa atasan, memeluknya erat seakan dia tidak ingin Lova pergi ke mana pun.Tubuh Caid yang hangat menekan tubuh Lova, lengan kuatnya melingkar di pinggang Lova seolah-olah mereka sudah lama berbagi ranjang. Lova mencoba melepaskan diri perlahan, namun Caid mempererat pelukannya, matanya tetap terpejam, tetapi ada senyum di bibirnya seolah dia sadar apa yang sedang terjadi."Caid...?" Lova berbisik pelan, mencoba memastikan ini bukan mimCaid keluar dari kamar dengan langkah yang santai, namun pikirannya penuh dengan Lova. Begitu dia mencapai dapur, matanya langsung tertuju pada sosok Lova yang berdiri di depan kompor, sibuk memasak. Rambutnya tergulung tinggi, sedikit berantakan, tapi justru itu yang membuatnya terlihat semakin seksi di mata Caid. Ada sesuatu yang sangat memikat dalam keacakan itu, seolah Lova tidak menyadari betapa menggodanya dia.Caid berhenti sejenak di ambang pintu, hanya menatap Lova dari jauh. Matanya memperhatikan setiap detail, bagaimana rambutnya jatuh sedikit di lehernya, gerakan lembut tangannya saat mengaduk sesuatu di panci, dan cara tubuhnya bergerak dengan natural.Tanpa sadar, Caid menelan ludahnya, dorongan untuk mendekatinya semakin kuat, hingga dia tidak bisa menahannya lagi.Dengan langkah yang tenang namun pasti, Caid mendekati Lova dari belakang. Saat jarak mereka hampir tak berjarak, dia membungkuk sedikit, lalu dengan lembut mengecup leher Lova yang terbuka.
"Kau tidak ada kelas hari ini?" tanya Caid, suaranya santai namun ada nada halus yang menuntut perhatian. Sup di mangkuk sudah habis, tapi Caid tidak menunjukkan tanda-tanda akan membiarkan Lova bangkit dari pangkuannya.Lova menatapnya sekilas, merasa gerah dengan kedekatan mereka tapi tidak menunjukkan protes yang nyata. "Tidak ada. Kau pikir aku bisa santai di sini kalau aku ada kelas?" jawabnya, berusaha mempertahankan nada biasa."Bagus." Caid mengangguk pelan, seolah puas dengan jawaban itu "Aku lebih suka ketika kau di sini bersamaku daripada di tempat lain" ucapnya, jarinya tanpa sadar menggambar pola lembut di pinggang Lova. Sentuhan itu membuat Lova merasakan sensasi panas yang menjalar, tapi dia menolaknya mentah-mentah dalam pikirannya.Lova menarik napas dalam-dalam, lalu mengubah posisi duduknya sedikit untuk memberi sinyal bahwa dia ingin berdiri. Tapi Caid malah mengencangkan pegangannya di pinggang Lova, tidak mengizinkannya bergerak."Sudah lama kau
"Aku bilang mengangkanglah"Lova menatap Caid, senyum menggoda tersungging di bibirnya, meski dia bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat di antara mereka. "Kau sungguh tidak berubah, ya, Walton?" balas Lova, tawa kecilnya terdengar di udara yang kini terasa lebih tebal. Dia tidak gentar dengan perintahnya, malah merasa tertantang oleh sikap dominan Caid yang mencoba mengendalikan dirinya.Dengan perlahan dia memundurkan tubuhnya, mengambil posisi ditengah meja lalu menekuk kedua kakinya menghadap Caid"Begini? cukup nyaman, bukan?" Lova melontarkan kalimat dengan nada mengejek, sambil menatap Caid dengan tatapan penuh tantangan.Caid mengerutkan keningnya, kebingungan bercampur kemarahan. "Kau pikir ini lelucon, Lova?" Suaranya lebih dalam, penuh tekanan."Aku hanya bermain dengan aturan yang kau buat, kau menyuruhku mengangkang dan aku melakukannya" jawab Lova, suaranya tetap tenang meski hatinya berdebar.Caid menggunakan kedua tangannya untuk mem
Lova terbaring di sofa, napasnya pelan namun teratur. Dinginnya AC tak serta membuat tubuh Lova yang bermandikan keringat menjadi sejuk.Tubuhnya lelah, liangnya terasa sakit dan membengkak karena Caid. Lova mendengus, mengingat betapa ganasnya Caid membuat wajahnya memerah.“Belakangan ini, kau hobi sekali memancing amarahku” kata Caid, suaranya lebih lembut meski nada tajamnya masih terasa. Dia datang sambil membawa sebuah handuk dan menyeka tubuh Lova“Mungkin aku ingin tahu seberapa jauh aku bisa pergi sebelum kau benar-benar marah.” Lova tersenyum kecil, mengalihkan pandangannya dari tubuh telanjang Caid”Aku marah karena kau mendekati pria lain, Love!” Sahut Caid menahan napas, matanya berkilat, mencoba menutupi rasa frustrasinya dengan kesabaran yang tipis. Dibalik tatapannya, jelas terlihat bahwa pria itu berada di ambang batas.Tanpa peringatan, Lova mendekat dan mencium Caid. Bibir mereka bersentuhan hanya sebentar, namun itu cukup untuk membuat jantung
Pria dengan setelan kemeja licin nan mahal itu memasuki kasino dengan santai. Dia mengambil satu kursi di lingkaran, memperhatikan suasana permainan yang penuh ketegangan. Saat melihat sang target, senyum Caid semakin lebar.“Bolehkah aku bergabung?” Tanya Caid dengan nada menyenangkan.”Silahkan Mr Walton” Sang Bandar mempersilahkan lalu menyuruh seorang pelayan mengambilkan kursi untuknyaSahaduta meliriknya, merasakan hawa dingin menyelimuti hati. "Tak kusangka Mr Walton memiliki waktu luang untuk berjudi” Ucapnya tanpa maksud apapunCaid menyandarkan punggungnya ke kursi ”Hanya mencoba peruntungan. Terakhir kali aku kesini, aku mendapatkan sang primadona” Ucapnya tenang namun terselip nada angkuh disana”Well harus kuakui Angelic memang menggoda, aku bahkan tidak bisa mengalihkan pandangan darinya saat dia melayaniku” Ucap Sahaduta. Sengaja ingin melihat respon Caid, alangkah lebih baik jika pria itu cemburu atau emosi padanyaNamun bukannya merespon
Lova baru saja hendak pergi saat Caid menarik Lova keluar dari apartemen tanpa banyak bicara. Mereka menuju markas kelompok Caid di New York, gedung besar yang terletak di pusat kota, tersembunyi di balik bisnis-bisnis resmi yang dijalankan oleh Caid dan kelompoknya. Lova sudah pernah kesini beberapa kali, tapi hari ini terasa berbeda. Ada ketegangan di udara, dan dia bisa merasakannya sejak Caid mulai bersikap dingin.Begitu mereka sampai, Dylan, sahabat Caid yang selalu terlibat dalam urusan-urusan gelapnya, sudah menunggu di lobi. Dylan menyapa mereka dengan senyum tipis di bibirnya. "Angelic, lama tidak kelihatan" katanya menyapa Lova dengan santai”Halo.. Dylan” Lova balas menyapa namun hal itu tidak berlangsung lama karena Caid kembali menariknya menuju sebuah tempat”Pergi bersama” Ucap Dylan mengikuti dibelakang Caid dan Lova”Mau kemana?” Lova bertanya namun Caid nampak tidak menunjukan tanda-tanya akan menjawab. Akhirnya Lova menoleh kepada Dylan
Caid membuka matanya perlahan, tatapannya langsung terkunci pada Lova. Mata itu dalam, gelap, dan tak terbaca. Untuk sesaat, Lova merasa terhenti di sana, tak bisa memahami apa yang tersembunyi di balik tatapan itu.Pakaian mereka berserakan dilantai, beberapa bagian robek tak berbentuk dan aroma keringat dan keintiman masih tersisa di udara. Caid tersenyum, tetapi ada kesan misterius yang menyelimuti senyumnya. “Jadi, ini yang kita inginkan?” suaranya rendah, menggoda, tetapi juga penuh dengan makna.Lova menarik napas dalam-dalam, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “maksudmu partner sex?” katanya, meskipun hatinya bergetar dengan perasaan yang sulit dijelaskan.Caid mendekat, meraih tangan Lova dan menggenggamnya dengan lembut. “Ingin tinggal bersama?” dia tidak menjawab pertanyaan Lova melainkan bertanya balik”Bukannya kau sudah melakukannya?” Lova bertanya balikTatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua keraguan tampak memudar. Ada sesuatu
Lova menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan emosi yang tiba-tiba meluap dalam dirinya.Evelyn.Nama itu seolah berdentum di kepalanya, memunculkan perasaan yang seharusnya tidak ia rasakan. Cemburu?Lova dulu selalu menganggap cemburu adalah hal bodoh, terutama dengan hubungan yang tak pernah ia anggap serius. Tapi kenapa sekarang, hanya melihat nama itu di tubuh Caid membuat dadanya terasa sesak?Caid tersenyum tipis, menyadari reaksi Lova yang tak biasa. "Kau tahu, Evelyn sangat spesial bagiku. Bahkan ibuku sangat menyayanginya" katanya dengan tenang, seolah mencoba menenangkan situasi, tapi tetap dengan nada menggoda yang sama seolah ingin membuat Lova terbakar“Oh ya. Aku tidak peduli dengan masa lalumu, Caid” jawabnya, meskipun dalam hatinya, kata-kata itu terasa kosong.“Benarkah?” Caid bangun dari posisinya, tubuhnya mendekat ke Lova, menempatkan tangannya lembut di dagu Lova dan mengangkat wajahnya hingga mata mereka bertemu. Tatapannya seriu